Ciuman yang Aida berikan kemarin membuat Habib benar-benar kesemsem, alias klepek-klepek. Mereka jadi lebih dekat sejak saat itu, bahkan Habib pun tak ragu untuk turun langsung ke dapur guna membantu istrinya menyiapkan makanan.
Memandikan si oyen bersama, bahkan Habib sampai kena cakarannya karena kucing itu mengamuk. Tak masalah, itu sama sekali tidak membuat Habib marah. Mereka juga membersihkan rumah bersama, karena beberapa hari kedepan, Habib berniat ingin mengecat ulang rumahnya.
Mereka juga pergi belanja bersama, ke supermarket yang tak lain adalah milik Farel. Habib tidak peduli siapa pemilik supermarket ini, lagi pula mereka tidak akan melihat pemiliknya disini 'kan? Logikanya sulit di satukan.
"Suka apel tidak?" tanya Habib memegang buah apel warna merah gelap di tangannya.
"Suka."
"Yang hijau atau yang merah?"
"Keduanya suka."
"Suka anggur tidak?" tanya Habib lagi.
"Suka, Mas."
"Yang hijau atau ungu?"
"Keduanya aku suka."
"Suka pisang?" tanya Habib, lagi.
"Suka, Mas."
"Yang kuning atau yang hijau?"
"Ked ... yang kuninglah, kalau yang hijau 'kan masih mentah," jawab Aida lalu mengoreksi jawabannya setelah melihat apa yang Habib pegang.
Habib hanya terkekeh lalu memasukkan buah pisang ke dalam troli belanja yang di dorong. Aida jalan di depan, sibuk memilih sayuran hijau di etalase dengan pandangan mengabsen satu per satu sayuran di sana.
Terlihat segar dan hijau, terutama daging yang ada di dalam freezer. Wanita yang sekarang memakai rok plisket juga cardigan warna mocca itu terlihat begitu cantik saat berjalan di depannya. Habib hanya melihat tubuh lurus tanpa lekuk itu berjalan pelan dengan sepatu sneakers putih.
Entah kebetulan atau apa, Farel juga ada di sana bersama salah satu asistennya untuk mengecek beberapa persediaan di supermarket. Bertemu dengan Aida, saling sapa dan mengobrol. Ah, kenapa Farel selalu ada dimanapun mereka berada?
"Eum ... Aida, aku ingin melihat-lihat beberapa perabotan dapur, kita ke lantai atas, yuk!" ajak Habib berusaha menarik tangan Aida agar menjauh dari Farel.
"Sebentar, Mas. Aku masih harus memilih daging."
"Sudah, ambil yang ini saja. Ayo!" Mau tak mau, Aida pun menurut pada Habib untuk pergi ke lantai dua dan meninggalkan Farel yang berdiri cengo di sana.
Percaya atau tidak, Habib benar-benar melihat ada sesuatu yang berbeda pada Farel. Bahkan lelaki itu menatap Aida dengan lekat, sayangnya Aida tidak menyadari itu. Dia protes, karena Habib menariknya secara paksa, padahal dia masih belum selesai memilih sayuran.
Dan alibi yang Habib gunakan untuk mencari peralatan dapur pun sama sekali tidak berguna, karena pada akhirnya mereka kembali turun tanpa membawa satu barang dapur pun dari lantai atas.
"Ck, kamu ini kenapa, sih?! Tadi mengajakku ke atas, setelah di atas hanya keliling-keliling tak jelas. Seharusnya kita sudah selesai sejak tadi kalau saja kamu tidak membuang-buang waktu untuk ke lantai atas," gerutu Aida yang lelah berkeliling.
"A—aku kira kita butuh piring, tapi ternyata tidak."
Menggelengkan kepala dengan malas, Aida pun berpindah lorong untuk mencari sayuran yang belum selesai di pilih tadi. Saat hendak berbelok untuk mengikutinya, tangan Habib di tarik oleh seseorang ke arah sebaliknya.
Troli berisi belanjaan itu tertinggal begitu saja di depan lorong tanpa Aida sadari kalau suaminya sudah tidak ada di belakangnya.
"Ada apa?" tanya Habib pada seorang lelaki tanpa brewok yang menariknya.
"Apa masalahmu?"
"Maksud?"
"Tak usah berpura-pura, aku tahu kamu tidak menyukaiku. Ada apa?" Farel, lelaki dengan tinggi badan hampir sama dengan Habib itu terlihat menatap lurus pada kedua manik mata lelaki brewokan tipis di hadapannya.
Ternyata Farel sudah menyadarinya, dan itu membuat Habib cukup senang, karena tidak harus berpura-pura lagi. Dengan jujur dia katakan kalau dia tidak suka melihat Farel terlalu dekat dengan Aida.
Sejak awal melihat Farel, Habib sudah merasakan ada yang berbeda dari raut wajah lelaki itu. Mungkin tidak ada yang menyadarinya, tapi sebagai lelaki, Habib hapal betul tatapan itu. Farel hanya diam menatap Habib.
"Kamu menyukai istriku 'kan?" tanya Habib langsung to the point.
"Ya, aku menyukainya. Bahkan di malam pertama kita bertemu, hari itu aku berniat datang untuk melamar Aida."
Seulas senyum menghiasi wajah Habib, berusaha bersikap tenang meski sebenarnya kesal. Sudah di duga, Farel punya maksud lain. Melihat perubahan ekspresi wajah Farel waktu itu, selalu saja membuat Habib merasa kesal.
"Tidak ada satupun anggota keluarga yang tahu kalau Aida sudah menikah. Aku tidak tahu kalau dia akan datang bersama suaminya waktu itu, kukira dia baru pulang dari kantornya. Bahkan paman Ruli tidak bercerita tentang pernikahan putrinya, aku ... aku benar-benar tidak tahu," sesal Farel.
"Sekarang kamu sudah tahu, dan aku sebagai suaminya menegaskan padamu untuk menjauhi Aida. Dia istriku, kamu tidak seharusnya dekat dengannya," ujar Habib.
Farel hanya menyipitkan mata. "Menjauh darinya? Jangan egois, kamu sendiri masih terus memikirkan wanita lain setelah menikah dengan Aida, kenapa dia tidak boleh dekat denganku?"
Ternyata Aida menceritakan apa yang dia ketahui tentang masa lalu Habib pada Farel. Sebagai wanita yang tidak punya teman dekat, Farel adalah satu-satunya orang terdekat yang bisa Aida singgahi sebagai tempat curhat.
Bahkan tanpa sepengetahuan Habib, Aida sering datang ke apartemen Farel hanya untuk sekedar curhat. Tentunya tidak hanya berdua, karena di apartemen tersebut juga ada seorang art yang membantu Farel mengurus apartemennya.
"Aku sudah tahu semuanya, selama ini aku diam, karena mengikuti keinginan Aida untuk tidak bersuara demi menjaga kesehatan ibunya. Tapi sekarang kita sudah sama-sama tahu, jadi aku harap kamu tidak usah terlalu mengatur Aida, kalau kamu masih mencintai perempuan itu!" tukas Farel lalu meninggalkan Habib dengan banyak rak sayur di belakangnya.
Rasanya seperti mendapat ultimatum setelah mendengar apa yang Farel katakan. Menyadari hatinya yang masih terus tertaut pada Nadia. Tak bisa membohongi diri sendiri, dia juga masih terus memikirkan Nadia sesekali dalam tidurnya.
Ya, benak Habib berteriak kencang membenarkan apa yang Farel katakan. Tapi di satu sisi, dia juga sudah mulai tertarik pada Aida. Hingga tangannya mengepal memendam amarah, tepukan lembut Aida di pundaknya membuat kepalan tangan itu kembali terbuka.
"Kamu aku cari kemana-mana tidak ada, ternyata disini. Sedang apa, sih?" wanita itu celingukan memandangi Habib yang sama sekali tidak bicara dengan siapapun.
"Ah, aku baru saja menerima telepon tadi. Maaf tidak memberitahumu dulu," jawab Habib cepat.
"Aku sudah selesai, ayo kita bayar ini ke kasir."
Mengangguk, mereka pun segera pulang setelah menyelesaikan pembayaran di kasir. Otak Habib tidak pernah berhenti memikirkan apa yang Farel katakan, seolah-olah itu menjadi racun untuknya yang selalu tidak suka pada hubungan dekat Farel dan Aida.
Aida yang sudah kembali ramah pada Habib pun di buat bingung dengan sikap suaminya yang kembali dingin. Tidak banyak bicara, dan kembali ke rutinitas mereka seperti biasanya. Mendapat tarik ulur Habib, Aida pun terdiam.
"Kalau sudah tidak butuh lagi, kenapa tetap memberikanu harapan yang palsu?"