"Kamu serius mau tidur dalam keadaan begitu?" tanya Habib sedikit terkejut melihat pakaian yang dikenakan istrinya.
Aida duduk di sampingnya dengan memakai kaos pendek oversize warna putih, celananya juga pendek, membuat Habib sedikit mengerjapkan mata saat melihat wanita yang biasanya berpakaian tertutup itu mendadak memakai pakaian terbuka.
"Memangnya kenapa? Aku memakai ini hanya di hadapanmu saja, Mas."
"Tap—tapi, apa kamu tidak kedinginan? Itu pendek sekali, Aida."
"Ah, tenang saja, ada selimut."
Aida tampak tidak menghiraukan perasaan Habib yang sudah amburadul. Dia menyelundup di balik selimut dan tidur berdekatan dengan Habib, membuat dia menoleh pada sang istri dengan tatapan terkejut.
Wanita yang sekarang tidur di sampingnya ini tidak memakai bra! Ya, Habib bisa merasakan itu saat dia menoleh ke samping kiri, pandangannya tak bisa berbohong. Matanya langsung lari ke arah dada wanita ini dengan jakun naik turun.
"Kalau tertarik, sentuh saja. Ini milikmu," kata Aida seolah tahu apa yang Habib lakukan pada dirinya.
Buru-buru mengalihkan pandangan ke arah langit-langit kamar. Habib hanya bisa bergelut dengan perasaannya sendiri, sementara Aida mengulum senyum sambil memejamkan mata dengan posisi yang masih sama.
Jantung Habib memompa begitu cepat, rasanya darah seluruh tubuh mengalir seperti air terjun saat menyadari ada benda kenyal yang menyentuh lengannya. Posisi tubuh tidur terlentang menghadap ke atas, nyatanya tak membuatnya benar-benar aman.
Bahkan dia tidak bisa bergerak sama sekali saat Aida semakin dekat dengannya. "Katanya mau menerima pernikahan, ayolah berjuang!" kata Habib pada dirinya sendiri. Malam itu berlalu dengat begitu panjang, sampai waktu subuh tiba, Habib pun merasakan lengannya di goyangkan dengan pelan.
"Mas, bangun! Sudah pagi, waktunya sholat subuh!" kata Aida masih menarik-narik tangan Habib.
Masih dalam keadaan setengah sadar, Habib membuka matanya dan wajah Aida sebagai objek pertama yang dia lihat saat bangun tidur. Kelihatan sekali kalau Aida juga baru bangun, dia bahkan masih memakai pakaian yang sama dengan tadi malam.
"Astaghfirullah," Habib mengucap istighfar.
"Kenapa?"
Dia mengelus dada. Ternyata ini memang bukan mimpi, buah dada Aida benar-benar besar. Habib tidak pernah melihat yang seperti itu sebelumnya, membuatnya sedikit terkejut saat melihat Aida duduk sedikit membungkuk di atas wajahnya, itu mengerikan untuk jantung paginya.
Langsung bangun dari tidurnya, dia meminta Aida untuk sedikit menjauh darinya. Begitu dekat, membuat Habib tidak bisa mengontrol diri. Senyum Aida masih terpampang menyambut paginya, ternyata seperti ini rasanya di sambut senyuman istri saat pagi hari.
"Aku wudhu dulu, kamu pulihkan nyawa dulu, ya?" pamit Aida yang langsung keluar kamar.
Habib benar-benar merasa adanya tekanan batin semalaman. Baru saja berhasil terlelap sebentar, tapi sudah di bangunkan lagi untuk sholat subuh. Rasanya mata Habib langsung ngejreng saat melihat Aida.
Pagi harinya Habib menikmati kopi hitam di meja makan seperti biasanya, sementara Aida mandi duluan. Rencananya hari ini mereka akan pergi ke rumah Ruli untuk membicarakan masalah bulan madu itu. Tapi Habib dan Aida berpapasan di dapur saat keduanya sama-sama lewat sana.
Habib ke kanan, Aida ikut ke kanan. Habib ke kiri, Aida ikut ke kiri, begitu seterusnya sampai beberapa kali. Langkah kaki yang seiras, membuat mereka terus berpapasan.
"Jadi kamu mau lewat mana?" tanya Habib menghela napas jengah.
"Maaf, aku lewat sini saja," kata Aida nyengir kuda sambil menunjuk sisi kirinya.
Baru saja hendak melangkah, dia melihat kecoa di lantai merayap dengan cepat ke arahnya. Aida yang memang pada dasarnya takut kecoa pun langsung berteriak dan lompat ke pangkuan Habib. Gerakannya begitu cepat, membuat Habib yang baru berbalik badan langsung di sambut dengan tubuh Aida yang lompat ke arahnya.
Serasa mendapat hendakan, Habib merasakan kedua gundukan kenyal Aida menempel sempurna di dadanya. Begitu juga dengan tangannya yang langsung menyentuh kedua bokong Aida. Seperti bayi, Aida nempel begitu erat pada Habib karena saking takutnya dia pada kecoa.
"Tolong, Mas! Ada kecoa!" teriak Aida menyembunyikan kepalanya di ceruk leher Habib.
Habib bingung, antara terkejut dan juga takut. Dia langsung mengambil sapu dan mengusir kecoa itu. Mereka berteriak-teriak di dapur sempit itu hanya untuk mengusir seekor kecoa merayap yang pada akhirnya berhasil di usir keluar melalui jendela.
Dalam keadaan seperti itu pun, Aida masih menggantung di dada Habib, tangan dan kakinya memeluk tubuh lelaki itu dengan begitu erat. "Eum ... kecoanya sudah pergi," kata Habib dengan tangan yang ragu memegang tubuh Aida.
Aida turun perlahan dengan tubuh yang masih di bungkus handuk. Dia baru selesai mandi, tentu saja masih memakai handuk, dan Habib bisa merasakan dengan jelas bagaimana lembutnya daging kenyal itu di dadanya.
Aida menutup mulutnya saat melihat dada Habib sedikit basah yang membentuk dua bulatan besar. Habib melihat dadanya sendiri, tangan Aida dengan spontan terulur padanya, membuat Habib pun langsung memegang tangan wanita itu.
"Kamu mau apa?" tanya Habib curiga.
"Mas berpikir yang aneh-aneh tentangku, ya?!" tuduh Aida pula.
"Hah? Apa maksudmu?" Habib kembali menahan satu tangan Aida yang melayang. Kini kedua tangan wanita itu di genggam erat oleh Habib, berusaha untuk menahan tangannya agar tidak menyentuh tubuh Habib.
Tapi Habib tidak sadar dengan apa yang terjadi pada celananya, sementara Aida sudah berusaha untuk menarik tangannya dari cengkraman Habib. Lilitan handuknya mulai longgar, dan bisa lepas kapan saja jika tidak segera di pegangi.
Akan tetapi Habib memegangi tangannya, tidak membiarkan Aida menahan handuk itu sampai melorot dengan sendirinya.
"Astaghfirullah!" Mata Habib membulat saat melihat tubuh Aida tidak di tutupi sehelai benangpun.
"Ih, lepas!" pinta Aida masih berusaha menarik tangannya.
Spontan Habib pun langsung melepaskan cengkraman tangannya agar Aida bisa segera menutupi tubuhnya dengan handuk. Mengalihkan pandangan, Habib juga menutup matanya dengan satu tangan ke arah kiri.
Jantungnya dag-dig-dug tak menentu, belum lagi pelipisnya yang mendadak berkeringat dengan berbagai sensasi baru yang pertama kali Habib rasakan. Apa yang dia lihat barusan?! Oh, sepertinya mata Habib sudah ternodai.
"Sebaiknya kamu buru-buru mandi, celanamu basah!" kata Aida lantas bergegas pergi ke kamar.
Mendengar hal itu, mata Habib langsung membulat dengan pandangan yang segera di alihkan ke bawah. Celananya menggembung dengan jejak warna yang lebih gelap dari warna celana yang seharusnya.
"Aish! Sial!" umpat Habib yang segera berlari ke kamar mandi.
Keduanya sama-sama malu atas kejadian itu, terutama Habib yang merasa benar-benar ketahuan kalau sekarang dia sedang bernafsu dengan tubuh Aida. Meski hanya sekilas, tapi kejadian tadi benar-benar membekas baginya yang tidak semudah itu untuk melupakannya.
Apa lagi saat melihat ekspresi Aida yang panik menutupi area sensitifnya dengan melipat kaki. Pipinya tampak merah dengan menggigit bibir, pastinya Habib menggeleng kuat mengingat ekspresi istrinya itu.
"Ah, mau di taruh dimana mukaku nanti?" pikir Habib gusar. "Kamu juga kenapa tidak bisa di ajak kerja sama, sih?!" imbuhnya lagi dengan kesal menatap ke bawah.