Kejadian di Lampung beberapa hari lalu benar-benar mengacaukan keseharian Habib. Apa lagi saat dia teringat akan kejadian yang membuatnya semakin kesal, dimana dia melihat secara langsung kemesraan Ahmad dan Nadia.
Semua itu tidak akan terjadi jika saja Aida tidak meninggalkan kunci mobilnya di rumah Nadia. Padahal mereka sudah akan masuk mobil, tapi Nadia baru ingat bahwa kunci mobil yang di titipkan Habib tertinggal di dalam rumah perempuan itu.
Terpaksalah Habib kembali masuk ke sana dan mencarinya yang katanya di taruh di atas tv. Tanpa sengaja, Habib melihat Ahmad dan Nadia yang sedang duduk berdua di kamarnya yang tidak di tutup rapat.
"Sudahlah, tidak usah di tangisi lagi. Bibimu juga pasti butuh ketanangan, ikhlaskan saja. Aku yakin dia akan bertemu Haifdz di surga," kata Ahmad berusaha menenangkan istrinya sambil menangkup kedua belah pipi wanita itu.
Entah apa yang ada di pikiran Habib pada saat itu, hingga dia tetap berdiri di sana dan melihat apa yang akan Nadia lakukan selanjutnya. Mereka hanya bertatapan, Ahmad tersenyum dan mengecup bibir Nadia.
Habib membulatkan matanya melihat kejadian itu. Sial, dia saja tidak pernah mencicipi bibir Nadia sekalipun sudah lima tahun menjalin cinta. Tapi Ahmad yang tidak pernah dekat sama sekali malah sudah mencicipi bibir gemas perempuan itu.
"Aku mencintaimu," kata Ahmad lagi.
"Aku juga mencintaimu," balas Nadia setelah beberapa detik dan kembali berciuman.
Habib langsung berbalik badan dan segera keluar dari rumah itu tanpa peduli dengan beberapa tetangga yang kelihatan bingung melihat Habib pergi tanpa pamitan. Habib kesal, marah dan emosi.
Tidak bisa di pungkiri, bahwa dia masih begitu mencintai Nadia bahkan setelah satu bulan menjalani pernikahan bersama Aida. Mereka juga masih belum ada kedekatan apapun kecuali sebatas teman ngobrol saat di rumah saja.
Dua hari setelah kembali dari Lampung, Habib pergi ke bank untuk mentransfer langsung uang yang Ahmad minta. Dia tidak tahu uang itu untuk apa, tapi dia betul-betul tidak tega kalau sampai Ahmad tidak bisa memenuhi kebutuhan Nadia.
"Aku benci padamu dan Ahmad, tapi aku tidak bisa membiarkanmu hidup susah bersama lelaki itu," gumam Habib setelah meninggalkan bank.
Malam harinya seperti biasa, Aida sudah menyiapkan makan malam untuk mereka. Sejak di beritahu oleh Zainab, Aida jadi terbiasa untuk menyiapkan makanan untuk suaminya, dia tidak ingin membiarkan Habib terus-terusan makan makanan dari luar.
"Mas, kamu ... tidak ada niatan untuk punya anak?"
Habib langsung batuk mendengar itu. Aida buru-buru mengambil segelas air untuk berikan pada suaminya. Entah apa yang salah, tapi Habib merasa kalau itu terlalu terburu-buru. Dia bahkan belum pernah berpikir untuk jadi ayah.
"Ada apa? Apa aku salah bicara?" tanya Aida takut.
"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Aku hanya tidak mengerti, kenapa Mas Habib kelihatan tidak suka padaku. Sejak awal kita menikah sampai hari ini, kamu sama sekali tidak menyentuhku. Kamu ... tidak menginginkanku?"
Habib mengernyitkan dahinya. Semua orang juga tahu kalau laki-laki tidak akan suka menyentuh perempuan manapun selama hatinya masih tertaut pada perempuan lain. Tak peduli dengan apa yang pernah Nadia lakukan di belakangnya, tapi Habib tidak pernah bisa melupakan Nadia.
Dia sudah berusaha mendekatkan diri dengan Aida, tapi itu terlalu sulit dari apa yang dia bayangkan sebelumnya. Aida yang duduk di dekatnya pun hanya tertunduk sambil menatap piring dengan makanan yang masih tersisa setengah.
Mirip seperti anak kecil yang baru saja di marahi.
"Aku memang tidak menginginkanmu, kalau kamu mau punya anak, menikahlah dengan lelaki lain!" ketus Habib mendadak, membuat Aida mendongak.
"Kenapa kamu mendadak bicara begitu kasar?"
"Aku lelah berpura-pura Aida. Aku benci berpura-pura, aku tidak bisa terlihat menerimamu, dan asal kamu tahu saja kalau sebenarnya aku pun terpaksa menikah dengammu. Aku tidak pernah mencintaimu."
"Tapi aku mencintaimu, Mas."
"Aku tidak peduli, yang jelas aku tidak mencintaimu sama sekali. Jangan bersikap seolah-olah kita pasangan bahagia, aku tidak suka bersandiwara!"
Habib berdiri dari duduknya setelah berkata demikian dan langsung masuk ke kamar. Aida syok dengan perkataan Habib malam itu, dia pun hanya bisa terdiam di meja makan sambil menatap makanan yang masih banyak di piring Habib.
Dia tersenyum hambar sambil melanjutkan makannya. Sementara di kamar, Habib hanya bisa memejamkan mata dan berusaha untuk mengendalikan emosinya. Semua orang terkena imbasnya saat Habib emosi pada Nadia dan Ahmad, bahkan pelanggan di toko roti juga mendapat imbas yang sama.
Dia tidak bisa mengendalikan dirinya, karena Nadia adalah pusat kendalinya.
"Nanti sore paman mengundangmu untuk acara pembukaan toko roti barunya, aku harap kamu bisa datang," kata Habib pada Aida si pagi harinya setelah semalaman mereka tidak saling bicara.
Wanita itu langsung tersenyum girang. "Benarkah? Jam berapa?" tanya Aida antusias.
"Jam tiga."
"Baiklah, aku pasti datang!"
Habib mengangguk. Dia senang karena Aida bukan tipe wanita yang pemarah, sekalipun Habib sudah beberapa kali memarahi Aida karena selalu mencuci celana dalamnya, tapi wanita itu sama sekali tidak menaruh dendam atau marah balik padanya.
Sekalipun Habib mengaku tidak pernah mencintai Aida, tapi wanita itu tetap memperlakukan Habib selayaknya suami. Dia juga menyiapkan sarapan dan pakaian ganti untuk lelaki itu, kecuali untuk celana dalam yang memang di larang keras.
Entah kenapa, Habib tak suka kalau ada orang yang menyentuh barang pribadinya. Dia juga malu kalau sampai orang lain mencuci celana dalamnya, sekalipun istrinya sendiri.
Seorang lelaki baru saja berangkat dari rumahnya, tepat di seberang rumah Habib dan Aida. Lelaki itu mengecup kening istrinya sebelum pergi, membuat Aida tersenyum sambil mengantar Habib ke depan pintu.
"Kamu tidak mau seperti mereka?" tanya Aida sambil menunjuk ke depan.
"Apa?"
Aida hanya menunjuk dahinya sebagai kode agar Habib mencium keningnya setelah dia mencium punggung tangan sang suami.
"Tidak usah aneh-aneh, kita hanya dua orang yang dinikahkan terpaksa. Itupun atas permintaan ibumu yang sakit," balas Habib.
Aida hanya menarik garis miring di bibirnya. "Baiklah, hati-hati di jalan!" seru Aida pula sambil melambaikan tangan dengan senyum lebar.
Habib hanya menoleh sedikit lalu kembali berbalik badan dan melanjutkan perjalanan menuju toko roti. Sebenarnya dia masih bingung kenapa Aida masih mau bersikap baik padanya, tapi dia tidak mau terlalu memikirkan perempuan itu.
Tapi itu sama sekali bukan hal yang seharusnya di bingungkan, karena bagi Aida bersikap baik kepada suami adalah suatu kewajiban yang sudah seharusnya dia lakukan. Dia tidak ingin mengecewakan siapapun, meski mereka menikah hanya karena perjodohan, tapi hidup bahagia itu adalah pilihan.
"Aku yakin aku bisa, aku pasti bisa!" kata Aida tersenyum sambil memandang punggung suaminya yang terus berjalan meninggalkan rumah.