Habib sama sekali tidak tertarik dengan tawaran bulan madu tersebut, apa lagi hanya sekedar jalan-jalan ke Padang, rasanya seperti tidak ada keseruan sama sekali. Tapi sebenarnya bukan itu yang membuat Habib benar-benar tidak tertarik, melainkan kota yang akan mereka kunjungi itu memang kota yang pernah menjadi tempat studytour Habib di masa sekolah dulu.
Di masa SMA dulu, sekolahnya sempat mengadakan studytour ke Padang dalam acara memeriahkan ulang tahun sekolah mereka yang ke-16. Tentu saja Habib dan Nadia ikut ke kota dengan ciri khas jam gadang itu. Terlalu banyak hal yang mengingatkannya pada Nadia, hingga Habib memutuskan untuk tidak berbulan madu ke sana.
Tapi penolakan itu membuat ayah mertuanya sedikit sedih, sebab mereka sudah menyiapkan banyak hal untuk bulan madu Aida dan Habib.
"Apa tidak sebaiknya kita pergi saja? Aku juga belum pernah ke Padang, aku ingin tahu bagaimana rasanya berfoto langsung di depan jam gadang," bujuk Aida.
"Huft ..." Habib menghela napas panjang.
Aida langsung berteriak girang melihat hal itu. Dia memeluk Habib dari samping dengan bahagia, senyum pun tak meninggalkan wajahnya sampai Habib benar-benar merasakan kebahagiaan itu melalui pelukan Aida.
Sebagai perayaan atas bulan madu mereka, Aida berniat memasak soto ayam untuk Habib malam ini. Dia langsung pergi ke dapur dan menyiapkan semua kebutuhan memasaknya dengan Habib yang masih memperhatikan perempuan itu.
Perempuan yang sibuk berkutat di dapur dengan memakai gamis warna mocca juga kerudung senada itu kelihatan bahagia sekali. Habib terus memperhatikan mata Aida saat sibuk memotong bawang, tanpa sadar dia pun menarik sudut bibirnya untuk tersenyum.
"Dari pada kamu hanya melihatku di situ, lebih baik kamu bantu aku," kata Aida.
Habib berdiri dari duduknya dan menghampiri perempuan itu ke dapur. "Bantu apa?"
"Ini, tolong kupas dan potong bawangnya." Aida menyodorkan beberapa siung bawang putih dan bawang merah untuk di kupas.
Itu adalah bumbu utama untuk membuat soto, termasuk dengan beberapa rempah lainnya, seperti jahe, lengkuas dan juga kencur. Sementara Habib mengupas bawang, Aida membersihkan ayam yang masih di bungkus plastik.
Tanpa sengaja tangannya tergores pisau dan langsung mengucurkan darah merah kental. Aida meringis menahan pedih dan langsung mendapat perhatian dari Habib. Melepaskan apa yang ada di tangannya, Habib pun menarik jari Aida untuk di hisap darahnya.
"Mas," rintih Aida.
"Masih sakit?"
Aida menggeleng. "Tidak, tapi hanya pedih saja."
Habib bergegas mengambil sebuah kotak berisi persediaan pertolongan pertama pada kecelakaan. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi alkohol dan juga kapas untuk membersihkan luka Aida. Begitu perih terasa, tapi dengan telatennya Habib meniup pelan jari Aida yang terluka agar tidak menimbulkan rasa perih yang semakin menjadi-jadi.
Perlahan, dia mengobati luka itu dan membalutnya dengan kain kasa. Sebenarnya lukanya tidak terlalu dalam, tapi cukup lebar dan membuat Aida kesulitan membersihkan ayam tanpa satu jari telunjuk kirinya.
"Sudahlah, biar aku saja yang masak. Kamu duduk saja," kata Habib memutuskan.
"Kamu bisa masak?"
"Tentu saja." Aida tersenyum mendengar jawaban Habib kali ini.
Dia duduk di salah satu kursi yang ada di dekat meja makan. Kebetulan meja makan dan dapur juga tidak di beri sekat, hingga Aida bisa leluasa melihat suaminya bermain lihai dengan perlatan dapur yang bahkan tidak semuanya Aida kuasai.
Entah kenapa, tapi Habib hanya merasa perlu peduli pada Aida jika wanita itu terluka. Mulai peduli? Tidak, Habib hanya melakukan apa yang sudah seharusnya dia lakukan. Ini semua juga semata-mata demi menutupi luka hatinya.
"Aida," panggil Habib saat di tempat tidur.
Wanita itu menoleh, dia baru saja melepas satu jarum pentul di kepalanya, membuat kerudung yang dia kenakan langsung turun begitu saja di karenakan tidak ada lagi jarum penahannya. "Ya?"
"Kemarilah," pinta Habib sambil menepuk ranjang di sampingnya yang terlihat kosong.
Wanita berwajah bulat dengan pipi bak slime itu langsung berdiri dan duduk di sebelah Habib. Lelaki itu terlihat santai dengan pakaian kaos polos warna putih juga celana panjang hitam. Aida sendiri sudah memakai daster panjang. Kerudungnya masih berusaha di sangkutkan di kepala, tapi kembali turun saat dia membanting bokongnya di sebelah Habib.
Melihat senyum yang selalu terpancar di wajah Aida, membuat Habib tidak tega mengatakan ini. Tapi dia juga sadar, bahwa tidak akan mungkin selamanya dia harus terkungkung dengan masa lalunya yang kelam, sementara disini sudah ada perempuan yang siap mendekapnya.
"Sudah dikembalikan uangmu?" tanya Kasim pada Habib tadi sore.
"Belum," jawab Habib singkat.
"Pasti tidak akan di kembalikan. Sudahlah, ikhlaskan saja uangnya. Tapi Paman mohon padamu, jangan pernah lagi berhubungan dengan Ahmad atau Nadia. Kalau sampai hal itu terjadi dan terdengar sampai ke keluarga Ruli, Paman tak bisa jamin nasibmu lagi," kata Kasim kemudian memberi peringatan pada Habib.
Dia hanya bisa diam melihat punggung pamannya yang pergi meninggalkan dapur. Setiap kali datang hanya membawa kalimat peringatan saja yang selalu membuat Habib muak. Tapi bersamaan dengan itu, dia juga benci dengan posisinya sekarang.
Hingga Habib pun memutuskan untuk berusaha membuka hati dan menerima kehadiran Aida. Toh, perempuan yang sekarang menyandang status sebagai istrinya ini tidak lebih buruk dari Nadia. Dia wanita karir yang bahkan selalu bisa membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus suami.
"Kenapa, Mas?" tanya Aida, membuyarkan lamunan Habib yang masih mengingat dialognya dan Kasim tadi sore.
Tersadar, Habib pun langsung mengalihkan pikirannya ke waktu sekarang. "Aku hanya ... aku ingin berusaha menerimamu."
"Maksudnya?"
Habib tidak mau memaksakan diri, tapi dia ingin berusaha untuk menerima pernikahannya dan Aida. Tak hanya itu, dia ingin mereka menjalankan pernikahan ini selayaknya pernikahan pada umumnya, melakukan kewajiban seperti suami istri yang seharusnya.
Entah sanggup atau tidak, tapi Habib akan berusaha. Lagi pula ini sudah terlalu lama sejak mereka menikah, tapi sama sekali tidak ada kemajuan apapun. Habib khawatir kalau sampai ini terus-terusan berlarut akan membuat keduanya sama-sama tersiksa.
"MasyaAllah, aku benar-benar merasa tersentuh dengan itu. Terima kasih sudah mau belajar mencintaiku, kita berusaha sama-sama, ya?" tanggap Aida dengan tangan yang menyentuh pundak Habib.
"Jadi, apa yang biasanya suami istri lakukan?" tanya Habib kaku.
"Biasanya mereka makan bersama, suap-suapan, tidur bersama, dan juga pergi berbelanja bersama. Tapi, hal yang biasanya mereka lakukan di tempat tidur adalah ... berpelukan."
Habib tertegun mendengar kata terakhir yang Aida ucapkan. Haruskah berpelukan? Seumur hidup, Habib sama sekali tidak pernah memeluk wanita lain selain Nadia, dan dia juga tidak pernah berpikir akan melakukan itu pada wanita lain.
Senyum Aida yang menggoda, membuat Habib sedikit bergeser duduknya agar tetap menjaga jarak. Tapi wanita itu malah semakin memajukan wajahnya ke arah wajah Habib, membuatnya semakin tak karuan melihat belahan dada yang terlihat terbuka itu.
"Tapi tidak sekarang, aku mau bersih-bersih dulu," cicit Aida lalu beranjak dari duduknya dan kembali ke meja rias.