Chereads / Ada Cinta di Matamu / Chapter 23 - 23-HADIAHKU

Chapter 23 - 23-HADIAHKU

Jantungnya berdegup kencang, seolah ada tongkat drum yang memukulnya hingga bertabuh suara degup organ penting tubuh itu. Menunggu seseorang menyelesaikan gerakan mastikasi setelah sepotong kue masuk ke mulutnya.

Di ujung pelipis sudah siap sedia setetes air keringat jatuh ke bumi, perasaan tak karuan dengan gigi mengerat kesal. Semua mata tertuju pada seorang wanita yang kini masih memakai baju lengan panjang juga celana kulot warna hitam di hadapan mereka.

Seulas senyum mengukir wajahnya, dia menatap Habib dan mengacungkan jempol. "Enak!" katanya memuji kue buatan Habib dan di sambut dengan respon kesenangan Habib.

"Yes!" katanya berseru dengan tangan yang tak lupa ikut mengekspresikan kegembiraan lelaki itu.

Zainab tersenyum. "Kue buatan kalian sama-sama enak, sayangnya buatan Farel sedikit bantet," komentar wanita itu pula.

Habib menaikkan bagian leher bajunya, seolah sedang merapikan kerah yang pada kenyataannya sama sekali tidak dia miliki pada saat itu, karena dia hanya memakai kaos putih polos. Lagak sedikit sombong, tapi tentu saja hal sederhana itu membuatnya senang.

Kabarnya Aida akan memberikan hadiah bagi siapa saja yang bisa membuat kue paling enak, dan Habib menantikan hadiah yang akan dia terima. Sayang, Hadiah itu tak kunjung di berikan sampai Farel dan Zainab pulang pada sore harinya.

Seharian mereka disini, menghabiskan waktu akhir pekan mereka berdua tanpa menyisakan waktu untuk berduaan di rumah. Kekesalan Habib semakin bertambah dua kali lipat saat melihat Aida membuatkan teh hangat untuk Farel yang masih sholat dzuhur di musholah.

"Ini teh-nya," kata Aida menyodorkan segelas teh itu pada Farel.

"Ini ti—"

"Tidak pakai gula. Ya, aku ingat teh kebiasaanmu," sela Aida membuat Farel tersenyum mendengarnya.

Entah sedekat apa mereka dulu, sepupu jauh yang kelihatannya begitu hapal kebiasaan satu sama lain itu bahkan saling tahu makanan dan minuman kesukaan masing-masing dari mereka. Bahkan Habib sendiri tidak tahu kalau istrinya suka kue keju, padahal itu kue yang paling tidak di sukai Nadia.

Mereka mengobrol berdua, Habib tak kunjung masuk ke rumah, karena dia ingin mendengar apa yang mereka bicarakan di dapur. Aida tidak ikut ke musholah, karena memang dia sedang dalam masa haid hari ketiganya.

Sementara Zainab masih di kamar, dan Habib berdiri di dekat pintu belakang rumahnya.

"Aku ingin bertanya sesuatu," celetuk Aida, membuat Habib membenahi posisi berdirinya agar lebih nyaman.

"Ya?"

"Kenapa kamu belum menikah?"

Tak satu katapun lolos dari bibir Farel, terlihat diam untuk beberapa saat sampai dia menaruh tehnya di pantry sambil menatap kosong ke arah luar. Untungnya dia tidak melihat keberadaan Habib, karena bersembunyi di balik dinding.

"Kalau sudah ada jodohnya, aku pasti menikah, Aida."

"Jodoh? Jodoh seperti apa yang kamu tunggu?"

"Mungkin ... sepertimu?"

Sebuah jendela kaca menjadi tempat mengintip Habib untuk melihat gerak-gerik Aida saat mendapati pertanyaan itu. Entah pertanyaan, atau pernyataan. Yang jelas, secara tidak langsung Farel telah menyebut tipe wanita idamannya yang tak lain adalah Aida.

Sedikit salah tingkah, Aida pun mengulum senyum. Habib mengepalkan tangannya melihat kejadian itu. Ingin segera masuk, tapi terhenti saat mendengar wanita itu kembali bersuara.

"Mungkin maksudmu wanita berhijab, ya?"

Farel mengangguk perlahan, bahkan senyumnya pun terkesan memaksa. "Ya, berhijab."

"Ah, ada banyak wanita berhijab di luar sana, kenapa masih bingung?"

"Andai saja kamu bisa di fotocopy, aku yakin banyak laki-laki yang menginginkanmu."

Syukurlah Aida sedikit lemot untuk mencerna perkataan Farel barusan. Lelaki itu hanya terkekeh dan berusaha melupakan apa yang baru saja dia katakan, tidak mau berterus terang untuk mengutarakan apa yang sebenarnya ingin dia katakan, membuat Habib gemas sendiri.

Mengingat kejadian itu, sungguh dia ingin marah. Andai saja tidak ada Zainab kala itu, tentu saja Habib sudah keluar dari persembunyian dan menghampiri Farel. Bukan mau marah, hanya ingin memberi seulas senyum saja.

Bergegas Habib keluar dari kamar mandi dan masuk ke kamar. Dilihatnya Aida sedang asik berkutat dengan laptopnya. Mengambil langkah besar dan mendekat perlahan, dia pun memperhatikan apa yang tengah Aida kerjakan di layar monitor.

"Sibuk sekali kelihatannya." Habib duduk di ranjang, tepat di sebelah Aida yang masih fokus ke layar laptopnya.

"Ya, begitulah." Meski sudah kembali melunak, tapi ternyata tidak semudah itu mendapatkan kembali perhatian Aida. Buktinya dia masih terus saja bersikap dingin pada Habib.

Farel, nama yang tertera di room chat Aida pada layar monitor. Entah apa yang mereka bicarakan, isi gelembung chat itu terlalu kecil untuk di baca. Membuat mood Habib menurun lagi setelah sebelumnya sempat bersemangat masuk ke kamar.

"Farel terus, ada hubungan apa, sih antara kamu dan dia?" celetuk Habib mendadak bernada bicara berbeda.

Aida menoleh spontan. "Urusan kerjaan, Mas. 'Kan pabrik cengkehnya ayah ada hubungan kerja sama dengan supermarket mas Farel."

"Toko rotiku juga ada hubungan kerja sama dengan supermarket sepupumu itu, tapi tidak sampai chatan sepanjang kisah nabi, tuh!"

Ada, ada kecemburuan dalam nada bicara Habib. Kalau saja Aida menyadari itu, pasti dia sudah langsung ngeh dan menyadari ada yang berbeda dari ekspresi wajah Habib. Sayangnya otak Aida sedikit lemot hari ini, dia hanya menoleh sekilas sambil mengernyit lalu kembali menatap layar laptop.

Beda urusan, beda kerjaan, tentu saja beda cerita. Tidak bisa menyamakan sistem kerja antara mereka, hanya itu yang bisa Aida tekankan pada Habib sekarang. Mungkin itu terdengar biasa baginya, tapi tidak untuk Habib yang sedang kesal.

Berdecak sebal, dia pun meninggalkan kamar dengan wajah di tekuk. "Ya, sudah! Lanjutkan saja chatan dengan sepupumu itu, kerjaanmu 'kan jauh lebih penting dari pada suamimu ini," tukasnya lalu meninggalkan kamar dengan pintu yang di tutup sedikit keras.

Lama menunggu di luar, nyatanya tak membuat Aida menyadari kekesalan Habib. Semakin kesal, Aida sama sekali tidak peka dengan perasaan Habib sekarang. Bermain ponsel, bermain video game, sampai menonton video youtube pun tak membuat pikiran Habib teralihkan dari Aida.

Sampai satu jam lamanya, barulah Aida keluar dan melihat suaminya duduk berselonjor di ruang tamu. "Mas kenapa di luar terus?" tanya Aida polos, Habib hanya berdecak.

"Kamu pura-pura polos atau memang tidak sadar, sih?!"

"Sadar apa?"

"Aku sedang kesal, Aida. Aku marah padamu, kamu lebih memilih bertukar pesan dengan Farel dari pada menemani suamimu sendiri. Sebenarnya suamimu itu aku atau dia?"

Berusaha membela diri dengan alasan pekerjaan pun sama sekali tidak membuat Habib luluh. Malahan dia semakin kesal karena Aida berulang kali menyebut nama Farel dengan sembut menggunakan indera pengecap miliknya.

Menyadari sesuatu, wanita bermata hitam belok itu pun mengulum senyum sambil menyanggah pinggang dengan satu tangan. "Oh, sedang marah. Jadi kamu ingin aku melakukan apa?"

"Aku hanya ingin hadiahku," tagih Habib meminta Hadiah atas kemenangannya membuat kue paling enak hari ini.

Sedikit berpikir, Habib sampai harus mengingatkan Aida akan hadiah yang dia janjikan. Mengeluarkan tangannya, Aida memanggil Habib untuk mendekat. Sebenarnya malas untuk berdiri, apa lagi harus menghampiri Aida.

Tapi rasa penasarannya lebih besar dari pada rasa malas, membuat Habib beranjak dari duduk dan mendekat dengan ogah-ogahan pada sang istri. "Menunduk sedikit!" pinta Aida.

"Mau apa?"

"Mau hadiahnya, tidak?"

Menghembuskan napas, Habib pun membungkukkan sedikit tubuhnya agar sejajar dengan Aida. Ekspresi wajahnya mendadak berubah tegang saat sepasang bibir kenyal Aida menyentuh pipinya untuk pertama kali setelah hampir satu tahun menikah.

Ya, Aida mencium pipi Habib. Wanita itu tersenyum saat Habib menoleh padanya. "Itu hadiahnya. Semoga kamu suka," katanya pula.

Aida masuk ke kamar sambil tertunduk malu. Habib hanya bisa memegangi pipinya dengan perasaan aneh yang merambat di dada. Aneh, perasaan apa ini? Kenapa Habib merasa ada sesuatu yang berbeda pada dirinya? Di balik pintu kamar, Aida pun masih tersenyum di susul ukiran lengkung bibir Habib.