I believe you are my medicine, whenever I need a hand or someone to protect me guess you are the one.
- Ardhan.
***
POV Ardhan
Perasaanku sedang gelisah. Aku tidak bisa benar-benar tidur walaupun tubuhku sudah menempel di atas ranjang atau kipas angin yang sudah setia mengusir hawa panas di sekitar sini agar aku dapat tidur dengan nyaman. Semua karena pikiranku terlalu diforsir. Apalagi ada tanggungan yang harus segera aku selesaikan. Tidak mungkin aku mengatakan pada Bapak dan menyuruh Bapak untuk mencari dana agar listrik di stand tidak diputus oleh management Holly. Aku tahu, Bapak sendiri juga punya tanggungan yang harus diselesaikan. Sebagai anaknya aku tidak tega jika harus menambah bebannya. Apalagi sewa tenan sebentar lagi akan memasuki perpanjangan, sudah pasti ada banyak dana yang harus kami kumpulkan.
Pesan-pesan dari Moza membuatku berpikir. Aku tidak bermaksud memanfaatkan kehadirannya yang begitu tepat, atau barangkali memang dia adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolongku. Justru aku merasa malu karena keadaan yang diombang-ambing ini, mengharuskan aku untuk meminjam uang kepada siapa pun yang dapat menolongku.
"Duh, malu banget. Baru kenal masa langsung lancang nanya gitu?" Aku menggerutu sendiri. Pada akhirnya aku bertanya tentang dirinya terlebih dahulu sebelum aku benar-benar membutuhkan pertolongannya.
Ardhan : Kamu tidak ada pelajaran? Sedang apa saat ini?
Moza : Aku sedang makan di kantin bersama teman-teman, saat ini jam istirahat.
Ardhan : Aku ganggu sampean ya? Monggo dilanjut dulu makannya.
Moza : Enggak kok, sama chat'an juga bisa makannya wkwk.
Ardhan : Oh, mau ditemenin chat'an?? Dengan senang hati sayang, hehehe.
Moza : Sayang? Siapa?
Ardhan : Kamu.
Moza : Aku? Kamu sayang aku?
Ardhan : Kalau diizinin, wkwk.
Moza : Tentu saja! Aku akan menyayangimu jika kau juga bisa menyayangiku dengan tulus, hehehe.
Ardhan : Jadi kamu tulus juga sayang sama aku yangg??
Moza : Iya Kak.
Ardhan : Kak apa sayang??
Moza : Maunya dipanggil apa? Wkwkwk.
Ardhan : Apa loh yangg, hhhh.
Moza : Yaudah ayangg.
Aku tersenyum membacanya. Rasanya ada sesuatu yang hinggap di hatiku, kehangatan telah lama tak singgah mengisi kekosongan perasaanku yang hampa.
'Tok, tok!'
Suara ketukan di pintu kamarku, membuatku menoleh dan mendapati sosok Ibu yang melongokkan wajahnya ke dalam.
"Kamu belum tidur?" tanya Ibu heran, mungkin ia tahu karena dari tatapan mataku yang masih sayu dan lelah. Aku juga masih belum terlepas dari ponsel.
"Belum Bu," sahutku sambil tersenyum lembut.
"Istirahat dulu, Ibu mau berangkat ke Holly. Nanti kalau kamu mau berangkat dikunci semua ya pintunya." Ibu berpesan padaku, hanya menganggukkan kepala dengan perlahan sampai pintu kembali tertutup.
"Sepertinya aku tidak bisa terus-terusan gelisah, aku harus mencari jalan keluar supaya aku bisa berpikir kembali untuk yang lain," gumamku seraya memantapkan hatiku sebelum kembali memulai percakapan dengan Moza lagi.
Ardhan : Maaf sayang sebelumnya kalau aku terkesan lancang dan ngerepotin sampean. Tapi boleh nggak aku minta tolong sama sampean? Kalau sampean bisa bantu aku yangg.
***
POV Moza
"Woi, Za! Kamu kenapa bengong sih? Ada masalah?" Aku mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar teriakan dari Helen dan Clarissa. Aku langsung nyengir kepada mereka dan menutupi keterkejutanku.
"Nggak ada kok. Santai."
"Serius kamu baca hape sampai bengong gitu," ucap Helen.
"Mana lihat sih, kamu dapat pesan dari siapa?" tanya Clarissa juga seraya mengintip ke arah ponselku, tetapi berusaha untuk kujauhkan sebelum ia mengerti aku sedang berhubungan dengan siapa.
"Nggak ada, ini loh lihat berita Kim Taehyung yang katanya lagi dating sama seseorang." Aku mencari alibi, lalu memasukkan ponsel ke dalam saku seragam.
"Hadeh, itu paling cuma haters doang yang nggak suka sama V." Helen yang penggemar Kim Taehyung ikut menyahut sambil membuang napas kesal.
Aku mengangguk cepat, lalu menyetujui ucapannya. "Kalau gitu aku ke toilet dulu, ya. Nanti kalau aku nggak balik ke kantin nggak apa-apa, kan?" tanyaku seraya menatap kedua sahabatku yang hanya bisa mengembuskan napas pasrah. "Thank you, mau ke perpus ngambil novel buat dipinjem."
"Ya udah hati-hati." Clarissa melambaikan tangan ketika aku mulai beranjak meninggalkan mereka bertiga.
Begitu aku sudah berjalan cukup jauh dari kantin, aku kembali membaca pesan Kak Ardhan. Tadi belum sempat kubalas karena aku cukup kaget juga begitu temanku bertanya-tanya.
Moza : Ada apa yang? Apa yang bisa aku bantu?
Perasaanku tidak enak, aku menunggu balasan pesannya begitu sudah ia baca tak sampai semenit.
Ardhan : Sayang ada saldo di ATM? Maaf banget yang kalau aku lancang nanya gini, kalau misal sampean nggak nyaman sama pertanyaanku ini, sampean boleh marah sama aku, nggak seharusnya aku kayak gini karena kita baru kenalan.
Moza : Ada yang. Kamu butuh sesuatu?
Ardhan : Berapa yang saldonya sampean?
Moza : Dua jutaan ada sih.
Ardhan : Boleh nggak kalau aku pinjem sampean satu juta enam ratus? Sisanya buat pegangan sampean, tapi misal kalau sampean butuh nanti aku baru bisa balikin sekitar tanggal tiga belasan.
Moza : Sayang butuh buat apa? Soalnya aku juga harus nyisihin bayar uang sekolah adik. Kebetulan adikku belum minta, jadi ya masih aku simpan ini.
Ardhan : Nanti kalau adik minta, sayang bisa bilang ke aku. Bagaimana pun juga sampean kan sudah baik mau membantu aku, jadi aku pasti akan mengusahakan sayang kalau butuh juga.
"Kasih pinjem nggak, ya?" gumamku pada diri sendiri sebelum masuk ke dalam toilet walaupun sebenarnya aku tidak benar-benar ingin buang air kecil.
Berada di depan cermin, aku hanya berniat mencuci tangan pada wastafel seraya melihat ekspresi wajahku sendiri. Aku bingung. Ini yang sedang terjadi saat aku mulai mengenal cowok, mengizinkan hatiku menerimanya, menambahkan beban pikiran yang akan membawaku ke sebuah masalah. Kamu tahu kan, bahwa uang adalah masalah utama dalam hidup? Uang sangat sensitif, seakan-akan kamu bisa kehilangan segalanya, tapi tidak dengan uang, karena hidup memang butuh uang.
Sekali lagi aku membaca chat darinya. Masih belum kubalas karena aku sedang mempertimbangkannya. Bisakah aku mempercayainya? Sementara ia adalah orang asing yang baru saja datang memporak-porandakan hatiku. Meminjam dalam jumlah yang menurutku cukup besar itu, membuatku merasa takut.
"Baiklah, aku harus membalasnya." Aku pun mengembuskan napas pelan seraya mengetikkan balasan untuk dirinya.
Moza : Kamu harus janji, kalau kamu adalah orang yang bisa kupercaya. Kirim nomer rekeningmu, sayang.
Ardhan : Iyaa sayang, ingat ya jangan pakai yang sisa di ATM, kalau sampean butuh, sampean WA aku ya. Pokoknya kebutuhan Adik sampean nanti dari aku aja.
Moza : Iya sayang, ini aku langsung tf satu juta enam ratus aja, ya?
Ardhan : Iyaa. Sisanya buat pegangan kamu sendiri. Kalau adek minta uang atau sampean butuh buat apa pun langsung kabarin aku ya. Insyaallah tak usahakan ada buat kamu sama adek.
Moza : Oke sayang, kamu cek udah masuk belum?
Ardhan : Bagaimana pun sampean orang baik yang mau nolongin aku, masa aku gabisa ada buat sampean ketika sampean butuh yang.
"Gimana aku enggak percaya sama dia kalau dia ngomong gini? Terlalu cepat nggak sih buat aku percaya?" gumamku setelah membaca pesan dari Ardhan yang cukup menghangatkan perasaanku.
Moza : Semoga apa pun yang lagi kamu hadapin cepat kelar ya masalahnya.
Ardhan : Siap sayang. Terima kasih ya yang. Aku minta maaf kalau aku ngerepotin kamu yang. Jangan lupa bilang ya kalau lagi butuh buat adek. Semoga kamu sehat selalu. Tetep jadi orang baik di sekitar kamu.
Moza : Iya yang makasih doanya, kamu juga yaa, kalau ada apa-apa, gapapa bilang aja nanti bisa saling bantu ya
Ardhan : Siapp. Sampean juga ya. Kalau aku bisa, pasti aku juga bantu sampean. Dan gaakan lupa sama kebaikan sampean. Sekarang monggo dilanjut sekolahnya, aku juga mau lanjut kerja. Semangat sayangku.
Aku tersenyum, percakapan kami pun berakhir sementara karena selain harus kembali ke kelas, ada murid lain yang masuk ke toilet. Dari pada aku dianggap gila, karena menatap ponsel sambil senyum-senyum sendiri, maka aku harus segera pergi dan meninggalkan toilet ini.