POV Ardhan
"Ar, dicariin Chaca, tuh."
Aku yang baru saja duduk sudah dihampiri oleh Jordi. Dan dia bilang apa? Chaca? Gadis itu ada perlu apa lagi denganku? Kenapa harus sepagi ini ke sini?
"Loh bukannya dia sekolah?" celetuk Ardhan sebelum ia beranjak dari duduknya.
"Nggak tahu juga aku, Ar. Samperin aja deh mending. Dia lagi ngobrol sama Bapak tuh."
Mata berputar malas, dia pintar sekali cari muka di depan orang tuaku. Terpaksa aku harus menyelesaikannya. Sebelum dia mengatakan hal-hal tak terduga kepada Bapak dan membuatku kesal.
"Ardhan, sini Nak. Ada Nak Chaca ini mau ketemu kamu katanya, udah lama nggak main sini makin cantik aja ya Nak Chaca?" seru Bapak dengan memuji-muji Chaca, sementara aku tidak suka dan hanya diam saja menghampiri mereka berdua. Menggantikan tempat duduk Bapak karena beliau akan kembali ke dapur.
Begitu Bapak pergi dan kupastikan ia tak akan mendengar obrolan aku dengan Chaca, baru aku mulai membuka suara. Sementara Chaca terlihat melemparkan senyuman misteriusnya.
"Ngapain ke sini? Nggak sekolah?"
"Ciee perhatian nanyain aku sekolah nih?" sungut Chaca seraya memainkan jemarinya, membuatku kesal karena ia tampak ingin main-main denganku.
"Udah deh jangan banyak basa-basi, Cha. Biar cepat kelar nih, aku banyak kerjaan."
"Banyak kerjaan tapi bisa nganterin sekolah kakak kelasku nih." Chaca kembali melontarkan pernyataan yang membuatku menautkan alis heran, pasalnya bagaimana ia bisa tahu? Bahkan dia mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu pandangannya terlihat mengintimidasiku. "Kamu sama cewek itu ada hubungan apa?"
"Bukan urusanmu. Pergilah, harusnya kamu nggak bolos sekolah dan malah ke sini mengurusi hidupku." Aku hendak beranjak dari sana karena malas meladeni Chaca, tetapi ia tiba-tiba menghentikan pergerakanku saat bibirnya berkata lagi.
"Padahal aku mau kasih bayaran ini loh buat kamu, yakin nggak mau nerima?"
Spontan aku berhenti dan melihat ke arahnya dengan serius, mau kuambil amplopnya karena itu sudah menjadi hakku dan anak-anak seharusnya. Tapi tiba-tiba ia sudah menjauhkan dari jangkauanku. "Eits, ada syaratnya. Jawab dulu pertanyaan aku tadi," tukas Chaca tampak suka menggodaku dan membuatku jengah.
Aku sebenarnya ingin menjawabnya, tapi aku takut dia akan mengganggu Moza. Sehingga aku memilih untuk mengibaskan tangan dan bermaksud mengusirnya secara terang-terangan. "Terserah kamu deh Cha, bawa pulang aja duitnya."
"Yakin? Teman kamu gimana masa nggak kamu bayar mereka?" tukas Chaca lagi yang masih mencoba untuk menggodaku.
"Aku punya uang, bisa aku bayar pakai uangku sendiri." Aku berkata dengan sangat tenang, padahal aslinya aku juga tidak tahu dapat dari mana mau bayar mereka.
"Oh, ya udah kalau gitu. Aku pamit pulang deh," sungut Chaca seraya memasukkan kembali amplop tersebut ke dalam tasnya dan tersenyum lebar. Ada kepuasan di wajahnya, dia benar-benar sangat menyebalkan dan tidak tahu diri sekali jika benar-benar pulang dan tak meninggalkan hakku bersama anak-anak lainnya. Padahal aku dipaksa untuk mengisi live music di pestanya.
"Cha, tolong jangan datang lagi dan jangan pernah mengganggu Moza."
Chaca pun menoleh sekilas, senyuman tipisnya terbit. "Okay, kalau datang kepadamu sih nggak janji ya. Tapi kalau Moza aku emang nggak pernah ganggu dia kok."
"Jangan sok akrab sama aku dan keluargaku Cha, aku tahu meski pernah ngerepotin keluarga kamu, tapi aku nggak suka kamu berbicara akrab sama bapakku," jelasku dengan nada bersungguh-sungguh, aku ingin dia dapat mengerti dan memahaminya.
Chaca rupanya bukan orang yang seperti itu, dia tidak akan menyerah begitu saja dan membuatku kesal karena lagi-lagi dia akan mencari cara yang tidak pernah aku duga.
"Kalau itu mau kamu. Ya udah, kamu tetap nggak ada hak melarang pengunjung sepertiku datang ke sini. Bye!"
Dasar sialan, membuatku makin kesal saja dia. Alhasil, aku kembali duduk dan menenangkan diriku sendiri terlebih dahulu. "Sabar, sabar Ar," gumamku mengingatkan diri sendiri.
"Dia ngapain teriak-teriak? Kalian berantem?" Jordi mengagetkanku lagi karena muncul sambil bertanya.
"Sakit jiwa itu anak nyebelin banget," gerutuku seraya geleng-geleng kepala heran sambil mengelus dada.
"Tapi makin cakep aja ya, Ar?" celetuk Jordi lagi dengan nada menggodaku.
Aku menggeleng cepat. "Nggak tertarik."
"Kamu pasti mudah mendekati dia Ar, secara bokapnya kan temen bokapmu, Ar."
"Nggak gitu juga konsepnya, udah ah balik kerja cek yang belum siap apa aja," tuturku seraya merangkul bahu Jordi dan kami perjalan menuju ke stand.
***
Hari ini jadwalnya manggung sama anak-anak, aku jadi tidak enak karena Chaca tak membayar kami. Sementara aku juga lagi krisis uang karena tak mau juga mengotak-atik dagangan. Kalau pun nanti dapat bayaran harian dari jadi sound sistem live music ini sekalian manggung sama anak-anak, mungkin akan kukasihkan ke anak-anak terlebih dahulu.
"Nanti mau nyanyiin apa aja nih? Semoga ngamen hari ini dapat cuan banyak," celetuk Brian yang sudah meraih gitarnya saat aku datang sambil menata sound-nya.
"Kayak biasa brouh!" Aku menyahut sambil tersenyum lebar.
"Ini duit dari Chaca tumben dititipkan ke aku Ar? Dia enggak nemuin kamu atau langsung transfer gitu ya biasanya?" ucap Riko yang bertubuh besar dan dia adalah gitaris kedua kami.
"Hah?" Aku berhenti melakukan aktivitas setelah mendengar ucapan Riko dan mengernyit heran. "Dia transfer ke kamu atau nyamperin kamu?" tanyaku pada Riko setelah mengubah raut wajah dari bingung menjadi datar kembali.
"Transfer sih trus aku di chat katanya nitip buat anak-anak, thanks udah jadi pengisi acara meski kamu kabur malam itu," tutur Riko sambil menunjukkan bukti transfernya agar aku dapat melihat nominal uangnya.
"Dua juta?" celetukku seraya memandang ke arah Riko.
"Yup, aku transferin ke rekening kalian lima ratus ribuan ya kalau dibagi orang empat ini lumayan banget bray!" tukas Riko yang langsung melakukan transaksi kepada kami berempat.
Sungguh aku masih tidak mengerti dengan maksud Chaca, dia bilang tak mau memberikan bayaran kepadaku jika aku tidak menjawab pertanyaannya tersebut, tapi kenapa dia memberikannya kepada Riko?
"Ar, serius nanya yang waktu itu kenapa kamu nolongin cewek di tempat ultahnya Chaca?" David yang sejak tadi diam saja tiba-tiba menanyakan hal serandom itu karena ia sedang penasaran.
"Kalian nggak lihat cewek itu dipermalukan sama Chaca? Dia tadi ke sini dan mau ngasih bayarannya tapi diambil lagi, aneh banget karena aku marah-marah ke dia tentang kejadian malam itu."
"Tapi kamu kenal dia emang?" sahut Brian yang ikutan nimbrung obrolanku bersama David.
Sejenak aku terdiam, apakah aku akan memberitahu mereka tentang Moza bahwa dia adalah kekasihku?
"Enggak. Baru kenalan waktu itu, sebrengsek-brengseknya aku kalau lihat cewek digituin ya pasti aku tolongin lah."