Chereads / Ada Cinta di Matamu / Chapter 26 - 26-MENGELAK

Chapter 26 - 26-MENGELAK

Tidak pernah sebelumnya Habib memeluk istrinya sedekat ini, bahkan dalam keadaan hujan petir pun, Habib tidak pernah membalas pelukan Aida ketika harus menghadapi takutnya suara gemuruh petir yang membelah langit.

Akan tetapi kali ini Aida yang justru menurunkan tangan saat suaminya melingkarkan kedua tangan di tubuhnya. Habib tidak bisa marah pada perempuan, siapapun itu, dia tidak akan bisa meluapkan amarahnya dengan spontan.

Hanya lelaki pengecut yang berani memarahi wanita, dia benci dengan tipe lelaki seperti itu. Sebuah pelukan mengajarkannya untuk merasakan detak jantung satu sama lain dari dekat, dengan begitu dia bisa merasa lebih tenang saat gejolak hati sedang mendidih.

"Aida, Habib, Farel, ada apa ini?" tanya Ruli saat melihat keributan yang sebelumnya terdengar begitu gaduh, kini mendadak sepi.

Farel hanya menoleh, sementara Habib masih memeluk erat Aida. Beberapa saat Ruli terlihat diam sambil meminta kejelasan dari Farel, tapi lelaki itu tidak menjawab dan menyuruh Habib untuk menjelaskan sendiri apa yang sebenarnya terjadi.

"Lebih baik kalian semua masuk, kita bicarakan ini semua baik-baik di dalam," ujar Ruli pula yang langsung dengan perintah yang cukup tegas.

Habib melepaskan pelukannya, menatap Aida beberapa detik sebelum wanita itu masuk ke rumah tanpa kata. Tak mau ketinggalan, Habib juga ikut berjalan di sebelah Aida tanpa mengijinkan Farel untuk berdekatan dengan istrinya.

Di kala kondisi ibunya yang sedang jatuh sakit, ada saja masalah kecil yang datang ke rumah, membuat gaduh suasana rumah sampai membuat Ruli harus memijit kepalanya dengan perlahan. Pusing memikirkan kesehatan sang istri, sekarang malah di tambah lagi dengan pertengkaran Habib dan Farel.

Semua orang duduk terdiam di ruang tamu, mbok Ani datang dengan memberikan secangkir teh pada masing-masing orang, termasuk Habib dan Farel.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Mbok Ani bilang kamu dan Farel bertengkar. Apa itu benar, Bib?" tanya Ruli pada menantunya.

Habib yang duduk di kursi kanan depan Ruli hanya memandangi segelas teh di tangannya. Dia tidak berani menjawab, sampai Farel yang angkat bicara dan menyebutkan sebuah kata pantangan di keluarga Habib.

"Sebenarnya Habib itu tidak pernah bahagia bersama Aida, Paman," katanya.

Habib langsung mendongak. "Kata siapa?"

"Jangan berpura-pura, Aida sendiri yang mengatakan itu padaku. Bukankah kamu masih mencintai mantan kekasihmu itu? Jangan buat Aida semakin tersiksa, lepaskan saja dia!"

Baru saja hendak berdiri, Aida sudah menarik tangan Habib untuk tetap duduk di sebelahnya. Untunglah Habib bisa mengendalikan diri dengan adanya Aida bersamanya, kalau tidak? Entah sudah jadi apa Farel sekarang.

Tidak pernah sekalipun Habib maupun paman dan bibinya membahas masalah mantan kekasih Habib, tapi sekarang Farel malah menyinggung soal itu. Padahal sudah jelas betul, kalau sebenarnya Habib sengaja menutupi hal itu dari keluarga Aida.

"Ini semua tidak ada hubungannya dengan masa laluku, aku hanya tidak suka kamu terlalu dekat dengan Aida, karena kamu dia jadi berubah!" tukas Habib kesal.

"Berubah? Berubah bagaimana?" tanya Ruli pula.

"Aida menjauh dariku, Ayah. Dia bersikap dingin sebulan terakhir ini, dan semua itu gara-gara Farel. Aku tahu, lelaki ini bukan hanya mendengarkan curhatan Aida, tapi juga menghasutnya untuk menjauhiku." Tatapan akhir Habib mendarat pada lelaki yang sekarang duduk berhadapan dengannya.

Posisi melingkar di ruang tamu dengan sebuah meja kaca di tengah-tengah mereka, membuat semuanya bisa saling melihat satu sama lain, termasuk Ruli yang langsung melirik Farel. Lelaki itu tak mungkin tinggal diam, dia langsung mengeluarkan kata-katanya untuk pembelaan.

Apa yang Farel katakan memang benar adanya, tapi Habib juga tidak tinggal diam. Selama ini dia sudah berusaha untuk menerima Aida dan pernikahan mereka, meski semuanya berjalan hanya dengan kerangka tanpa nyawa.

Pernikahan mereka terjalin dengan hampa, makan bersama, saling memberi perhatian seadanya, sampai tidur bersama. Tapi semua itu Habib lakukan dengan usaha yang tidak mudah, dia pikir Aida mengerti kesulitannya, tapi ternyata tidak.

"Paman tidak tahu 'kan kalau selama ini Aida tidak bahagia dengan pernikahannya? Untuk apa di pertahankan, Paman?"

"Mas, kenapa kamu bicara begitu?" tegur Aida tampak tak senang.

"Bukankah memang begitu kenyataannya? Sudahlah, Aida. Jangan lanjutkan pernikahan ini, dari pada batinmu semakin tersiksa."

Lihat, betapa pandainya Farel membuat suasana semakin keruh dengan tuduhan yang membuat Habib benar-benar tidak habis pikir. Tentu saja Habib langsung angkat bicara, semua yang Farel katakan semata-mata ingin menutupi niatnya yang memang sejak awal ingin mengkhitbah Aida.

Karena terlambat, Farel menjadikan dirinya sebagai teman curhat Aida, memberikan kenyamanan dan membuat wanita berpipi chubby ini berpikir bahwa mengakhiri pernikahan adalah jalan keluarga terbaik.

"Tidak, itu sama sekali tidak benar!" bantah Farel.

Habib tersenyum miring. "Bahkan saat pertama kali kamu datang ke rumah ini untuk melamar Aida, kamu masih bisa mengelak kalau apa yang kukatakan itu tidak benar?"

Ruli melihat Farel dengan tatapan terkejut. Bahkan Aida juga menatap suaminya dari samping dengan bingung, mereka berdua tidak tahu-menahu sama sekali tentang niat Farel pada hari itu, kecuali setelah Habib berkata demikian.

Berusaha untuk tetap tenang, Farel pun menjelaskan kalau apa yang Habib katakan itu salah. Dia sama sekali tidak berniat untuk melamar Aida, semua yang di tuduhkan itu sama sekali tidak benar.

"Mas, kamu jangan bicara sembarangan. Mas Farel tidak mungkin berniat seperti itu, aku 'kan sudah menjadi istrimu," seloroh Aida masih tidak mempercayai tuduhan Habib.

"Memangnya siapa yang memberitahunya kalau kamu sudah menikah? Dia tidak tahu, maka dari itu dia datang melamarmu. Tapi begitu tahu kamu sudah menikah denganku, niatnya pun urung."

Tatapan Aida seketika berubah berbeda saat menatap Farel, seolah ada campuran antara kecewa dan kesal, tidak percaya kalau Farel memang benar-benar ingin melamarnya. Tapi semua ucapan Habib masih terus di bantah dan menimpanya dengan fakta kekasih masa lalu Habib yang masih terbayang-bayang sampai hari ini.

Ruli yang sama sekali tidak tahu akan mantan kekasih Habib itu pun jadi bertanya panjang lebar tentang masalah ini, apa lagi setelah dia mendengar kalau putrinya di perlakukan dengan tidak baik selama tinggal bersama Habib.

Bagaimana cara Aida menatap ayahnya juga menunjukkan banyaknya luka yang dia rasakan, sampai akhirnya topik teralihkan dengan sendirinya. "Itu masa laluku, Yah. Sekarang yang menjadi masalah adalah dia, dia ingin merebut Aida dariku!" tunjuk Habib pada Farel.

"Lupakan soal Farel, sekarang ayah ingin mendengar jawabanmu tentang perempuan itu. Apa kamu masih memikirkannya?"

Habib terdiam, sekali melirik ke Aida, wanita itu sama sekali tidak memberikan bantuan untuk menjawab. Dia hanya tertunduk sambil menahan air mata, membuat Habib bingung tujuh keliling menjawab pertanyaan yang satu ini.

"Ada apa ini?" Zainab keluar menggunakan kursi rodanya bersama mbok Ani yang mendorong dengan pelan.

"Ibu."

"Ibu?"

"Ibu?"

Suara itu bersahutan saat Farel, Ruli dan Aida menoleh bersamaan. Padahal istrinya itu sedang sakit, tapi dia rela keluar kamar hanya demi melihat apa yang terjadi di ruang tamu. Kebisingan percakapan mereka benar-benar mengganggu waktu istrirahatnya.

"Kenapa Ibu keluar, bukannya Ibu sedang sakit?" tanya Aida cemas.

"Ada apa denganmu? Kamu menangis?" Pandangan Zainab tertuju pada sebuah tas besar yang ada di dekat sofa. "Kamu dan Habib sedang bertengkar?"