Sebenarnya aku tidak terlalu suka tari, dan bisa saja aku membolos. Tapi karena sudah kelas dua belas dan aku tidak ingin sekolahku berantakan lagi. Jadwal musik masih minggu depan, kalau kata Helen menari adalah gerakan yang dapat menenangkan pikiran, aku lebih setuju jika musik yang lebih menenangkan pikiranku. Entah itu bermain, mendengarkan, atau melihat orang bernyanyi serta bermain musik, aku merasa hidupku lebih hidup karena mereka menciptakan lirik yang indah.
Giliranku menunjukkan perkembangan gerakan tari yang sudah diajarkan selama ini. Guru seni budayaku sendiri yang menjadi jurinya untuk menilai kami satu persatu. Walaupun aku tidak menyukainya, tetap saja aku harus profesional. Aku orang yang mudah menghafal juga, tak heran gerakan tari ini sudah ada di luar kepalaku. Sehingga aku menyelesaikan tarian ini di depan teman-teman dan kembali ke tempat dudukku dengan cepat seraya membawa selendang tarinya.
"Kamu tuh nggak suka tari tapi gerakanmu itu lebih bagus dari yang lain tahu," bisik Helen tepat di dekat telingaku.
Aku juga tidak tahu kenapa begitu. "Mungkin karena aku hafal aja."
"Iya bisa jadi, tapi kalau ditambah ekspresi kamu tadi waktu nari, kamu mendukung banget feel-nya."
"Padahal udah jelas aku kelihatan nggak mood loh pas nari karena emang aku nggak suka pelajaran ini."
"Yakin deh nilai kamu nggak bakalan jelek banget karena dari yang aku lihat gurunya suka tuh," tutur Helen yang diangguki oleh Clarissa.
Kenapa Helen bisa berbicara seperti itu? Dia suka tari dan bisa menilai juga mana yang gerakannya bagus, mana yang feel-nya dapat banget. Jadi waktu aku mudah hafal dan feeling tariku bagus untuk kedua kalinya malah aku pernah ditawarin dan diajak masuk klub tari. Tapi aku tidak mau, kegiatanku di luar sibuk mencari uang.
"Ya, mungkin lagi beruntung lagi, Hel." Aku hanya bisa terkekeh pelan menanggapinya.
Tak lama dari itu, semua sudah menunjukkan bakatnya masing-masing dan guru juga telah memberikan penilaian dari setiap siswanya. Guru tari juga sudah mempersilakan murid-murid masuk ke dalam kelas, hanya saja saat aku juga ikut beranjak dan keluar dari sanggar tari ini, guru tari memanggil namaku. Aku disuruh tinggal sejenak ditemani Helen dan Clarissa.
"Ada apa Bu? Apakah saya melakukan kesalahan saat praktek tari tadi?" Aku langsung bertanya saja dari pada penasaran kenapa beliau menahanku di sini.
"Bukan Moza, Ibu di sini hanya ingin tahu kenapa kamu enggak masuk klub tari saja bersama Helen juga itu kan kamu punya kemampuan yang bagus loh, nilaimu dan Helen hampir sama meski pun nilai Helen lebih unggul sedikit dari kamu," ucap guru tariku seperti apa yang Helen katakan tadi sebelum dibahas langsung.
"Maaf Bu, saya enggak masuk klub tari karena memang saya ada kesibukan di luar jam sekolah," ucapku seraya tersenyum ramah.
Kulihat ada kekecewaan yang ditunjukkan beliau lagi. Ini sudah kutolak untuk kedua kalinya.
"Baiklah, Ibu sangat mengapresiasi bakat tarian kamu. Aura kamu saat menari itu berbeda dan unik. Mungkin kalau suatu saat kamu berubah pikiran, kamu bisa masuk klub tari walaupun sebentar lagi kalian akan lulus dari sekolah ini. Ibu hanya berharap senior-senior bisa memberikan contoh untuk para juniornya," ucapnya dengan senyuman lebar.
Aku menganggukkan kepala saja, dipuji seperti itu terasa biasa saja jika memang minatku tidak di sana. "Terima kasih banyak Bu," balasku juga tak lupa memberikan senyuman hangat sebelum pamit lagi untuk kembali ke kelas karena sudah tidak ada lagi yang dibicarakan.
***
Di kelas anak-anak heboh membicarakan tentang pesta yang diadakan oleh Chaca karena berlokasi di gedung megah dan seluruh murid di sekolah ini ia undang walaupun Chaca tidak mengenal orangnya tapi tentu saja sebagai primadona sekolah ini dia adalah satu-satunya siswa paling kaya dan donatur terbesar di sekolah ini. Chaca mengadakan tema pesta ulang tahunnya dengan kostum bertopeng. Sehingga mereka bisa datang tanpa saling mengenal karena mengenakan topeng misterius. Berbagai rangkaian acara juga tertulis jelas di kartu undangannya. Ini semacam tema Halloween.
"Besok malam pestanya, kalau bisa hari ini kita nyari kostum bareng, yuk?" ajak Helen seraya menatap Clarissa dan aku secara bergantian.
"Emangnya kalau enggak dateng nggak boleh?"
"Jangan, kamu harus dateng sama kita Za." Clarissa menggeleng keras, ia menatapku tajam seakan pesta ini wajib dihadiri.
"Iya Za, kalau kamu nggak datang nanti bisa jadi masalah. Karena Chaca bakalan cross check siapa saja yang udah dapat kartu undangan dan siapa saja yang benar-benar berangkat ke sana. Kalau kamu ketahuan enggak datang, bukan hanya dapat masalah tapi juga di blacklist," tutur Helen.
Aku sungguh tidak mengerti apa maksud Helen. Kenapa harus maksa banget? Memangnya dia siapa aku sampai aku begitu penting dan harus hadir dalam pestanya? Sebenarnya aku tidak seberapa suka berada di pesta dan keramaian seperti itu.
"Nanti aku kabarin kalau jadi datang."
"Trus gimana dengan nyari kostum bareng dan beli kadonya?" tanya Clarissa.
Aku terdiam, lalu mengedikkan bahu acuh dan kembali duduk di kursi. Sebentar lagi bel pulang akan berbunyi dan tandanya kami akan bersiap-siap untuk pulang.
"Kalian berdua saja nyari kostumnya barengan. Kayaknya kalau tema Halloween gitu pakai topeng juga, aku udah ada kostum deh di rumah."
"Serius?" celetuk Helen.
Aku mengangguk.
"Apa kamu hari ini sibuk dengan jadwal pemotretan, Za?" bisik Clarissa tepat di dekat telingaku agar anak-anak lain tidak ada yang mendengarnya.
"Nggak juga, belum cek bakalan ada apa enggak."
"Kalau ada nanti kabarin, ya di grub." Clarissa mengedipkan sebelah matanya sebelum ia kembali ke kursi belakang.
'Kring... Kring....'. Bel sudah berbunyi, kami langsung beres-beres dan karena tidak ada buku berserakan di atas meja, aku langsung mengenakan cardigan serta tasku saja.
"Aku duluan ya, kalian berdua have fun deh nyari kostumnya. Ntar malam aku kabarin di grup kalau besok jadi datang apa nggak ke pesta Chaca." Aku langsung melambaikan tangan ke arah dua sahabatku yang tampak menatapku aneh, aku tidak tahu apa yang sedang mereka rencanakan dan apa yang sedang mereka pikirkan. Tapi feelingku mengatakan, mereka memaksaku untuk datang, mungkin ada sesuatu baik kalau aku datang, dan ada sesuatu buruk kalau aku mengabaikannya.
***
POV Author
Setelah kepergian Moza beberapa sekon lalu yang telah menghilang dari kelas ini, Clarissa dan Helen membuang napas panjang. Mereka saling tatap dan terlihat berpikir keras.
Semua ini ada hubungannya saat Moza meninggalkan kantin tadi. Bertepatan setelah anak baru tampan itu datang, tak lama Moza izin pergi dan Chaca bersama dua temannya hadir di kantin membawa kehebohan. Dia memanggil satu persatu dari perwakilan kelas, lalu memberikan undangan pesta ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun tersebut. Ya, walaupun dia junior mereka, sebenarnya Chaca adalah seangkatan dengan Moza, Clarissa dan juga Helen. Hanya saja Chaca terlambat sekolah karena harus berpindah-pindah kewarganegaraan mengikuti dinas orang tuanya, begitulah sejarah yang anak-anak tahu tentang gadis primadona ini.
"Waduh ada incess nyebelin, Hel." Clarissa berbisik saat itu sambil mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Udah tahu, aku bisa lihat nih."
"Kayaknya mau bagi-bagi undangan."
"Bisa jadi."
"Hei, Helen kamu kan sekretaris ya, sini bagiin ke anak kelasmu."
Baru saja di obrolkan, Helen sudah kena panggil. Mau tak mau gadis itu segera beranjak dari duduknya dan menghampiri Chaca bersama beberapa perwakilan lain yang teman-teman Chaca panggil juga.
"Kenapa Cha?" Helen bertanya dengan ramah tanpa memperdulikan ekspresi sombong Chaca yang sudah menjadi bawaannya.
"Ini tiga undangan untuk kamu, Clarissa dan temanmu yang satu itu Moza. Dia bukannya ikut ke kantin ya tadi? Karena dia nggak ada waktu aku di sini, sampaikan saja kepadanya. Jangan sombong, dia adalah tamu spesialku yang harus hadir. Sampaikan kepada model profesional itu, ya." Chaca berbisik di dekat telinga Helen saat mengatakan kalimat terakhirnya sebelum ia mengabaikan Helen karena harus membagi kartu undangan untuk yang lain juga.
Ingatan di kantin tentang ucapan Chaca masih terekam sangat jelas di benak Helen sehingga ia menceritakan pada Dimas serta Clarissa.
"Bagaimana pun juga, kita harus memastikan Moza menyiapkan kostum, kado, dan datang bersama kita, Cla!" Helen menatap Clarissa dengan pandangan serius.
Clarissa sendiri juga ikut mengangguk, dia adalah salah satu orang yang juga tidak suka akan kesombongan Chaca karena dulu gadis itu pernah memiliki masa lalu bersama kekasih Clarissa dan terkadang masih sering mengganggu pikiran Clarissa mengingat puncak kesuksesan Adit sangat-sangat diakui oleh sekolah mereka. "Ya, aku setuju!"