"Kenapa kamu berbohong pada Paman?" tanya Kasim langsung to the point.
"Maksud Paman apa?" Habib sudah ketakutan, dia takut kalau seandainya Kasim tahu tentang keadaan pernikahannya dan Aida yang sebenarnya.
Itu adalah mimpi buruk, dan Habib harap itu tidak pernah terjadi. Tapi ternyata dia salah, Kasim marah padanya karena dia sudah tahu kalau Habib pergi ke Lampung beberapa hari yang lalu untuk menghadiri acara pemakaman bibi Rahma—bibinya Nadia.
"Bukankah Paman sudah pernah bilang padamu untuk tidak datang ke sana?! Kenapa kamu masih membangkang?!" omel Kasim kesal.
"Maaf, Paman. Aku hanya tidak tega kalau harus membiarkan Nadia bersedih sendirian karena ditinggal bibinya."
"Dia tidak sendirian, ada Ahmad bersamanya. Ingat, dia sudah bukan lagi kekasihmu dan Paman ingin kamu berhenti peduli padanya! Kamu sudah punya istri, jangan lagi memikirkan perempuan itu!"
Habib hanya bisa terdiam menunduk sambil menerima semua omelan Kasim yang memang benar adanya. Bahkan jangan pikir Kasim tak tahu dengan apa yang ada di dalam kepala Habib sekarang, karena sejatinya lelaki itu tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan Zainab seputar anak.
Tak hanya itu, Kasim juga tahu sejumlah uang yang Ahmad pinjam dari Habib. Mungkin nominalnya tidak banyak hanya sepuluh juta dan kalau di bandingkan dengan penghasilan Habib sekarang, uang itu tidak ada apa-apanya.
Tapi dia tetap tidak bisa membenarkan perbuatan itu, apa lagi setelah mengingat bagaimana pengkhianatan Ahmad dan Nadia terhadap Habib. Bagaimana bisa Habib meminjamkan uang sebanyak itu pada lelaki yang sudah berkhianat padanya.
"Aku hanya meminjamkan sedikit uangku padanya, Paman. Salahnya dimana?"
"Salahnya dimana? Kamu masih berani mempertanyakan salahnya dimana?! Jelas-jelas itu salah, Habib. Mereka pengkhianat, jangan lupakan itu! Bahkan sekarang perempuan jalang itu sudah mengandung anak haram Ahmad!"
"Paman!" sentak Habib. "Jangan sebut Nadia sebagai perempuan jalang, dia bukan perempuan seperti itu!"
"Lalu apa namanya kalau bukan perempuan jalang?! Pelacur?"
"Paman!" Habib benar-benar tidak bisa menahan dirinya lagi mendengar perkataan kotor Kasim untuk Nadia.
Seburuk apapun Nadia di mata orang lain, dia tidak peduli, karena di mata Habib, Nadia adalah wanita yang paling sempurna dan paling baik dari pada wanita manapun. Seburuk apapun masa lalu Nadia dengan Ahmad, Habib sama sekali tidak mempedulikannya.
Dia juga tidak suka kalau Kasim terus-terusan menjelek-jelekkan Nadia. Sang bibi yang mendengar pertengkaran Kasim dan Habib pun ikut datang ke dapur untuk melerai mereka berdua.
Dia sama sekali tidak marah kalau Habib meminjamkan uang pada Ahmad, tapi biar bagaimanapun juga kekesalannya terhadap Ahmad dan Nadia tentu tidak akan pernah hilang, apa lagi mereka sudah membuat Habib sampai sesakit ini.
"Aku tahu mereka salah, Bi. Tapi apakah perlu sampai menyebut Nadia dengan sebutan kotor seperti itu?! Dia manusia, tolong jangan berkata buruk tentangnya!" tentang Habib.
"Iya, Bibi tahu itu, Habib. Tapi kami juga kecewa padamu, kenapa kamu harus pergi ke sana dan berbohong pada kami? Seharusnya kalau kamu—"
"Kalau aku minta ijin kalian, kalian tidak akan mengijinkanku pergi 'kan?! Untuk apa aku meminta ijin kalian? Aku sudah tahu jawabannya," sela Habib memotong ucapan bibinya.
Paman dan bibinya tidak memberikan balasan apapun. Mereka tahu sekarang Habib sedang dalam mode marah, tidak ada yang bisa bicara dengannya jika dalam keadaan marah seperti ini. Habib, memang namanya indah dalam pandangan islam, tapi dia bukan orang yang tahu akan ajaran islam.
Ketika marah, dia sangat emosional dan bicara dengannya tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Habib menarik napas panjang untuk mengendalikan emosi, berusaha agar tetap menahan diri supaya tidak meledak disini, terlebih lagi pada paman dan bibinya.
"Aku pulang," putus Habib meninggalkan dapur.
"Jangan lupa segera minta uangmu kembali, Ahmad sama sekali tidak bisa di percaya," pesan Kasim sebelum Habib meninggalkan dapur.
Pintu dapur dan area ruang istirahat hanya di batasi dengan kain, hingga Habib tidak bisa membanting pintunya kecuali menyingkapnya dengan kasar. Dia mencari Aida untuk segera di ajak pulang, meski acara di toko belum selesai, tapi Habib sudah tidak tahan berlama-lama lagi disini.
Celingukan mencari Aida, ternyata wanita itu malah muncul di belakangnya. "Ayo pulang!" ajak Habib menarik tangan Aida.
"Tapi aku belum pamitan pada paman dan bibi."
"Tidak perlu, aku sudah pamitan pada mereka."
Aida hanya bisa menuruti keinginan suaminya tanpa membantah. Mungkin ini adalah kali pertama untuk Habib marah di depan Aida, padahal sebelumnya dia tidak pernah marah seburuk ini di depan wanita itu.
Sepanjang jalan, Aida hanya diam mengapit sebuah tas sandang di pangkuannya sambil memainkan ujung hijab. Habib memperhatikan wanita itu yang seketika menjadi diam, padahal saat berangkat tadi, dia masih cerewet, sekarang malah diam seperti patung.
Malam itu mereka sampai di rumah dengan rintik hujan yang turun ke bumi. Untungnya mereka pakai mobil, jadi tidak kehujanan. Habib langsung mengambil handuk untuk mandi, dia ingin merontokkan rasa kesalnya dengan air.
"Mau aku siapkan teh hangat?" tanya Aida menawarkan sebelum Habib mandi.
"Boleh," sahut Habib sambil mengangguk.
Memejamkan mata, Habib membiarkan air shower membasahi kepalanya sampai ke ujung kaki. Tertunduk, Habib menangis ketika mengingat apa yang pamannya katakan tentang Nadia. Sampai dia kelepasan dan berteriak kencang di kamar mandi.
Seiringan dengan itu, suara petir pun terdengar menggelegar, membuat Aida mengetuk pintu kamar mandi dengan kencang. "Mas! Cepat keluar, aku takut!" seru Aida.
"Aish! Perempuan itu!" decih Habib kesal dan buru-buru memakai handuk.
Habib keluar dengan tubuh setengah kering. Handuk hanya menutupi setebah tubuhnya dari pinggang sampai lutut dan dia langsung di sambut dengan pelukan Aida yang menyergap tubuhnya dengan gemetar.
Takut, itulah yang Aida rasakan setiap kali mendengar suara petir. Sejak dulu dia takut dengan suara petir, hingga saat mendengar suaranya dia refleks mencari seseorang untuk di peluk.
"Argh.! Apa-apaan kamu?!" sergah Habib menjauhkan Aida darinya.
"Aku takut petir, Mas."
"Tidak usah peluk-peluk, bisa 'kan?!"
"Tap—tapi—"
"Minggir!" Habib mendorong tubuh Aida untuk menyingkir dari jalannya dan pergi meninggalkan perempuan itu di depan kamar mandi.
Pikirannya sudah kacau, di tambah lagi dengan sikap menyebalkan Aida yang seperti anak kecil. Membuat Habib benar-benar kesal dan membanting pintu kamarnya. Aida yang tertinggal di luar pun mengetuk pintu berulang kali, dia ingin masuk ke kamar agar bisa bersama Habib.
"Mas, biarkan aku masuk! Aku takut!" rengek Aida hampir menangis di depan pintu sana.
Habib mengabaikannya, sampai dia selesai berpakaian barulah dia membukakan pintu untuk Aida. Dilihatnya perempuan itu sudah menggigil ketakutan di kursi sofa ruang tamu, dia memeluk lututnya dengan gemetar.
Habib mengernyit bingung, memangnya setakut itu Aida terhadap suara petir sampai meringkuk di sofa seperti anak kecil. "Aida, masuklah!" titah Habib tak tega.
Aida mendongak perlahan. "Boleh?"
"Tapi jangan peluk-peluk, aku tidak suka!"
Mengusap jejak air mata, Aida pun segera berdiri dan lari ke kamar. Dia langsung lompat ke tempat tidur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Habib hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah wanita itu.
Di tengah kacaunya suasana hati, ada saja tingkah Aida yang membuatnya menghela napas.