Habib menjalani kehidupannya seperti biasa, bangun pagi dan bekerja ke toko roti milik pamannya. Tidak ada perubahan besar, mungkin hanya beberapa hal kecil ketika dia harus membiasakan diri dengan kehadiran Aida.
Satu hal yang Habib tekankan pada istrinya, dia tidak boleh ikut campur dengan apapun yang berhubungan dengan barang pribadinya, terutama celana dalam. Terakhir kali dia memergoki Aida membereskan pakaian dalamnya setelah pulang dari rumah pak RT malam itu, dia langsung memarahi Aida.
"Memangnya salahku apa? Bukankah setelah kita menjadi suami istri, membereskan pakaianmu itu adalah kewajibanku?" tanya Aida yang bingung dengan kekesalan Habib.
"Ya, aku tahu. Tapi ... ah, Aida tolonglah. Aku tidak suka siapapun memegang barang pribadiku!" tegas Habib sekali lagi.
Aida mengulum senyum dengan pipi sedikit memerah. Barang pribadi, ah pikirannya sudah melayang kemana-mana. Suaminya yang sedang berdiri di hadapannya itu kelihatan begitu kesal dan marah, tapi Aida sama sekali tidak berkecil hati dengan itu.
Dia berdiri dari duduknya dan maju dua langkah untuk mendekat pada Habib. Lelaki itu malah mundur hingga punggungnya mentok ke dinding, sekarang mereka berdiri berhadapan dengan posisi saling menatap satu sama lain.
"Semua barang pribadi? Apakah termasuk isinya?" tanya Aida pula.
"A—apa maksudmu?"
Aida terkekeh pelan. Dia hanya memandang ke arah bawah celana Habib, membuat lelaki itu mengikuti arah pandang istrinya. Tersadar akan sesuatu yang di maksud, Habib pun langsung mendehem keras dan membuat Aida mendongak.
"Intinya, tidak boleh. Kalau sampai kamu melakukan itu lagi, aku akan—"
"Apa?"
"Sudahlah, aku lelah. Aku ingin tidur."
Perkataan Habib menutup pembicaraan mereka malam itu. Dia naik ke ranjang dan segera menutupi tubuhnya dengan selimut yang posisinya membelakangi Aida pada waktu itu. Sang istri hanya bisa mengernyit bingung sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Aida juga tidak pernah bertanya tentang foto wanita yang dia temukan dalam saku celana Habib, dia hanya berusaha percaya dan berharap Habib bisa menceritakan siapa perempuan itu dengan sendirinya tanpa harus diminta.
Sudah seminggu mereka menikah, baik Aida maupun Habib sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tidak sempat sarapan bersama, saat makan malam juga jarang bersama. Aida yang lebih sering jarang di rumah.
"Apa kamu tidak sebaiknya berhenti bekerja saja? Kasihan suamimu tidak ada yang mengurus," kata Ruli saat bertemu Aida di pabrik.
Wanita berhijab itu hanya menghela napas. "Aku akan berhenti bekerja, jika suamiku yang meminta, Yah. Untuk sekarang, mas Habib pun masih menerima pekerjaanku."
Jawaban bijak dari Aida membuat Ruli tidak bisa bicara apa-apa lagi. Sekarang, semua yang Aida lakukan adalah atas tanggung jawab dan persetujuan suaminya, Habib. Lelaki itu sama sekali tidak mempermasalahkan pekerjaan Aida, mau dia bekerja atau tidak, Habib sama sekali tidak peduli.
Jarak antara mereka memang masih selalu ada, bahkan mungkin tidak akan pernah hilang. Habib merasakan pernikahan yang hampa, terutama di saat dia terus mengingat sosok Nadia yang bahkan sudah lebih dari empat bulan ditinggalkan di Lampung.
"Duh-duh, pengantin baru sudah masuk kerja. Kenapa tidak bulan madu saja? Seharusnya kamu tidak perlu bekerja dulu," kata Kasim saat melihat Habib sedang menguleni adonan kue di dapur.
"Aku bosan di rumah terus, Paman. Aida juga sudah masuk kerja sejak sehari setelah menikah," balas Habib.
"Jadi, bagaimana menurutmu? Aida istri yang baik bukan?"
Habib terdiam sejenak, tangannya sibuk membagi-bagi adonan roti menjadi beberapa bagian untuk di tipiskan dan di gulung. Aida memang wanita yang sempurna, dia mandiri dan tidak pernah bergantung pada Habib, tapi ada kejadian lucu saat Aida baru selesai mandi.
Rumah yang mereka tempati bersebelahan dengan musholah kecil. Belum ada kemajuan untuk renovasi kamar mandi rumah mereka, hingga Aida dan Habib harus menumpang mandi di toilet musholah.
Waktu itu Aida lupa membawa handuk dan berteriak memanggil Habib untuk mengambilkan handuk dari rumah. Dia mencari dimana keberadaan handuk yang ternyata ada dalam lipatan di lemari.
Matanya membulat saat melihat apa yang tersedia di sebelah handuk tersebut, kumpulan koleksi bra milik Aida dengan ukuran tempurung yang cukup besar. Salah satu bra terjatuh ke lantai saat dia menarik handuk.
Habib mengambilnya dengan perlahan, dan dia langsung menelan ludah saat melihat ukuran tempurung yang begitu besar. "Besar sekali ..." gumamnya sembari di samakan dengan ukuran telapak tangannya sendiri.
"Mas! Cepatlah! Aku harus segera ke kantor!" teriak Aida samar dari arah musholah yang terdengar ke jendela kamar.
Habib langsung tersadar dan buru-buru menaruh kembali bra itu ke tempatnya. Dia berlari dan memberikan handuk yang diminta Aida tanpa melihat, ya dia memberikannya dengan posisi memunggungi pintu kamar mandi itu.
Aida hanya menjulurkan tangan dan sebelah matanya untuk mengambil handuk. Lucunya, Aida berlari cepat ke dalam rumah untuk bergegas ganti baju dan melewati Habib yang sedang membuat teh di dapur.
"Aida, aku ..."
"Mas, aku buru-buru!" sela Aida cepat sambil melepas sendalnya di depan pintu dapur.
Habib langsung menahan napas, rasanya antara percaya dan tidak. Dia mencium wangi tubuh Aida yang begitu semerbak, tak lupa pula dengan kedua buah dada yang memantul saat berlari. Membuat Habib tak bisa memberikan reaksi apa-apa.
Ya, Tuhan ada apa denganmu, Habib? Bahkan bayangan tubuh Aida masih terlihat sekalipun orangnya sudah pergi ke kamar. Habib hanya bisa tersenyum mengingat kejadian itu, sampai Kasim mengambil tepung kering untuk di usapkan ke pipi keponakannya itu.
"Hei! Sudah mulai senyum-senyum sendiri, nih! Apa kamu sedang memikirkan Aida? Atau ... kejadian di malam pertama?" tanya Kasim bermaksud menggoda.
"Ah, Paman. Aku sama sekali tidak seperti itu!" elak Habib, tangannya langsung mengusap pipi dengan noda tepung.
"Hm, benar 'kan dugaan Paman sebelumnya? Kamu sudah mulai melupakan Nadia, toh? Dia memang pantas di lupakan, bahkan kalau bisa kamu juga tidak harus datang di acara pemakaman bibinya," tutur Kasim lagi.
"Pemakaman?" Habib cukup terkejut mendengar hal itu, sebab dia tahu bahwa Nadia hanya memiliki satu bibi, yakni bibi Rahma yang merupakan satu-satunya anggota keluarga yang Nadia punya setelah abangnya meninggal.
Kasim memberi penjelasan, bahwa bibi Nadia meninggal kemarin sore karena rumah mereka kerampokan. Anehnya tidak ada barang yang hilang, kecuali nyawa sang bibi yang mendadak melayang dengan satu luka tusuk di perutnya.
Sang paman mendapatkan kabar itu dari salah satu temannya dari Lampung, kabarnya pemakaman akan di laksanakan besok setelah proses autopsi selesai.
"Bib? Kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Kasim memastikan sekali lagi sambil menepuk pundak Habib.
"Ya, aku tidak apa-apa."
"Ya, sudah. Kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu, tampaknya di depan ada pelanggan. Paman kedepan dulu."
Sebuah anggukan kecil menjawab perkataan Kasim, tapi pikiran Habib menjadi tak berhenti mengarah pada Nadia. Bagaimana perasaannya sekarang setelah bibinya meninggal? Kasihan dia, pasti dia sangat sedih dan merasa kehilangan.
Habib harus bertemu dengannya!