Chereads / Ada Cinta di Matamu / Chapter 25 - 25-IBU SAKIT

Chapter 25 - 25-IBU SAKIT

Cemburu terhadap air yang selalu menyentuh setiap celah tubuhnya, cemburu dengan cermin yang selalu di tatapnya, cemburu dengan angin yang selalu membelai pipi halusnya, bahkan cemburu terhadap setiap orang yang datang silih berganti, meski tahu mereka hanya membeli sepotong roti.

Habib melihat seorang wanita berdiri diam di depan toko dengan dinding kaca yang tembus pandang. Jelas sekali dia melihat Aida berdiri di seberang jalan sana, hanya diam sambil memegangi tali tas selempang yang biasa dia pakai.

"Sepertinya dia ingin menemuimu, hampirilah!" kata Kasim yang juga menyadari keberadaan Aida.

Membuka celemek cokelat yang selalu Habib pakai, dia pun bergegas berjalan keluar untuk menghampri istrinya. Panasnya terik matahari siang itu membuat Habib sedikit menyipitkan mata untuk bersiap menyeberang jalan.

Angin berhembus pelan, membuat kerudung panjang yang Aida kenakan melambai-lambai pelan. Dua ruas jalan yang berhasil di seberangi membawa Habib menghampiri Aida. Dilihatnya dengan seksama, kedua mata wanita itu terlihat memerah.

"Ada apa?" tanya Habib bingung. "Dengan siapa kamu datang? Mana mobilmu?" Matanya berusaha menjelajahi daerah pejalan kaki yang di penuhi banyak kendaraan terparkir.

Tidak ada satupun mobil warna merah yang terparkir di sana. Sepertinya Aida memang tidak datang dengan mobilnya sendirian, tapi itu justru membuat Habib bingung sendiri melihat bagaimana ekspresi wajah Aida.

"Ibu sakit, Mas. Aku mau pulang ke rumah untuk beberapa hari dan merawat ibu di sana." Akhirnya Aida bersuara.

"Jadi, kamu mau meninggalkanku sendirian di rumah?"

"Aku tidak punya pilihan lain. Lagi pula kamu selalu menagabaikanku, sebaiknya kamu berpikir dua kali untuk melanjutkan pernikahan kita, aku tidak mau tersiksa terlalu lama." Suara parau Aida terdengar jelas saat dia menatap Habib.

Matanya berbinar, menunjukkan beberapa kristal bening yang menetes perlahan. Habib tidak tahu kalau ibu mertuanya sedang sakit sekarang, dia pikir gagal ginjal itu tidak akan membuat Zainab selalu sakit.

Kiranya penyakit itu hanya akan kambuh dalam beberapa waktu tertentu saja. Dan Aida akan tinggal bersama orang tuanya sampai waktu yang tidak di tentukan, dia datang hanya untuk sekedar berpamitan dengan Habib saja.

"Aida, ayo! Ibumu sudah menunggu," kata Farel yang mendadak muncul dari sela-sela mobil yang ada.

"Aku pergi, assalamu'alaikum," pamit Aida.

"Aku antar kamu ke rumah ibu." Tangan Habib dengan sigap menahan lengan Aida.

"Tidak, biar aku saja yang mengantarnya," sahut Farel pula.

Habib menggeleng cepat. Tidak, dia ingin mengantar istrinya sendiri ke rumah orang tuanya, sekalian Habib juga ingin melihat bagaimana kondisi Zainab sekarang. Baik Aida atau Farel sama-sama menolak untuk diantar oleh Habib.

Makin kesal dengan penolakan itu, beranggapan kalau Farel adalah penyebab utama Aida menolak tawarannya. "Aida, aku yang antar kamu pulang," tegas Habib menatap kedua mata bulat Aida.

Tanpa jawaban, wanita itu mengangguk pelan. "Kamu tunggu disini, aku akan mengambil motorku sebentar."

Kembali menyeberang jalan, mengambil jaket denim yang biasa ia pakai di dalam toko, Habib pun segera menghampiri Aida untuk mengantar istrinya pulang. Jauh, mendekat, kembali jauh, dan sekarang sangat jauh.

Jarak adalah sesuatu yang paling Habib benci, tapi kali ini hatinya benar-benar merasa sesak saat menyadari Aida mulai meragukan pernikahan mereka. Berpikir yang macam-macam tentang apa saja yang Farel katakan pada istrinya, mencuci isi kepala sang istri sampai berpikiran untuk menydahi pernikahan mereka.

"Peluk aku, nanti jatuh," kata Habib memberi arahan.

"Tidak."

"Peluk, Aida. Nanti kamu jatuh!"

Aida hanya menggeleng. Habib memandangi bingung pada kaca spion yang mengarah pada wajah Aida. Ini jelas memperlihatkan perubahan yang amat sangat jauh berbeda dengan sebelumnya. Padahal ini bukan pertama kalinya mereka duduk berdua di atas motor.

Sosok Aida yang selalu ceria dahulu langsung memeluk Habib dengan erat saat duduk di motor, bahkan sebelum motor itu berjalan. Habib hanya menarik sudut bibir dengan kesal sambil melepaskan tautan tangan Aida.

"Tidak usah peluk-peluk! Aku risih!" katanya menghardik dengan kasar.

"Nanti kalau aku jatuh bagaimana?"

"Tidak akan jatuh, kamu pikir aku membawamu mati bersama?"

Perkataan itu masih membekas di benak Aida, hingga dia tak mau lagi memeluk Habib. Dan sekarang Habiblah yang merasa menyesal telah mengatakan itu, rasanya ingin menarik kembali kata-katanya dan menarik tangan Aida segera untuk memeluk perutnya.

Tapi percuma, setelah di tarik pun Aida kembali melepaskan pelukan itu dan hanya bertengger di atas lutut. Ah, Habib benar-benar gusar memikirkan hal ini. Setibanya di rumah Ruli, Aida turun dan memintanya untuk segera kembali ke toko roti.

"Tidak, aku mau masuk dan melihat ibu juga," tolak Habib memubuka helmnya.

"Tidak perlu, ada mas Farel disini. Dia sudah membawakan dokter untuk Ibu. Pekerjaanmu lebih penting, pergilah!"

Habib terdiam mendengar itu. Tangannya mengepal kuat dengan emosi yang tak tertahankan lagi. Di tambah kedatangan Farel yang buru-buru mengajak Aida masuk, menarik tangan wanita itu untuk berjalan bersama, membuat Habib tak bisa menahan diri.

"Apa ini gara-gara Farel? Apa dia yang membuatmu berubah seperti ini?!" tanya Habib lantang.

Aida berbalik badan. Dia menggeleng pelan. "Aku tidak mengerti apa maksudmu."

"Apa saja yang di katakan sampai kamu berubah, Aida? Bukankah dulu kamu begitu perhatian padaku, ramah, selalu tersenyum, bahkan sampai aku bosan mendengar ceramahmu setiap pagi. Lantas kenapa sekarang kamu berubah?! Apa dia mencuci otakmu?"

"Jaga ucapanmu, Mas. Mas Farel sama sekali tidak melakukan apa-apa."

"Bohong! Dia sendiri punya niat terselubung terhadapmu, apa kamu tidak menyadari itu, hah?!"

"Mas, sudah!"

"Aku berusaha berubah demi kamu, aku ingin menerima pernikahan kita, ingin menerimamu sebagai istri, bahkan sudah hampir berhasil, tapi kenapa kamu membuatku kembali ragu?! Jika memang kamu ingin pernikahan ini bertahan lama, tolong mengertilah aku. Bukan hal yang mudah melupakan masa lalu, tapi aku mohon bertahanlah!"

"Mas!"

"Apa?!" Tanpa sengaja nada bicara tinggi Habib membentak Aida tepat di depan wajahnya.

Untuk pertama kalinya setelah menikah cukup lama, Habib membentak langsung Aida di hadapan Farel, bahkan mbok Ani yang ada di depan pintu juga melihat kejadian itu dan langsung melaporkannya pada Ruli.

Aida menangis tanpa suara, tersentak dengan suara Habib yang begitu tinggi. Farel marah, dia mendorong dada Habib sambil memberikan omelan panjang kali lebar yang membuat Habib semakin emosi.

Bagaimana tidak, di saat dia dan istrinya sedang ada masalah, selalu saja Farel ikut campur dalam hal apapun itu. Hampir saja adu jotos karena selisih paham, Aida buru-buru memisahkan mereka berdua dan mendorong Habib menjauh.

"Mas Habib hentikan! Jangan salahkan siapapun, karena kesalahan itu ada pada diriku sendiri. Aku tidak menyalahkan mas Farel, apa lagi Nadia, karena aku yang salah. Andai saja aku tidak jatuh cinta padamu, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini. Tapi ... tampaknya sulit menaklukanmu. Bahkan di saat kita sudah mulai dekat, kamu masih memikirkan Nadia."

"Tapi Farel juga—"

"Tidak ada hubungannya dengan mas Farel, dia hanya teman curhatku, tidak lebih!" sela Aida cepat.

"Dia menyukaimu, Aida. Apa kamu tidak sadar itu?"

"Jangan sembarangan kamu!" bantah Farel cepat.

Menantang, Habib membusungkan dada dan berniat untuk bertarung langsung dengan lelaki di belakang Aida. Mereka terus bercekcok sampai Aida berteriak kencang mengusir Habib. Sakit hatinya kian bertambah saat melihat sifat Habib yang sebenarnya, marah-marah sampai membuatnya takut.

Baru saja hendak melangkah masuk, Habib kembali menarik tangan Aida dan memeluk perempuan itu. Tubuh Aida jatuh di pelukan Habib, erat dan dalamnya pelukan membuat Aida tidak bsia berontak sedikitpun.

"Mas, lepas—"

"Ssst ... aku sedang marah padamu, jangan bicara, aku hanya ingin memelukmu agar marahku cepat hilang," sela Habib bersuara berat.