Chereads / Rumah Singgah / Chapter 8 - Hidup Untuk Keluarga

Chapter 8 - Hidup Untuk Keluarga

Terlihat baik-baik saja dan kuat dalam menjalani hari-hari tentu boleh saja. Tapi kamu juga harus menyempatkan dirimu untuk menikmati apa yang kamu suka dan ambilah istirahat sebanyak yang kamu mau.

- Ardhan.

***

POV Ardhan

Begitu mendapatkan dana untuk pembiayaan listrik serta air tenan, aku tidak jadi tidur dan benar-benar istirahat. Aku langsung pergi meninggalkan kamar dan mengenakan jaketku kembali. Sebelum diputus, aku harus membayarnya. Jika ditunda, takut lupa. Dan semenjak membuka usaha ini, tabunganku terkuras cukup banyak untuk menutupi pengeluaran yang membengkak karena Bapak juga harus membayar hutang karyawannya dulu sewaktu usaha mobil Bapak belum bangkrut. Aku tidak mau satu-satunya mobil yang tersisa harus diambil juga oleh bank. Maka dari itu, aku membiarkan Bapak mengambil sebagian untung jualan untuk melunasi mobil. Dan membiarkan uang pribadiku meng-cover sejenak sampai aku sendiri bisa membesarkan usaha keluarga ini dan mendapatkan untung yang dapat disisikan, syukur-syukur bisa membuka cabang baru.

"Halo Mas, aku mau bayar uang listrik sama air ya, ini kamu ada di kantor managemen nggak? Atau mau di tf aja? Tapi sebenarnya aku mau sekalian ke sana sih mau nanya sesuatu," ucapku seraya berbicara dengan salah satu temanku yang bekerja di sana dan mengurusi bagian managemennya Holly.

"Langsung aja nggak apa-apa, aku di kantor kok."

"Okay, thank you sepuluh menitan aku sampai sana, Mas."

Sambungan telepon kuputus tanpa menunggu jawabannya. Aku langsung menyalakan mesin motor, karena rumahku ada di Jagir, dari sini ke Hollywood yang terletak di Margorejo jika aku naik motor memang hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menitan saja.

Namanya yayasan Harapan Anak Muda,  aku langsung disuruh masuk ke dalam ketika satpam yang berjaga sudah mengenalku akrab. Di sana aku bertemu Mas Anta, dia menyambutku dengan ramah.

"Sudah dapat uangnya Mas?"

"Alhamdulillah sampun Mas." Aku duduk di hadapan Mas Anta, sebenarnya aku tidak membawa uang cash. "Aku transfer ke rekening biasanya ya, Mas."

"Lah kamu transfer kok pakai repot-repot ke sini Mas, ada yang perlu dibicarakan ya Mas tadi katanya." Mas Anta hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala menanggapiku, beliau memotret bukti transfer karena sekalian di data jika aku sudah membayar tagihan.

"Hehehe, nggak apa-apa Mas. Ini loh aku mau nanya perkara pembayaran tenan kan habis ini udah memasuki tiga bulan dan perpanjangannya udah ada cicilan belum dari orang tuaku? Soalnya aku belum nanya mereka juga dan kalau misal belum ada mau tak bantu bayar gitu Mas kalau aku ada tabungan dikit-dikit sama pembagian dari pemasukan."

Mas Anta langsung membuka data-data tenan, ia melihat nama tenanku dan untuk dua bulan selanjutnya masih kosong. "Sepuluh juta lagi Mas kurangnya, tapi kalau misal emang nanti ada keterlambatan batasnya sampai pertengahan bulan ya, jadi sampean masih ada waktu satu setengah bulan dari sekarang buat nyari dananya. Mugi-mugi lancar Mas lan diparingi arto saget damel bayar perpanjangan tenan," kata Mas Anta yang turut memberikan doa.

"Baik Mas, kalau gitu aku pamit dulu ya, Mas. Makasih banyak ya, Mas doanya dan pengertiannya."

"Iya Mas, sama-sama."

Kemudian aku beranjak dari sana setelah berjabat tangan dengan Mas Anta. Beliau dua tahun lebih tua dari aku, tetapi beliau sudah sangat membantuku untuk masuk di kawasan sini dan membuka usahaku yang dulunya hanya berani di rumah, sekarang bisa kubawa sampai keluar walaupun awalnya ada pasang surutnya.

Lega rasanya, bisa bernapas sedikit walaupun penyelesaian masalah ini telah merepotkan orang lain, aku rasa Tuhan memang sengaja mempertemukan aku dengan dirinya yang menjadi penolongku saat ini. Aku berjanji akan membalas kebaikannya dan bekerja lebih keras lagi.

"Mas habis bayar tagihan listrik sama air, ya?"

Saat aku berjalan menuju ke toilet yang ada di dekat sini, ternyata aku harus berpapasan dengan Bapak. Aku tersenyum dan menyalami punggung tangannya. "Iya Pak, udah beres kok tenang aja, hehe."

"Kamu ambil uang tabunganmu lagi, Mas?" tanya Bapak yang saat ini berdiri di sisiku.

Semoga Bapak nggak tahu kalau tabunganku udah terkuras banyak dan harus pelan-pelan mengumpulkannya lagi. "Mboten Pak, tadi Mas habis dapat rezeki lain kok, jadi lumayan bisa diputer. Nggak ngotak-atik duit dagang sama tabungan," tuturku sedang berusaha menutupi.

"Oh, ya sudah kalau gitu. Bapak makasih banyak karena kamu punya planning yang bagus dan mau membantu usaha ini sampai sejauh ini supaya bisa tetap berjalan." Bapak menepuk bahuku, ia juga mengusap puncak kepalaku sebagai bentuk sayangnya kepadaku.

"Iya Pak, selagi Ardhan masih bisa bantu tenaga dan pikiran pasti Ardhan lakukan," kataku sebelum kami berjalan keluar dan menuju ke tenan.

"Kamu udah tidur, Nak?"

"Udah bentar tadi, trus semangat lagi ke sini, Pak."

"Tapi kok kayaknya kamu masih kelihatan lelah gitu, Nak." Bapak berjalan di sisiku sambil menatapku dari samping. Ia benar-benar tahu kondisi tubuh yang tampak tidak karuan. Orang lain mungkin melihatku kuat dan baik-baik saja, tapi sebenarnya badanku yang aku rasakan memang sakit semua karena kurang tidur. Aku cukup mengabaikannya, asalkan semua pekerjaan dapat terkontrol dengan baik.

"Nggak Pak, aku baik-baik saja kok, Pak. Kata Bapak kan, anak laki-laki harus kuat, apalagi aku masih muda, jiwa-jiwa muda harus lebih kuat." Aku terkekeh pelan dan tersenyum lebar, lalu kami berjalan layaknya anak dan bapak yang tampak sangat akrab dan sudah biasa dilihat oleh orang-orang yang bekerja di Holly.

Bahkan temanku terang-terangan mengatakan iri jika melihat kekompakkan keluargaku. Berarti Bapak dan Ibu adalah orang tua yang berhasil dalam menciptakan keharmonisan keluarga.

***

POV Moza

"Loh, katanya tadi mau minjem novel di perpus? Mana novelnya, Za?" tanya Helen saat aku kembali ke kelas ternyata sudah ada mereka saja di sini.

Aku nyengir untuk menutupi kebohonganku tadi. "Nggak ada yang bagus. Ntar aja nunggu ada yang bagus belum nemu aku." Lalu duduk menunggu jam pelajaran selanjutnya di mulai.

"Dih, tumben banget." Helen hanya geleng-geleng kepala heran. "Sebenarnya tadi waktu kamu pergi ke kantin, ada yang heboh," bisik Helen seraya menatap ke arah Clarissa yang duduk di belakang mereka.

"Iya, ada yang heboh." Clarissa ikut menyahut.

"Apaan sih emang?" tanyaku penasaran.

"Kamu tahu nggak sih di kelas sebelas ada anak baru yang tadi aku bilang cakep di kantin."

"Nggak sempat lihat." Aku hanya mengedikkan bahu acuh karena memang aku tidak begitu memperhatikan, perhatianku sudah tersita oleh ponsel dan pesan-pesan dari Kak Ardhan.

"Haduh Hel, si Moza ini tadi sibuk chattingan. Aku jadi penasaran siapa yang ngajak dia chat sampai nggak merhatiin sekitarnya," celetuk Clarissa.

"Apaan sih Cla, nggak sama siapa-siapa elah."

"Ya udah kalau masih nggak mau ngaku." Clarissa hanya manggut-manggut. "Sebenarnya ini kayak momen yang pas banget, kamu diundang juga Za sama dia. Dateng nggak ke pestanya?" Clarissa menyodorkan sebuah undangan pesta ulang tahun ke arahku.

"Pesta siapa?" Aku melihat kartu undangan mini yang lucu berwarna merah muda.

"Anak kelas sebelas yang hitz itu loh, si Chaca. Yang pernah takut kesaing sama kamu padahal kamu enggak ngapa-ngapain," celetuk Helen yang mendapatkan anggukkan dari Clarissa.

Aku mencoba mengingatnya, hendak mengatakan sesuatu, sayangnya guru pelajaran seni budaya di jam terakhir ini sudah tiba, beliau langsung mengumumkan bahwa anak-anak bisa langsung pergi ke sanggar tari karena saat ini adalah praktek tari. Huh, menyebalkan karena aku tidak begitu tertarik dengan tari. Aku lebih suka praktek musik di seni budaya.