Ternyata malam itu Habib tidak bisa dibuat tidur tenang dengan sikap Aida yang selalu ingin dekat-dekat dengannya. Hujan yang turun sepanjang malam membuat perempuan itu tidak bisa tidur dengan nyenyak karena suara petir yang datang berulang kali.
Selalu saja ingin mendekat dengan Habib, membuat lelaki itu berniat untuk bangkit dari tidurnya dan pindah ke kamar sebelah. Akan tetapi Aida tidak mengijinkan Habib pergi, dia memeluk lengan Habib dengan erat.
Menoleh ke kiri, Habib melihat belahan dada Aida yang ketara dengan jelas saat wanita itu tidak memakai kerudung di kepalanya. Baju gamis yang di kenakan wanita itu juga belum di ganti, sejak pulang dari acara pembukaan toko roti tadi sore.
Tak bisa di pungkiri lagi, Aida memang memiliki buah dada yang cukup besar sampai membuat Habib menelan saliva berulang kali untuk menahan diri. Dia menatap langit-langit kamar, berusaha untuk tetap tenang dan menahan diri.
"Argh, kenapa dia malah semakin mepet. Aku tidak tahan lagi!" erang Habib membatin sambil meringis menahan diri untuk tidak berpindah dari posisinya, apa lagi sampai tergoda dengan tubuh Aida yang kelihatan siap di santap.
Kejadian itu terjadi sepanjang malam, membuat Habib tidak bisa terlepas sampai hujan berhenti pada waktu subuh. Mereka bangun dan berniat untuk sholat subuh di musholah. Aida bangkit dari tempat tidurnya, berusaha membuka baju gamisnya untuk di ganti.
"Mas, bisakah kamu membantuku? Aku tidak bisa membuka resleting ini," cicit Aida meminta bantuan Habib.
Lelaki yang sudah siap ingin ke musholah itu menghela napas dan menghampiri Aida yang berdiri di depan cermin sambil membelakanginya. Dia berusaha menarik turun resleting, tapi ternyata memang sulit.
Sudah berusaha, tetap susah. Sepertinya memang baju gamis ini sudah terlalu lama tidak di pakai, hingga resletingnya rusak. Habib berusaha sekali lagi, dan akhirnya berhasil membuka resleting itu sampai ke batas pinggang.
Secara langsung dia bisa melihat apa yang di sembunyikan di balik baju gamis itu. Terlihatlah secara jelas punggung mulus Aida dengan satu tali bra warna hitam di tengahnya, membuat Habib hanya bisa menelan saliva meliatnya.
"Sudah?" tanya Aida berbalik badan. Habib hanya tertegun diam sambil menatap punggung Aida yang sudah hilang sejak wanita itu berbalik badan. "Mas?" tegur Aida lagi sambil melambaikan tangan di depan wajah Habib.
"Hah?" tanya Habib tersadar secara tiba-tiba.
"Terima kasih, ya? Aku tidak akan mau pakai gamis ini lagi, sepertinya terlalu sulit untuk membuka resletingnya," balas Aida pula.
Tergagap, Habib pun langsung mengangguk dan pamitan untuk segera pergi ke musholah. Ah, dia tidak seharusnya tergoda dengan tubuh Aida yang sama sekali tidak menarik untuknya. Memejamkan mata, Habib pun melangkahkan kaki menuju musholah yang ada di sebelah rumahnya.
Sebelum pulang, Habib sempat mengikuti kajian subuh di musholah. Tidak terlalu ramai orang, tapi lebih banyak diisi bapak-bapak yang biasanya sholat di musholah tersebut. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung sekitar lima puluh orang jama'ah.
Pembahasan yang di bicarakan pagi itu adalah tentang pacaran, begitu menyinggung untuk Habib yang pernah menjalin cinta selama lima tahun bersama mantan kekasihnya. Tapi ada satu kalimat yang begitu menampar untuknya.
"Orang yang menikah denganmu sekarang, adalah orang baik. Karena orang baik, tidak ada didapatkan melalui pacaran."
Kalimat itu begitu relate dengan apa yang Habib rasakan sekarang. Tapi dia sama sekali tidak merasakan kalau Aida adalah yang terbaik untuknya, bahkan sampai saat ini dia masih menunggu kabar dari Nadia.
Akan tetapi, tentunya kalimat itu akan menjadi renungan besar untuk Habib. Dia kembali ke rumah sebelum jam enam pagi dan sudah di sambut dengan jamuan sarapan yang sudah Aida siapkan untuknya.
"Tadi paman menelepon, katanya dia ingin bicara sesuatu dan memintamu untuk segera datang ke rumahnya," info Aida, membuat langkah Habib yang masih setengah jalan menuju kamar pun berhenti.
"Mau bicara apa?"
"Entahlah, beliau tidak menyebutkan apapun. Tapi katanya penting."
"Ck, katakan padanya aku tidak akan datang!"
"Kenapa? Kamu bertengkar dengan paman?" tanya Aida ingin tahu.
"Itu bukan urusanmu!" ketus Habib.
Lelaki itu masuk ke dalam kamarnya, diikuti oleh Aida yang masih terus mewawancarai Habib untuk mencari tahu apa yang sebenarnya lelaki itu rasakan. Sejak kembali dari toko roti kemarin, Habib memang lebih banyak diam dan terlihat tidak senang hati.
Sebagai istri, Aida hanya ingin tahu ada apa dengan suaminya tersebut. Tapi Habib bukan tipe orang yang suka di tanya-tanyai seperti itu, dia bahkan risih dan terkesan berusaha menutupinya dari Aida.
Dia hanya belum siap untuk menceritakan masalah ini pada Aida, karena dia tahu ini semua akan berakhir sangat panjang.
"Mas, kamu tidak bisa seperti ini. Paman menyuruhmu ke rumahnya, pasti ada sesuatu yang penting!" bujuk Aida.
"Aku tidak mau ke sana, jangan paksa aku!" tegas Habib lagi lalu berbalik badan dan melepas pakaiannya.
"Kenapa?"
"Jangan ikut campur, aku mohon."
"Aku istrimu, kenapa aku tidak boleh ikut campur?"
"Apa semua urusanku harus selalu ada campur tanganmu?"
"Ya, karena aku istrimu."
Habib terdiam, dia menanggalkan seluruh pakaiannya dan menyisakan tubuh setengah telanjang dengan dada berbulu yang terpampang saat dia berbalik badan. Dia mendekat pada Aida dan menatap kedua manik mata wanita itu.
"Jangan buat aku marah," kata Habib dengan menekankan setiap kata yang dia keluarkan dari mulutnya.
Dia kemudian kembali berbalik badan, berjalan ke arah lemari dengan maksud mencari pakaian ganti. Dia tidak mungkin memakai baju koko untuk kesehariannya, tapi dia juga tidak berniat datang ke toko roti hari ini, karena merasa malas berhadapan dengan pamannya.
"Apa ini semua ada hubungannya dengan Nadia?" tanya Aida tiba-tiba, membuat tangan Habib gagal meraih gagang pintu lemari.
"Maksudmu?"
Aida mengeluarkan foto Nadia yang sempat dia temukan dalam saku celana Habib. Dia menyodorkan foto itu pada Habib tanpa adanya ekspresi apapun. Itu adalah robekan foto, dan Aida tahu ada robekan lainnya yang merupakan foto Habib di sisi lain foto tersebut.
"Dari mana kamu mendapatkan foto ini?!" tanya Habib mengambil cepat foto itu.
"Maaf, aku tidak dengaja mendapatkannya dari saku celanamu. Kelihatannya dia bukan hanya sekedar kerabat biasa, ya? Siapa dia, Mas?" Masih bersikap tenang, Aida memasang segaris senyum tipis.
Habib menoleh ke sisi kanan, tepat di mana Aida berdiri di sampingnya. Dia menghela napas dengan perasaan ragu. Aida sudah mulai curiga dengan keberadaan Nadia, atau mungkin juga dia sudah tahu siapa itu Nadia yang sebenarnya.
"Dia bukan siapa-siapa," jawab Habib cepat lalu menaruh foto itu di dalam saku celananya.
Aida kembali merebut foto itu, membuat Habib bingung. Bahkan Aida juga mengambil dompet Habib yang tergeletak di atas meja riasnya dan membuka dompet tanpa uang itu. Robekan foto lainnya ada di dalam dompet Habib, foto dirinya yang jika di sambungan dengan foto Nadia maka akan menjadi sebuah foto sepasang kekasih yang utuh.
"Yakin dia bukan siapa-siapa?" tanya Aida, mengharapkan sebuah kejujuran dari Habib. "Karena dia juga 'kan kamu dan paman bertengkar?" imbuhnya lagi.