Aida sama sekali tidak main-main dengan ucapannya. Dia benar-benar menunjukkan keseriusannya untuk membuat Habib melupakan Nadia. Bahkan Aida juga mencaritahu segala sesuatu yang tidak dia ketahui tentang Habib dari bibinya, Hana.
Habib sangat suka dengan makanan yang manis, terutama hal yang berbau cokelat. Dia juga suka dengan minuman yang berbau kopi, terutama kopi hitam manis. Setiap pagi, Habib selalu melihat segelas kopi di meja makan untuknya.
Tak hanya itu, Aida juga menyiapkan segala keperluan pribadi Habib, tapi tidak dengan celana dalamnya. Aida tidak mau memancing kemarahan Habib, hingga tidak ingin melanggar perintah suaminya tersebut.
"Nanti siang mau aku buatkan makanan apa?" tanya Aida pada Habib saat sarapan.
"Bukannya kamu harus kerja ke kantor?"
"Tidak apa-apa, aku bisa membawa pekerjaanku ke rumah. Kata ayah, tugas istri seharusnya itu di rumah melayani suami."
"Tidak perlu repot-repot, aku mengerti kesibukanmu. Aku juga bisa masak sendiri," balas Habib cuek sambil menikmati pisang goreng yang sudah Aida sediakan.
Wanita itu sama sekali tidak menjawab, dia hanya tersenyum sambil mengangguk. Entah kenapa, melihat perubahan sikap Aida yang justru ingin menarik perhatian Habib malah membuatnya semakin muak dengan pernikahan ini.
Sama sekali tidak ada rasa penasaran dengan bagaimana kehidupan Aida, tidak tahu juga bagaimana pernikahan ini akan berjalan dan sampai mana akan bertahan. Habib benar-benar bosan dengan kehidupan pernikahannya, padahal mereka sudah bukan pengantin baru lagi.
Suara ketukan pintu membuat pandangan Habib teralihkan. Aida meminta ijin untuk pergi membukakan pintu. Habib mengernyit dengan bingung. "Pergilah, kenapa harus minta ijin?" tanya Habib pula.
"Siapa tahu kamu tidak mengijinkan," seloroh Aida yang langsung melengos pergi ke depan.
Sama sekali tidak tertarik dengan tamu yang datang, Habib hanya melanjutkan sarapannya sambil bermain ponsel. Ini sudah terlalu lama sejak pernikahan Nadia dan Ahmad, tapi wallpaper ponselnya masih saja dihiasi dengan senyum manis Nadia.
Mantan kekasihnya itu sulit sekali untuk di hilangkan dari pikiran dan hatinya. Jangan heran kenapa Habib menjalin cinta dengan Nadia tanpa status pernikahan, karena pacaran di jaman sekarang sudah di anggap sesuatu yang umum di masyarakat.
Meski tahu itu larangan, tapi nafsu bisa membutakan mata mereka yang di mabuk asmara. Habib sadar akan hal itu, tapi dia juga tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak mencintai Nadia. Bahkan dia masih ingat bagaimana ciuman pertama mereka.
"Ah, seharusnya Mas Farel tidak perlu repot-repot. Aku jadi tidak enak." Terdengar suara Aida dari arah pintu yang membuyarkan lamunan Habib.
Dia langsung mendongak dan menghampiri Aida yang masih berdiri di depan pintu. "Tidak apa-apa, Aida. Aku sengaja membawakan ini untukmu, karena aku tahu kamu suka kue keju," kata Farel membalas.
"Ada keperluan apa?" tanya Habib berdiri di belakang Aida.
Istrinya tersenyum sambil menunjukkan sebuah dessert box kue keju pada Habib. Itu adalah kue kesukaan Aida, dia selalu membeli ini jika pergi ke toko kue yang ada di kota Jambi. Kebetulan Farel juga baru saja kembali dari ibukota kemarin.
Rencananya mereka ingin survei sekaligus mencari-cari lahan untuk pembangunan supermarket. Teringat dengan kue kesukaan Aida, Farel pun membelikannya untuk wanita itu. Melihat bagaimana Aida tersenyum pada Farel, membuat Habib sedikit kesal.
"Sudah 'kan?"
"Hah?" Farel mengerutkan dahi bingung.
"Jika sudah selesai, kamu boleh pergi," jelas Habib lebih gamblang.
"Mas!" tegur Aida.
Farel yang mengerti dengan kode Habib pun tak mau mengulur waktu lebih lama lagi. Dia segera berpamitan dan pergi dari sana. Ingin berjabat tangan dengan Habib, tapi lelaki itu malah mengulurkan tangan untuk memberitahu jalan keluar dari pekarangan rumahnya.
"Silahkan, lewat sana," kata Habib bermaksud mengusir secara halus.
Aneh, Aida yang melihat sikap Habib setiap kali ada Farel tampak berbeda pun menyipitkan mata. Entah apa yang ada di pikiran Habib, mungkin juga dia masih memikirkan tentang apa yang dia lihat sebelumnya saat di rumah kedua orang tuanya waktu itu.
Tapi Aida sama sekali tidak percaya dengan hal itu. Meski dia tahu Farel sama sekali tidak pernah terdengar memiliki kisah cinta dengan wanita manapun, tapi rasanya tidak mungkin sekali kalau Farel menyukai Aida.
"Kenapa, sih? Cemburu, ya?" tanya Aida kegeeran.
"Apa, sih?! Tidak ada alasan untukku cemburu padanya." Habib menutup pintu dan kembali berjalan masuk ke dalam—ke arah meja makan.
"Apa kamu memang tidak pernah punya sedikitpun rasa cemburu jika aku dekat lelaki lain?" Mendadak perasaan Aida berubah pilu.
Habib menoleh. Dia menggeleng pelan, membuat Aida merasa begitu kecil hati. Sebenarnya seperti apa kisah cinta Habib dan Nadia itu, kenapa dia sampai sesulit ini melupakan sosok wanita yang bahkan sudah mengkhianatinya?
Mungkin Aida hanya tahu kisah baiknya, tapi dia belum mendengar sepenuhnya cerita tentang Nadia yang terpaksa dinikahkan dengan Ahmad karena kasus hamil di luar nikahnya. Begitu mendengar cerita itu, Aida langsung menutup mulut.
"Benarkah?" Habib mengangguk. "Jadi, itu alasanmu pergi ke Jambi? Untuk melupakan Nadia?"
"Seharusnya begitu, tapi sampai sekarang belum bisa kulupakan."
"Astaghfirullah, seharusnya kamu tidak boleh lagi memikirkannya, Mas. Dengan statusmu yang sudah menjadi suamiku, tidak boleh ada wanita lain yang ada di hatimu selain aku."
"Maaf, tapi aku bukan orang alim yang bisa dengan mudah meninggalkan zina itu."
Aida menatap Habib lekat, begitu kuat keyakinannya untuk membantu Habib melupakan Nadia. Sampai-sampai mulutnya yang sedang asik memakan kue keju pemberian Farel pun belepotan tanpa sengaja, membuat perhatian Habib teralihkan.
Memberi kode pada wanita itu untuk membersihkan sudut bibirnya, tapi Aida terlalu lambat menangkap sinyal Habib, hingga dia mengulurkan tangannya langsung untuk mengelap sudut bibir istrinya.
Kejadian itu membuat Aida terdiam seketika, begitu juga dengan Habib yang malah mendapati sebuah tatapan penuh cinta dari Aida. Matanya begitu indah, bulat hitam besar, bulu mata panjang dengan alis tebal.
"Mas, jodoh itu sudah ada yang mengatur, tidak perlu bersedih akan kehilangan seseorang, karena pasti akan dipertemukan dengan orang yang tepat. Melupakan seseorang yang telah memberimu banyak hal untuk diingat adalah hal yang sangat sulit, tapi jika itu yang terbaik, lepaskanlah," kata Aida pula.
Habib menjauhkan tangannya dari bibir Aida. Wanita itu langsung mengambil tisu dan mengelap jari Habib yang kotor. Seolah tersihir dengan perkataan Aida, Habib sama sekali tidak melawan saat tangannya di sentuh, padahal biasanya dia tidak suka.
"Harus?" tanya Habib.
"Ya. Melepaskan seseorang yang kita sayangi memang berat, tapi kalau itu yang terbaik, ya harus di lakukan."
Memang indah kenangan yang di lalui bersama Nadia, tapi Habib tak yakin akan ada kisah yang lebih indah dari yang telah berlalu. Berusaha mencari kesenangan dengan dunianya sendiri pun tak membuatnya lupa pada Nadia, bahkan setelah berbulan-bulan lamanya.
Mungkin ini tidak akan membantu, tapi Aida berencana mengajak Habib untuk berbulan madu. Itu pun jika memang Habib mau.
"Bulan madu?"
"Iya, ayah menyiapkan paket bulan madu untuk kita berdua, bagaimana menurutmu?"