Mobil kami sudah berada di dalam area mansion Chaca yang sangat mewah seperti istana. Ada banyak mobil-mobil mewah lainnya yang sudah terparkir, begitu juga dengan motor-motor sport. Semua temanku memang kaya-kaya, tidak seperti aku yang sederhana saja. Di rumah ini Chaca pantas saja mengundang satu sekolahan walaupun tidak yakin semuanya dapat hadir dikarenakan pasti ada yang tidak sekaya mereka untuk menghadiri pesta yang menghabiskan banyak uang dengan membeli dress code bertema topeng.
"Kita pakai topengnya, kita keluar sekarang juga. Itu Dimas sama Adit juga udah parkir," sungut Helen usai menghentikan mesin mobilnya dan kini waktunya untuk keluar dari sana menuju ke dalam rumah mewahnya.
"Jangan pada ninggalin aku loh nanti. Kita kalau mau gabung sama Dimas Adit ya nggak apa tetap berlima tapi jangan pada pacaran biar fokus dan nggak kepencar karena kita pada pakai topeng kan," seruku memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum menjadi masalah.
"Iya siap, kamu juga jangan asal pergi aja nanti." Clarissa menambahkan, lalu kami pun keluar dari mobil satu persatu dan berjalan menghampiri dua pria yang telah menunggu kami untuk masuk bersamaan ke dalam rumah Chaca.
Pintunya yang terbuka lebar membawa kami berlima bisa masuk secara bersamaan, bahkan yang lebih mengherankan sampai digelar red carpet segala. Tentu saja jantungku berdebar sangat kencang karena ini pertama datang ke pesta orang kaya yang mewah sambil membawa kado mahal, begitu menyentuh area ruangan besar dan luas yang telah diisi oleh para tamu undangan, semua pasang mata anehnya menatap ke arah kami.
"Kenapa kita jadi berjajar enam, ya? Di sebelahmu siapa?"
"Hah?" Aku menoleh ke arah Helen yang berbisik di sampingku, awalnya aku tidak paham apa yang ia maksud dan begitu kualihkan pandangan di sebelahku ada orang asing yang berjalan dengan gagah dan stelan jas mewahnya yang menjadikan penampilan cowok itu jadi maskulin seperti seorang CEO.
Entah dia sadar sudah berjalan di sebelahku, cowok itu menatapku. Aku tidak dapat mengenali wajahnya karena topeng yang ia pakai. Namun dari bentuk bibirnya saja sudah bisa dipastikan wajah tampannya ini yang bisa menjadi perhatian semua orang. Usai menatapku beberapa detik, dia langsung berjalan ke arah lain. Aku juga mengikuti teman-temanku karena kami akan menghampiri yang berulang tahun untuk menyerahkan hadiah.
"Aku tidak tahu dia siapa tapi kenapa aku baru sadar kalau dia berjalan di sampingku?" Aku bertanya pada Helen.
"Kayak Leo deh."
"Nggak mungkin ahh," sahutku pelan sambil menggelengkan kepala.
"Tapi benar Helen. Kayak Leo Za dari punggungnya, tinggi sama bibir dia emang agak oranye seksi gitu bentuknya," sungut Clarissa membantu imajinasi Helen menjadi kenyataan.
Mendengarnya saja aku hanya bisa geleng-geleng kepala karena di sebelah mereka sudah ada pacar masing-masing pun masih bisa menerjemahkan imajinasi liar cowok lain. "Udah dong, kasihan Dimas sama Adit tuh yang lebih cakep masa malah perhatian ke cowok lain sampai hafal gitu."
"Nggak gitu Za, aku ngerasa ada yang aneh." Helen berbisik pelan sebelum mereka menghentikan percakapan tersebut karena mereka berlima sudah tiba di hadapan Tuan Putri Chaca yang sedang berulang tahun.
"Hai, selamat datang. Kalian siapa nih pada cakep-cakep semua." Chaca sendiri sampai tidak mengenali kami berlima. Kado pun diberikan kepada Chaca, sambil mengucapkan 'happya birthday, Cha.'
"Ini pesta topeng. Kamu bilang dimeriahkan dengan sangat misterius. Jadi kamu bisa mengetahui siapa kita dari hadiah yang kita berikan," kataku sebagai perwakilan ketika Helen memberikan kode dengan menowel lenganku.
"Ah, aku tahu dari suaramu. Terima kasih banyak Moza sudah datang. Terima kasih juga untuk kadonya. Silakan menikmati pestaku, kamu akan mendapatkan banyak kejutan di sini."
Deg.
Aku tidak menyangka dia bisa mengenaliku lewat suaraku. Dia menghafalnya. Lantas aku menganggukkan kepala singkat dan mundur beberapa langkah sebelum turun dari atas panggung bersama teman-temanku.
"Dia mengenaliku." Kami pun segera berjalan menjauh dari sana dan mencari tempat nyaman untuk duduk-duduk.
"Bagaimana bisa dia tahu? Awalnya aku pikir penampilan kita menyamarkan kita."
"Suaraku. Aku tidak bisa mengelabuhi dengan suara yang berbeda." Aku menjawab pertanyaan Clarissa.
"Tapi kalau aku juga bakal di hafal pasti." Helen berdesis pelan.
"Ya udah nggak apa-apa tadi harusnya para cowok aja yang ngomong ya." Clarissa mengembuskan napas pelan.
"Kalau kamu mau Adit kan mantannya," sahut Helen seraya memutar bola mata malas.
"Jangan dong, maksud aku Dimas. Lagian Dimas juga nggak bakalan mau kan sama dia."
"Dih, tetap nggak rela kan kita kalau cowok kita dekatin dia meski cuma ngomong gitu doang, Cla."
"Udah dong kok malah ribut, udah kejadian juga sekarang mending kita makan di sini aja." Aku mengajak mereka ke salah satu meja kosong yang ada banyak makanan karena setiap sisi memang terdapat meja dengan banyak varian makanan. Aku melihat ada pudding pandan, cokelat, taro dan semua adalah kesukaanku jadi langsung kuambil saja.
"Perlu foto nggak kita?" seru Helen.
"Boleh lah, ayo kita foto bertiga, sendiri dan yang bawa pasangan bisa berdua kan, Za?" celetuk Clarissa.
"Ya terserah kalian, aku fotoin sendiri aja," ucapku sambil manggut-manggut sementara acara ternyata akan segera di mulai.
Pertama-tama acara akan dimeriahkan dengan live music. Chaca mendatangkan salah satu penyanyi dan dia tidak menyebutkan namanya. Aku tertarik untuk memperhatikannya, Chaca duduk di kursi khusus yang di desain seperti sofa kerajaan gitu. Sementara si penyanyi pria yang kira-kira tingginya 165 cm, mulai mengatur alat musiknya dan dia tidak sendiri ada dua gitaris, dan satu yang memegang keyboard mulai menempatkan posisi masing-masing.
Lagu yang dinyanyikannya adalah lagu Denny Caknan. Tentu saja semua personil band itu juga mengenakan topeng dengan dress code kemeja hitam lengan panjang semua.
"Tembangan sepeleku, tondo seneng marangmu. Karna ku terpuruk sendiri dalam hampa. Dan kau datang merubah cerita."
Begitulah yang ku dengar suaranya merdu dan dia bernyanyi sambil menikmati musiknya. Tangannya juga ikut bergerak mengikuti irama lagu.
"Ini pesta kayak tema barat-barat gitu ya, tapi dia kok ngundang penyanyinya malah nyuguhin lagu dangdut sih?"
"Lagu Jawa ini, Cla." Aku membalas pertanyaan Clarissa. "Nggak apa-apa kali mungkin tetap nggak mau menghilangkan khas musik Jawa karena kita nggak tinggal di luar negeri dan para tamunya juga orang Jawa semua, kan?" tuturku yang mendapatkan acungan jempol dari Helen.
"Nggak apa ini enak suaranya bisa mirip-mirip Denny Caknan juga dia. Anggap aja kita nonton konsernya, hahaha." Helen ikut nimbrun setelah ia selesai berfoto-foto dengan Dimas.
Beberapa lagu Jawa disuguhkan sampai tiba waktunya menyanyikan happy birthday dan meniup lilinnya ketika seluruh undangan sudah banyak yang datang. Walaupun ramai tetap saja tidak sampai berdesakan yang menandakan rumah ini sangat luas.
"Oh iya, aku mau kenalin seseorang yang sangat spesial karena udah mau datang ke acaraku ini. Silakan naik ke atas panggung boy," seru Chaca seraya menyuruh seseorang untuk bergabung di atas panggung.
"Dia bukannya Leo? Yang jalan di sampingmu, Za."
"Bukan kali." Aku tidak percaya kalau itu Leo, memangnya mereka akrab? Di sekolah kupikir tidak begitu akrab, karena yang kutahu Leo anak baru tapi aku juga tidak terlalu memperdulikan mereka, jadi tahu dari mana aku? Ah, kenapa memusingkan Leo?
"Za!" panggil Helen seraya menyenggol lenganku.
"Apa?"
"Kamu dengar nggak tadi Chaca ngomong apa?" tanya Helen.
"Enggak. Emang apa?" Aku menggeleng, karena aku memikirkan sesuatu jadi walaupun aku dengar, tetap saja aku tidak menangkap apa yang diucapkannya.
"Beneran Leo pacaran sama Chaca!" bisik Helen dan Clarissa yang mendekat ke arahku.
"Ya bagus dong. Mereka kan satu angkatan dan aku juga nggak suka Leo karena aku udah punya Kak Ardhan." Lalu kami memutuskan untuk diam saat Chaca mengatakan akan membuka salah satu kado yang ia pilih secara random karena ingin memberikan kejutan pada para undangannya untuk bergabung ke atas panggung.
Hal ini membuat kami degdegkan. Bayangkan saja kalau itu salah satu dari kami. Tidak ingin berurusan dengan Chaca, kami tidak pernah percaya Chaca akan memberikan hadiah kepada kami jika itu kami yang terpilih. Keterdiaman kami bertiga, menandakan kami sedang berdoa masing-masing.
"Wow! Ini adalah kado yang sangat aku sukai!" Chaca menjerit, membawaku terbang karena dari sini dapat ku lihat kado siapa yang ia pamerkan.
"Tolong kepada pemilik kado ini untuk naik ke atas panggung. Karena aku ingin memberikan gift spesial dari pesta ulang tahunku untuk kamu."
"Itu punyamu, kan?" celetuk Helen dan Clarissa seraya menatap ke arahku dengan serempak walaupun berusaha mengecilkan suaranya.
"Iya. Haruskah aku naik ke sana?"