Seperti yang telah Aida sampaikan pada Habib tadi sore, malam ini mereka datang ke rumah Ruli untuk makan malam bersama keluarga mereka dengan sepupu jauh Aida yang datang ke sana setelah beberapa tahun tak bertemu.
Mereka datang dengan menggunakan sepeda motor pribadi milik Habib, itu adalah kemauan Habib sendiri, karena dia merasa malu kalau harus menumpang menggunakan mobil Aida terus. Setiap kali keluar rumah, pasti selalu saja pakai mobil istrinya, Habib merasa tidak punya harga diri jika menumpang terus.
"Padahal apa yang menjadi milikku adalah milikmu juga, Mas. Lebih enak pakai mobil juga," kata Aida sebelum naik ke atas motor.
"Aku tahu aku tidak punya mobil, hanya motor butut yang sudah sering rusak. Kalau kamu malu, lebih baik aku tidak usah ikut saja sekalian," balas Habib yang merasa begitu di rendahkan.
Padahal Aida sama sekali tidak memiliki niat seperti itu. Dia hanya berpikir bagaimana resikonya naik sepeda motor malam-malam, belum lagi terkena angin malam yang bisa membuat mereka kedinginan.
Tapi apa yang ada di pikiran Habib jauh berbeda dengan yang ada di kepala Aida. Sebab, dia merasa sangat malu jika harus menumpang setiap kali pergi ke acara keluarga, dia adalah kepala rumah tangga dan akan sangat memalukan kalau terus-terusan menumpang pada istri.
Mau tak mau, Aida pun ikut Habib naik motor. Untungnya malam ini dia menggunakan baju potongan dengan celana kulot warna mocca yang senada dengan bajunya. Kerudung warna hitam, berbentuk segi empat yang dilipat menjadi pelengkap outfitnya malam ini.
Seorang laki-laki tampak terdiam melihat kehadiran Aida dan Habib saat dia masih mengobrol dengan seseorang di sambungan telepon. Habib membantu Aida turun dengan memegangi tangannya dan semakin membuat mata lelaki itu membulat terkejut.
"Assalamu'alaikum, sudah lama sekali tidak bertemu," sapa Aida sambil tersenyum menggandeng lengan Habib.
"Wa—wa'alaikumsalam, Aida. Kamu ..."
"Perkenalkan, ini suamiku, namanya mas Habib," kata Aida memperkenalkan Habib.
Tidak ada sikap aneh yang Habib perlihatkan pada lelaki itu, dia hanya mengulurkan tangan dan berusaha berkenalan dengan sopan pada lelaki yang merupakan sepupu jauh Aida. Namanya Farel, dia adalah sepupu masa kecil Aida yang sudah lama tidak bertemu karena tinggal di ibukota Jakarta.
Mereka pun di panggil masuk setelah Ruli melihat kedatangan putri dan menantunya. Ternyata Farel dan keluarga belum tahu kalau Aida sudah menikah dengan Habib selama lebih dari satu bulan yang lalu.
Jauhnya jarak antara mereka, sudah jarang berkabar dan tidak pernah bertemu membuat kabar perikahan Aida tidak sampai ke telinga keluarga Farel. Entah Aida merasakannya atau tidak, tapi Habib merasa kalau Farel kelihatan kecewa mengetahui kabar itu.
Di meja makan, Farel kelihatan tidak menikmati acara makan malam itu. Begitu juga dengan kedua orang tuanya yang kelihatan canggung dengan kehadiran Habib. Tidak ada yang menyadari itu, bahkan Aida juga kelihatan senang-senang saja.
"Kami punya bisnis di Jakarta, membangun supermarket dengan dua cabang. Rencananya kami akan membangun supermarket yang sama di Jambi, makanya kami pulang ke sini. Supermarket tersebut nantinya akan dikelola oleh Farel," jelas ayah lelaki itu sambil bercerita di ruang tengah.
"Wah, usaha yang bagus. Kebetulan di dekat sini juga belum ada supermarket. Akan lebih baik lagi jika kamu membangun usaha sekalian membangun rumah tangga. Bukankah kamu belum menikah?" tanya Ruli pada Farel.
Pemuda itu hanya terdiam sambil tersenyum kaku dan melirik Aida. Habib terus mengamati hal itu, hingga dia mengambil suatu kesimpulan yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Sebelum pulang ke rumah, Aida menyempatkan diri untuk membantu ibunya mencuci piring di dapur.
"Biar aku saja yang membantu Aida, Bu," kata Habib meminta ibu mertuanya untuk bersantai di kamar.
"Ah, kamu. Mentang-mentang pengantin baru, takut sekali kalau istrinya kelelahan," balas Zainab menggoda Habib.
Dia hanya tersenyum menanggapi hal itu sampai Zainab benar-benar meninggalkannya berdua dengan Aida di dapur. Istrinya juga hanya mengulum senyum sambil menunggu Habib mendekat untuk membantunya mengelap piring yang sudah di cuci.
Memperhatikan sekitar, Habib pun mendekatkan diri dengan Aida. Belum sempat bicara, wanita itu malah mengoleskan air sabun di hidung Habib dan meninggalkan jejak busa di sana. Dia terkekeh melihat ekspresi Habib yang kelihatan bingung.
"Ish! Apaan, sih?!" gerutu Habib yang langsung mengelapnya.
"Ada apa denganmu? Kenapa mendadak ingin membantuku, biasanya juga tidak pernah seperti ini," tanya Aida ingin tahu.
Menahan ekspresi kesal, Habib pun kembali memperhatikan sekitar dan mendekatkan mulutnya ke telinga Aida. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas Farel yang melihat kejadian itu dari belakang merasa kalau mereka adalah pasangan bahagia yang selalu terlihat mesra.
Begitu dekat, begitu lekat, bahkan dia juga tahu kalau Aida tidak pernah lepas dari perhatian suaminya selama kumpul keluarga tadi. Dia mengambil langkah cepat dan meninggalkan dapur sebelum melihat hal yang tidak dia inginkan.
"Tidak mungkinlah, Mas. Mas Farel itu sepupuku, tidak mungkin dia suka padaku. Apa lagi kami sudah lama tidak bertemu, bagaimana bisa kamu menilai seperti itu padanya?" bantah Aida atas tuduhan yang Habib utarakan tadi.
"Aku laki-laki, dan aku tahu bagaimana tatapan laki-laki yang menaruh perasaan pada perempuan. Farel melakukan itu, Aida!" tegas Habib sekali lagi.
Entah benar atau tidak, tapi Habib merasa kalau Farel memang selalu memperhatikan Aida. Dia memang baru pertama kalinya bertemu dengan keluarga Aida yang satu ini, tapi dia juga seorang lelaki yang tahu bagaimana pandangan seorang lelaki pada wanita.
Tatapan Farel itu memberikan makna lebih, ada cinta di matanya.
"Sayangnya aku perempuan yang tak bisa menilai itu. Aku bahkan tidak tahu, apakah tatapanmu mengandung perasaan cinta atau tidak," seloroh Aida yang mendadak menyeleweng dari topik pembicaraan.
Habib memutar bola mata sambil menghela napas. "Tidak perlu di pertanyakan lagi, itu sudah jelas tidak. Tapi kamu harus sadar, kalau kamu adalah istriku. Jangan coba-coba dekat dengan lelaki lain, bukankah kamu tidak mau merusak kepercayaan ibumu?"
Aida mengulum senyum sambil mendakatkan wajahnya ke wajah Habib, membuat lelaki itu terdiam bingung. "Apa kamu cemburu?" tanya Aida pelan.
Tidak langsung menjawab, tapi Habib segera menjauhkan diri dari Aida dan melanjutkan kegiatannya mengelap piring. "Tidak, tidak ada cemburu dalam kamusku."
"Ah, yang benar?"
"Ya, cemburu itu hanya untuk orang yang tidak percaya diri."
"Kamu pernah tidak percaya diri saat melihat Nadia dan Ahmad?"
Gerakan tangan Habib mendadak berhenti. Mendengar nama sepasang suami istri itu saja sudah membuat hatinya sungguh panas, dan seharusnya Aida tidak perlu menanyakan itu, karena jawabannya pun sudah jelas.
Bukan bermaksud mengorek-ngorek luka lama, tapi Aida hanya ingin tahu seberat apa saingannya untuk mendapatkan hati Habib. Sebaik apapun wanita yang sekarang, pemenangnya tetaplah orang lama. Aida ingin mengubah pepatah itu, selama apapun hubungan mereka, yang terbaik tetaplah pemenangnya.