Chereads / Ada Cinta di Matamu / Chapter 8 - 8-MELAYAT

Chapter 8 - 8-MELAYAT

Habib dan Aida sampai di kampung halamannya di pagi hari, tepat di saat semua orang tampak sibuk untuk mempersiapkan acara pengajian di rumah Nadia. Bendera kuning menyambut perjalanannya yang memasuki gang rumah Nadia kala itu.

Aida yang berjalan di sebelah Habib pun sama sekali tidak menaruh rasa curiga apapun terhadap suaminya, karena dia tahu Nadia adalah kerabat Habib, sama seperti apa yang dia katakan sebelumnya.

Seorang wanita dengan pakaian serba hitam yang cukup longgar terlihat duduk dengan mata sembab di dekat pintu. Dia mendongak perlahan saat melihat Habib datang, bibirnya tampak gemetar tanpa adanya kata yang terucap dari mulutnya.

Dia berdiri dari kursi kayu yang sebelumnya di duduki, sebuah pelukan langsung di berikan pada Habib sebagai sambutan atas kedatangan lelaki itu. Dia menangis di pelukan Habib, tapi lelaki itu sama sekali tidak membalas pelukannya saat melihat Ahmad berdiri tak jauh di belakang Nadia.

Perasaan Habib campur aduk, antara sedih dan bahagia bisa melihat Nadia lagi. Aida yang melihat kejadian itu pun hanya bisa terdiam, dia ingat bahwa Nadia adalah wanita yang sama dengan foto yang pernah dia temukan di saku celana Habib.

"Jadi itu adalah kerabatnya? Tapi kenapa mas Habib sampai menyimpan fotonya?" Aida berusaha berpikir keras agar tidak cemburu, tapi dia benar-benar tidak bisa menahan diri untuk membiarkan suaminya berpelukan lebih lama.

Dia maju satu langkah lebih dekat dengan Habib, membuat Nadia yang melihatnya pun langsung melepaskan pelukan itu dengan cepat. Nadia sudah tahu siapa wanita yang berdiri di belakang Habib, dia pasti Aida.

"Aku turut berduka cita, aku harap kamu tetap di beri kekuatan untuk menghadapi ujian ini. Aku tahu kamu kuat, Nad," kata Habib pada Nadia.

Wanita itu hanya mengangguk dan kembali masuk ke dalam setelah mendapat panggilan dari Ahmad. Habib dan Ahmad sempat saling berpandangan, tapi tidak ada dialog diantar mereka, seolah seperti orang yang tidak kenal satu sama lain.

Benar-benar terasa jarak antara dua sahabat itu, bahkan Habib sendiri tidak pernah menyangka dia akan sejauh ini dengan sahabat masa kecilnya sendiri hanya karena seorang wanita. Tapi Aida yang tak tahu apa-apa tentang mereka pun hanya bisa merangkul lengan Habib.

"Ck, jangan rangkul-rangkul bisa 'kan?! Aku risih!" tukas Habib kesal sambil menarik lengannya.

"Kenapa? Aku istrimu, apa salahnya kalau aku merangkul lenganmu?"

"Tapi suasana disini sedang berduka, apa pantas bermesraan di tempat seperti ini?!"

"Padahal di rumah juga kita jarang bermesraan," celetuk Aida pula sembari menjauhkan jarak dari Habib.

Melihat interaksi antara mereka, Nadia hanya bisa terdiam sambil menabahkan hati. Seharusnya Habib tidak perlu datang kalau hanya ingin menunjukkan kebersamaannya bersama istri barunya, hati Nadia langsung teriris begitu melihat interaksi mereka.

Tanpa mendengar apa yang Habib katakan pada Aida, Nadia berpikir bahwa mereka adalah sepasang suami istri yang bahagia dan menajga keharmonisan rumah tangga. Ahmad pun berusaha untuk menyadarkan Nadia agar tidak lagi memikirkan Habib.

"Simpan cemburumu untukku, dia sudah jadi milik perempuan lain," kata Ahmad berbisik.

Pemakaman di lakukan sekitar jam sembilan pagi. Banyak orang yang ikut mengantar jenazah ke pemakaman, termasuk para tetangga dan Habib juga tidak ketinggalan. Aida selalu ikut bersamanya, tidak pernah jauh dari Habib bahkan terkesan selalu ingin berada paling dekat dengan suaminya.

Entahlah, Habib hanya tidak ingin Nadia cemburu dengan kehadiran Aida. Dia juga tidak pernah cerita apapun pada Nadia tentang pernikahannya, tentu saja Nadia tidak tahu apapun tentang Aida dan dia tidak mau wanita itu salah paham.

Meski mereka tidak lagi bicara setelah acara pemakaman, tapi Habib selalu memperhatikan Nadia dari kejauhan. Ahmad selalu setia mendampingi wanita itu, menyediakan pundak untuk bersandar dan menunjukkan seolah-olah bahwa pernikahannya memang di jalani dengan begitu bahagia.

Hingga semua pelayat pulang, tinggalah Nadia dan Ahmad di sisi makam. Habib masih berdiri di bawah batang pohon besar yang tak jauh dari makam bibinya Nadia, Ahmad meninggalkan Nadia sendirian dan menghampiri Habib.

"Kukira kamu tidak datang, ketika di beri kabar, paman dan bibimu juga memberitahuku bahwa mereka tidak akan datang," kata Ahmad.

"Aku datang hanya untuk mengantarkan bibi Rahma ke peristirahatan terakhirnya," balas Habib.

"Terima kasih sudah datang."

Habib mengangguk pelan. "Sepertinya kalian memiliki pernikahan yang bahagia," kata Habib kemudian.

Ahmad hanya tersenyum. Dia menceritakan betapa bahagianya pernikahan mereka, bahkan Nadia tidak pernah ingin jauh dari Ahmad, setiap malam mereka selalu tidur bersama tanpa pakaian, dan itu hal yang paling Nadia sukai.

Sahabatnya itu juga menceritakan seperti apa kehidupan mereka yang selalu di penuhi tawa. Tapi tragedi perampokan rumah beberapa hari lalu membuat Nadia kehilangan senyumnya sampai hari ini. Tapi Ahmad berjanji, dia akan mengembalikan senyum istrinya kembali.

Sesak, itulah yang Habib rasakan setelah mendengar cerita Ahmad. Ternyata sebahagia itu Nadia sekarang, dan pelukan mereka tadi pagi sama sekali tidak ada apa-apanya. Sakit, tapi dia hanya bisa memperlihatkan sebuah senyum hambar.

"Syukurlah kalau dia bahagia, aku tidak harus menyesal karena menikahkan kalian berdua," balas Habib lalu memandang ke tanah.

"Tapi ... bolehkah aku meminjam sedikit uangmu?"

Habib menoleh. "Uang?"

"Ya, aku kehabisan uang untuk biaya pemakaman ini. Bibi Rahma juga tidak meninggalkan banyak uang, aku butuh uang untuk beberapa hari kedepan sampai aku dapat pekerjaan baru."

Menjengkelkan sekali, Habib datang ke sini untuk melayat, bukannya menjadi bank berjalan untuk Ahmad. Tapi dia tidak bisa menolak dan mengiyakan permintaan lelaki itu. "Berapa yang kamu butuhkan?" tanya Habib pula.

"Sepuluh juta, cash!"

"Hah? Kamu gila?! Untuk apa uang sebanyak itu?!"

"Kamu lupa kalau sekarang Nadia sedang hamil? Dia ingin membeli beberapa kebutuhan bayi, dan aku belum punya uang. Tapi aku tidak mau membuatnya kecewa, jadi aku mohon bantuanmu. Ayolah, Habib ini demi Nadia. Kamu ... masih mencintainya 'kan?"

Habib hanya bisa menghela napas mendengar itu. Sebenarnya dia sangat enggan berurusan lagi dengan Ahmad setelah apa yang dia lakukan di belakang Habib dengan pengkhianatannya dan Nadia. Tapi dia teringat akan sosok wanita yang masih menduduki tahta tertinggi di hatinya, hingga akhirnya Habib pun setuju.

Dia akan transfer uangnya besok setelah sampai di Jambi. Hari ini dia tidak bawa kartu ATM, dan dia juga harus kembali ke Jambil sore ini bersama Aida.

"Ah, aku tahu kamu yang terbaik. Terima kasih!" kata Ahmad lalu meninggalkan Habib setelah menepuk pundak lelaki itu dengan pelan.

"Oh, iya. Ternyata istrimu juga cantik, ya? Jangan buat dia tersiksa, lupakan Nadia dan berbahagialah bersamanya!" kata Ahmad lagi sebelum dia benar-benar pergi. Habib hanya bisa melipat kedua tangan di dada sambil menahan rasa kesal.

Kembali ke rumah kediaman Nadia, Habib bertemu dengan istrinya yang sudah menunggu lama. Tadi Aida pulang duluan setelah pemakaman, Habib yang memintanya. Habib pulang lebih dulu sebelum Ahmad dan Nadia yang berjalan tak jauh di belakangnya.

"Kenapa lama sekali? Aku sudah terlalu lama menunggumu," kata Aida menghampiri Habib.

Lelaki itu menoleh ke belakang, melihat Ahmad yang memayungi Nadia sambil merangkul perempuan itu. Nadia pun menaruh kepalanya di pundak Ahmad, membuat Habib kembali menatap Aida.

"Maaf, aku mengobrol sebentar dengan Ahmad tadi," kata Habib pula.

"Bisa kita pulang sekarang? Ayah sudah meneleponku tadi, katanya ada masalah di kantor. Aku harus segera mengurusnya."

Habib mengangguk. "Tentu," jawabnya lalu merangkul Aida menuju mobil.

Kejadian itu pun tak luput dari pengelihatan Ahmad, terutama Nadia yang selalu memperhatikan Habib. Hatinya menjerit sakit saat melihat Habib merangkul istrinya, air matanya kembali meleleh tanpa di ketahui penyebabnya bukan lagi karena kematian sang bibi.

Keduanya saling cemburu ketika salah satu dari mereka dekat dengan pasangan masing-masing. Cinta dan cemburu itu masih tertaut, tapi tidak ada yang tahu satu sama lain, mereka hanya bisa memendamnya dengan kesalahpahaman yang terus berkelanjutan.