Hari libur tiba, waktunya bagi mereka yang bekerja untuk bersantai di rumah dan menikmati liburan mereka bersama rekan dan keluarga, tak terkecuali Aida yang memang selalu libur di hari sabtu dan minggu.
Selalu tahu rutinitas yang Aida lakukan setiap pagi, Habib pun mendatangi halaman belakang dengan masih memakai piyama tidurnya. Terlihat seorang wanita dengan pakaian sedikit ketat, kaos lengan panjang juga celana trening, tak lupa juga dengan hijab sport yang dia kenakan.
Aida, dia adalah wanita pertama yang suka berolahraga. Habib mengetahui fakta itu setelah lebih dari lima bulan menikah dengan Aida. Tidak terasa memang, tapi begitulah faktanya. Sudah cukup lama mereka menikah, dan seperti itulah kebiasaan yang selalu Habib lihat.
Baru saja hendak mendekat, langkah kaki Habib kembali pada tempatnya setelah dia mendengar apa yang baru saja Aida katakan.
"Iya, kemarilah. Ajak ibu sekalian, mereka belum pernah berkunjung semenjak aku tinggal di rumah ini."
Ternyata sebuah eraphone dengan kabel yang tak terlihat mencocoki lubang telinga Aida yang tengah bicara dengan seseorang dari sambungan telepon. Entah dengan siapa dia bicara, Habib tidak bisa mendengarnya dengan jelas sampai sambungan terputus.
"Eh, kamu sudah bangun. Tidak ke toko hari ini?" tanya Aida saat melihat Habib ada di belakangnya.
"Aku pikir ada baiknya istirahat sehari."
Aida hanya mengangguk lalu berjalan masuk. "Siapa yang akan datang?" tanya Habib membuat Aida menoleh.
"Ibu dan mas Farel."
Jawaban singkat Aida membuat Habib terdiam. Farel? Ah, kenapa, sih laki-laki itu harus selalu ada di sekeliling Aida, bahkan pagi ini dia datang bersama ibu Aida sendiri. Tidak ada yang salah dengan hal itu, tapi Habib menyadari satu maksud yang terselubung.
Menyambut kedatangan mertuanya dengan senyuman, tidak ada yang berbeda sampai dia melihat Farel yang kelihatan baru saja potong rambut. Kelihatan lebih segar memang, Aida yang baru saja keluar dari kamar setelah berganti pakaian pun tersenyum.
"Wah, kamu kelihatan lebih segar. Habis potong rambut, ya?"
"Iya, bagaimana? Sudah tampan belum?"
"Sangat tampan!"
Pujian yang Aida berikan cukup untuk membuat hati Habib panas, dia berdehem pelan dan menarik tangan Aida untuk segera duduk di sebelahnya. Dua buah sofa panjang dengan satu single sofa berhasil mengisi ruang tamu rumah kecil mereka.
Habib mengerti itu hanya gurauan, tapi dia tidak suka kalau Farel terlalu banyak interaksi dengan Aida. Apa lagi sampai menanyakan siapa yang lebih tampan antara Farel dan dirinya, itu membuat Aida sedikit berpikir.
"Kalian berdua sama tampannya," balas Aida membuat Habib tersentak.
Sama?! Ah, tidak Habib tidak suka di samakan dengan lelaki yang hobinya hanya cengengesan ini. Bahkan ibu mertuanya juga memuji mereka berdua dengan sebutan 'sama-sama tampan'. Memangnya apa susahnya menyebut suaminya lebih tampan? Toh, memuji suami itu juga bernilai pahala.
"Aku bawakan dessert box keju lagi untukmu." Farel menyodorkan paper bag yang di bawanya pada Aida.
Wajah Habib hanya datar saat melihat tangan istrinya terulur untuk mengambil paper bag pemberian Farel. Kedatangan mereka hanya membuat Habib kesal, tapi akan lebih buruk lagi kalau sampai Habib tidak ada di rumah.
Bisa-bisa Farel terus-terusan mencari kesempatan untuk mendekati Aida. Ditinggal berdua di ruang tamu saja sudah meninggalkan beberapa gelak tawa yang begitu renyah, sementara Habib menemani mertuanya untuk berkeliling rumah.
Ada sebuah taman bunga mini yang Aida bangun di teras belakang rumahnya, lengkap dengan si oyen, kucing persia kesayangan Aida yang di beli beberapa minggu lalu yang juga di bangunkan kandang mini di dekat sana.
"Kamu benar bahagia dengan Aida?" tanya Zainab mendadak mengajukan pertanyaan yang cukup mendalam.
"Ya, tentu saja. Kenapa Ibu bertanya seperti itu?"
"Habib, Aku ini seorang Ibu yang paham betul seperti apa putriku. Hampir satu tahun kalian menikah, bulan madu juga sudah lama, kenapa masih belum ada anak? Apa kamu tidak menginginkan Aida?"
Habib benar-benar tidak menyiapkan jawaban semacam ini untuk pertanyaan yang jauh di luar perlkiraannya. Tapi kelihatannya dia tidak bisa santai menanggapi ini, karena ini bukan pertama kalinya dia di ajukan pertanyaan seperti ini.
Bukannya tidak menginginkan Aida, tapi ... ah, bagaimana menjelaskan ini. Menggaruk kepala yang tidak gatal pun sama sekali tidak menemukan jawaban. Zainab hanya menghela napas melihat Habib yang tak kunjung menjawab.
"Ibu sakit, Bib. Gagal jantung, dan Ibu bisa mati kapanpun. Tidak ada yang tahu penyakit ini, termasuk Aida. Ibu tidak mau merepotkan siapapun, dan Ibu hanya minta cucu padamu. Mungkin kamu tidak mencintai Aida sampai saat ini, atau ada perempuan lain di hatimu. Tapi Ibu mohon, beri Aida satu anak. Ibu hanya meminta ini padamu," kata Zainab kemudian.
Rangkaian kata demi kata, kalimat demi kalimat yang tertutur dengan indah dari indra pengecap Zainab membuat Habib tertegun cukup lama. Tidak pernah menduga sebelumnya kalau Zainab sakit separah ini sampai menyembunyikan penyakitnya dari suami dan anak kandungnya sendiri.
Mungkin hanya mbok Ani yang tahu, karena dia yang merawat Zainab setiap harinya. Tatapan mata teduh wanita bertangan halus ini memberikan Habib sebuah dorongan untuk mengubah sikapnya demi mewujudkan sebuah permintaan tulus seseorang.
"Maafkan aku, belum bisa menjadi yang terbaik untuk Aida. Aku masih berusaha, Bu. Bersabarlah, aku janji akan memberikan cucu untukmu," balas Habib tersenyum simpul.
"Jangan ucapkan janji yang tidak bisa di tepati. Ibu khawatir kamu tidak sanggup menanggung dosanya."
Habib menggeleng pelan. "Aku janji, Bu. Aku akan memberikan cucu padamu, aku janji." Menarik tangan Zainab, menciumnya dalam sampai wanita itu pun mengelus kepala Habib dan mengecupnya singkat.
Pembicaraan dalam itu berakhir setelah Aida mendatangi mereka untuk mengajak makan kue bersama. Kebetulan ada beberapa bahan kue di kulkasnya, Farel bersedia membuat kue kering untuk camilan mereka hari ini.
Sebagai pemilik toko roti, tentu saja Habib tidak mau kalah dan langsung ikut terjun ke dapur untuk membuat kue bersama Farel. Zainab tersenyum melihat Habib merangkul pinggang putrinya saat berjalan masuk ke dalam.
Entah Farel menganggapnya sebagai kompetisi atau tidak, yang jelas Habib berusaha sebisa mungkin untuk membuat roti dengan hasil yang jauh lebih baik. Keduanya memakai celemek dengan warna yang sama, pink.
Itu milik Aida, kebetulan ada tiga di lemarinya. Kedua lelaki itu berdiri sambil sibuk menguleni adonan, Aida tersenyum melirik Habib.
"Lap keringatmu," kata Aida menyodorkan lap pada Farel.
"Sebenarnya suamimu itu aku atau Farel? Kenapa kamu lebih perhatian ke dia?" tanya Habib spontan dengan kesal.
Aida tersenyum sambil berpindah posisi. Dia tidak mengeluarkan sapu tangan atau tisu, melainkan dengan bajunya sendiri. Baju lengan panjang yang dia kenakan mampi di tarik untuk mengelap keringat di pelipis Habib.
"Sudah?" Aida tersenyum.
Kedua manik mata mereka saling bertemu, cukup lama berpandangan sampai akhirnya Zainab mengeluarkan ponselnya untuk mengambil sebuah potret kebersamaan Habib dan Aida. Seseorang telah menjadi tujuan baginya untuk mengirimkan foto tersebut. Zainab pun tersenyum simpul.