Tanpa sepengetahuan Habib, Aida juga mencari tahu tentang Nadia. Dia sudah mencoba mencaritahu dari para tetangga yang sempat Aida temui saat acara pemakaman di Lampung beberapa hari yang lalu.
Bukan rahasia lagi kalau Habib dan Nadia adalah sepasang kekasih di sana. Dan mereka juga tahu kalau sebenarnya Nadia hamil anak Ahmad, maka dari itu Habib meninggalkan Nadia dan pindah ke Jambi.
Secara tidak langsung, Aida sudah mengetahui semuanya dari mereka tentang hubungan masa lalu Habib dan Nadia. Tak heran kalau Habib masih menyimpan foto Nadia sampai saat ini. Bahkan bisa saja Habib masih menyimpan lebih banyak foto mantan kekasihnya lagi di dalam koper pribadi lelaki itu.
Habib selalu melarang Aida untuk menyentuh kopernya. Entah memang karena alasan celana dalam, atau dia menyembunyikan lebih banyak kenangan di sana. Tapi sejak saat itu juga Aida mengerti kenapa Habib tidak pernah menyentuhnya.
"Jadi, kamu sudah tahu 'kan? Lantas kenapa masih ingin mendengar penjelasanku?" tanya Habib setelah mendengar cerita Aida.
"Aku hanya ingin tahu, seberapa besar rasa cintamu pada Nadia, sampai kamu tidak bisa melupakannya setelah sekian lama hidup terpisah."
"Nadia adalah cinta pertama dan terakhirku, seburuk apapun dia, aku akan terus mencintainya sampai mati. Maaf, tapi kecantikanmu masih belum mampu mengalahkan Nadia."
"Aku tidak sedang bersaing dengan masa lalumu untuk masalah kecantikan, tapi aku sedang bersaing untuk menjadi yang terbaik bagimu."
Habib hanya tersenyum miring menanggapi hal itu. Dia mendekatkan diri dengan Aida yang berdiri sejajar dengan dada berbulu Habib, wanita itu sedikit mundur, karena kali ini dia yang takut melihat dada berbulu itu.
Begitu lebar dan kekar, Habib menarik napas sambil menaikkan dagu Aida agar bisa menatapnya. Wajah wanita itu berbeda dengan Nadia yang anggun nan cantik, Aida lebih terkesan imut dan lucu. Pipinya chubby, membuat Habib terdiam beberapa saat.
"Tidak ada yang bisa menandingi Nadia dalam hal apapun. Dia yang terbaik dalam segala hal, kamu mengerti?" kata Habib pelan dan dalam.
Habib kembali tersenyum dan menjauhkan dirinya dari Aida untuk segera memakai baju. Perkataan Habib memang sederhana, tapi bagi seorang istri, itu adalah kata-kata menyakitkan yang pernah dia dengar.
Hingga Aida pun kembali bersuara. "Jadi, dia? Dia alasanmu tidak pernah menerima kehadiranku selama ini?"
Menoleh sedikit, Habib pun menjawab, "Aku menerimamu, tapi tidak dengan pernikahan kita. Maaf, tapi aku menikah denganmu karena terpaksa."
"Kalau begitu, biarkan aku berjuang." Habib berbalik badan. "Ya, biarkan aku berjuang untuk bisa mendapatkan hatimu dan menerima pernikahan ini."
"Kamu pikir itu mudah? Aku—"
"Tidak ada yang menyebutnya mudah, tapi aku akan berusaha. Aku yakin aku bisa, meskipun aku tahu hatimu masih tertaut pada perempuan itu," sela Aida.
Habib tidak mengerti dengan apa yang wanita itu inginkan, tapi wajahnya kelihatan begitu serius dengan perkataannya. Habib tidak bisa menjamin kalau hatinya akan selamanya tertaut pada Nadia, tapi dia tahu bahwa hanya Nadia lah wanita yang dia inginkan.
Tak peduli seberapa keras Aida berusaha, Habib tidak akan pernah berpaling sama sekali. Dia hanya takut membuat Aida lelah dengan semua itu hingga membuatnya tersiksa sendiri. Habib berpikir mungkin akan lebih baik jika mereka tidak perlu memberi usaha apapun, jalani kehidupan layaknya mereka sebagai orang asing yang tinggal di satu atap.
"Tidak, aku adalah istrimu, sudah menjadi kewajibanku melayani suami dan memberikan kepuasan untukmu. Aku juga tidak mau mengecewakan ibu, apa lagi sampai mengkhianati ikatan suci pernikahan. Tak apa, aku bisa berusaha sendiri. Biarkan aku mencobanya," pinta Aida masih berusaha memohon.
"Baiklah, terserah padamu!" acuh Habib yang sudah tak mau ambil pusing.
Aida pun hanya tersenyum. Sejak saat itu, Aida menjadi lebih sering memperhatikan Habib. Dia yakin, hidupnya tidak akan separah kisah di film-film, dimana istri mengemis perhatian suami dengan air mata.
Ini adalah kehidupan nyata, dan dia tahu Habib tidak sedingin itu. Dia hanya butuh sedikit air hangat untuk membuatnya lebih bersahaja. Setiap pagi Aida bangun dan menyiapkan sarapan untuk Habib, entah itu teh, susu, kopi dan di barengi dengan ubi goreng atau roti.
Dia juga selalu menyiapkan makan malam, pulang sebelum Habib sampai ke rumah juga menyiapkan handuk dan pakaian ganti. Habib kesal dengan hal itu, karena dia benar-benar tidak suka kalau Aida menyentuh pakaiannya.
"Tapi itu bukan celana dalam, Mas. Hanya baju kaos dan celana boxer saja," kata Aida membela diri.
Habib hanya menghela napas dan masuk ke kamar untuk berganti baju. Perhatian demi perhatian terus menghujani Habib, hingga dia pun lupa dengan masalah Nadia dan Ahmad yang sempat meminjam uangnya.
Kasim mendatangi Habib yang sudah kembali masuk kerja ke toko roti pusat yang tidak terlalu jauh. Lelaki itu tampak sibuk menguleni adonan dengan beberapa noda tepung kering di pipi dan bajunya.
"Maafkan Paman kalau kemarin menyinggungmu, ya? Paman hanya ingin melindungimu. Terlibat dengan Nadia dan Ahmad hanya akan mengganggu pernikahanmu dan Aida," kata Kasim yang sama sekali tak menghentikan gerakan tangan Habib.
"Aku mengerti, terima kasih sudah menasehatiku," balas Habib menoleh sekilas.
"Usahakan agar Aida jangan sampai tahu tentang masa lalumu, ya? Kasihan dia, apa lagi ibunya sekarang juga sedang tidak sehat. Paman takut itu melukai mereka," pesan kasim pula yang kali ini membuat gerakan tangan Habib terhenti.
Terlambat, paman. Aida sudah tahu semuanya, dia bahkan sudah mengerti bagaimana masa lalu Habib dan Nadia sampai membuatnya gagal move on sampai detik ini. Mengingat jarak pacaran mereka cukup lama, tentunya tidak semudah itu melupakannya.
Padahal dulu Nadia sering datang ke toko roti untuk hanya sekedar menemani Habib bekerja. Wanita itu pulang sekolah, langsung datang ke toko dan menemani Habib di sana. Melihat dengan tatapan penuh cinta, membuat Habib tak berhenti tersenyum.
"Ih, kamu ini bagaimana, sih?! Kalau kerja itu yang bersih, kenapa tepung bisa sampai melayang ke wajah?" omel Nadia yang langsung membersihkan noda tepung di pipi Habib dengan tangannya sendiri.
"Itulah gunanya pacar," bisik Habib yang membuat Nadia terkekeh.
Mereka hanya berdua di dapur, hingga tidak ada siapapun yang melihat kejadian itu. Tatapan mereka berubah menjadi lebih dalam, dan membuat Habib terhanyut dengan tatapan itu hingga mendekatkan wajah mereka dan bersiap untuk berciuman.
"Habib, satu roti lagi!" teriak Kasim, membuat wajah mereka menjauh seketika.
Nadia hanya tersenyum menyadari apa yang akan mereka lakukan. "Sebaiknya aku pulang, bang Hafidz mengajakku ke pasar sore nant," pamit Nadia pula.
"Pasar minggu?"
"Ya."
"Aku akan ikut. Kita bertemu di tempat biasa!" balas Habib yang di angguki Nadia.
Masa itu adalah masa paling indah. Mereka bisa menghabiskan waktu bersama, sekaligus bersama sahabatnya, Hafidz yang merupakan saudara satu-satunya yang Nadia punya saat itu. Mereka bertiga kerap kali menghabiskan waktu bersama, sampai mereka tak sadar ada satu hati yang merasa terkucilkan.
"Mas!" Suara Aida datang mengejutkan Habib.
"Sedang apa kamu disini?"
"Malam ini ayah dan ibu mengundang kita untuk makan malam. Ada sepupu jauhku yang datang ke rumah."