Nadia sangat kecewa dengan keputusan Habib, bahkan dia menangis semalaman setelah pesta pernikahannya dan Ahmad. Sama sekali tidak pernah menduga bahwa lima tahun menjalin cinta, dia malah menikah dengan lelaki lain.
Tapi Ahmad sama sekali tidak merasa bersalah, dia malah datang menghampiri Nadia sambil membawa segelas susu hangat untuk di berikan pada wanita itu. Berjalan pelan, Ahmad pun duduk di samping Nadia sambil tersenyum.
"Susu?" tawar Ahmad sambil menyodorkan segelas susu.
Menghapus air mata dengan cepat, Nadia pun menerima susu itu sambil mengucapkan terima kasih. Dia kenal Ahmad dengan baik, dia adalah sahabat abangnya yang baru saja meninggal sekitar tiga bulan yang lalu.
Baik Ahmad atau Habib, keduanya sama-sama sahabat terdekat abangnya dan dia juga tahu mereka orang-orang baik. Meskipun begitu, Nadia tidak bisa menutupi perasaannya sendiri kalau dia sebenarnya tidak mencintai Ahmad.
Ahmad, lelaki dengan brewok tipis itu mengendus leher Nadia dengan perlahan, memberikan sensasi geli untuk Nadia saat merasakan brewoknya mengelus pelan pundaknya. Dia tersentak dan segera menjauh.
"Ada apa? Bukankah kita sekarang sudah menjadi suami istri?" tanya Ahmad bingung.
"Aku ... aku harus ke kamar mandi," kata Nadia memutuskan untuk menaruh gelas di atas meja nakas dan meninggalkannya ke kamar mandi.
Ahmad hanya bisa menghela napas sambil tersenyum. Dia mengelus-elus tempat tidur dengan perlahan sambil membayangkan apa saja yang bisa mereka lakukan di tempat tidur nantinya. Itu pasti akan sangat menyenangkan.
Sementara itu, Habib yang kebetulan tinggal bersama paman dan bibinya ikut pindah ke luar kota dan memulai hidup baru di sana. Seminggu setelah pernikahan mantan kekasihnya—Nadia, Habib di ajak pindah demi mengembangkan bisnis roti keluarga pamannya.
Paman dan bibinya tidak punya anak, hingga Habib adalah satu-satunya anak yang mereka punya. Habib berkemas dan mulai memindahkan barang-barang ke mobil pick up yang menunggu di depan rumah.
Perjalanan melalui jalur darat tidak begitu lama, terutama setelah di bangunnya jalan tol bebas hambatan antar kota. Mereka tiba di rumah paman Ruli—sahabat paman Kasim sekitar pukul tujuh malam.
"Wah, akhirnya kalian sampai juga. Aku pikir kalian akan tersesat," kata seorang lelaki bertubuh gemuk yang berdiri di depan rumah.
Paman Kasim langsung turun dari mobil dan memeluk sahabatnya untuk pertama kalinya setelah sekian lama tidak bertemu. Mungkin sudah belasan tahun mereka tidak berjumpa, sebab jauhnya jarak membuat mereka tak pernah lagi bertemu.
"Aku juga lupa-lupa ingat dengan alamat rumahmu, tapi syukurlah Habib bisa di arahkan," balas paman Kasim sambil menepuk pundak pemuda yang berdiri di sebelahnya.
Paman Ruli tampak tersenyum saat melihat sosok Habib yang hanya tersenyum malu. Dia pun mengajak masuk keluarga yang baru datang itu ke dalam untuk sekalian makan malam setelah sholat isya berjama'ah.
Untuk sementara, paman Kasim, bibi Hana dan Habib akan tinggal di rumah paman Ruli sampai mereka menemukan rumah baru untuk di tempati. Kebetulan rumah ini juga cukup besar, bahkan sampai ada pembantunya juga.
Namun, pandangan Habib di buat takjub dengan sosok wanita berhijab panjang yang datang ke meja makan mengantarkan lauk pauk. Mustahil dia seorang pembantu, dari pakaiannya saja kelihatan sekali itu berbahan mahal.
"Habib, perkenalkan ini anak Paman Ruli, namanya Aida. Cantik, bukan?" tanya paman Kasim sambil memandang Habib dan Aida bergantian.
Habib ingat, kalau paman Ruli itu punya satu orang putri perempuan yang kabarnya baru saja menyelesaikan S1-nya di Jambi beberapa bulan yang lalu. Ternyata dia sangat cantik, meski tidak tersenyum sama sekali.
Mau secantik apapun wanita yang ada di hadapannya sekarang, dia tetap saja tidak bisa melupakan Nadia secepat itu. Bahkan melihat Aida semakin mengingatkannya pada Nadia yang selalu menyajikan makanan saat dia makan bersama sahabatnya.
"Paman dengar, katanya kamu baru saja ditinggal nikah oleh kekasihmu, ya?" tanya paman Ruli, mendadak membuat Habib terbatuk.
"Iya, Ruli. Padahal Habib ini begitu setia, tapi entah kenapa kekasihnya malah—"
"Paman!" cegah Habib sambil menggeleng ke arah Kasim.
Pamannya itu tidak melanjutkan kembali perkataannya melihat kode larangan dari Habib. Tapi Ruli yang sudah mengerti dengan kode itupun hanya tersenyum. "Tidak masalah, Aida juga belum memiliki kekasih, siapa tahu kalian cocok," katanya kemudian, membuat Aida yang di sebut namanya malah menegur sang ayah.
Mungkin bagi mereka itu semua terdengar seperti pembahasan ringan, bahkan bibi Hana dan juga paman Kasim ikut tertawa, tapi tidak untuk Habib dan Aida. Wanita itu bisa melihat betapa dalamnya rasa kehilangan di diri Habib, hingga dia hanya bisa menundukkan kepala.
Malam itu Habib di antarkan ke kamar oleh Aida, sementara paman dan bibinya masih berbincang di ruang tengah bersama ayah dan ibu Aida. Kalau boleh jujur, Aida merasa begitu gugup saat harus berhadapan dengan Habib, dia hanya bisa tertunduk tanpa senyum sepanjang jalan menaiki tangga.
"Kalau perlu apa-apa, panggil saja pembantu di rumah ini," kata Aida sebelum meninggalkan Habib.
Habib hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Itu adalah dialog pertama dan terakhir untuk mereka, sampai Habib dan paman bibinya menemukan rumah baru untuk ditinggali. Alasan Habib dan Aida tidak pernah bicara itu cukup jelas, karena Aida memang tidak pernah diam di rumah.
Sebagai sarjana lulusan manajemen, Aida bekerja di bagian perusahaan pabrik cengkeh milik ayahnya sendiri. Dia memimpin kantor itu sebagai kepala pimpinan. Mereka tak pernah bertemu lagi setelah itu, apa lagi Habib juga sibuk membantu pamannya yang membuka toko roti baru di kota itu.
Hingga suatu hari, Aida datang berkunjung ke toko roti untuk membeli beberapa roti di sana sebagai camilan meeting siang nanti. Dia bertemu dengan Habib setelah kurang lebih satu bulan berlalu.
"Kurasa toko roti ini akan lebih maju lagi jika di tambahkan slogan atau spanduk di depannya," komentar Aida.
"Nanti akan kusampaikan pada paman," balas Habib.
"Hei, Aida. Sudah lama tidak bertemu, bagaimana kabarmu?" tanya Kasim yang kebetulan datang dari arah dapur.
"Baik, Paman. Kulihat-lihat tokonya masih sepi, ya?"
"Iya, Habib tidak pandai melakukan promosi atau teknik marketing. Tapi tak masalah, nanti juga orang-orang akan tahu dengan sendirinya."
Aida hanya tersenyum. Tak lama setelah menerima roti pesanannya, Aida pun pamitan pergi dari toko itu dan meninggalkan beberapa lembar uang. Kasim hanya bisa mengulum senyum sambil menyikut perut Habib dengan pelan.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Kasim.
"Apa?" tanya Habib dingin.
"Aida, dia tipe istri idaman, bukan?" goda Kasim lagi.
Pamannya mulai lagi. Habib tidak mau meladeninya, dia hanya memutar bola mata dengan malas dan kembali ke bar untuk menyusun kue-kue yang baru saja matang di etalase.
"Ayolah, Habib. Mau sampai kapan kamu mengingat perempuan itu terus? Dia sudah menikah, bahkan dia sudah mengandung anaknya Ahmad, apa kamu—"
"Paman, tolong jangan sebut namanya. Aku benci itu," sela Habib lalu menghentikan aktivitasnya dan masuk ke dapur.
Tidak, Habib bukan benci dengan nama itu, justru dia hanya tidak ingin jika Kasim kembali mengingatkannya pada mantan kekasih dan mantan sahabat yang sudah mengkhianatinya. Itu sangat menyakitkan, dan Kasim tahu Habib belum sepenuhnya melupakan Nadia.