Zainab berhasil di bujuk untuk kembali masuk ke kamar, bersama dengan Aida yang menuntun kursi rodanya juga mbok Ani yang selalu menemani. Tinggalah Ruli, Habib dan Farel di ruang tamu. Mereka bertiga tampak masih belum selesai membicarakan masalah ini.
Tipe orang yang sulit bicara, apa lagi menjelaskan sampai orang percaya padanya, membuat Habib sulit mendapatkan kepercayaan Ruli. Berulang kali dia menjelaskan kalau sebenarnya Farel menyukai Aida, tapi tetap saja tidak percaya.
Mereka itu sepupuan, rasanya tidak mungkin kalau Farel menyukai Aida. Itu seperti sebuah lelucon yang terdengar di telinga Ruli. "Paman percaya, Farel tidak akan mungkin seperti itu. Iya 'kan, Rel?"
"Iya, Paman. Aku tidak mungkin seperti itu," sahut Farel, membuat Habib mengeratkan gigi dengan kesal.
Untuk masalah pernikahan Habib dan Aida, itu bisa menjadi urusan mereka sendiri. Ruli menyerahkan semuanya pada Habib dan Aida, biarkan mereka yang menyelesaikan semuanya sendiri. Dia percaya, ini hanya sesaat.
Ketika semuanya sudah kembali membaik, Habib pasti bisa menjemput Aida pulang. Cemburu, kesal, marah, serta pertengkaran dalam rumah tangga itu biasa. Ruli menganggap ini hal wajar, apa lagi kalau sampai Habib cemburu seandainya Aida dekat dengan Farel.
"Biarkan saja Aida tinggal bersama kami untuk sementara waktu, agar dia bisa merenungkan masalah ini baik-baik. Kamu juga sebaiknya evaluasi diri lagi, Ayah yakin kamu tahu apa yang seharusnya kamu lakukan," pesan Ruli sebelum Habib di persilahkan pulang.
Tidak di beri waktu untuk menjenguk Zainab, keduanya di perintahkan pulang siang itu juga. Pintu utama tertutup setelah mereka melangkah keluar, Habib menoleh ke sisi kirinya, tepat di posisi Farel berdiri dengan tatapan yang juga mengarah padanya.
Entah kenapa Habib merasa kesal, karena Farel tidak mau mengakui apa yang telah Habib katakan tadi. Padahal sudah jelas-jelas Farel mengatakan itu sendiri pada Habib pada saat mereka bertemu di supermarket.
"Kalau aku jujur, Aida pasti akan membenciku. Aku tidak mau hal itu sampai terjadi, maka dari itu aku tidak mau mengakuinya," jelas Farel.
"Bedebah! Kamu sengaja melakukannya agar bisa tetap dekat dengan Aida 'kan?"
Farel tersenyum simpul sambil mengangkat sebelah bahunya. Dia berjalan lebih dulu untuk masuk ke mobilnya, tapi Habib menarik pundak lelaki itu untuk kembali bicara. "Kamu masih ingin mendekati Aida?!" erang Habib bernada tinggi.
"Apa masalahmu? Selama Aida tidak memintaku untuk menjauhinya, maka aku masih berhak mendekatinya."
"Tapi dia istriku, aku suaminya!"
"Suami? Suami macam apa yang memikirkan perempuan lain di saat istrinya berusaha memberikan kesenangan untuk suaminya? Kamu bahkan tidak pernah sekalipun menyentuh Aida, apa itu yang di sebut suami?"
Deg!
Perkataan Farel benar-benar tepat menghujam jantungnya. Rasanya langsung tertampar, terjungkal, sampai jatuh sejatuh-jatuhnya mendengar perkataan itu. Sungguh membuatnya mengevaluasi diri.
1 tahun, adalah waktu yang tidak singkat. Semua masa yang dia lewati bersama Aia benar-benar tidak menyisakan jejak di tubuhnya, baik dalam bentuk rasa maupun fisik. Tidak pernah menyentuh? Ah, apakah itu harus?
"Ya, haruslah! Yang namanya istri, dia juga ingin mendapat kepuasan, Mas! Memangnya Mas Habib bisa menahan diri untuk tidak ... seks?" Sahutan rekan kerja Habib membuatnya menoleh seketika.
Adit, salah satu rekan kerja di toko roti cabang itu adalah satu-satunya teman yang dia punya selama tinggal di Jambi. Tidak, ada banyak teman, tapi dari sekian banyak teman yang dia punya, hanya Adit lah teman dekat sekaligus asistennya selama di toko.
Dia sering cerita masalah pribadi dengan Adit, begitu juga sebaliknya. Lelaki yang sudah memiliki dua anak itu selalu membagikan tips-tips untuk meluluhkan hati wanita, tapi semua yang dia pelajari dari Adit selama ini sama sekali tidak bekerja.
"Aku sama sekali tidak punya gairah untuk seks," jawab Habib santai.
Satu tamparan mengenai pipi Habib saat dia sedang asik bercerita. Tangan penuh tepung itu berhasil meninggalkan jejak lima jari di pipi Habib yang berbulu.
"Sadar, Mas! Kamu memiliki seorang istri yang cantik, jangan si angguri terus! Istriku yang tidak secantik mbak Aida saja membuatku candu, apa lagi kalau dia secantik mbak Aida. Bisa-bisanya kamu tidak nafsu padanya," omel Adit pula. Geleng-geleng kepala heran mendengar jawaban Habib.
Mulai berpikir apa yang salah pada dirinya sambil mengusap-usap noda tepung di pipinya, Habib pun kembali termenung. Bukannya tidak nafsu, tapi ... dia hanya tidak ingin menyentuh istrinya tanpa adanya keinginan. Kalian mengerti 'kan?
Habib pasti menyentuh Aida kalau dia memang menginginkan wanita itu, pasti! Tapi masalahnya, untuk saat ini dia masih belum menginginkan Aida. Itu semua berbanding terbalik dengan perasaannya yang selalu merasa kesal setiap kali melihat Aida berinteraksi dengan Farel.
"Habib, ikut Paman sebentar!"
Entah datang dari mana, Kasim tiba-tiba masuk ke dapur dan menarik tangannya untuk pergi ke ruang kerja pribadi di lantai atas. Padahal ini toko cabang, Kasim jarang ke sini, kecuali untuk beberapa hal tertentu.
Perasaan tak enak yang sebelumnya dia rasakan terbukti setelah dia mendapat omelan langsung dari Kasim yang tahu tentang kondisi pernikahannya sekarang. Entah tahu dari mana, Kasim selalu saja mendapatkan informasi terkini tentang dia dan Aida.
Padahal Habib belum cerita apa-apa, sengaja agar tidak mendapat omelan dari Kasim lagi.
"Iya, Aida memang tinggal bersama orang tuanya sekarang. Sudah dua hari dia di sana," jujur Habib tertunduk malas.
"Nah, kan. Ini semua pasti gara-gara pelacur itu 'kan?! Sudah berapa kali Paman katakan padamu, Habib. Berhenti memikirkannya, jangan lagi kamu ingat-ingat dia. Mulut Paman sudah berbusa menceramahi kamu, tapi kenapa kamu tidak pernah mengerti?!"
"Ini bukan karena Nadia, Paman. Tapi Farel, sepupu Aida yang sok tampan itu. Dia menghasut Aida!"
"Alah, alasan. Kamu itu selalu saja membela Nadia, pelacur itu sudah punya anak dari sahabatmu sendiri. Untuk apa kamu masih memikirkannya? Pikirkan istrimu, ajak dia pulang!"
Begitu panjang ceramah yang Kasim berikan pada Habib, membuatnya hanya bisa diam, menatap lurus ke depan dengan tangan mengepal. Benci mendengar kata pelacur yang selalu tertuju pada Nadia, benci mendengar omelan yang selalu menyalahkannya.
Bahkan Habib juga benci ketika pamannya mengagungkan nama Ruli sebagai orang yang banyak menghutangkan jasa pada mereka. Harus begini, harus begitu, jangan seperti ini, jangan seperti itu, semuanya membuat Habib sangat muak.
Rasanya kepalanya hampir meledak, membuatnya meninggalkan Kasim begitu saja tanpa mendengar sampai selesai pidatonya. Tak peduli sekeras apa Kasim menyerukan namanya, dia tetap pergi.
"Mas, mau kemana?!" tanya Adit yang juga tak di hiraukan.
Berkendara malam dalam perjalanan pulang, Habib terus memikirkan Aida. Berusaha menghubungi perempuan itu, tidak mendapatkan jawaban, sampai dia memberi banyak pesan untuk wanita itu. Saking fokusnya bermain ponsel, Habib sampai jatuh dari motor.
Beberapa luka baret dia dapatkan di siku dan lututnya. Tapi dia kembali bangun dan melanjutkan perjalanan menuju rumah mertuanya demi menemui Aida. Malangnya, dia menemukan pemandangan yang membuatnya semakin kesal.
Aida mengobrol berduaan dengan Farel di teras rumahnya, tertawa dan bercanda. Beberapa saat setelahnya, Aida berhenti tertawa saat melihat Habib dengan luka di bibir dan hidungnya yang berdarah.
"Mas Habib," panggil Aida pelan.
Tanpa kata, Habib kembali balik kanan dan pulang.