Chereads / Rumah Singgah / Chapter 5 - Jangan Terlalu Keras

Chapter 5 - Jangan Terlalu Keras

Tumbuh sebagai anak pertama laki-laki di keluarga yang biasa aja, membuat aku harus berjuang lebih keras menghadapi kerasnya kehidupan. Dan aku rasa masa mudaku telah dikorbankan, tetapi aku tidak masalah. Dari sana aku akan menemukan seseorang yang bisa lebih menerima aku dengan setulus hatinya.

- Ardhan.

***

Notifikasi dari Moza, si gadis SMA kenalanku itu mungkin akan jadi salah satunya orang yang mau merespons chatku sampai berpindah ke WhatsApp. Usai percakapan semalam terjeda karena ia harus tidur, akhirnya chatku di balas pagi ini. Sepertinya dia baru saja bangun tidur, sementara aku belum tidur sama sekali.

Moza : Selamat pagi Kak Ardhan, selamat beraktivitas dan semangat!

Mungkin seharusnya aku senang bisa mendapatkan perhatian dari seorang gadis yang sudah lama tidak pernah aku rasakan. Aku lupa bagaimana caranya jatuh cinta, aku lupa bagaimana caranya tersenyum saat membaca chat manis dari orang yang aku cintai, bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku memiliki kekasih.

Ardhan : Hai, selamat pagi juga dan semangat pagi.

Moza : Aku pikir kakak masih tidur, hehe.

Ardhan : Belum tidur aku.

Moza : Serius dari semalam belum tidur, Kak?

Ardhan : Enggak kok, udah tidur bentar aja. Kamu mau sekolah, ya? Sudah berangkat?

Setelah bertanya padanya dan tidak mungkin aku menceritakan apa saja yang aku lakukan semalaman ini, karena kami baru saja berkenalan. Aku tidak bisa terbuka begitu saja. Aku membutuhkan waktu cukup lama agar orang baru yang ingin masuk ke dalam hidupku dapat mengerti keadaan serta memahami situasiku saat ini.

Ayah datang membawa bahan-bahan yang harus kami masak. Adik juga sudah siap dengan seragam sekolahnya, namun yang membuatku merasa iba terhadap adikku karena sebelum ia pergi sekolah harus terpaksa membantu kami berjualan. Dia masih terlalu muda dan seharusnya dia bisa melakukan berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh para remaja pada umumnya. Dengan sangat ikhlas, dia melepaskan kesenangan itu. Dia memilih datang ke sini sepulang sekolah dan membantu kami.

"Dik, sudah kamu berangkat saja sana." Aku meraih kantung plastik yang adikku bawa, lalu mengusirnya pergi secara halus agar ia tidak terlambat pergi ke sekolah.

Wajahnya ditekuk, aku tahu dia tidak suka jika bekerja setengah jalan saja.

"Mau minta uang jajan, kan?" Aku menggodanya, lalu mencari dompet dan mengeluarkan selembaran uang dua puluh ribuan, kuberikan padanya. "Nanti kalau kurang karena harus isi bensin juga bilang ya, Mas tambahin." Kutambahkan senyuman lebar, lalu berjalan ke arah dapur tanpa menunggu protesnya lagi.

"Mas, makasih. Aku berangkat dulu ya, Bapak berangkat sekolah dulu."

Lega dia tidak berkeras hati di sini terlalu lama. Aku hanya mengangguk dan melambaikan tangan, mendengar suara Bapak menyahuti Adik dan melihat Adik mencium punggung tangan Bapak sebelum ia benar-benar pergi. Usai kepergian Adik, Bapak mendekat ke arahku. Dia mulai memilah bahan-bahan yang harus segera di proses.

"Masak agak siangan nggak apa-apa, Mas. Kamu belum istirahat, pulang dulu gih semalaman kamu jaga di sini," ucap Bapak seraya menatapku dengan tatapan mengusir.

Aku pikir Bapak tidak tahu kalau aku semalam kembali ke Holly secara diam-diam karena aku merasa tidak bisa tidur dengan tenang selama di rumah. Pikiranku berkelana ke mana-mana. Aku hanya bisa menghela napas pasrah saat Bapak sudah menyuruhku kembali ke rumah. Padahal aku tak tega meninggalkannya di sini sendirian.

"Bapak biar sama aku dulu ngurusin ini. Kamu pulang, gantian istirahat. Sayang sama diri sendiri itu nggak pernah diajak istirahat dengan benar," tukas Jordi yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.

"Benar kata Jordi." Bapak ikutan menyahut dan membela Jordi, alhasil aku segera membungkuk dan meraih punggung tangan Bapak, menciumnya singkat sebelum berpamitan pergi meninggalkan tenan jualan kami.

Kalau sampai aku tetap berkeras hati dan tidak pulang, Bapak akan marah dan tidak berbicara padaku seperti waktu itu. Beliau senang melihatku tumbuh menjadi pria bertanggung jawab dan pekerja keras. Tetapi beliau paling tidak suka jika anaknya sampai drop, apalagi sampai masuk rumah sakit malah nambahin beban keluarga aja aku.

Mobil yang tadi dipakai Bapak untuk belanja ke pasar, kini kubawa pulang sebentar karena sudah tidak ada yang memakainya. Sebelum kubawa juga sempat aku periksa apakah ada bahan-bahan yang belum dikeluarkan. Baunya agak apek akibat menyimpan bahan-bahan makanan, aku harus selalu rutin membersihkan mobil dan memberikan pengharum mobil.

Ini adalah satu-satunya mobil yang keluarga kami miliki. Padahal dulu tidak perlu pusing mencuci mobil setiap hari karena kalau saja mobil satunya kotor, aku masih bisa ganti bawa mobil yang lain. Sekarang? Satu persatu mobil milik Bapak hilang. Bukan kemalingan, melainkan sudah habis terjual karena usaha Bapak sempat bangkrut. Beruntungnya dari semua tabungan yang keluarga kami miliki ini, kita kumpulkan untuk membuat usaha bersama. Semenjak itu kehidupanku berubah total. Aku tidak bisa egois, karena aku harus memikirkan orang-orang yang ada di sekitarku.

Sampai di rumah, Ibu yang sedang menyapu teras menatapku heran. Lalu dia mengusap puncak kepalaku saat aku mencium punggung tangannya.

"Ada yang ketinggalan, Nak?" suaranya lembut dan bertanya seraya memberikan senyum terhangatnya.

"Nggak ada Bu, Ardhan mau istirahat dulu."

"Oh, ya sudah kamu masuk gih. Mau dibuatin teh panas nggak?"

Aku menggeleng pelan, lalu menjawab dengan seulas senyuman tulus karena perhatian Ibu yang tampaknya sangat tahu mengapa aku pulang di jam-jam segini. "Nggak usah Bu, Ardhan mau istirahat aja kok. Makasih banyak ya, Bu."

Ibu hanya mengangguk, ia tak banyak bertanya. Dari tatapannya yang menaruh kekhawatiran padaku, membuatku tidak bisa menatap Ibu terlalu lama. Mungkin beliau merasa sedih karena aku harus menanggung beban seberat ini. Harusnya aku dapat pekerjaan yang lebih baik setelah lulus kuliah. Namun justru takdir menarikku untuk bertanggung jawab pada keadaan yang menimpa keluarga kami.

"Selamat istirahat ya, Nak."

Walau suaranya lirih, aku masih bisa mendengar karena rumah ini sunyi. Aku sudah berada di depan pintu kamar, dan membuka kenop pintunya sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar.

Rasa lelah dan pikiran yang berat tentu saja akan membuat tubuh kita seperti diforsir dan mudah mengantuk. Mungkin sebagian orang seperti itu. Jika ada tes psikologi kejiwaan, seratus persen aku sedang mengalami stress. Tetapi aku tidak melakukannya, aku hanya butuh tidur, berada di dalam kamar cukup lama agar bisa menenangkan pikiran sebelum kembali bekerja.

Moza : Jangan terlalu keras dengan diri sendiri, yaa. Harus istirahat yang cukup. Aku akan segera pergi ke sekolah.

Aku tersenyum tipis saat membaca pesannya yang sudah dikirimkan sejak tadi dan baru bisa kubuka.

"Ya, kamu benar. Aku terlalu keras dengan diriku sendiri," gumamku pelan.

Ardhan : Terimakasih sudah perhatian. Semangat untuk hari ini, Moza.

Moza : Sama-sama. Kalau kamu mau cerita, aku bisa jadi pendengar baik untukmu. Apa yang bisa aku lakukan untuk mengurangi stress kamu? Aku di sini untukmu, hehehe.

Aku cukup terkejut karena di jam sekolah seperti ini, dia cukup fast respon. Apakah dia tidak belajar?