Percakapan yang tadinya aku pikir sudah berakhir dan dia hanya melewati obrolan kami, nyatanya dia benar-benar mengirimkan pesan di malam hari ketika aku ingin tertidur.
Ardhan : Haaloo Mozaaa
Aku tersenyum heran, ia memanggilku kalau saja diucapkan itu terdengar seperti panggilan bernada.
Moza : Halo, ini Kak Ardhan?
Aku memilih untuk membalas pesannya biasa saja. Tidak mau terlalu berlebihan dalam menunjukkannya.
Ardhan : Iyaa betull
Moza : Oke aku save back ya, Kak.
Padahal sudah aku save back lebih dulu ketika dia pertama kali menyapaku.
Ardhan : Siap, terima kasih yaa.
Aku tersenyum membacanya, lalu mengubah posisi tidur menjadi tengkurap sambil menempelkan daguku pada guling yang kupeluk sebelum membalaskan pesannya.
Moza : Sama-sama, Kak.
Ardhan : Lagi apa ini??
Moza : Lagi rebahan, Kak. Udah malam sih.
Ardhan : Oiya sih, aku ganggu tidur kamu, ya?
Moza : Belum tidur kok. Kamu sendiri lagi apa Kak?
Ardhan : Lagi santai aja nih. Aku lihat di profil sampean masih sekolah, ya?
Aku mengernyit heran, kenapa dia bisa tahu padahal aku tidak memberikan informasi tentang sekolahku di akun Omi.
Moza : Kok kakaknya bisa tahu?
Ardhan : Foto profil sampean kan pake seragam, hehe.
Langsung saja jemariku melihat foto profil WhatsApp ini. Oh, benar saja dia tahu karena aku lupa menggantinya dan itu adalah foto yang diambil di lapangan sekolah sebelum upacara di mulai.
Moza : Iya, aku masih sekolah Kak. Tapi bentar lagi aku lulus. Udah kelas dua belas awal semester, tahun depan lulus.
Ardhan : Harus semangat ya sekolahnya, jangan lupa bersyukur.
Moza : Iya Kak, siap. Makasih udah diingetin.
Ardhan : Sama-sama, saling mendoakan dan mendukung yang baik-baik aja.
Mendapatkan pesan seperti itu saja aku sudah berdebar-debar. "Typing-nya ganteng sekali sih dia?!" seruku seraya berguling-guling dikasur.
"Aku harus bales apaan ini, ya?" Aku bergumam lirih sambil menatap layar ponselku yang masih menunjukkan obrolan kami di chat. Setelah melamun sambil sesekali menatap foto profilnya, tiba-tiba aku menemukan topik agar obrolan kami bisa berlanjut.
Moza : Seperti pernah melihat wajahmu Kak, tidak asing hehe.
Ardhan : Oh, ya? Di mana?
Moza : Aku lupa. Tapi ingat kalau pernah lihat kamu, Kak.
Ardhan : Lupa apa ingat? Wajahku pasaran kali yaa?
Moza : Bukan gitu, apa mungkin kamu mirip sama kakak kelasku, ya?
Ardhan : Berarti emang wajahku pasaran, wkwkwk.
Moza : Kakak dulu sekolah SMA di Surabaya? Kakak udah lulus kuliah sekarang?
Ardhan : Aku SMA nggak di sini, iya udah lulus.
Moza : Di mana loh, Kak?
Ardhan : Mondok di pesantren Ponorogo.
Moza : Kalau aku SMP nggak di sini. Aku pun baru pindah SMA ke sini.
Ardhan : Trus kamu di mana? Kok pernah lihat aku??
Moza : Aku di hatimu wkwk, canda Kak... aku dulu tinggal di Jember.
Ardhan : Aku juga sii. Aku pernah lihat kamu. Tapi di mana yaa.
Moza : Salah orang kali, Kak wkwk.
Ardhan : Serius.
Moza : Mungkin papasan di mana gitu, ngelihat aku sekilas wkwk.
Ardhan : Enggak juga kok. Aku lihat kamu di buku nikah kita.
"ANJIRTT, INI ORANG GILA BIKIN MATA AKU SAKIT AJA BACA CHATNYA," pekikku yang sangat spontan hingga tanpa sadar membuat orang rumah langsung berdatangan ke kamarku.
Aku nyengir dan menunjukkan peace ke arah adikku dan ayahku kala mereka bertanya apakah aku baik-baik saja. Tentu saja aku sedang tidak baik-baik saja. Aku mengunci rapat bibirku, mengubah posisi tidur sambil memandang langit-langit kamar. Di sana aku bisa melihat gambaran tentang perasaanku saat ini yang sedang dimabuk cinta.
"Mana dia anak pesantren. Bayangin aja kalau aku beneran dekat sama dia sementara aku masih sering buka aurat? Kan wajar ini pekerjaan aku sebagai model," gumamku lirih dan membiarkan ia menunggu balasan pesanku. Beberapa sekon aku biarkan saja pesannya terbaca, mungkin ia merasa kelewatan sudah mengatakan candaan seperti itu sehingga ia kembali mengirimku pesan dengan sopan.
Ardhan : Maaf ya, tadi bercanda doang.
Padahal dia tidak perlu meminta maaf juga, aku tidak marah, aku hanya sedang mengatur detak jantungku. "Ah lemah, baru segini juga kok mudah baper sih, Zaa?!" Aku mengoceh sendiri, lantas mengetikkan balasan untuknya.
Moza : Eh, nggak apa-apa Kak, santai aja hehehe.
Ardhan : Nanti kalau keterusan nggak apa-apa, ya? Wkwk.
"Ya jangan keterusan juga, nanti aku bisa modar, Kak!" Aku menjawab pesannya dengan mengoceh sendiri, tentu saja yang kukatakan ini berbeda dengan apa yang kuketik untuk membalas pesannya.
Moza : Ya nggak apa-apa sih kalau kamunya nggak ada yang marah, wkwk.
"Dih, sok nggak apa-apa tapi kenapa-napa, semoga aja dia deketin aku beneran masih jomlo, tapi tetap aku harus cari tahu dulu tentang dia supaya aku nggak jatuh ke orang yang salah," tuturku pada diri sendiri sebagai peringatan yang artinya aku juga harus siap patah hati kalau sudah berekspektasi untuk jatuh cinta kepada seseorang.
Ardhan : Lohh palingan kamu yang marah tak gombalin terus wkwk.
Moza : Enggak kok, ngapain juga marah-marah. Kamu pinter gombal nih, wkwk.
Ardhan : Enggak juga sih.
Moza : Tapi kalau kamu mau gombal nggak apa-apa sih, asalkan pake bismillah dulu, kalau enggak nanti ada yang nggak aman wkwk.
Ardhan : Apa itu yang nggak aman? Pasti pacarmu ya kan? Wkwk.
"Pacar? Kalau aku punya pacar ngapain juga ngeladenin kamu, hadeh." Aku terkekeh geli, bisa-bisa waktuku habis olehnya.
Moza : Yang nggak aman hatiku lah. Mana ada aku punya pacar tapi malah ngeladenin chat kamu? Oh sori, kalau aku punya pacar tentu saja aku tidak akan mendua wkwk. Mungkin kamu yang sudah punya pacar?
Ardhan : Iya, kamu calonnya, hehe. Hatimu nggak aman kenapa?
Moza : Soalnya kamu gombalin, tuh kan gombalin lagi.
Ardhan : Kenapa bisa gitu?
Moza : Kamu udah nyuri hatiku.
Ardhan : Masa? Aku belum nyuri, masih berjuang ini, wkwk.
"Arghhh, bisa gila nih, udah yuk tidur Zaa. Besok sekolah, dia kan enggak sekolah makanya bebas mau gila malem-malem." Aku menggerutu sendiri, berusaha untuk tetap menjaga intonasi suaraku walaupun aku sedang gemas dengan obrolan malam ini. Dari pada keterusan gila, aku langsung pamit kepadanya untuk pergi tidur hingga dia mengirim pesan terakhirnya.
Ardhan : Good night and nice dream, cantik.
***
POV Ardhan
Aku nggak nyangka bakalan ada cewek yang lucu banget. Mana dia mau menanggapi chat membosankanku ini dengan cepat dan juga memberikan respons baik terhadapku. Biasanya kalau aku suka deketin cewek, selalu saja aku harus dipatahkan dengan cinta bertepuk sebelah tangan. Kadang-kadang aku malas buat punya cewek dulu, tapi juga ada naluri di dalam diri ini untuk mencari seseorang yang dijadiin tujuan sebagai persinggahan.
Tentu saja aku berlangganan aplikasi Omi ini karena pernah melihat konten Alshad. Tapi aku tidak pernah terpikirkan untuk mencari anak sekolahan karena kupikir mereka pasti akan ke kanak-kanakan.
"Ar, tagihan listriknya udah keluar, udah dikirim ke email kamu tuh."
Aku menoleh ke arah rekan kerjaku, lebih tepatnya kami sudah seperti saudara yang cukup dekat, kami tinggal di rumah yang sama dan menjalani bisnis ini. Lantaran dia sudah baik sekali membantuku dalam memajukan bisnis ini serta mengelolanya.
Kudekati laptop yang menyala di atas meja, rupanya dia baru saja mengecek email masuk. Benar saja management tenanku ini sudah mengirimkan tagihan listriknya.
"Astaga, banyak juga ya dendanya. Gimana caranya bayar ini? Mana duitnya muter terus lagi," gumamku seraya mengusap wajah dengan frustasi, lalu aku menarik napas dalam-dalam, kuambil ponsel dan mencari solusi sambil berpikir. Tiba-tiba aku menemukan instagram cewek yang baru saja kudekati ini saat iseng mencari dengan nama lengkapnya.
Stalking sampai bawah, ternyata dia seorang model karena dari postingannya saja dia terlihat sangat cantik, selalu mengenakan outfit yang keren dan ber-make up.
"Ar, kalau nggak ada duit, gajianku bulan ini kamu pakai aja dulu. Kan aku makan sama kamu, tinggalnya juga di rumah kamu, trus selama ini juga kamu udah sering bantu aku transferin Bapak di kampung loh." Aku sedikit kaget saat tiba-tiba ada Jordi masuk ke dalam ruangan ini sambil berkata seperti itu, seakan tahu bagaimana kondisi keuanganku dan pikiranku.
"Jor, kamu ngagetin aku aja." Aku berkata sambil bercanda. "Nggak usah, hak kamu masa mau depending."
"Serius Ar," sahut Jordi sambil memberiku tatapan tajamnya.
"Yang bener?" Aku tidak mau benar-benar serius, maka dari itu saat ini menunjukkan ekspresi paling menyebalkan di mata Jordi.
"Ar."
"Aku udah ada solusi kok."
"Apaan?" Jordi menaikkan setengah alisnya sambil menatapku heran.
"Solusi buat bayarnya Jor," sahutku dengan tenang.
"Tapi tawaranku masih berlaku sampai aku dapat laporan pembayaran telah dilakukan," sungut Jordi sebelum ia beranjak pergi dari hadapanku karena dari wajahnya, ia terlihat kesal.
Melihat hal itu, tak banyak yang bisa kulakukan selain tersenyum tipis sambil geleng-geleng kepala heran. Dalam hati aku berkata, 'Jor, sori banget... Kali ini aku harus bisa mandiri dulu ngurus keuangannya. Kamu butuh, aku nggak boleh egois juga. Semua bakalan ada jalan keluar, bismillah.'