Kamu mau tau jeleknya perempuan mandiri? Dia tidak akan pernah mempermasalahkan keuangan, namun sekali dia merasa tidak dihargai, dan hanya dimanfaatkan, dia akan meninggalkanmu. Mau seganteng atau sekaya apa pun seorang pria, maka tidak akan ada harganya di matanya. Jadi kalau kamu menemukan perempuan seperti ini, jangan pernah bermain dengannya, karena dia tidak akan menganggap laki-laki sebagai atm berjalan. Tapi menganggap laki-laki yang harus melengkapi kebahagiaannya.
- Moza.
***
Aku baru teringat setelah mau tidur. Harusnya tadi aku langsung izin untuk tidak bisa hadir dalam acara pemotretan besok karena harus datang ke pesta ulang tahun Chaca. Maka sebelum terlambat, aku segera mendial nomer telepon Cece yang tadi sempat bertukar nomer denganku. Kata Mbak Adinda, kalau ada apa-apa aku disuruh berkomunikasi dengan Cece.
Cukup lama menunggu sampai akhirnya sambungan teleponku terangkat juga oleh Cece.
"Selamat malam, Ce. Maaf sekali kalau saya mengganggu waktu anda."
"Malam juga Moza. Tidak apa-apa kebetulan aku belum tidur kok. Apakah ada hal yang ingin kamu tanyakan?" seru Cece yang terdengar sangat ramah dalam membalas ucapanku.
Spontan aku mengangguk, padahal Cece tidak bisa melihat ekspresiku. "Begini Ce, sebenarnya saya enggak enak kalau baru pertama kali udah minta izin aja. Tapi beneran lupa tadi mau ngomong dan baru keingat waktu dihubungi sama teman saya."
Cece bergumam pelan, respons singkat sebagai tanda bahwa ia masih mendengarkan penjelasanku. Aku tersenyum lebar. Lalu dengan lancar aku mengatakannya. "Untuk besok saja saya izin tidak bisa melakukan pemotretan terlebih dahulu. Karena kebetulan besok adalah hari ulang tahun teman saya. Jadi saya harus datang ke pestanya, apakah boleh? Dan apakah benar kalau saya menghubungi Cece langsung karena saya diberitahu dengan Mbak Adinda untuk menghubungi Cece jika ada keperluan apa-apa," tuturku dengan sangat hati-hati.
"Ah begitu rupanya, tidak apa-apa Moza. Hanya satu hari besok, ya? Lalu kamu akan kembali lagi di hari selanjutnya, kan?"
"Iya Ce betul."
"Baiklah, kamu sudah benar kok menghubungi saya langsung. Kalau begitu ada yang ingin disampaikan lagi Moza?"
"Tidak ada Ce. Hanya itu saja hehehe. Terima kasih banyak ya, Ce. Maaf sekali lagi karena belum apa-apa udah minta izin."
"Iya Moza, tidak apa-apa karena apa yang tertulis di kontrak kamu bisa datang sebisa kamu. Karena kamu juga masih anak pelajar. Tetapi untuk harinya tetap akan dilakukan secara maksimal selama empat belas hari dan itu bisa kamu izin kalau berhalangan hadir sehingga diganti ke hari lain, tapi juga bisa dari pihak kita yang mengundur jika beberapa produk belum siap. Nah, dalam empat belas hari kalau sudah berjalan lancar, nanti sisa bayaran akan Cece transfer ke kamu. Lalu kamu juga bisa menambahkan kontrak lagi kalau ingin mempromosikan produk-produk baru kami yang selalu ready stock juga."
Aku mengangguk paham, senang akhirnya tidak ada yang dipersulit dan aku bisa pergi ke pesta Chaca tanpa ada beban pikiran yang tidak enak kepada Cece mau pun Mbak Adinda. Ngomong-ngomong tentang Mbak Adinda, aku belum menghubungi Kak Anthi untuk mengucapkan terima kasih karena sudah menghubungkanku dengan perusahaan sepupunya ini. Mana untuk payment-nya besar lagi. Jadi aku bisa meng-cover kebutuhanku sampai beberapa minggu ke depan walaupun aku baru saja membantu Kak Ardhan.
Setelah telepon berakhir bersama Cece, sebelum tidur aku menyempatkan menghubungi Kak Anthi. Sangat mendukung sekali wanita itu tidak pernah tidur lebih awal, dia langsung menerima panggilanku. Karena sudah mengenalnya cukup lama, aku sampai hafal jam tidurnya. Kak Anthi memang termasuk wanita mandiri dan pekerja keras walaupun saat ini sudah menikah dan mendapatkan suami yang harus bekerja jauh sekaligus pulang hanya setahun sekali selama beberapa bulan. Aku salut, Kak Anthi tidak keberatan dan dia memberikan kebebasan kepada suaminya juga untuk bekerja. Biasanya wanita ada yang tidak bisa ditinggal lama-lama dengan suaminya. Tapi mereka berkomitmen untuk saling percaya.
"By the way aku udah punya pacar Kak, tapi kali ini bukan brondong lagi, hahaha."
"Oh ya? Trus kalau bukan brondong apa dong?"
Obrolan kami mulai ke mana-mana, sudah lama tidak saling curhat, sekali teleponan dengannya bisa sampai berjam-jam sudah seperti orang pacaran aja.
"Dia lebih tua dari aku. Umurnya udah dua puluh tiga tahun sepertinya, Kak."
"Kok belum yakin gitu sama umurnya, hahaha?" Kak Anthi sampai tertawa menggodaku juga.
"Bukan nggak yakin Kak, cuma emang aku tahu umurnya pertama tuh stalkerin facebook dia."
"Trus udah dikonfirmasi langsung ke orangnya?"
"Belum sih, kan baru kenal juga rasanya nanti jadi mandang umur."
"Ya, kalau saling sayang umur nggak jadi masalah kok. Aku sama suami kan juga beda lima tahun, Moza."
Aku tahu, dia sudah cerita. Terdengar kekehanku pelan, lalu ku anggukan kepala seakan Kak Anthi melihat respons tubuhku. "Tapi ya Kak, aku cuma takut lagi, kamu tahu kan kalau aku punya trauma sama yang namanya perselingkuhan? Orang tuaku pisah gara-gara selingkuh, trus aku yang masih pacaran aja bisa diselingkuhi juga waktu itu. Mungkin aku kedengarannya egois kalau mandang sebuah hubungan dari masa lalu."
"Za, dengerin aku nih. Kata Mas Pamungkas, jika kamu mencintai seseorang, biarkan dia bebas. So, I love you but i'm letting go..." ada jeda dalam ucapan Kak Anthi. Aku masih menunggu apa yang ingin dia katakan lagi. "Kamu wanita mandiri, wanita hebat, pasti akan menemukan seseorang yang benar-benar tepat untuk melengkapi kebahagiaanmu."
Sudah lama aku tidak menemukan sosok seorang Ibu yang dapat mendengarkan ceritaku seperti ini. Menanggapi ceritaku setenang ini. Hanya Kak Anthi yang dapat membantu menenangkan pikiranku ketika aku mulai berkomunikasi dengannya. Aku tersenyum lega, lalu aku mengucapkan kalimat terakhir sebelum mengakhiri telepon kami. "Terima kasih, Kak."
Baru saja aku mau meletakkan ponselku karena memang sudah mau tidur. Namun, ada notif dari seseorang yang kukenal. Dia kekasihku, ternyata Kak Ardhan yang mengirimkan pesan. Dia belum tidur jam segini? Aku juga sih. Kan tadi aku sudah pamit mau tidur juga, takutnya aku dikira bohong dan tidak mau diganggu dengan dia.
Ayangku : Belum tidur atau ke bangun yang? Sholat yuk.
"Astaga, dia beneran tahu kan kalau aku belum tidur? Dia juga ngajakin sholat lagi," gumamku seraya menatap pesan Ardhan dengan gemas. Karena dia sudah menjadi milikku, aku mengganti nama kontaknya menjadi 'Ayangku'
Moza : Aku belum tidur, maaf yang nggak maksud bohong. Aku tadi mau tidur trus ke ingat sama suatu hal, akhirnya aku menghubungi tim humas di tempatku kerja buat minta izin besok nggak bisa pemotretan dulu, aku harus datang ke pesta temanku. Lalu aku juga menghubungi kakakku yang dari Bali itu buat ngucapin makasih ke dia karena udah jadi jembatan karir aku, trus ini mau aja tidur... Tapi kamu ngajakin sholat, sholat di mana yang?
Setelah kukirim pesan tersebut, aku masih menunggu balasannya dan membaca berulang kali apa yang telah aku tulis untuk memastikan sudah benar. Tak lama dari itu, Ardhan membacanya dan beberapa sekon dia mengetikkan balasan untukku.
Ayangku : Makasih sayang laporannya, aku percaya kok, hehehe. Sholat dulu yuk sebelum tidur, sholatnya ya di rumah kamu sayang. Aku juga di rumah ini mau sholat, hehe.
"Astaga!" Aku memekik, menepuk jidatku dengan kesal karena bersikap konyol. "Bisa-bisanya aku berpikir dia bakalan ngajakin aku sholat bareng gitu? Ya kali Moza, kita belum sah dan ini juga udah malam kalau di logika kan nggak masuk akal."