Chereads / Rumah Singgah / Chapter 14 - Cowok Menyebalkan

Chapter 14 - Cowok Menyebalkan

Hujan turun di pagi hari walaupun cuaca tampak terlihat cerah. Terpaksa aku mengenakan jas hujan untuk pergi ke sekolah. Tadinya Ayah melarangku berangkat sendirian karena kalau membawa motor matic seperti ini di kala hujan akan sangat beresiko. Jalanan yang basah dan licin membawaku harus lebih berhati-hati karena dulu pernah terjadi di malam-malam hari ketika Ayah menjemputku yang baru saja pulang dari pemotretan, hujan sangat deras. Ayah rela hujan-hujanan karena kami hanya membawa satu jas hujan saja dan aku yang memakainya. Tepat di hadapan kami, di depan kedua mata kami, orang-orang yang berkendara menggunakan motor matic itu terjatuh, tersungkur ke jalanan secara bersamaan. Seperti ada yang menghentikan dan melindungi aku beserta Ayah, kami terhindar dari kecelakaan tersebut.

'Grenggg!'

"Astagfirullah," ucapku sambil ngerem mendadak, tersadar dari lamunan panjang sambil mencari tempat parkir yang biasa kutempati. Namun dengan seenak jidatnya, seorang cowok tiba-tiba menempati posisi tersebut dan menyalipku dari belakang dengan suara motornya yang sok keras. Aku melotot, segera ku parkir sembarangan dulu dan turun menghampiri cowok itu.

"Hei!" Aku berkacak pinggang sambil memanggilnya agar menoleh ke arahku.

Dia baru saja turun dari motor sport-nya sambil melepaskan helm full face miliknya. Dia menatapku dengan setengah alis terangkat. Menungguku mengatakan sesuatu karena ketika dia ingin lewat, aku sudah menghalangi jalannya.

"Siapa kamu? Kenapa menghalangi jalanku?" Dia bertanya tanpa ekspresi dan menatapku dalam.

Tangan kananku terangkat, lalu menuding motornya. "Itu tempatku. bisakah kamu minggir?" ucapku dengan ekspresi serius.

Dia menoleh ke arah motornya sebelum kembali menatap ke arahku sambil terkekeh pelan. "Ini tempat umum. Jadi terserah aku mau taruh di mana, kan?" sahutnya dengan nada menyebalkan dan sorot mata yang menatapku tajam.

"Tapi aku sering menar-"

'Tin... Tin....'

Suara bel yang cukup keras telah memotong ucapanku dan membuat perhatianku berpindah ke belakang, sialnya cowok yang tadi berdebat denganku langsung mengambil kesempatan untuk kabur.

"Hei! Yak!" Aku meneriakinya, dia berjalan cepat menulikan telinga, sama sekali tidak menoleh ke belakang lagi.

"Aish, menyebalkan!" Aku menggerutu, seseorang yang dari tadi menekan bel, membuatku menatapnya kesal dan segera mengambil motorku. "Gara-gara kamu dia pergi, kan!" ucapku kesal pada Dimas, kekasih Helen.

"Lah kok aku? Kamu parkir sembarangan, Za. Kan aku juga mau parkir ini sebelum bel bunyi dan telat masuk kelas."

Karena tidak bisa menyingkirkan motor cowok tadi yang menempati milikku, maka aku mencari lahan kosong lain untuk parkir.

"Mukamu bete amat?" Dimas berceletuk saat ia memarkirkan motornya juga di sampingku. "Tadi kamu habis debat sama anak baru itu, ya?"

Mendengar informasi dari Dimas yang baru aku tahu, menarik perhatianku untuk menyahut. "Anak baru?"

"Iya anak baru yang waktu itu ke kantin dan Helen sempat nunjukkin ke kamu kan pas itu, cuma kamu kayaknya yang nggak nyimak kehadirannya waktu itu."

Aku manggut-manggut paham. "Oh, jadi dia yang dimaksud Helen sama Clarissa?" sahutku yang baru saja selesai memarkirkan motor.

"Yup, benar."

Usai menjawab pertanyaanku, Dimas pamit duluan ke kelas. Dia bilang Helen sudah masuk kelas karena tadi dia minta turun depan gerbang dan jalan barengan sama Clarissa. Sementara aku masih setengah kesal sambil menatap ke arah motor anak baru itu.

"Percuma ganteng nggak bisa ngehargain orang buat apa cuy? Aku udah punya Kak Ardhan!" ucapku sebelum pergi meninggalkan parkiran.

Sudah bisa kutebak, di kelas anak-anak sedang heboh dengan acara ulang tahun Chaca. Biasa kalau orang kaya pasti tidak akan berpikir panjang untuk membuat pesta meriah, tidak seperti aku. Boro-boro banyak yang ngucapin karena aku juga anak baru, jadi nggak seberapa terkenal di sini. Paling-paling aku lebih terkenal kalau di luar, di Jember tempat tinggal lamaku, atau paling nggak yang suka sama konten foto endorse yang sudah cukup banyak kuambil.

"Kenapa kamu?" celetuk Helen yang menyadari betapa kesalnya aku saat ini dari sisi ekspresi.

"Nggak apa-apa," sahutku sambil mengedikkan bahu acuh, malas saja jika harus cerita yang tadi.

"Yang bener?" Clarissa menambahkan sambil menatapku dengan alis yang dinaik turunkan.

"Nanti pergi jam berapa? Siap-siapnya jam berapa?" tanyaku yang berusaha mengalihkan perhatian mereka. Aku sedang malas saja harus menceritakan kejadian di parkiran tadi.

Helen dan Clarissa saling pandang sebelum mereka memberikan jawabannya kepadaku. "Acara pestanya jam enam sore, jadi kita harus udah dandan dan siap-siap paling nggak jam empat, kumpulnya di rumah kamu aja ya Za?"

"Boleh."

"Sekalian make up kita dong, Za." Helen menambahkan dengan setengah berbisik.

"Iya Za, seni dari tanganmu bagus banget hasilnya." Clarissa ikut-ikutan, ia menunjukkan cengirannya.

Mau tak mau aku mengangguki keinginan mereka. Hal ini sudah biasa, karena mereka pasti akan meminta bantuanku untuk merias wajah mereka. Katanya hasil riasanku dengan riasan mereka sendiri berbeda, aku lebih suka look make up yang tipis, natural tapi lebih fresh saat di lihat. Di semua pemotretanku yang membuat hasilnya lebih Indah sebenarnya adalah bentuk alis serta warna lipstik di bibirku. Aku bisa membuat bentuk alis yang indah, lalu yang lainnya mengikuti. Aku juga suka warna-warna lipstik yang fresh, ada banyak koleksinya, selalu menyesuaikan saat akan berpergian.

"Okay, bayarannya apaan nih?" seruku dengan cengiran juga.

"Nanti istirahat traktir di kantin deh!" sahut Clarissa yang dianggukki oleh Helen sebelum perhatianku tersita pada notifikasi ponsel, di mana Kak Ardhan mengirimiku pesan.

Kak Ardhan : Semangat pagi sayang, semangat sekolahnya ya, semoga ilmunya bermanfaat.

Aku berhasil tersenyum setiap pagi setelah membaca pesannya. Sebelum guru datang, buru-buru aku membalasnya. Tetapi dua temanku telah mengintip lebih cepat ke ponselku sebelum aku menyingkirkannya.

"Wah, Moza nggak jujur nih sama kita."

"Nggak cerita nih Moza sama kita!"

Seruan dari kedua sahabatku, membuatku tersadar dan sudah terlambat rasanya kalau aku menyembunyikannya dari mereka.

"Siapa itu Za? Kak Ardhan siapa? Kok udah manggil sayang, sayang sih? Kok kamu enggak cerita, Za?" Helen menatapku dengan mata memincing penasaran, ia terus menodongku berbagai pertanyaan sampai aku angkat bicara.

"Aku bakalan cerita ya, guru kita udah datang nih. Jangan ribut dulu, okay?" ucapku seraya menenangkan mereka berdua yang mau tak mau hanya bisa mengembuskan napas pasrah.

Ponselku segera kusimpan ke dalam tas, lalu mengeluarkan mata pelajaran pertama. Hari ini ada praktek ke lab, jadi untuk jam pertama aku bersama anak-anak yang lain langsung pergi meninggalkan kelas.

Sialnya di koridor saat aku berjalan bersama kedua temanku menuju ke lab, ada seseorang yang tak ingin kulihat. Orang itu berjalan berlawanan dengan kami. Lihat saja kedua temanku langsung mengubah mimik wajah mereka, sementara aku sudah memasang muka tebal dengan tampang judes.

"Itu tadi anak baru kelas sebelas yang tampan, Za!"

Tuh kan, benar dugaanku. Belum-belum kedua temanku sudah terpesona saja dengan cowok sok cool itu.

"Jangan lihat dari tampangnya aja, belum tentu cowok kayak gitu cowok baik-baik." Aku berkata dengan ketus, menunjukkan dengan jelas kalau aku tidak menyukainya.