Hubungan Habib dan Aida masih gitu-gitu saja, tidak ada yang berbeda. Bahkan sekarang malah jauh lebih buruk dari pada sebelumnya, apa lagi setelah Aida bersikap acuh tak acuh pada Habib. Jujur, itu sangat mengganggu bagi Habib yang sudah terbiasa di beri perhatian oleh Aida.
Akan tetapi, dia juga tidak tahu bagaimana caranya membangun hubungan itu lagi dengan istrinya. Sudah lebih dari dua bulan lamanya mereka menjalani pernikahan seperti ini, rasanya hampa seperti hidup dalam rumah tanpa nyawa.
"Kamu pulang malam lagi?" tanya Habib saat Aida bersiap-siap untuk berangkat ke kantor.
"Entahlah, jadwal pulangku tidak menentu beberapa hari ini."
"Tolong, jangan pulang terlalu malam. Aku juga akan pulang awal hari ini."
"Kenapa? Bukankah kamu sibuk mengurus toko roti?"
"Ya, tapi aku pikir sudah terlalu lama kita tidak makan malam bersama. Aku rindu masakanmu."
Aida berbalik badan sambil merapikan sedikit kerudungnya. Dia tersenyum lalu mengambil tas selempang yang ada di atas kasur dan melewati Habib. "Aku berangkat," ucap Aida cepat.
Habib menyusul istrinya sebelum pergi. Terlihat sepasang suami istri yang selalu terlihat mesra di depan rumahnya, dimana sang istri mencium punggung tangan suami sebelum berangkat kerja, dan suaminya mencium dahi istri.
"Tunggu dulu!" seru Habib menghentikan langkah Aida. "Eum ..." Habib mendadak mengulurkan tangannya pada Aida.
"Apa?"
Pandangan mata Habib berlari ke seberang jalan, di mana sepasang suami istri itu sedang melakukan ritual yang biasa mereka lakukan setiap pagi harinya. Aida tahu mereka, mereka tidak mengenal baik, tapi mereka cukup ramah dan sering tersenyum padanya.
Sang istri terlihat mencium punggung tangan suaminya. Membuat Aida hanya menarik sedikit sudut bibirnya sambil menoleh lagi pada Habib. "Kamu ingin aku mencium tanganmu?"
"Ya, aku suamimu 'kan? Seharusnya kamu mencium tanganku sebelum keluar rumah."
"Ada apa, Mas? Tidak biasanya kamu seperti ini?"
Habib berdecak sebal lalu menarik tangan Aida untuk menggenggam tangannya dan menempelkan sendiri punggung tangan itu di bibir istrinya. "Sudah sana berangkat, nanti terlambat!" katanya kemudian mendorong pundak Aida untuk segera berjalan menghampiri mobilnya yang sudah siap di pakai.
Merasa bingung, Aida hanya mengernyitkan dahi sambil menyalakan mesin mobil dan pergi. Habib menghela napas lalu mengukir senyum tipis di wajahnya. Hatinya mendadak senang setelah Aida mencium punggung tangannya.
Sementara itu, Aida hanya tersenyum melihat kaca di atas dashboard mobilnya, teringat akan cerita bibi Hana saat dia mampir ke rumah bibinya itu.
"Jadi, kamu sudah tahu semuanya?" tanya Hana pada Aida sambil memangku tangan istri Habib Dwi Riansyah dengan genggaman erat.
Aida mengangguk pelan. Tepat setelah pulang dari Padang, Aida langsung mendatangi bibi Hana dan mengadukan semua yang dia rasakan tentang Habib. Dia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Habib yang begitu dingin, apa lagi setelah dia tahu bahwa Habib memang masih belum move on dari Nadia.
Kasim yang juga ada di rumah saat itu hanya bisa menghela napas. Dia tidak tahu kalau masalahnya akan jadi seperti ini, apa lagi melihat Aida datang mengadu pada mereka, membuat Kasim merasa bersalah pada Aida.
"Anak itu memang sulit di beritahu, padahal Paman sudah berulang kali mengatakan padanya untuk segera melupakan si perempuan jalang itu! Tapi dia masih saja memikirkan Nadia, tidak habis pikir dengannya!" gerutu Kasim kesal sambil memijat pelipisnya.
Pernikahan yang sebelumnya sudah berjalan beberapa bulan pun tidak ada artinya, sekalipun Aida sudah berusaha untuk menaklukan Habib dengan berbagai cara. Melayaninya seperti raja, menyediakan semua kebutuhannya, sampai merawatnya di saat sakit.
Akan tetapi, semua itu seolah tidak memberikan arti apapun bagi Habib yang sampai saat ini masih terikat pada Nadia. Aida tidak akan melakukan ini jika saja dia punya tempat mengadu, tapi dia ingat kalau ibunya bisa saja jatuh sakit saat mendengar cerita ini, hingga hanya pada paman dan bibinya lah dia bisa mengadu.
"Kalau begitu biarkan saja Habib begitu, dia akan sadar dengan sendirinya kalau dia membutuhkanmu," celetuk Hana.
"Hah? Bukankah dengan membiarkan mas Habib malah membuatnya makin merasa bebas?"
"Tidak, Aida. Bibi kenal seperti apa Habib, dia orangnya sangat ketergantungan. Kalian sudah berapa bulan menikah? Tentu sudah banyak kebiasaan yang kalian lakukan, ketika kebiasaan itu hilang, Habib pasti akan merasakan kehilangan. Percayalah, dia akan mencarimu lagi."
Aida tidak yakin dengan saran itu, tapi dia juga tidak akan tahu apa hasilnya sebelum mencobanya sendiri. Hingga Aida pun melakukan apa yang Hana perintahkan, sampai saat ini juga dia masih melakukannya, meski selalu saja ada niatan untuk bersikap manis pada Habib.
Dia hanya bisa berharap dua bulan ini tidak akan berakhir dengan sia-sia.
"Bagaimana kabarnya?" tanya Kasim pada Habib saat dia baru sampai di toko.
"Alhamdulillah, baik." Ekspresi wajah Habib sedikit heran mendengar pertanyaan itu. Hampir setiap hari mereka bertemu, lantas kenapa Kasim bertanya kabar seperti itu, seolah mereka jarang bertemu.
"Bukan kamu, maksudnya pernikahanmu. Kalian baik-baik saja 'kan?"
Lama menjawab, akhirnya Habib pun mengangguk dengan senyum palsu. Semuanya terlihat baik-baik saja, bahkan dia juga masih bisa menyapa para pelayan toko sebelum masuk ke dapur. Tapi Kasim juga bukan orang tua yang mudah di bohongi, sementara dia tahu keadaan yang sebenarnya.
Ketika siang, Habib diminta mengantar roti ke supermarket setelah mendapat panggilan. Dia pergi sendiri membawa mobil pribadi milik Kasim. Haha, sekarang pamannya juga sudah punya mobil sendiri, hanya dirinya yang masih berkendara naik motor butut.
Di waktu yang bersamaan, Aida juga datang ke supermarket untuk mengantarkan cengkeh. Di depan supermarket, Aida terlihat duduk berdua bersama Farel dengan canda tawa yang sudah lama tidak Habib lihat sebelumnya dari wajah sang istri.
"Mas, ayo!" ajak rekan Habib sambil membawa beberapa kerdus roti.
"Kamu bawa ini duluan, aku ada urusan," kata Habib menyerahkan kerdus roti pada rekannya untuk di taruh di trolley barang yang sudah tersedia.
Dia menghampiri Aida dan Farel yang masih mengobrol di depan supermarket, sementara rekannya mengangkut semua kerdus roti ke tempat yang sudah di tentukan sebelumnya bersama satu pegawai supermarket.
Tanpa sengaja dia menyenggol seorang ibu muda bersama belanjaannya, langkah Habib terhambat karena itu dan dia sudah kehilangan Aida setelah kembali berdiri. Sial, sepertinya mereka menyadari kedatangan Habib hingga buru-buru pergi sembunyi.
Padahal Habib sudah ingin marah, tapi dia tidak menemukan Aida sekalipun sudah datang ke kursi yang tadi mereka duduki sampai celingukan mencari mereka. Panasnya matahari membuat keringat Habib mengucur, dia pun hanya bisa menghela napas.
"Mas, masih ada stok lagi di mobil. Bantu saya membawakannya ke gudang, yuk!" kata rekannya setelah beberapa saat.
"Oh, i—iya," jawab Habib gagap dengan mata yang masih menelusuri tempat itu.