Terdapat beberapa meja dengan kursi di sekelilingnya, itu adalah sebuah fasilitas yang di sediakan pihak hotel sebagai ruang tunggu bagi beberapa orang yang memerlukan waktu untuk menunggu registrasi dan segala macam yang berhubungan dengan cek in hotel.
Aida mengajak Habib duduk di salah satu kursi yang ada mengobati kepala suaminya yang sempat terluka karena jatuh dari tangga tadi. Habib yang meringis kesakitan hanya bisa menerima dengan pasrah saat Aida membersihkan lukanya dengan sapu tangan yang sudah di basahi sebelumnya.
Dia tidak membawa alkohol atau kapas khusus, hingga hanya ada sapu tangan dan air mineral yang di berikan oleh petugas kebersihan hotel tersebut. Untungnya Aida selalu menyiapkan plester luka di tasnya.
"Bisakah lebih lembut sedikit? Sebagai petugas kesehatan kamu terlalu kasar," kata Habib yang menahan pedih saat Aida menekan sedikit lukanya.
"Lagi pula kenapa kamu bisa jatuh? Jangan seperti anak kecil yang harus di ajarkan caranya turun tangga," ketus Aida.
Untuk pertama kalinya Habib melihat Aida seperti ini, terkesan cuek juga malas bicara. Bahkan senyum di wajahnya pun tidak ada sama sekali, dia hanya membersihkan luka dan menutupnya dengan plaster sebelum akhirnya kembali beranjak dari duduk.
Ini lebih mengejutkan dari pada melihat buah dada Aida dari dekat, sebab Habib tidak pernah melihat Aida sedingin ini padanya. Dia pun menarik tangan Aida untuk menghentikan langkah wanita itu, memintanya untuk bicara baik-baik sambil duduk.
"Jangan pulang dalam keadaan seperti ini, aku tidak mau orang tuamu curiga nanti," kata Habib berusaha membujuk.
"Tenang saja, aku sudah ahli dalam hal berpura-pura," balas Aida dingin.
Mereka pulang ke Jambi siang itu juga dan langsung sampai di rumah. Tidak di jemput oleh siapapun, Aida memutuskan untuk langsung masuk ke kamar tanpa mau mengecek apakah Habib lapar atau tidak.
Tubuh yang lelah, di tambah lagi dengan sikap istri yang mendadak berubah seketika setelah pulang bulan madu, membuat Habib mengernyitkan dahi sambil menatap punggung istrinya yang berjalan keluar kamar.
Mungkin Habib tidak merasakan keanehan atas perbedaan sikap Aida, dia juga merasa biasa saja tanpa berpikir ada akibat dari perbuatan mereka. Tapi bagi Aida, menghadapi Habib dengan hatinya yang masih terus menetap pada wanita lain adalah sebuah perjuangan besar.
Berjuang sendirian itu tidak mudah, apa lagi kalau Habib sama sekali tidak memberikan feedback yang sama. Tentunya itu akan menyiksa batin Aida, dan dia tidak mau lagi memaksakan hati Habib, jika memang lelaki itu tidak akan pernah melupakan kekasihnya.
"Aku mau ke toko roti," pamit Habib pada Aida yang sedang menikmati sepotong roti tawar berbalut selai cokelat di meja makan.
"Iya," sahut Aida apa adanya.
Langkah Habib langsung terhenti mendengar jawaban dengan nada berbeda dari biasanya. Dia menoleh sedikit sambil mengerjapkan mata, dahinya terlihat berlipat saat melihat Aida yang duduk santai.
"Aku juga akan ke kota untuk melihat toko roti cabang, kemungkinan pulangnya malam. Kamu tidak perlu menungguku pulang," kata Habib lagi.
"Iya." Lagi, sebuah kata bernada dingin tanpa ekspresi membuat Habib kembali memiringkan kepalanya dengan bingung.
Dia menggaruk tengkuk, berusaha mengabaikan perasaan aneh itu dan segera masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Belum sempat keluar kamar, dia sudah mendengar suara deru mobil istrinya pergi meninggalkan rumah.
Buru-buru Habib keluar kamar, padahal handuk masih melilit di pinggangnya. Terlambat, dia sudah ditinggalkan dan hanya menyisakan beberapa detik untuk memandang mobil Aida yang melaju keluar pekarangan rumah.
Perasaan Habib mencelus pelan, perasaannya mendadak aneh menyadari sikap istrinya yang tak sama. Sebenarnya sedikit kepikiran juga dengan hal itu, apa lagi saat dia melihat seseorang yang tak asing di matanya berdiri di depan toko, bicara dengan pamannya yang merupakan pemilik toko roti itu.
"Assalamu'alaikum," ucap Habib saat sampai.
"Wa'alaikumsalam. Nah, ini dia orangnya. Mas Farel, perkenalkan ini Habib. Dia keponakan saya, dan dia juga yang akan mengelola toko roti cabang, termasuk mengurus pemasokan roti ke supermarket," kata Kasim sambil menepuk pundak Habib.
Cukup terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya sekarang. Entah masalah apa yang ada dalam dirinya, Habib hanya merasa tidak senang melihat tatapan Farel setiap kali bertemu. Padahal Farel sama sekali tidak menunjukkan niat jeleknya, bahkan dia tersenyum sambil manatap Habib.
Tanpa harus menjawab, Farel sudah lebih dulu menjelaskan pada Kasim kalau mereka sudah saling kenal. Tanpa Kasim ketahui sebelumnya kalau sebenarnya Farel adalah sepupu jauh Aida yang sempat bertemu beberapa minggu sebelum Habib dan Aida pergi bulan madu.
"Oh, begitu rupanya. Baguslah, jadi kalian tidak perlu sungkan lagi!" Kasim terlihat girang sambil tersenyum lebar.
Habib menarik lengan Kasim untuk menjauh. "Jadi, pemilik supermarket yang Paman maksud itu adalah dia?" tanya Habib memastikan dugaanya.
"Iya. Dia itu pengusaha muda, baru saja membangun supermarket di pusat kota sebulan yang lalu, sekarang sedang sibuk mencari supplier untuk mengisi supermarketnya. Kebetulan sekali kalau dia itu sepupunya Aida, berarti kalian bisa bekerja sama dengan baik," jelas Kasim.
Tanpa sempat melihat ekspresi Habib, Kasim hanya tertawa sambil menepuk pundak keponakannya dan kembali menghampiri Farel. Padahal Habib sudah berdecak sebal dengan wajah yang tidak bisa di deskripsikan lagi.
Antara kesal dan malas, Habib mengusap wajahnya dengan kasar. Bukannya tidak senang, tapi ... ah, Habib hanya tidak suka pada Farel dan dia juga merasa tidak ingin terlibat bisnis dengan lelaki itu.
Sayangnya beberapa bulan yang lalu, Farel sudah berhasil mendirikan sebuah supermarket yang di gadang-gadang akan menjadi supermarket pertama di daerah ini. Mau tak mau, Habib pun harus mengikuti perintah pamannya demi menjalankan bisnis turun-temurun di keluarga ini.
"Iya, dia ini baru kembali dari Padang, habis bulan madu dengan istrinya beberapa hari lalu," kata Kasim yang entah di mulai dengan perbincangan apa, yang jelas itulah yang Habib dengar ketika kembali.
Farel langsung menatap Habib. "Bu—bulan madu?" Habib hanya menarik sudut bibirnya sedikit sambil mengangguk lemah.
"Oh, selamat, ya! Semoga Aida cepat isi."
"Terima kasih," balas Habib. Jangan terlalu berekspektasi tinggi, Aida tidak akan pernah hamil selama Habib belum menyentuh istrinya itu.
Dan dia juga tidak tahu kapan masa itu akan datang, sebab sekarang jarak antara dirinya dan Aida sudah kembali menjauh. Habib sibuk mengurus bisnis roti pamannya, sementara Aida sudah kembali sibuk dengan pabrik cengkeh yang selama ini dia kelola.
Semuanya berjalan begitu saja seperti aliran air, di rumah pun Habib sudah jarang di sediakan makan oleh Aida. "Maaf, aku terlalu sibuk bekerja. Malam ini pesan makanan di luar saja, ya?" Sekiranya itulah yang Aida katakan setiap kali Habib membuka tudung saji tanpa ada makanan apapun di dalamnya.
Dada Habib kembali mencelus menyadari hal itu, ini sangat jauh berbeda dengan ekspektasi pernikahan yang ingin Habib jalani. Dia pun hanya bisa mengelus dada sambil membuka ponsel untuk mencari makanan cepat saji.