Kata Ayah, aku tidak boleh jatuh cinta kepada manusia terlalu tinggi. Tidak boleh menaruh banyak harapan juga. Karena yang paling penting, aku tidak boleh menyayangi orang lain lebih dari aku menyayangi diriku sendiri. Ayah tidak mau aku terluka, dan Ayah juga tidak mau aku kecewa.
- Moza.
***
POV Moza
"Sudah cukup untuk hari ini, terima kasih banyak atas kerjasamanya, Moza!"
Aku mengangguk dengan senyum ramah, semua crew menjabat tanganku dan mengucapkan hal yang sama seperti Cece, salah satu ketua tim humas yang menemaniku pemotretan dari awal sampai akhir.
"Ini minum dan sarapan malammu," ucapnya sekali lagi. "Dan ini untuk bingkisan produk yang sudah kamu promokan tadi."
"Terima kasih banyak ya, Ce."
"Buat uang mukanya udah masuk kan, Za?"
"Sudah Ce," sahutku cepat.
"Ya sudah, habis ini mau langsung pulang? Naik apa? Besok datang lagi sore ya kayak tadi."
Bukan hanya ramah, Cece ini juga sangat perhatian ternyata. Aku senang bisa mendapatkan rekan kerja yang seperti ini. Baru saja selesai mengemasi barang-barangku. Cece menungguku karena dia juga yang membawa kunci untuk ruangan outdoor yang baru saja kami pakai untuk pemotretan, Cece mengunci ruangan tersebut sejenak.
"Siap Ce, besok aku datang lebih awal. Kebetulan aku bawa motor sendiri kok Ce." Aku tersenyum, lalu kami berjalan melewati lorong koridor.
"Hati-hati di jalan sudah malam. Rumahmu dekat dari sini? Kalau aku juga bawa mobil sendiri, tapi kadang-kadang dijemput tunangan kalau nggak bawa mobil."
"Lumayan dekat Ce, alhamdulillah aman selama pulang malam karena memang kawasan rumah enggak pernah sepi jalanannya." Aku menanggapi dengan santai, lalu menambahkan akan pertanyaan bahwa aku juga penasaran serta ingin menunjukkan bahwa aku memperhatikannya. "Kalau Cece jauh nggak dari tempat kerja? Wah sudah punya tunangan ya, malahan aku pikir Cece udah nikah hihihi," sungutku sambil menatap ekspresinya sesekali.
"Syukurlah. Aku nggak terlalu buru-buru nikah. Kebetulan tunangannya juga udah dapat setahun lalu, rencana nikah udah dalam waktu dekat ini karena sebelumnya kami harus mempersiapkan banyak hal termasuk mental juga, tapi masih belum ngerti bulan pastinya kalau jadi tahun ini hehehe," tutur Cece dengan tawa renyahnya yang mengundangku ikut tertawa.
"Semoga apa pun itu akan dimudahkan dan dilancarkan ya, Ce."
"Makasih banyak."
Aku menganggukkan kepala, lalu kami sama-sama berhenti. Aku menjabat tangannya. "Pulang dulu Ce, aku akan pergi ke sana."
"Iya Za, hati-hati."
Akhirnya, kami berpisah karena aku langsung pergi menuju ke parkiran motor, sementara Cece harus ke ruangannya terlebih dahulu untuk mengambil barang-barangnya.
Ponselku ternyata ada banyak sekali spam chat. Entah itu dari Ayah yang menanyakan jam pulang, ternyata sahabat-sahabatku juga pada berisik baik di chat pribadi mau pun di grup.
"Halo Ayah, aku baru saja selesai dan akan segera pulang." Aku menerima panggilan telepon dari Ayahku. Dia pasti khawatir karena aku belum memberikan kabar. Karena anak perempuan satu-satunya, Ayah sangat detail dan teliti dalam menjagaku. Padahal aku sudah bilang bahwa aku memiliki waktu fleksibel jika sudah bekerja seperti ini. Tidak bisa mengira-ngira akan selesai jam berapa.
"Ya sudah, langsung pulang saja ya, Ayah dan adik-adikmu sudah makan. Tidak usah beli makanan lagi."
"Baik Yah, aku juga membawa makanan ini dari tempat kerja. Kalau gitu aku tutup dulu ya, sampai ketemu."
Setelah itu, aku menyimpan ponselku ke dalam tas. Menata barang-barang yang kudapatkan dari sini. Untung saja aku membawa ransel cukup besar, sehingga aku bisa memasukkan make up yang kudapat ini ke dalam ranselku.
Selama perjalanan, aku memikirkan sesuatu. Mungkin datang ke ulang tahun Chaca tidak ada salahnya. Lagi pula aku bukan orang sombong yang sudah diundang, namun tidak menghargai undangan tersebut hanya karena orang itu menyebalkan dan tidak ingin berurusan dengan orangnya.
Sampai di rumah aku akan memberi tahu kedua sahabatku. Aku sudah memikirkan hendak memberikan kado apa. Ini akan sangat berarti dan dia tidak akan bisa meremehkan pemberianku.
Pukul delapan malam, aku sudah tiba di rumah. Aku membersihkan diri terlebih dahulu, sementara Ayah menyiapkan makanan untukku. Adik-adik jam segini ada di kamar, pasti yang satu sibuk ngegame, satunya sibuk dengan nonton film.
"Kamu pemotretan apa Nak?"
"Produk make up Yah."
Karena Ayah sedang berada di ruang keluarga sendirian sambil menyalakan televisi menonton film kesukaannya, aku memutuskan makan di sini menemani Ayah mengobrol sejenak.
"Udah jadi fotonya?" tanya Ayah.
"Belum dikirim Yah, masih diedit."
"Alhamdulillah ya, meski kita pindah ke Surabaya, rezeki selalu datang dari mana saja. Kamu harus jaga kesehatan dan minum sangabion biar enggak pusing."
"Baik Yah, makasih banyak ya Yah, jangan lupa istirahat juga. Moza udah selesai makannya mau ke dalam dulu. Ada yang mau dikerjain juga," sungutku seraya beranjak dari sofa dan berjalan ke arah dapur terlebih dahulu untuk mencuci piring dan mengembalikannya ke rak piring sebelum kembali ke kamar.
Selain notifikasi dari grup chat anak-anak, kekasihku juga belum kubalas dari tadi. Mungkin dia masih bekerja karena dia berkata pulang kerjanya hampir tengah malam.
Aku tidak tahu dia bekerja di mana, aku belum terlalu jauh mengenalnya. Dan tidak mungkin aku bertanya tentang urusan pribadinya, namun entah kenapa aku mau saja membantu dia yang sedang kesusahan. Memangnya perlu waktu untuk mengenalnya lama jika kita ingin menolong seseorang? Kalau ikhlas kadang aku pikir selagi dia adalah orang yang ada di sekitarku, aku pasti akan membantunya.
Panggilan video call grup membuatku terlonjak kaget. Ternyata anak-anak gemas sendiri denganku yang tidak kunjung menampakkan batang hidungnya sampai pada akhirnya mereka melakukan video call grup.
"Hai bestie!" Aku menyapa dengan ramah.
Mereka menatapku tajam.
"Ke mana aja?" seru Clarissa.
"Habis nyari duit." Aku terkekeh pelan.
"Besok jadi hadir ke pesta Chaca, kan? Ayolah hadir, jangan mempermalukan diri sendiri, Za."
Urusan harga diri mungkin menjadi prioritas untuk anak-anak seumuran kami. Aku tersenyum menanggapi ucapan Helen. Dia masih menatapku tajam dan berharap aku mengiyakan.
"Aku udah nyiapin kado kok, dan udah ada kostumnya jadi tenang aja." Aku berjalan ke arah tasku dan mengeluarkan beberapa produk make up yang kudapatkan dari Cece tadi.
"What the hell?! Itu kamu beliin buat ngado Chaca doang?" pekik Clarissa dan Helen dengan serempak.
Aku sampai terkejut sendiri dan hanya bisa geleng-geleng kepala, padahal belum juga kujelaskan mereka sudah berasumsi sendiri.
"Ini aku dapat gratis. Nggak beli. Rezeki anak sholeh yang pekerja keras." Aku menjawab dengan santai lagi, teman-temanku pasti tahu skincare dari merk ini sangat mahal untuk dibeli orang biasa seperti aku.
"Bentar deh, jangan bilang kamu habis pemotretan sama produk itu, Za?" sungut Helen.
"Emang iya. Sebenarnya sayang kalau aku kadoin, mending aku pakai sendiri, kan? Tapi kayaknya aku bisa dapatkan ini lagi kok. Jadi ya udah aku kadoin aja, lagian aku nggak mungkin pakai skincare ini kalau nggak dipakai rutin, kalau habis masa aku harus beli kan nggak mungkin harganya jutaan sendiri. Boros. Kulitku masih mulus bagus, harus dijaga dari skincare yang nggak bisa aku pakai rutin," jelasku pada mereka.
"Oke bagus," sahut Clarissa.
"Bagus apanya?" tanyaku dan Helen.
"Bagus karena Moza bakalan kasih kado mahal buat Chaca biar dia makin melongo kan?"
"Hahahaha. Bener juga kamu Cla." Helen mengangguk setuju.
"Trus kostumnya apaan Za?" Clarissa bertanya lagi.
"Aku punya gaun Cinderella sih. Masih muat sama aku, nanti tinggal make up sama pakai topeng bentuk kupu-kupu gitu, yang cocok sama tema Halloween namanya topeng Masquerade kayak topeng punya Taehyung tahu nggak di pemotretan dia tema Halloween juga waktu itu!"
"Ah, aku tahu. Nggak bisa bayangin malam itu kamu bakalan jadi Putri Cinderella loh!" seru Helen seraya bertepuk tangan.
"Udah tahu kan? Jadi kalian nggak perlu khawatir lagi, yang jelas kita berangkat bareng, kan?" kataku seraya menatap mereka dengan senyuman lebar.
"Iya nanti aku jemput. Pakai mobil Adit aku bawa, dia bakalan berangkat sama Dhimas pakai motor. Jadi kita bertiga barengan bawa mobil, anak cowok bawa motor ngawasin dari belakang gitu aja."
"Mantep. Ya udah aku ada urusan, tutup dulu deh teleponnya. Besok kan masih ketemu di sekolah," ucapku sambil mengubah posisi dengan rebahan di atas ranjang.
"Urusan mau tidur kan kamu, Za? Hahaha, ya udah istirahat gih. See you besok ya kita bahas lagi," kata Helen sebelum akhirnya kami satu persatu keluar dari panggil video call grup ini.
Sebenarnya urusanku ya balesin chat Ardhan doang sih, nggak ada yang lain. Aku mau kenal dia lebih banyak, aku mau cari tahu tentang dia, mau stalkerin dia juga. Karena bagaimana pun, aku nggak bisa pura-pura bego dan main pinjemin duitku ke Ardhan kalau pun dia kekasihku. Aku ikhlas, tapi setidaknya aku tahu latar belakang kehidupannya walaupun nggak secara langsung tahu dari orangnya yang belum banyak cerita ke aku.