Chereads / Rumah Singgah / Chapter 18 - Kamu Tidak Sendirian

Chapter 18 - Kamu Tidak Sendirian

Tidak ada cinta yang sempurna selain cinta yang datang untuk saling menguatkan. Seperti kata-katanya yang teramat bijak. Aku merasakan debaran jantungku terlalu cepat dan membuatku dapat mendengarnya. Dia seperti aliran listrik yang memberikan tegangan sangat kuat.

"Za? Kenapa bengong?" tanya Ardhan seraya melambaikan tangannya di depan wajahku.

Segera aku mengerjapkan kedua bola mata sambil menunjukkan sebuah cengiran untuk mencairkan suasana gugup dalam diriku.

"Makasih ya Kak, aku nggak tahu kalau kamu nggak narik aku buat pergi dari sana mungkin saja aku sudah semakin dipermalukan," kataku terdengar frustasi sambil menundukkan wajah dalam-dalam.

"Za, kamu orang baik, sekarang kamu juga pacar aku. Jadi kalau kamu ada apa-apa selagi aku ada di dekatmu, tentu saja aku tidak akan tinggal diam. Aku akan melindungimu, kecuali saat kita jauh aku hanya bisa mendoakanmu semoga kamu selalu dalam lindungannya," tutur Ardhan yang benar-benar bisa menenangkanku. Tidak tahu apakah besok aku bisa pergi ke sekolah dan menghadapi semua orang yang akan memandangku berbeda-beda. Bahkan ketika mereka akan melontarkan kata-kata menyebalkan yang dapat tertangkap telingaku, aku yakin pasti di sana titik terberatku dalam menghadapi hari esok.

"Makasih Kak, sekali lagi makasih." Aku menghadap ke arah Kak Ardhan sambil menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia yang tahu aku akan menangis atau sedang menahan tangis, ditariklah tubuhku dan masuk ke dalam pelukannya yang hangat.

Jadi ini rasanya enggak sendirian dan punya pasangan? Lega karena ada yang mendengarkanmu saat berbicara, lega karena ada yang menawarkan pelukan saat tubuhmu merasa lelah dan rapuh.

"Aku yang harusnya bilang makasih karena kamu nggak marah sama aku. Bahkan aku sudah menjadi beban untuk kamu pasti, aku belum bisa membahagiakan kamu. Aku harap kamu bisa sabar menghadapi aku sayang, sabar menemani aku dalam kondisi apa pun."

Kedekatan ini dan ucapannya yang begitu dalam seakan membangunkanku. Dengan penuh antusias, kepalaku terangguk-angguk. "Aku nggak bisa marah sama kamu. Jangan bilang kamu beban buat aku okay? Apa pun yang lagi terjadi sama kamu, dalam masa apa pun selama kita masih bisa sama-sama, kita harus saling bantu. Aku udah menyayangimu Kak, aku nggak mau kehilangan kamu." Walaupun terdengar lebay, aku tetap akan mengatakannya, aku tidak bisa menahannya atau memendamnya jika ini perkara perasaanku kepada orang yang aku sayangi. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu dan kesempatan itu.

Ardhan balas memelukku sekali lagi. Malam itu tidak ada kesedihan untuk diriku karena sosok Ardhan yang sudah menghapus semua kesedihanku. Kami banyak menghabiskan dengan bercerita. Aku mendengarkan cerita Ardhan tentang keluarganya, usahanya yang ada di Hollywood dan aku belum pernah ke sana sama sekali. Rasanya aku ingin merencanakan pertemuan kami di sana, namun takdir membawa kami bertemu di tempat lain. Walaupun begitu, aku tidak menyesali pertemuan kami malam ini. Karena dapat melihat wajahnya dari dekat, aku bisa merekam jelas sosok seperti apa dia.

***

"Sampai sini saja sayang?" tanya Ardhan ketika aku ingin di turunkan depan gang karena aku melihat ada mobil teman-temanku yang tampak menungguku.

"Iya sayang, maaf banget bukannya nggak mau bawa kamu sampai ke rumah tapi kalau kamu mau ngikutin aku bisa ikutin dari belakang. Itu mobil temanku dan itu yang pakai motor juga pacarnya temanku. Karena dari awal aku berangkat barengan sama mereka jadi kalau bisa aku balik ke rumah sama mereka karena kalau bareng kamu nanti papaku bisa marah dikira aku bohong dan kelayapan sama cowok gitu," tuturku menjelaskan padanya panjang lebar dan tak mau ia menjadi salah paham.

Menunggu respons dia membuatku cemas, aku takut dia tidak dapat mengerti dan memahamiku.

"Baiklah, kamu hati-hati ya sayang. Aku percayakan kamu dengan teman-temanmu. Sampai rumah langsung istirahat. Aku akan mengabarimu juga kalau sudah sampai rumah." Ardhan mengusap bahuku dan ia juga mengacak pelan puncak kepalaku.

Berarti tandanya dia melepaskanku. Dia membiarkanku bersama teman-temanku sementara ia akan pamit pulang. Aku hanya bisa menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar ke arahnya. Kuraih tangan kanannya dan mencium punggung tangannya. "Terima kasih, sayang."

Kami berpisah, aku segera naik ke dalam mobil setelah melambaikan tangan ke arahnya. Melihat ia mulai pergi menjauh bersama si kuning miliknya, aku hanya bisa mengembuskan napas panjang.

"Jadi dia yang sudah menaklukkan hatimu, Za?" tanya Clarissa yang dari tadi tampak memperhatikan interaksiku bersama Ardhan.

Mobil langsung dilajukan oleh Helen yang sedang menyetir untuk kita. Sementara aku menganggukkan kepala sebagai respons jawaban dari pertanyaan Clarissa.

"Dia juga yang narik kamu turun tadi sampai kita nyariin nggak ketemu kalian sembunyi di mana dah?" celetuk Helen tepat setelah ia berhenti di depan rumahku.

"Besok aku lanjut ceritanya okay? Sekarang kalian pulang deh, aku mau istirahat dan terima kasih sudah mengkhawatirkan aku," kataku pada mereka bertiga dengan menghadiahi senyuman tulusku. Lantas kubuka pintu mobil, mereka hanya bisa mengangguk pasrah karena melihat wajahku tampak sudah lelah. Syukurlah mereka bisa mengerti dan tak memaksaku bercerita malam ini juga.

Ada Dimas bersama Adit yang masih berada di belakang mobil ini. Kulambaikan tangan pada mereka dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengantar. Begitu mobil dan motor mereka pergi meninggalkan rumahku, maka aku segera masuk ke dalam rumah. Seperti dugaanku, Ayah tidak tidur dan menungguku di ruang tengah. Dia tersenyum dan menghampiriku.

"Maaf pulangnya agak malam, Yah."

Ayah mengangguk pelan sambil mengusap kepalaku sebelum ia menutup pintu rumah dan menyuruhku untuk masuk ke dalam kamar. Beliau selalu mengkhawatirkan anaknya, maka dari itu aku selalu ditunggu dan diawasi jika pulang larut seperti ini. Kalau saja tadi bersama Kak Ardhan di antarkan sampai depan dan tidak ada mereka, tentu Ayah akan bertanya-tanya karena aku berangkatnya bersama Helen dan juga Clarissa.

Di dalam kamar, aku tidak langsung melepaskan gaunku. Kasur menjadi sandaran ternyaman untuk pikiranku saat ini yang dipenuhi oleh insiden di pesta Chaca. Aku tidak mau membuka ponsel, rasanya benda itu ingin kujauhkan karena sudah pasti aku akan melihat banyak hal yang menyakitkan mataku.

Bunyi telepon membangunkanku dari lamunan. Awalnya kupikir Kak Ardhan yang mengabari bahwa ia sudah tiba di rumah, karena aku tidak memegang ponsel dan tidak melihat chat siapa saja di sana, sehingga dia akan meneleponku. Ternyata bukan, tak ada notifikasi dari Kak Ardhan. Justru aku cukup terkejut saat Kak Anthi muncul di notifikasi teleponku. Segera saja aku angkat panggilan darinya.

"Moza kamu lama sekali angkat telepon? Habis dari mana kamu? Apakah ada yang memusuhimu, Za? Aku dapat laporan dari Mbak Adinda katanya kamu sampai viral di Tiktok dan sepertinya ada yang ingin menjatuhkan kariermu."

Aku terkejut mendengar celotehan Kak Anthi. Dia bisa sekhawatir itu padaku. "Aku baik-baik saja, Kak. Tidak ada masalah di sini."

"Jangan bohong! Aku akan bantu bersihin nama baik kamu."

"Kak, Chaca yang orang kaya itu bisa lakuin segalanya dan bikin fitnah soal aku. Nggak bisa aku ngubah pemikiran orang-orang, udah biarin aja aku juga nggak bisa bikin semua orang seneng dan suka sama aku. Karena hati aku cuma satu, buat Kak Ardhan."

"Dih, malah bucin ini anak! Aku serius! Nanti lihat saja, aku bantuin kamu, semua bakalan beres."

Sebenarnya tidak terkejut jika Kak Anthi seperti itu. Dia memang memiliki banyak channel dan bisa berbuat apa saja. Bahkan dia adalah lulusan hukum, walaupun pekerjaan dia sekarang tidak ada hubungannya dengan hukum. Aku hanya bisa pasrah dan menunggunya, entah apa yang akan dilakukan Kak Anthi. Semoga saja hari ini berjalan lambat agar aku tidak segera bertemu esok hari.