Di dalam kereta, Arielle melepaskan mantelnya untuk diberikan kepada Tania yang mulai menggigil di atas kursi. Arielle tidak mempedulikan tubuhnya sendiri yang kedinginan. Sesekali ia menggosokkan kedua telapak tangannya untuk mencari kehangatan.
Meskipun jendela kereta sudah tertutup rapat namun udara dingin masih bisa masuk melalui celah-celah kecil. Sesekali saat tubuhnya tak kuasa menahan dingin, ia meniupkan uap hangat dari mulutnya.
Dalam tidurnya Tania mengerang kecil membuat Arielle semakin terjaga. Ia melihat mantel miliknya yang jatuh dari pundak pelayannya itu. Arielle kembali membenarkan mantelnya hingga menutupi seluruh tubuh Tania tanpa tersisa.
Kereta berhenti tepat di depan istana Whitethorn. Raja Ronan pun ikut turun dari kudanya. Ia memerintahkan William untuk mengembalikan kudanya. Dengan cepat ia berjalan menuju kereta yang ditumpangi Arielle bersama pelayannya.
Matanya berkedut kala mendengar suara kecil Arielle yang bersin dari dalam kereta. Bibirnya tanpa sadar terbuka saat melihat Arielle yang memeluk tubuhnya kedinginan tanpa mengenakan mantel. Mantel Arielle telah beralih ke tubuh pelayan pribadinya.
"Apa lagi yang kalian tunggu? Bawa pelayan Putri ke kamarnya!" perintah Ronan keras.
Setelah Tania dibawa pergi, pria itu membuka lebar pintu kereta. Arielle sudah sangat lemas akibat kedinginan. Gadis itu bahkan tak mampu bergeser untuk turun dari kereta. Ronan berinisiatif melepas mantelnya kemudian membungkus tubuh Putri Arielle erat.
Ia meletakkan kedua tangannya pada lekukan lutut juga tubuh Arielle. Dengan mudah Ronan menggendong Arielle keluar dari kereta.
Arielle sudah sangat tak berdaya. Giginya bergemeletuk keras, tak mampu mengutarakan sepatah kata pun.
Ronan berdecak kesal. Ia kesal akan sikap Arielle yang tak memikirkan kondisi tubuhnya sendiri. Apa yang istimewa dari seorang pelayan pribadi? Bahkan jika William mati kedinginan pun Ronan tak akan merelakan kehangatan mantelnya untuk pengawal pribadinya yang sudah belasan tahun menemaninya itu.
Arielle yang kedinginan, tanpa sadar, mencoba mencoba mencari kehangatan lebih dengan mengalungkan tangannya pada leher Ronan. Wajahnya yang terasa beku, perlahan terasa mulai mencair ketika kulit wajahnya bersentuhan dengan kulit leher pria itu. Arielle mendesah lega saat tubuhnya merasa hangat kembali.
Lucas yang bertanggung jawab akan Putri Arielle telah memastikan bahwa kamar putri telah dihangatkan. Setelah Raja Ronan masuk ke dalam kamar milik Putri Arielle, Lucas minta izin keluar dan menutup pintu di belakangnya.
Ia menoleh sebentar, memastikan Raja Ronan tak membutuhkannya lagi. Setelah tak ada panggilan, Lucas segera menyusul pelayan pribadi Putri Arielle untuk memastikan wanita itu tidak mengalami hipotermia.
Ronan meletakkan Arielle begitu pelan. Setelah membaringkan gadis itu di ranjang, ia meletakkan telapak tangannya pada kening Arielle untuk memastikan suhu tubuh Arielle kembali normal. Dilihatnya sang putri masih mengenakan gaun yang sama seperti tadi siang. Saat disentuh pun gaun itu terasa sangat dingin.
Tanpa sengaja matanya melihat ke arah tulang selangka Arielle yang terekspos. Segera ia mengangkat selimut untuk menutupi seluruh tubuh gadis itu.
Ronan berjalan menuju pintu kamar. William masih setia berdiri di depan kamar bersama lima pelayan yang menundukkan kepala mereka.
"Segera ganti pakaian Putri Arielle," perintah Ronan kepada lima pelayan tersebut.
Ronan pergi meninggalkan istana Whitethorn diikuti oleh William. Sebuah kolam mandi berisikan air hangat telah menantinya. Setelah berendam merilekskan otot-ototnya, Ronan segera berganti pakaian baru. Ia hanya mengenakan kemeja putih bersiap untuk tidur.
Kepalanya diisi penuh oleh pertanyaan tentang kondisi Arielle saat ini. Merasa kesal pada dirinya sendiri, ia memanggil William.
"Ada yang bisa dibantu, Yang Mulia?"
"Beritahu Lucas untuk berjaga di istana Whitethorn dan laporkan kepadaku tentang kondisi Putri Arielle secara berkala."
William masih berdiri tercengang di tempatnya saat Ronan menutup pintu kamarnya. Pria itu menunduk sekilas untuk memberi hormat sebelum berbalik untuk melaksanakan perintah.
William yang baru berjalan beberapa langkah dibuat terkejut saat pintu kamar Raja kembali dibuka. "Ada apa, Yang Mulia?"
"Lupakan perintahku tadi. Aku akan ke sana sendiri."
"Maaf?" tanya William yang masih bingung.
"Bawakan aku berkas yang perlu aku lihat."
"Huh?"
William ditinggal begitu saja. Pria itu masih belum beranjak dari tempatnya. Ia terlalu bingung dengan sikap rajanya hari ini. Pria yang selalu muram, mengintimidasi, juga dingin itu tengah khawatir pada seorang gadis?
Ia memicingkan mata, mencoba membandingkan sikap rajanya hari ini dan kemarin. Ia telah lama mengenal pria itu namun seumur hidupnya, ini pertama kali bagi William melihat Rajanya khawatir.
"Sangat aneh," gumam William. Meskipun begitu ia tetap melaksanakan perintah dari sang Raja.
Di kamar Arielle, gadis itu telah terlelap. Para pelayan sudah mengganti pakaiannya dengan yang baru. Kayu bakar di perapian juga sudah ditambahkan. Ronan mendekat untuk mengukur suhu tubuh Arielle dengan meletakkan telapak tangannya pada kening gadis itu.
Sepertinya kali ini suhu tubuh gadis itu akan stabil hingga pagi. Hal itu membuat Ronan menghembuskan nafas lega. Ia berjalan menuju sofa kemudian menghitung setiap detik menunggu kedatangan William membawa pekerjaannya.
Ronan telah berniat untuk menunggu Arielle malam itu. Ia khawatir tiba-tiba di tengah malam, suhu tubuh gadis itu akan turun seperti beberapa hari yang lalu.
Saat ia menemukannya beberapa hari yang lalu, tubuh Arielle telah tertimbun salju. Meskipun sudah dihangatkan oleh Pendeta Elis namun suhu tubuh Arielle terus menurun hingga Ronan pun harus turun tangan menyalurkan hangat tubuhnya pada gadis itu.
Pintu kamar diketuk dan William membawa setumpuk kertas membuat pria itu membelalakkan matanya.
"Sebanyak ini?"
"Yang Mulia telah meninggalkan istana untuk pergi ke perbatasan Timur selama dua hari dan hari ini juga Yang Mulia sama sekali tidak kembali ke istana."
Ronan mengumpat pelan kemudian menutup rapat-rapat pintu kamar setelah William keluar. Ia melepaskan topengnya dan mendesah panjang. Lehernya terasa sangat kaku namun ia harus terjaga malam ini. Pria itu pun mulai membaca satu per satu laporan yang menunggu respons darinya.
Saat Ronan tengah menulis pesan balasan untuk Kerajaan Thebis, ia mendengar suara erangan kecil. Ia menyentuh topeng miliknya yang ia letakkan diatas meja, bersiap-siap untuk segera dikenakan kembali jika ada indikasi Arielle akan terbangun.
Suara erangan itu terhenti dan Ronan bangkit dari tempat duduknya untuk mendekat ke arah Arielle berbaring. Sekali lagi ia meletakkan telapak tangannya untuk mengecek suhu tubuh gadis itu.
"Normal," gumamnya.
Namun saat Ronan mengangkat tangannya, ia mendapati Arielle yang tengah menatapnya kemudian berkedip beberapa kali. Dengan cepat kini telapak tangannya menutupi mata Arielle agar tidak melihat wajahnya.
"Ya-Yang Mulia?" tanya Arielle dengan suara serak. Gadis itu bingung mengapa Raja Ronan menutupi matanya tiba-tiba.
"Pejamkan matamu. Jangan membukanya sampai aku memberikan aba-aba," perintahnya.
"O-oke," jawab Arielle gugup.
Ia pun menutup kembali matanya rapat-rapat. Nada perintah dari Raja Ronan barusan terdengar sangat tajam membuat Arielle mengikuti instingnya untuk menurut.
"Kau sudah boleh membukanya kembali," ujar Ronan, kali ini dengan suara lebih lembut.
Arielle yang masih takut, perlahan membuka salah satu matanya dan melihat ke arah Ronan yang tengah mengenakan topengnya kembali. Setelah topeng pria itu benar-benar telah dipasang, barulah Arielle membuka kedua matanya.
"Ada yang ingin kau lakukan?" tanya Ronan mendekat.
"Um…"
Arielle memperhatikan sekelilingnya dan merasa yakin bahwa ia tengah berada di kamarnya sendiri. Namun mengapa pria itu ada di sini di jam larut malam seperti ini? Ia melihat sekelilingnya dan kembali khawatir saat tak menemukan Tania di dekatnya.
Melihat wajah Arielle yang khawatir, Ronan menyentuh pundak gadis itu kemudian menuangkan segelas air.
"Tenanglah, pelayanmu sedang beristirahat sekarang. Ia berada di ruangan lain. Minumlah ini terlebih dahulu."
Arielle menerima segelas air hangat dari Ronan. Saat cairan hangat itu menyentuh kerongkongannya, Arielle mendesah lega. Ia meletakkan kembali gelas tersebut pada nakas terdekat.
Kedua matanya menangkap tumpukan kertas dan beberapa berkas yang berserakan di atas mejanya. Seingat Arielle, kertas-kertas itu tidak ada tadi pagi. Bahkan ia sendiri bingung karena ia tidak terlalu lancar menulis dan membaca. Jadi, yang jelas kertas-kertas itu bukan miliknya. Lalu punya siapa?
Jawaban dari pertanyaan itu segera terjawab ketika Ronan kembali duduk di sofa sambil mengambil selembar kertas untuk dibacanya. Arielle bertanya-tanya, apa yang sedang pria itu lakukan di kamarnya?
"Uhm… ma-maaf jika a-aku lancang menanyakan ini…" Arielle sungguh gugup. Kesepuluh jarinya saling menggenggam berusaha menekan kegugupannya. "A-aa yang sedang Yang Mu-Mulia lakukan?"
"Aku sedang bekerja," jawab Ronan santai.
Arielle juga tahu itu tetapi ia tidak berani mengutarakan komentarnya. Gadis itu memilih duduk di atas ranjangnya tanpa bertanya lebih lanjut.
Ronan yang merasa ruangan terlalu sunyi, lalu menoleh ke arah Arielle yang duduk melamun di tempatnya. Ia meletakkan kertas di tangannya.
"Apakah kau merasa lapar?"
Merasa diajak bicara, Arielle tersentak dari lamunannya kemudian menggeleng pelan.
"Lalu mengapa tidak tidur? Malam sudah sangat larut."
Arielle menggigit bibirnya. Bagaimana bisa ia tidur ketika seorang Raja berada di kamarnya sambil bekerja? Mungkin jika Ronan adalah Tania, maka Arielle bisa bisa terlelap dengan tenang.
"A-aku tidak mengantuk," jawabnya pelan.
Suasana ruangan kembali sunyi. Hanya ada bunyi meretih api membakar kayu yang keduanya dengar. Sesekali suara gesekan kertas saat Ronan meletakkan kembali kertas atau mengambil kertas lain dari tumpukan berkas di depannya.
Arielle kembali melamun, menatap pria bertopeng di depannya. Setelah bertemu beberapa kali, entah kenapa baru sekarang Arielle merasa penasaran dengan wajah di balik topeng itu… Tadi ia hampir memiliki kesempatan untuk melihatnya. Namun, baru ia berkedip beberapa kali untuk menjernihkan pandangannya, kedua matanya langsung ditutup oleh pria itu.
Jika cerita mengenai pertarungannya dengan naga benar-benar membekaskan sebuah luka pada wajah pria ini, Arielle sangat ingin melihat luka itu.
Perlahan Arielle merasakan punggungnya mulai lelah dan merebahkan tubuhnya. Ia berjanji ia hanya akan mengistirahatkan tubuhnya tanpa jatuh tertidur. Ia kembali berangan-angan tentang wajah Raja Ronan.
Rambut hitam legamnya selalu rapi, rahangnya terlihat kokoh, bibir penuh pria itu juga terlihat indah. Kadang saat Arielle beruntung, ia bisa melihat netra merah di balik topeng itu.
Hanya itu saja yang bisa ia nilai.
Hoam…. ranjang dan selimutnya sangatlah hangat, pikir Arielle.
Ia mengerjap-kerjapkan matanya untuk menghilangkan kantuk. Namun ketika tubuhnya menyerah dan menerima kehangatan selimut seutuhnya, Arielle pun tertidur.
Ronan benar-benar tidak bisa fokus membaca berkas itu sejak Arielle merebahkan tubuhnya. Setiap lima detik ia memperhatikan tulisan di depannya, ia akan mengarahkan pandangannya kembali ke arah seorang gadis yang tengah melawan kantuknya.
Saat gadis itu kalah dan jatuh tertidur, ia tertawa kecil merasa lucu.
"Sungguh imut," komentarnya.