Seperti yang sudah di rencanakan sebelumnya, Habib dan Aida pergi berbulan madu ke Padang dengan biaya yang sepenuhnya di berikan oleh Ruli. Bukan karena Habib tidak ingin mengeluarkan uang untuk biaya bulan madunya sendiri, tapi memang Ruli memberikan itu sebagai hadiah untuk pernikahan putrinya.
Meski bukan lagi pengantin baru, tapi besar harapan mereka untuk mendapatkan momongan dari Aida dan Habib. Bahkan pamannya, Kasim mengantar mereka langsung ke bandara untuk memastikan kalau mereka benar-benar pergi ke Padang.
Habib hanya bisa menarik napas saat duduk di kursi pesawat dengan Aida yang ada di sampingnya. Teringat dengan perkataan Zainab, ibu mertuanya yang sekarang sedang sakit.
"Ibu sudah tua, jangan buat Ibu menunggu terlalu lama, ya? Satu saja, sebelum Ibu pergi," katanya sambil memegang tangan Habib dan Aida.
"Ibu jangan bicara seperti itu, Aida pasti akan berikan cucu untuk Ibu, tapi Ibu jangan pergi. Ibu fokus saja pada kesehatan Ibu, jangan memikirkan yang aneh-aneh," kata Aida menerima lemparan senyum dari ibunya.
Begitu besar harapan Zainab untuk bisa mendapatkan cucu pertama dari putri satu-satunya itu. Sudah setengah abad usianya, dan dia masih belum juga merasakan bagaimana rasanya menggendong cucu, membuat semua itu menjadi tekanan tersendiri untuk Habib dan Aida.
Tapi, Habib belum mau menyentuh Aida. Dia juga tidak akan bisa menyentuh wanita tanpa adanya rasa cinta, lantas bagaimana mereka bisa memberikan cucu untuk Zainab? Pemikiran itu yang terus-terusan memenuhi kepala Habib, berusaha untuk mencari cara bagaimanapun caranya agar bisa melepaskan itu dari pikiran.
"Kita akan berusaha 'kan?" tanya Aida saat mereka sampai di depan hotel yang akan mereka tempati.
Habib hanya nyengir kuda sambil menatap Aida. Wanita itu menggandeng tangannya dan mengajak Habib masuk ke dalam hotel. Perasaan Habib benar-benar tidak karuan, mengingat kejadian memalukan di rumah mereka beberapa hari lalu.
Malam harinya, Habib baru saja selesai bebersih diri setelah makan malam. Dia keluar kamar mandi dan melihat kamar yang sedikit redup cahayanya. Seorang wanita dengan pakaian cukup terbuka terlihat berjalan dengan anggun menghampirinya.
Bra warna hitam pun di sangkutkan ke lehernya ketika wanita itu tiba di hadapannya. "Besar 'kan?" tanya Aida dengan tatapan tak biasa.
"A—apa yang kamu lakukan?"
"Ibadah."
"Dengan pakaian seperti itu?" Habib memperhatikan tubuh Aida yang tidak di tutupi daster atau gamis seperti biasanya.
Memakai lingerie warna merah pekat dengan wajah berpoleskan make up tipis. Bahkan Habib juga bisa melihat belahan dada istrinya hanya melalui celah baju seksi itu, dia juga tahu bagaimana bentuk tubuh Aida tanpa harus membuka seluruh bajunya.
"Aku berpakaian seperti ini hanya di hadapanmu saja, Mas. Kalau di depan orang lain, aku akan selalu tertutup," ujar Aida pula.
Habib sama sekali tidak berniat untuk melakukan hal itu malam ini, bahkan dia terkesan tidak tertarik sama sekali, seolah apa yang dia lihat sekarang tidak ada apa-apanya di banding dengan isi kepalanya yang tak pernah lepas dari Nadia.
Berjalan ke arah tempat tidur, Habib pun merebahkan diri dan mengaku lelah pada Aida. Tentu saja hal itu membuat Aida sedih, sekeras apapun usahanya meluluhkan Habib, tetap saja tidak ada hasil apa-apa, padahal Habib sendiri sudah bertekad untuk berusaha membangun pernikahan mereka.
Ikut duduk di sebelah Habib yang sudah berbaring memunggunginya, Aida pun menghela napas. "Bagaimana bisa membangun pernikahan, jika bersetubuh denganku saja kamu tidak mau," celetuknya kesal.
Habib berbalik badan. Bukannya tidak mau, tapi ... ah, bagaimana cara menjelaskannya? Habib tidak bisa membohongi dirinya sendiri, sekalipun dia sudah berusaha memegang komitmennya bersama Aida, tapi perasaan tak bisa di bohongi.
Dia tidak bisa menyentuh wanita tanpa cinta, dan dia hanya ingin melakukannya atas kesadaran dan juga sama-sama mau. Ini bukan hanya berat untuk Nadia, tapi juga untuk Habib yang harus memaksakan hatinya menerima pernikahan ini.
"Apa semua ini karena Nadia?"
"Semua ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan Nadia, ini semua memang atas kehendakku sendiri. Aku mohon mengertilah!"
"Apa, sih yang membuatmu tidak bisa melupakan Nadia? Kenapa sulit sekali bagiku untuk membuka pintu hatimu?"
"Carilah kuncinya, maka kamu bisa masuk dengan mudah," lirih Habib enggan menatap Aida.
Wanita itu tak menjawab, hanya berjalan meninggalkan Habib ke kamar mandi lalu menangis di dalam sana. Habib tahu ini bukan pertama kalinya Aida menangis, tapi dia juga tidak tahu harus melakukan apa.
Tiga hari empat malam yang mereka lewati di Padang sama sekali tidak membuahkan hasil apapun. Hari-hari yang mereka lewati di sana juga sama seperti yang biasanya di lewati saat di rumah, tidak jauh berbeda dengan bangun pagi dan sarapan.
Begitu siang, Habib sibuk dengan dirinya sendiri, sementara Aida berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Di hari terakhir mereka, Aida menyiapkan kopi hitam untuk Habib yang masih mandi.
Tanpa sengaja dia melihat sebuah panggilan masuk di ponsel Habib, Aida hanya mengukir senyum tipis sambil memanggil Habib agar segera keluar. "Ada yang menelepon!" seru Aida.
"Siapa?" tanya Habib setelah keluar.
"Paman."
Habib buru-buru mengambil ponselnya. Tiga panggilan tak terjawab dari paman Kasim, dia merasa begitu bersalah dan segera membuka pesan yang dikirimkan sang paman. Aida melirik ke luar jendela, sementara Habib sibuk berkirim pesan pada Kasim.
Ternyata ada supermarket baru yang menerima supplier roti kering milik pamannya. Kabar baik itu segera di sampaikan pada Habib, karena untuk pertama kalinya mereka menjadi supplier roti ke supermarket.
"Bagaimana mau move on, wallpaper ponselmu saja masih foto perempuan itu," ujar Aida mendadak, membuat Habib menoleh.
"Hah?"
"Sebenarnya kamu serius ingin melupakan Nadia atau tidak, sih, Mas?"
"Kamu ini bicara apa?" Habib menutup ponselnya dan meninggalkan percakapan begitu saja, padahal Kasim masih mengetik dalam status barnya.
"Aku bingung dengan sikapmu, katanya ingin berusaha untuk menerima pernikahan kita, tapi sejauh ini kamu tidak ada usaha sama sekali. Bahkan sampai hari terakhir bulan madu kita pun kamu belum menyentuhku! Dan sekarang aku tahu, kamu memang tidak pernah benar-benar ingin melupakan Nadia!"
Tentu saja Aida kesal saat melihat siapa yang menjadi foto wallpaper ponsel Habib, siapa lagi kalau bukan Nadia. Dari situlah Aida mengerti, kalau sebenarnya Habib tidak pernah bisa berubah dan akan tetap stack pada Nadia.
Habib menyadari kesalahannya kali ini, dia sungguh minta maaf dan berusaha untuk membujuk Aida agar tidak kesal lagi. Tapi hati wanita itu sudah lebih dari pada rapuh, dia membereskan semua barang-barangnya dan bergegas pergi dari hotel.
"Aku mohon, jangan seperti ini! Biarkan aku mencoba sekali lagi!" Habib menarik tangan Aida, berusaha mencegahnya untuk memasuki pintu lift.
"Aku mau pulang, bulan madu kita tidak semanis yang kubayangkan!" tukasnya menepis tangan Habib dan langsung masuk ke dalam mesin elevator.
Habib tidak bisa menahan wanita itu, sebab pintunya langsung tertutup. Buru-buru dia lari ke tangga darurat dan menyusul Aida ke bawah. Sayang, sebuah kecelakaan kecil membuatnya jatuh berguling di tangga terakhir sampai ke bawah tangga di ruang lobby.
Pintu lift terbuka setelah Habib jatuh, hanya beda sepersekian detik. Melihat Habib jatuh, Aida pun langsung berlari menghampirinya. Seorang petugas kebersihan itu membantu Habib bangun, karena lantai yang licin lah Habib sampai jatuh.
"Mas kenapa?!" tanya Aida panik.
"Eungh..!" Habib merenguh sakit memegangi pelipisnya.
"Ya, ampun. Kamu berdarah, Mas!"