Hari ini Aida pulang lebih awal, dia berniat menyiapkan makan malam untuk suaminya dan akan makan bersama untuk pertama kalinya setelah menikah seminggu. Ya, satu minggu itu mungkin waktu yang sebentar, tapi dia cukup senang dengan pernikahan ini.
Setidaknya itu bisa menghindarinya dari rumor tak sedap tentang dirinya yang tidak laku. Heh, memangnya siapa mereka yang bisa menilai Aida tidak laku di umur yang masih muda? 22 tahun itu angka kecil.
Ibunya pernah berpesan, "Meski tidak ada cinta diantara kalian, tapi setelah pernikahan, maka saling mencintai itu wajib. Apapun keadaannya, kalian adalah suami istri yang harus saling mengasihi satu sama lain. Jangan buat ibu kecewa."
Pesan itu yang selalu tertanam dalam diri Aida, dia tidak ingin kesembuhan ibunya hanya sementara. Seringai senyum selalu mengembang di wajahnya selama mengolah ikan dan sayur menjadi lauk matang.
Hingga terdengar pintu dari arah depan yang terbuka, membuat Aida buru-buru berlari ke depan.
"Tumben sudah pulang, biasanya malam," kata Habib yang melihat Aida membukakan pintu.
"Kalau pulang ke rumah itu, ucapakan assalamu'alaikum, bukan 'tumben sudah pulang'," kata Aida pula mengingatkan.
"Assalamu'alaikum," ucap Habib pula.
"Wa'alaikumsalam." Aida langsung menarik tangan Habib untuk dicium.
Lelaki itu sedikit terkejut, tapi dia tidak bisa menolak, apa lagi setelah melihat senyum manis Aida. Pipinya semakin mengembang layaknya kue bolu dalam oven. Tak mau berlama-lama, Habib pun segera masuk ke kamar untuk mengambil handuk.
Malamnya, mereka makan malam bersama sesuai dengan apa yang Aida rencanakan. Sebelum ini, Habib sama sekali tidak pernah menikmati masakan buatan istrinya, selalu sarapan dengan roti dan kopi, dan makan malam dengan makanan yang dia beli sendiri dari luar.
Lagi pula dia bekerja di toko roti, tidak mungkin kelaparan hanya karena membuat roti. Aida menyediakan nasi, air minum, piring dan lauk untuk Habib. memperlakukan lelaki itu dengan baik selayaknya suami.
"Ada apa denganmu malam ini?"
"Ada apa? Kenapa kamu bertanya?" Aida malah balik bertanya.
"Tidak biasanya kamu memasak."
"Memangnya mau sampai kapan kamu beli makanan dari luar? Makan masakan rumah itu jauh lebih sehat 'kan?" Aida tak berhenti tersenyum.
Berbeda saat dulu sebelum menikah, Habib bahkan tidak pernah melihat garis senyum Aida sama sekali. Jangankan padanya, pada orang lain pun Aida tidak pernah terlihat tersenyum. Aneh, tapi Aida punya alasan tersendiri untuk itu.
"Sebenarnya aku bukannya tidak ingin tersenyum, tapi memang karena aku hanya ingin menjaga harga diri saja. Banyak orang yang bilang aku sombong, tapi itu tak masalah bagiku selama itu tak mengganggu mereka," jelas Aida.
Habib hanya mengangguk. Selama makan malam, dia terus terdiam sambil mengaduk-aduk makanan, padahal Aida ingin mendengar pendapat Habib tentang masakannya. Ada hal yang Habib pikirkan, dan tentunya itu tak jauh-jauh dari Nadia.
Dia terus kepikiran tentang bibinya Nadia yang meninggal itu, dia sudah berniat ingin pergi ke Lampung malam ini, tapi ... dia bingung bagaimana harus mengatakannya pada Aida. Dia tidak mungkin bisa pergi begitu saja, karena Aida adalah istrinya sekarang.
Aida mendehem keras, membuat Habib tersentak. "Katakan saja, apapun itu aku siap mendengarnya," katanya pula.
Seolah tahu apa yang Habib rasakan, Aida pun menaruh kedua alat makannya di piring lalu fokus menatap Habib untuk mendengarkan apa yang akan dia katakan. Sejak tadi dia sudah memperhatikan Habib, dan dia rasa memang ada hal yang harus di sampaikan.
"Kamu serius ingin mendengarnya?"
"Tentu saja, aku istrimu, aku siap mendengar ceritamu."
"Tapi aku takut kamu tidak akan sanggup mendengarnya."
"Katakan saja, aku sudah terlalu sering mendengar cerita buruk dari orang lain."
Habib menaruh sendok dan garpunya di piring, dia mulai menatap Aida dan memberitahunya kemana dia akan pergi malam ini. Aida tak memberi respon apapun, karena dia tidak tahu siapa itu Nadia.
Pergi mendatangi pemakaman seseorang itu tidak salah, apa lagi orang yang cukup dekat dengan kita. Lantas dimana salahnya, dan kenapa Habib harus sampai se-gelisah itu?
"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, yang jelas aku harus pergi malam ini juga. Bi Rahma adalah kerabatku, aku harus datang," kata Habib.
"Paman Kasim juga datang?"
"Tidak, beliau sibuk."
"Kalau begitu kita pergi berdua saja."
"Hah? Tidak-tidak. Aku akan pergi sendiri, kamu tetap saja di rumah. Perjalanan malam itu sangat berbahaya, aku takut kamu malah kenapa-kenapa nanti," larang Habib cepat.
Dia tidak mungkin membiarkan Aida masuk ke dalam kehidupannya secepat ini, lagi pula dia belum siap memberitahukan tentang masa lalunya pada sang istri. Bahkan keluarga Aida pun tidak ada yang tahu tentang masa lalunya dan Nadia.
Namun, Aida bersikeras untuk ikut bersama Habib ke Lampung. Dengan alasan takut di rumah sendirian, Aida pun memaksa untuk ikut. Mereka baru seminggu tinggal disini, bagaimana bisa Aida langsung terbiasa dengan rumah kecil yang bersebelahan dengan musholah. Apa lagi di belakangnya ada kuburan.
"Tapi Aida—"
"Aku ikut! Titik!" sela Aida cepat. "Kalau aku tidak boleh ikut, kamu juga tidak boleh pergi!"
Dasar keras kepala, itulah sifat kedua yang Habib tangkap dari Aida setelah sifat kekanak-kanakannya. Mungkin tidak terlihat, tapi kalian akan melihatnya sendiri nanti saat dia menyuap makanan ke mulut dan menggoyangkan kepalanya dengan riang.
Mau tak mau, Habib pun menuruti keingina Aida dan mereka berangkat malam itu juga. Perjalanan dari Jambi ke Lampung cukup lama untuk jalur darat, sekitar sepuluh jam dan Habib perkirakan mereka akan sampai di sana saat pagi tiba.
"Ini juga harus di bawa, Mas. Takutnya nanti butuh!" kata Aida yang mengulurkan sapu tangan pada Habib.
"Hello kitty?"
Aida berbalik badan sambil nyengir. "Lucu 'kan? Ayolah kita berangkat, nanti kemaleman!" putus Aida pula sambil menarik tangan Habib untuk di gandeng dan berjalan ke mobil pribadi Aida.
Aida berjalan sambil melompat, membuat Habib yang di gandeng hanya bisa menghela napas melihat tingkah istrinya yang begitu aktif. Bagaimana? Sudah kehilangan bocah, belum? Menurut Habib ini belum seberapa, sampai dia melihat sendiri istrinya tidur dengan selimut hello kitty di mobil.
Habib hanya bisa memandangi istrinya dari kursi kemudi, hingga kepala Aida tak sengaja jatuh di pundaknya dengan tidur pulasnya. Jantung Habib langsung di pompa cepat. Mengarahkan kaca ke arah wajah sang istri, Habib pun mengukir senyum sambil membiarkan Aida tidur di pundaknya.
Di lain tempat, Nadia kelihatan duduk di depan rumahnya sambil sesekali terisak setelah menangis. Dia baru bisa tenang setelah pihak rumah sakit memberi kabar, bahwa bibinya bisa pulang besok pagi.
Ahmad yang melihat Nadia duduk sendirian pun datang menghampiri. "Sudahlah, tidak usah di tangisi lagi. Bibi hanya butuh do'a dan keikhlasan darimu, biarkan dia pergi dengan tenang," kata Ahmad sembari merangkul Nadia.
Dengan kesedihannya, Nadia bersandar di pundak Ahmad dan menerima elusan pelan lelaki itu. Abangnya sudah tiada, dan sekarang bibinya juga ikut pergi. Nadia benar-benar sudah tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali Ahmad.
"Aku harap, pembunuh bibi tidak akan bisa hidup tenang," umpat Nadia. Ahmad hanya memasang senyum simpul.