Chereads / Rumah Singgah / Chapter 19 - Tidak Perlu Takut

Chapter 19 - Tidak Perlu Takut

"Moza bangun, Nak. Waktunya sekolah ayo bangun," panggilan tersebut berasal dari Ayah, ia berusaha membangunkan aku yang terus memejamkan mata karena rasanya aku masih ingin ngebucinin kasur dari pada harus pergi ke sekolah dan bertemu orang-orang yang sedang menatapku berbeda serta memiliki pemikiran buruk tentang diriku.

"Uhm, apakah ini sudah waktunya mandi?" Aku berpura-pura menguap, padahal sudah dari tadi bangun, hanya saja aku masih bersembunyi di balik selimut.

Tetapi Ayah benar-benar tak membiarkan aku membolos. Dengan malas aku bangkit dari kasur, pada akhirnya aku siap-siap pergi ke sekolah juga. "Udah mepet jamnya, ini bekal buat kamu makan, kalau bisa sampai sekolah langsung sarapan dulu pakai sandwich itu biar pelajaran bisa fokus nggak nahan laper," tutur Ayah yang begitu perhatian kepadaku.

Kulihat di rumah sudah sepi dan tidak ada suara pertengkaran adik-adikku. Tandanya mereka sudah berangkat sekolah. Alhasil aku segera pamit, kuambil kunci motor di meja nakas dan berpamitan terlebih dahulu kepada Ayah. Aku bahkan asal memasukkan ponsel ke dalam tas setelah kulihat baterainya penuh. Tidak sempat melihat notifikasi chat terlebih dahulu.

Betapa terkejutnya saat di depan gapura aku menemukan sosok Kak Ardhan. Dia melambaikan tangan ke arahku, membuatku menepikan sejenak motor ini dan melepaskan helm untuk dapat melihatnya. "Sayang kok di sini pagi-pagi?" celetukku dengan setengah alis yang terangkat heran.

"Pagi sayangku," sapa Kak Ardhan yang mengabaikan pertanyaanku tadi, ia turun dari motornya dan mendekati motorku. "Syukurlah kalau kamu baik-baik aja dan sekolah," ucap Kak Ardhan seraya mengusap bahuku.

Aku yang masih keheranan, menatapnya bingung.

"Ini udah mau telat kalau nggak keburu ke sekolah. Ayo buruan pergi, aku kawal dari belakang, ya?"

"Hah?" Aku malah melongo, Kak Ardhan sudah kembali saja ke motornya dan mengenakan helm. Sementara aku masih mematung, baru ketika Kak Ardhan menyalakan mesin motornya sambil menatap ke arahku, segera aku sadar dan lekas mengenakan helmku juga.

"Jalan buruan, Moza." Kak Ardhan berteriak, membuatku segera menganggukkan kepala dan mulai melajukan motor dengan kecepatan sedang.

"Tapi jangan ngebut ya, biar selamat kamunya dan aku juga tetap bisa mastiin kamu sampai ke sekolah dengan selamat." Kak Ardhan sudah berada di dekatku, dia mengatakan hal tersebut dengan sedikit berteriak agar aku dapat mendengarnya.

Kepalaku tiba-tiba penuh dengan pertanyaan yang terjadi pagi ini. Kenapa ada Kak Ardhan di sini? Kenapa dia jadi cowok sosweet banget? Kenapa dia enggak bilang dulu kalau mau nganterin aku sekolah? Kan bisa semotor boncengan sama dia tanpa harus pisah gini.

"Kak Ardhan ke rumah gara-gara aku nggak bales pesannya, ya?" tanyaku saat kami harus berhenti di lampu merah.

Kak Ardhan menoleh ke arahku dengan senyum tipisnya. "Selain itu, takut kamu bolos sekolah."

"Kok bisa mikirnya gitu?" sungutku dan melihat lampu sudah berubah menjadi hijau, sehingga kami harus segera bergerak maju. Kak Ardhan tertinggal di belakangku, sambil memelankan laju motor aku terus memantau Kak Ardhan dari kaca spion juga sampai akhirnya ia kembali berada di sisiku.

"Jangan banyak ngobrol dulu ya sayang, ramai ini jalanan nanti kamu nggak fokus nyetir."

Dia benar juga sih, karena ini jam macetnya kota, jadi aku harus lebih cepat agar tidak terlambat datang ke sekolah. Alhasil, aku menuruti ucapan Kak Ardhan dan fokus untuk menyetir lebih baik. Sekitar lima belas menit tepat jam enam lebih dua puluh lima menit sebelum setengah tujuh dan gerbang sekolah di tutup, aku berhasil sampai sekolah tepat waktu. Kak Ardhan langsung pamit dengan melambaikan tangannya, diam-diam aku tersenyum senang karena merasa ditemani olehnya. Membawa hati dan perasaanku lega dan lebih baik. Menghilangkan kekhawatiran serta overthinking berlebihan jika aku masuk sekolah. Tanpa perlu takut terhadap tatapan orang-orang, aku memarkirkan motor seperti biasa, tiba-tiba dari arah belakang kedua bahuku ditepuk oleh seseorang. Hampir saja ingin kupukul, ternyata Helen dan Clarissa.

"Hei tumben amat mau telat ini," celetuk Helen.

"Kalian belum masuk kelas?" tanyaku heran. Karena tidak mungkin mereka datang dijam segini dan parkiran saja sudah penuh, aku tidak sempat parkir di tempatku biasanya karena sudah keduluan sama anak-anak lain sehingga mendapatkan yang paling belakang.

"Nungguin kamu, udah ayo buruan ke kelas sebelum ada guru masuk." Clarissa segera menarikku dan Helen. "Aku pikir kamu nggak sekolah, kenapa grup kita diabaikan sampai ada telepon puluhan kali itu nggak kamu respons juga bikin khawatir aja."

Aku terkekeh pelan mendengarkan kekhawatiran Clarissa. Di koridor sudah sepi karena anak-anak yang lain sudah masuk ke kelas mereka masing-masing. Aku merasa lega karena tidak akan ada anak-anak yang menatapku aneh dengan pemikiran buruk mereka yang mungkin bisa terjadi. Beberapa anak yang datang hampir terlambat juga sedang buru-buru masuk ke kelas.

Begitu kami bertiga sampai di kelas, guru masih belum datang. Semua anak memandang ke arahku, awalnya kelas gaduh ini mendadak sepi dengan kedatangan kami bertiga.

"Kenapa pada diem woy?!" teriak Helen dengan tingkahnya yang sedikit urakan jika sudah seperti ini pasti ada saja kelakuan gadis itu.

"Kalian hanya belum kenal saja ini Moza yang hebat, mandiri dan pandai mencari uang untuk keluarganya. Jadi, apa yang kalian lihat malam itu tidak seburuk yang kalian bayangkan."

"Moza cantik kok, bagaimana caranya bisa di endorse seperti itu, Za?" tanya salah satu gadis yang duduk di sebelah bangkunya Clarissa yang baru saja menjelaskan kepada penghuni kelas.

Aku tidak bisa berkata-kata, para sahabatku ternyata menemaniku dan membenarkan pemikiran orang-orang yang akan memandangku buruk. Padahal kami belum tahu apa yang mereka pikirkan tentangku setelah kejadian semalam.

"Iya benar, Moza cantik banget, body goals banget idaman para cowok."

Ternyata ada lagi gadis-gadis lain dan mereka saling bersahutan, bahkan ada para cowok teman sekelas Moza mulai tertarik menggoda Moza untuk berebut mendaftar sebagai pacarnya. Lalu datanglah guru mata pelajaran pertama yang langsung menenangkan penghuni kelas ini untuk tidak berisik. Pelajaran pertama di mulai, aku dapat tersenyum lebar dan tidak perlu takut lagi karena kenyataannya aku diterima sangat baik di kelas ini.

"Apa aku bilang, yang di sosmed itu pasti pendukung si Chaca dan dia ikut membencimu karena mereka menyukai Chaca. Tapi aku yakin, kamu jauh lebih baik dan jauh lebih banyak dicintai pasti," bisik Helen yang membuatku mengangguk setuju dan berucap terima kasih walaupun terdengar pelan karena kami masih dalam mode pelajaran.

"Tapi kamu masih hutang cerita soal cowokmu itu loh yang semalam. Trus aku lihat kamu dikawal siapa pas mau masuk kok ada yang dadah-dadah tadi?" tanya Helen lagi seraya menyalin tulisan yang ada di papan tulis.

"Kak Ardhan. Aku beruntung memilikinya."