"Mas Habib!" panggil Aida sekali lagi, berusaha menghentikan langkah lelaki dengan bulu tipis di area dagu dan philtrum yang dia punya.
Helaan napas berat keluar lepas begitu saja saat dia mendengar suara Aida berseru untuknya. Wanita itu tampak berdiri dari duduk sembari berjalan beberapa langkah sampai ke ujung teras guna memanggil Habib, berharap dia mau berhenti dan bicara pada Aida.
Farel, satu-satunya lelaki yang tidak pernah kelihatan meninggalkan rumah ini, terlihat masih duduk di kursinya sambil memperhatikan apa yang akan Aida lakukan selanjutnya. Melihat itu, Habib hanya memberi seulas senyum lalu kembali berbalik badan.
"Maaf mengganggu, sebaiknya aku pulang saja," kata Habib kemudian.
"Lho, Mas Habib kenapa pulang?" Aida menarik tangan kanan Habib, membuatnya berbalik badan seketika dan menatap wajah yang terdapat beberapa luka itu.
Dia tidak memakai helm, wajar kalau wajahnya yang mencium aspal membuatnya harus menerima luka goresan di hidung dan bibir. Sama seperti saat jatuh dari tangga, Aida langsung menarik Habib untuk duduk di teras sementara dia mencari kotak obat di rumah.
Habib kembali melihat ke arah sebuah kursi kayu, dimana Farel duduk ketika lelaki itu menghela napas panjang. Sepertinya dia merasa terganggu dengan kedatangan Habib yang membuat percakapan hangat antara dirinya dan Aida terusik.
Hanya melihat sekilas, Habib kembali mengalihkan pandangan. Tak lama, Aida datang membawakan segelas air. Dikira untuk diminum, ternyata untuk mencuci luka.
"Ih, ini untuk mencuci lukamu. Cepat bersihkan!" titah Aida saat Habib hendak meminumnya.
Membersihkannya dengan air, sama seperti menaruh air lemon di luka menganga. Pedih, apa lagi di bagian hidung yang membuat Habib hampir kesulitan bernapas. Setelah di cuci, barulah Aida membersihkan lukanya dengan alkohol.
"Kenapa bisa sampai seperti ini, sih?! Tidak biasanya, lho!"
"Aku jatuh dari motor, karena terlalu fokus pada handphone."
"Kamu bukan anak kecil lagi yang harus kuberitahu. Bermain handphone di jalan itu sangat berbahaya, Mas!"
Sibuk membersihkan luka di bagian bibir, Aida sampai tidak sadar kalau Habib menatapnya dengan lekat. Tidak pernah berubah, Aida selalu terlihat cantik dengan bibir mungil dan pipi chubby-nya.
Kembali teringat perkataan Adit, Habib pun paham kenapa Aida begitu cantik. Tapi dia masih bingung, kenapa dirinya sama sekali tidak teringin untuk menyentuh Aida, padahal dia benar-benar cantik lahir batin.
"Aku menghubungimu, mengirimi pesan juga, kenapa tidak di balas. Karenamu aku jatuh begini, tahu!" sergah Habib kesal.
"Handphone-ku disita ayah, katanya aku tidak boleh bermain handphone dulu sampai kita baikan."
Tak ada jawaban yang bisa Habib berikan, mungkin itu adalah salah satu cara seorang ayah menjaga putri semata wayangnya. Maklum saja, putri satu-satunya di keluarga Ruli, tentu sangat di sayangi.
Beberapa kali sempat meringis menahan pedih akibat alkohol yang di totolkan ke luka merah, Aida meniup pelan sambil ikut meringis. Tak hanya itu, di siku dan lututnya juga ikut di obati. Farel hanya menjadi saksi kebersamaan sepasang suami istri itu sambil berulang kali menghela napas.
Menyadari hal itu, Habib pun mengambil kesempatan untuk berdekatan dengan Aida. Pura-pura merasa sakit saat hendak di beri plester obat, sampai bermanja-manja untuk membuat Farel kesal. Itu yang Habib suka, dia menyembunyikan senyumnya di balik ringisan itu.
"Lain kali hati-hati, jangan sampai jatuh lagi. Aku tidak ada di rumah, siapa yang akan mengobatimu jika luka seperti ini?"
"Maka dari itu, kamu harus pulang. Aku butuh kamu Aida, pulang, ya?"
Aida menggeleng sembari membereskan kotak obat yang ada di pangkuannya. Habib menatap Aida dengan sedikit menunduk. Sempat menolah, Aida juga menatap Habib yang ada di sebelah kirinya. Cukup lama, sampai Habib mendekatkan wajahnya dan menepis jarak antara mereka.
Semakin dekat, cukup dekat, hingga kurang dari satu senti lagi bibir mereka berciuman. Tapi untunglah suara Ruli memecah kesunyian dengan Farel yang sudah hampir tak tahan. Aida segera menjauh begitu mendengar suara ayahnya di depan pintu.
"Habib, ada apa denganmu?" tanya Ruli setelah Habib ditinggalkan Aida masuk ke rumah.
"Jatuh dari motor, Yah."
"Astaghfirullah. Bagaimana bisa? Kamu tidak fokus, ya?"
"Aku memikirkan Aida sepanjang jalan, hingga aku tidak fokus dan akhirnya jatuh. Tapi ini hanya luka kecil, sudah di obati juga tadi oleh Aida."
Ruli menarik napas lega sambil memperhatikan beberapa luka di wajah Habib. Farel berdiri lalu berpamitan, sekarang sudah pukul sembilan malam dan sepertinya Aida memang tidak akan keluar lagi. Dia sudah mengucap salam pada Farel sebelum masuk ke rumah tadi.
Bersamaan dengan itu, Habib juga pamitan pergi. Dilihatnya Aida mengintip dari jendela kaca berbalutkan gorden kuning keemasan di belakang Ruli. Dia menatap Habib tanpa ekspresi, membuat Habib hanya melambaikan tangan.
"Assalamu'alaikum," ucap Habib mencium tangan Ruli. Tak lupa juga mengucap salam pada Aida, tapi hanya melalui gerak bibir tanpa suara.
"Wa'alaikumsalam," balas Aida yang juga mengikuti isyarat Habib.
Mungkin Ruli memang mengijinkan Aida untuk tinggal bersamanya sementara waktu, dia juga menyita ponsel Aida agar tidak berkomunikasi dengan siapapun, tapi tidak dengan suaminya. Dia menerima beberapa pesan dan panggilan dari Habib.
Dilihatnya seberapa besar kesungguhan Habib yang menginginkan Aida pulang. Ruli yakin, Habib masih ingin Aida menjadi istrinya, hingga dia meminta Aida pulang. Tapi wanita itu menolak dengan alasan belum melihat kesungguhan Habib secara langsung.
"Aku akan pulang, kalau aku sudah melihat keseriusannya, Ayah." Itulah jawaban Aida yang juga Habib dengar melalui cerita Ruli.
Habib hanya bisa menghela napas lalu menutup sambungan telepon setelah mendengar jawaban Aida. Bingung harus bagaimana, Habib mengusahakan segala cara untuk membuat Aida kembali pulang ke rumahnya.
Seperti yang Kasim katakan, Habib harus memperbaiki pernikahan ini sebelum terlambat. Dia membuatkan roti spesial, khusus untuk Aida. Mengirimkan buket bunga, sampai datang ke pabrik untuk mengantarkan boneka beruang seukuran galon hanya untuk menyenangkan hati istrinya.
Akan tetapi, selalu saja ada Farel dimanapun Aida berada. Sepertinya lelaki itu memang tidak akan pernah berhenti mendekati Aida, sama seperti yang pernah dia katakan sebelumnya. Ini tidak bisa di biarkan, Habib harus mengambil langkah tegas.
Tiga minggu lebih Aida menginap di rumah orang tuanya, Habib langsung mengambil langkah untuk menemui Farel di supermarket tempat biasa dia bekerja.
"Aku ingin kamu berhenti mendekati Aida, dia istriku!" kata Habib tegas.
"Aida tidak memintaku untuk menjauh, lantas apa salahnya?"
"Tidak ada alasan untukmu mendekat padanya, karena sejatinya mencintai istri lelaki lain itu dilarang dalam agama. Aku sadar aku tidak sempurna, aku tidak bisa memberinya cinta, tapi biar bagaimanapun juga, dia istriku. Aku harap kamu mengerti!"
"Apa kamu sudah merasa kehilangan?"
Habib menahan rasa kesalnya dengan dada yang naik turun. Bukannya menurut, Farel malah menentangnya dengan mengatakan hal yang memicu emosi. Aida ingin mengajukan gugatan cerai, katanya.
Mata Habib langsung melotot mendengar itu, dia menarik kerah baju Farel untuk bersiap memukul. Tanpa sempat melayangkan pukulan, Farel sudah jatuh menarik tangan Habib,
"Mas Farel!" teriak Aida yang datang dari arah belakang. Habib makin terkejut. "Kamu apa-apaan, sih, Mas?!" omel Aida menatap kesal Habib.
Hah?