POV Ardhan
Sebenarnya jatuh cinta itu tidak mengenal waktu, mau itu di waktu yang tepat atau tidak, hati kalau sudah ketemu sama yang tresno, kita cuma butuh siap atau tidak menerima kehadirannya.
- Ardhan.
***
"Kamu dapat uang dari mana Ar? Cepet banget," tanya Jordi yang berbisik tepat di dekat telingaku.
Aku yang baru bergabung untuk membantu hanya mengedikkan bahu acuh. Aku tidak mungkin mengatakannya dari pacar baruku yang ternyata adalah anak SMA. Itu memalukan sekali dan lagi aku tidak pernah tahu pikiran orang-orang tentang diriku, bagaimana jika aku mengatakan yang sejujurnya walaupun Jordi sudah sangat dekat denganku, tetap saja semua hal tentang aku harus difilter lagi. Ada hal-hal privasi yang di mana Jordi tidak berhak tahu.
"Ada deh, dapat job mendadak Jor," ucapku sambil menyunggingkan sedikit senyuman.
"Dih, ditanya yang bener dong jawabnya." Jordi hanya bisa mendengus sebal jika aku sudah kentara sekali menutupi sesuatu darinya.
'Bukan apa-apa Jor, kalau soal ini kamu nggak usah tahu deh.' Aku membatin dalam hati, lantas mengambil pisau dan ikut memotong seledri untuk pelengkap soto.
"Pasti kamu pusing habis ini apa-apa barengan semua," celetuk Jordi yang untung saja hanya ada kami berdua di dalam ruangan ini sampai pada akhirnya ada ibuku datang, dia tersenyum ke arah kami.
"Nak, habis ini ada yang jaga depan ya, bantuin adikmu." Ibu berpesan, semenjak aku mengangguk pelan sambil terus bekerja agar lekas selesai dan melepaskan celemekku, meninggalkan Jordi tetap di sana bersama Ibu.
"Hari ini piketmu yang ngurusin live music ya, Ar. Bisa nggak?" seru Reno yang tiba-tiba datang sambil menepuk bahuku. Dia adalah admin Hollywood.
Aku berpikir sejenak untuk mengingat-ingat kembali. "Kamu nggak salah Ren?"
"Harusnya emang kamu minggu depan, Ar. Tapi masalahnya mendadak Kevin izin nggak bisa minggu ini dia minta tukeran aja sama kamu. Nggak masalah kan?" tutur Reno seraya menatapku yang terdiam sejenak sebelum kuanggukki saja.
Lagi pula jadi sound sistem di sini dan ngatur-ngatur jadwal main live musiknya juga dapat gaji. Aku tidak masalah jika dimajukan, maka bisa mendapatkan upah minggu ini juga. Sepertinya aku harus mondar-mandir lagi dari ujung ke ujung. Apalagi setelah live music aku juga akan mengedit hasilnya.
Jika para pengisi acara dibayar oleh para pengunjung yang dermawan, aku mendapatkan gaji dari Hollywood sendiri karena sudah ikut mengurus salah satu bagian penting yang bisa meramaikan tempat ini. Gajinya perminggu, siapa yang bekerja itu yang mendapatkan gaji. Biasanya aku dapat sekitar lima ratus ribu mengurus ini semua dalam seminggu. Apalagi kalau aku ikut tampil dan menggantikan vokalisnya sementara seperti menyanyikan beberapa lagu, dapat ceperannya dari anak-anak band, lumayan bisa buat jajan rokok.
Semakin menjelang sore, Hollywood semakin ramai akan pengunjung. Mulai dari usia remaja sampai orang-orang yang sudah berumah tangga juga berkunjung ke tempat ini untuk menikmati suasana Hollywood ala Surabaya dengan mencoba macam-macam kulinernya.
Pesanan soto dan bakso sudah mulai ramai, aku mondar-mandir mengantarkan pesanan sebelum memasuki acara live music satu jam lagi, aku juga tak lupa untuk mandi sejenak dan menunaikan ibadah sholat yang sudah menjadi kewajiban. Sesekali melihat ponselku yang jarang tersentuh jika sudah fokus bekerja, kecuali kalau ada telepon mendadak saat di mana aku dibutuhkan di tenan dan aku tidak ada di sana biasanya Ayah atau Ibu akan meneleponku langsung. Tapi aku melupakan satu hal, aku memiliki pacar. Aku sudah tidak sendirian lagi, inilah mengapa terkadang aku berpikir tidak mau memiliki kekasih dulu karena aku takut egois, takut lupa, takut tidak pernah ada untuknya karena kesibukanku, karena aku juga terkadang males hapean.
Moza ternyata mengirimkan pesan. Dia bercerita tentang kegiatannya hari ini. Aku segera membuka pesannya.
Moza : Aku senang banget! Ternyata hari ini aku mendapat job untuk mempromosikan produk make up dan ini semua berkat kamu!
"Berkat aku? Kenapa bisa berkat aku? Kan dia yang berhasil mendapatkannya tanpa bantuanku?" tanyaku pada diri sendiri dan tidak mengerti dengan maksud kekasihku ini.
Ardhan : Kenapa berkat aku sayang?? Aku tidak melakukan apa pun, dan selamat atas keberhasilan kamu, semangat untuk project barumu, kamu hebat!
Moza : Berkat kamu, karena aku percaya setiap kita melakukan kebaikan untuk orang lain, mempermudah urusan orang lain, balasannya ya seperti ini, aku bisa mencapai beberapa hal yang menurutku mustahil sekali.
Rasanya aku senang dia bisa menganggapku seperti itu. Entah dengan alasan apa aku tersenyum atas pesan yang ia kirim barusan. Aku menggelengkan kepala heran, lalu membalas lagi pesannya.
Ardhan : Nggak ada yang mustahil selama kamu berusaha mendapatkannya sayang, terima kasih banyak ya sudah berpikir seperti itu. Kamu orang baik, Tuhan selalu melindungi dan menyayangi orang-orang baik sepertimu.
Moza : Ya, kamu benar. Aku akan segera melakukan pemotretan, nanti kita lanjut lagi ya, mau make up dulu.
Ardhan : Iyaa sayang, monggo dilanjut dulu. Aku juga mau lanjut dulu. Semangat sayangku.
Moza : Semangat juga sayangku.
Kumasukkan ponsel ke dalam saku. Lalu izin sejenak ke Jordi agar menggantikan posisiku karena aku harus pulang dan kembali lagi setelah menunaikan ibadah sholat magrib.
Pada pukul enam lebih, aku menyempatkan makan sejenak. Sebelum makan aku juga bertanya pada kedua orang tua, adikku, serta Jordi untuk memastikan mereka sudah makan semua. Karena ikannya habis, aku terpaksa membeli makanan di luar, sekalian saja aku makan nasi bungkus di warung.
Reno mengabari bahwa aku harus memeriksa sound sistem pada pukul setengah tujuh, mempersiapkan panggung dan menata alat-alat musik sebelum anak-anak bandnya benar-benar tampil.
Makan saja tidak sampai dua puluh menit sudah kelar aku, saatnya kembali ke Hollywood, melakukan tugas piketku.
"Hei, selamat datang!" sungutku seraya bersalaman dengan salah satu pria yang termasuk member dari para band pengisi acara hari ini.
"Macet perjalanan," sahutnya seraya terkekeh dan berjabat tangan denganku layaknya sahabat.
"Mau kupesankan minum?" tanyaku. "Kalian duduk-duduk dulu sambil siap-siap bentar nyoba alat musik ya, seperti biasa percobaan setengah jam dulu."
"Thanks, bro!" sahut salah satu dari mereka yang kukenal sebagai gitarisnya.
Aku hanya mengangguk sambil mengacungkan jempol, lantas berjalan ke arah stand hollysky, di sana menjual berbagai macam minuman, stand-nya berdampingan dengan stand sotoku.
"Rif, buat anak-anak band Philips dong, aku tinggal ke sebelah dulu ya."
"Oke Ar, ntar aku anter ke sana ya. Buat lima orang, kan?"
"Yes, thank you."
Usai memesan minuman, aku juga harus melihat tenanku. Barangkali aku juga dibutuhkan, beginilah pekerjaanku selalu mondar-mandir mengontrol segalanya dan membuat tubuhku terasa remuk semua meski berusaha kuat, atau tidak merasakan apa-apa.
Kata adikku semuanya terhandle dengan baik. Ah, kadang aku merasa kasihan dengannya karena di umur mudanya dia harus mengorbankan kesenangan demi bekerja membantu keluarga. Tapi ya mau bagaimana lagi? Ketika aku hendak berbalik, aku terkejut karena ada seseorang yang menghadang jalanku. Lalu dia mengatakan sesuatu padaku.
"Ar, udah makan belum?"