Sekarang sudah hampir jam sepuluh malam dan Aida masih belum ada di rumah, padahal Habib sudah berpesan agar wanita itu tidak pulang malam hari ini. Tapi entah kenapa, Aida malah membangkang dan membuat Habib uring-uringan sendiri di rumah.
Mengingat kejadian di depan supermarket tadi, membuat Habib sedikit resah dan terus kepikiran pada Farel. Tatapan lelaki itu tidak pernah berubah sejak pertama kali bertemu dengannya sampai sekarang, selalu saja menunjukkan rasa cinta dalam tatapannya.
Merelakan diri untuk pulang lebih awal hanya demi menyiapkan makan malam, Habib malah di buat menunggu selama ini. Dia melihat jam dinding berulang kali, makanan yang dia buat sudah tentu dingin.
"Ish, kemana dia sebenarnya?" gerutunya sambil melihat keluar jendela.
Ingin menelepon, tapi Habib tidak punya nomor ponsel Aida. Hah, bayangkan saja seberapa jauhnya jarak antara sepasang suami istri yang satu ini. Saking jauhnya, mereka sampai tidak punya nomor ponsel satu sama lain.
Hingga Habib mendengar suara deru mobil dan segera mengintip ke luar jendela kaca rumahnya. Dahinya mengkerut saat melihat mobil putih yang justru datang menghampiri halaman rumahnya. Itu bukan mobil Aida, karena mobil Aida seharusnya warna merah.
Masih memperhatikan dari balik gorden, Habib pun di buat melotot saat melihat siapa yang keluar dari mobil tersebut untuk membukakan pintu Aida. Farel, kenapa Aida bisa pulang bersama lelaki itu? Ah, tidak bisa begini terus. Habib harus mewawancarai Aida nanti.
"Apaan, sih?! Kenapa lama sekali, pakai acara ketawa-ketawa segala?!" Panasnya rumah ini bahkan bisa di kalahkan dengan suhu tubuh Habib yang sekarang sudah mampu mendidihkan segelas air.
Aida tertawa renyah sambil melambaikan tangan pada Farel yang kembali masuk ke mobilnya. Pintu terbuka, Habib sudah berdiri tepat di sebelahnya, sementara kedua tangan sudah terlipat dengan posisi bersedekap di dada.
"Dari mana kamu?" tanya Habib mulai menginterogasi.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Dari mana kamu?" Pertanyaan yang sama kembali di ajukan pada Aida yang terlihat baru saja hendak melangkah.
Menjawab seadanya, sama sekali tak membuat Habib merasa puas dengan jawaban itu. Rasa curiga mendadak datang saat mengingat kejadian di depan supermarket tadi. Melihat keluar, tak ada mobil Aida di tempat biasa.
"Kenapa pulang sama Farel? Mobilmu mana?"
"Mobilku mogok, harus masuk bengkel, makanya aku pulang bersama mas Farel."
Aida berjalan ke meja makan, dia melihat ada cukup makanan untuk di makan malam ini. Tubuhnya yang lelah membuat dia enggan bicara banyak dengan Habib. Tapi lelaki yang sedang di rundung rasa kesal ini mengikuti langkah Aida dengan tangan masih bersedekap manis di dada.
"Setahuku ini bukan jaman dulu lagi, sudah banyak ojek dan taksi online. Kenapa harus sama Farel?"
Baru saja hendak menyuap tempe goreng ke mulut, suara Habib sudah kembali terdengar lagi, membuat Aida mengurungkan niatnya dan menaruh kembali tempe itu di piring. Tubuhnya yang lelah tak siap untuk menjawab banyak pertanyaan dari Habib.
"Aku tidak dapat taksi, tapi aku bahkan sudah meneleponmu berulang kali, tapi tidak kamu jawab. Kenapa, coba?"
Membulatkan mata, Habib pun memeriksa ponselnya yang memperlihatkan banyak panggilan tak terjawab dari nomor asing tanpa nama. Ya, Habib sempat menerima beberapa panggilan masuk dari nomor asing tadi.
Sekitar jam sembilan malam, dia juga sadar akan panggilan masuk yang mengganggu itu. Tapi dia sama sekali tidak tahu kalau itu adalah nomor Aida, bahkan Habib sampai mengheningkan ponselnya agar tidak di ganggu dengan nomor asing itu.
"O—oh, jadi ini nomormu, ya? Kukira orang iseng," ujar Habib dengan raut wajah tak bersalah, membuat Aida hanya memutar bola mata dengan sebal. "Dari mana kamu dapat nomorku, rasanya kita belum bertukaran nomor?"
"Aku dapat dari bibi."
Habib mengangguk pelan. Dia ikut duduk di sebelah Aida yang sudah mulai mengambil nasi untuk di makan. Perutnya begitu lapar, karena sejak tadi sore sama sekali tidak makan apapun, niat hati ingin segera pulang untuk makan, tapi masih saja ada kerjaan yang membuatnya harus pulang malam.
Beberapa suap berhasil mendarah di mulut Aida dan melewati tenggorokan untuk mengisi lambung yang sempat kosong. Tatapan Habib tak pernah lepas darinya, membuat Aida sedikit risih dengan tatapan itu, belum lagi sikap Habib yang terkesan mengawasi.
Akan tetapi, semua itu bukan karena semata-mata Habib mencurigai Aida, dia hanya sedang memikirkan cara untuk bertanya pada istrinya tentang apa yang Aida lakukan di supermarket hari ini, apa lagi sampai duduk berduaan dengan Farel.
"Berhenti menatapku seperti itu, aku merasa tidak nyaman," kata Aida akhirnya angkat bicara.
"Jawab pertanyaanku yang satu ini."
"Sejak tadi kamu sudah bertanya, aku selalu jawab."
Menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal, Habib pun berdehem pelan. "Hari ini kemana saja kamu?"
Aneh, pertanyaan yang tidak seharusnya di pertanyakan, padahal sudah jelas-jelas Aida pamitan dari rumah untuk pergi bekerja. Habib juga sudah tahu dimana kantornya, kenapa dia harus bertanya seperti itu?
Sebenarnya ini agak sedikit mengesalkan, tapi Habib tidak percaya begitu saja dengan jawaban yang Aida berikan. Dia masih belum mendengar penjelasan tentang kenapa hari ini Aida ada di supermarket Farel.
"Yakin hanya pergi bekerja? Bukannya kamu ... jalan-jalan dengan lelaki itu?" Habib mulai terlihat cemburu.
"Hah? Jalan-jalan? Lelaki mana yang Mas maksud?"
"Itu, yang tadi mengantarmu."
Aida geleng-geleng kepala mendengar tuduhan itu. Semua itu sama sekali tidak seperti yang Habib pikirkan, karena sesungguhnya Aida hanya datang ke supermarket untuk mengantarkan cengkeh. Kebetulan pabrik cengkeh milik ayahnya juga menjadi supplier di supermarket itu.
Sebagai saudara sepupu, tentunya Aida tidak menjaga jarak terlalu jauh dari Farel, apa lagi sekarang statusnya mereka adalah rekan bisnis yang sama-sama saling membutuhkan satu sama lain. Duduk di depan supermarket hanyalah sesaat, sembari Aida menunggu anak buahnya menurunkan semua barang.
"Iya, aku juga lihat kalian duduk berduaan di depan supermarket, sambil tertawa bahagia. Senang sekali, ya bisa bertemu dengan Farel? Sampai saat kalian melihatku, langsung kabur!" tukas Habib benar-benar memperlihatkan rasa cemburu.
Aida mengernyitkan dahi, berusaha mengingat kejadian yang Habib maksud sampai akhirnya dia tertawa setelah mengingat semuanya. "Aku dan mas Farel pergi setelah melihat ada seekor kucing jalanan, Mas. Kasian dia kelaparan, jadi mas Farel membelikan sosis untuk kucing itu," jelas Aida lagi.
"Kucing?" Aida mengangguk. Dia bahkan sama sekali tidak tahu kalau Habib juga datang ke supermarket tadi siang, apa lagi kalau sampai dia kabur setelah melihat Habib. Itu dugaan yang salah besar.
Bahkan posisi Aida saat itu juga tidak terlalu jauh dari depan supermarket. Jika saja Habib lebih teliti, tentu dia bisa melihat Aida yang sedang mengelus-elus kucing itu di balik sebuah mobil van hitam yang terparkir tepat di sebelah mobil Habib.
Farel sedang membeli sosis pada saat itu, tapi Habib sama sekali tidak tahu menahu akan kejadian itu dan masih berpikir kalau Aida kabur saat melihat Haib di sana. Bersenggolan dengan ibu-ibu membuat Habib berpikir demikian.
"Jadi ... kalian menghilang bukan karena melihatku?"
"Ya, bukanlah, Mas. Kalaupun aku melihatmu, aku tidak akan kabur. Untuk apa aku kabur?" sahut Aida dengan sedikit senyum.
Habib merasa lega mendengarnya, membuat istrinya sedikit menyipitkan mata dengan tatapan penuh selidik pada Habib. Belum lagi saat melihat ekspresi Habib yang terlihat lega, seolah ada beban yang baru saja terlepas.
"Memangnya kenapa, sih? Tumben kamu bertanya seperti ini, seperti ... orang yang sedang cemburu," tanya Aida dengan bisikan pelan di kalimat terakhirnya.
Tanpa di sadari, pipi Habib mendadak berubah kemerahan mendengar pertanyaan itu. "Siapa yang cemburu?"
"Kamulah, siapa lagi?"
"Ish, aku pernah ada yang namanya cemburu dalam kamusku."
"Sudahlah, tidak apa-apa. Kalau cemburu akui saja, aku malah suka."
Aida tersenyum simpul, sementara Habib hanya berusaha menutupi pipinya yang semakin merah.