Chereads / Ada Cinta di Matamu / Chapter 4 - 4-MALAM PERTAMA

Chapter 4 - 4-MALAM PERTAMA

Menikah dengan Aida? Hah, rasanya Habib masih tidak percaya dengan apa yang telah dia lewati tadi malam, bahkan mereka berdua berdiri di pelaminan sebagai sepasang raja dan ratu semalam dalam sebuah acara pesta pernikahan.

Entah apakah ini langkah yang tepat atau tidak, tapi Habib berusaha untuk tidak lagi memikirkan Nadia. Sekarang dia juga sudah punya istri, dia punya tanggung jawab sendiri, tidak ada wanita lain yang berhak di pikirkan selain Aida.

Apa yang kalian pikirkan saat malam pertama untuk mereka? Jangan berpikir kotor, karena Habib dan Aida tidak akan mungkin melakukan itu. Bahkan untuk masuk ke kamar saja dia ragu, sebab dia tidak pernah sekamar bersama perempuan manapun sebelumnya.

Tangannya gemetar saat hendak membuka pintu kamar, sampai akhirnya Zainab datang menepuk pundak Habib dan membuatnya terkejut. "Apa yang kamu lakukan di luar? Masuklah, kalian boleh tidur satu kamar mulai malam ini," katanya pula.

"I—iya, Bi. Eh, maksudku Ibu. Maaf, aku belum terbiasa, Bu," jawab Habib gugup.

"Ah, santai saja. Apa kamu mau Ibu menyuruh Aida membukakan pintu untukmu?"

"Ti—tidak perlu, aku akan masuk sendiri," tolak Habib cepat.

Zainab pergi setelah mendengar perkataan itu, dia harap Habib tidak takut berhadapan dengan Aida. Meski ragu, Habib berusaha untuk tenang dan mengetuk pintu perlahan. Tidak mungkin juga kalau dia tetap di luar sampai pagi, orang bisa curiga jika melihat Habib hanya berdiri di luar.

Aida sendiri sedang mondar-mandir tak karuan di kamarnya, takut kalau sampai Habib masuk ke kamar dan langsung mengeksekusinya. Sejak kecil, dia tidak pernah dekat dengan lelaki manapun, tentu saja tidur sekamar dengan seorang lelaki membuatnya sedikit terkejut.

"Assalamu'alaikum," kata Habib membuka pintu kamar perlahan.

"Wa—wa'alaikumsalam," sahut Aida gagap. "Masuklah, aku sudah membereskan tempat tidurnya."

Habib kembali menutup pintu perlahan, berjalan ke arah kasur dengan Aida yang duduk di salah satu sisinya. Canggung, gugup dan malu, itulah yang mereka berdua rasakan. Habib hanya bisa mendehem perlahan sambil melirik Aida.

"Kamu sudah siap?" tanya Habib.

"Hah? Ya—ya! Aku sudah siap," jawab Aida masih gugup sambil ikut melirik Habib.

Lelaki itu mendekatkan wajahnya dengan perlahan, jarak pandang antara mereka semakin dekat, membuat Aida menutup mata seketika. Semakin dekat, semakin dekat, hingga Aida bisa merasakan desah napas Habib di depan wajahnya.

Tapi ... Habib justru terdiam sejenak, dia melihat wajah yang sudah lepas dari make up itu dari jarak dekat. Aida, dia sungguh cantik. Bahkan tanpa adanya polesan make up apapun, dia sudah terlihat cantik.

Aida kembali membuka mata saat menyadari Habib tidak melakukan apapun padanya, membuat lelaki itu terkejut dan langsung membulatkan matanya. "Tidurlah, aku tahu kamu pasti lelah," titah Habib pula sembari kembali menjauhkan wajahnya lagi.

Pipi Aida memerah seketika, dia sudah kegeeran dan mengira kalau Habib akan melakukan sesuatu padanya malam ini. Bodoh, seharusnya dia tidak perlu kepedean begitu, Habib juga tidak akan langsung tertarik padanya.

"I—iya," jawab Aida diiringi langkah Habib yang berdiri untuk merebahkan diri di sofa.

"Apa kita akan tidur terpisah?" tanya Aida pula.

"Hah? Memangnya kamu pikir aku akan tidur seranjang denganmu?"

"Apa salahnya, bukankah kita sudah menjadi suami istri?"

Menyadari hal itu, Habib pun bangkit dari tempat tidurnya dan pindah ke ranjang Aida. Wanita itu hanya tersenyum sambil memakai selimut. Habib kembali membulatkan matanya saat melihat adanya tangan yang melingkar di pinggangnya.

Aida? Memeluknya? Apa dia tidak salah? Bahkan dia bisa merasakan hembusan napas perempuan itu di lehernya. Beberapa saat kemudian, Habib berbalik badan, melihat Aida yang sudah tertidur pulas di hadapannya.

Sungguh indah ciptaan Allah yang satu ini. Dia memiliki alis tebal yang sudah rapi, bahkan bulu matanya lentik seperti bulu mata palsu. Bibirnya juga indah, berwarna pink muda dengan hidung mancung. Dia ini sebenarnya manusia atau boneka?

Malam pertama yang Habib lewati benar-benar mengejutkan baginya. Tidur bersama wanita yang tidak pernah dia kenal sebelumnya, bahkan di peluk begitu erat. Mungkin Aida tidak menyadari hal itu, tapi Habib baru melihat tingkah kekanak-kanakan perempuan itu saat masuk ke kamar mandi.

"Sikat gigi hello kitty? Bahkan handuk juga motif hello kitty?" Habib mengernyit melihat semua itu.

Aida berdiri di depan pintu saat Habib keluar dari kamar mandi, membawakan pakaian ganti lengkap dengan pakaian dalamnya.

"Aida, kamu menyiapkan semua ini?!" tanya Habib terkejut.

"Ya."

"Celana dalamku juga?!" Habib langsung mengambil pakaian itu dari tangan Aida.

"Tentu saja, memangnya kenapa?"

Pipi Habib langsung memerah malu. Seumur hidup tidak pernah ada yang menyiapkan pakaian dalamnya, kecuali almarhumah ibunya. Dan sekarang Aida, wanita yang baru saja hadir di kehidupan Habib tiba-tiba datang membawakan celana dalam.

"Lain kali tidak perlu, aku bisa siapkan sendiri," tukas Habib sebelum dia kembali masuk ke kamar mandi.

"Tidak masalah, aku istrimu dan aku siap melayanimu. Cepat ganti baju dan turun ke bawah, ayah dan ibu menunggu kita!" Aida mendorong punggung Habib untuk segera masuk ke kamar mandi dan memakai baju ganti.

Sarapan perdana di rumah keluarga Ruli terjadi pagi itu. Meja makan di penuhi dengan buah dan roti. Aida dengan senang hati mengambil dua lembar roti untuk di berikan pada suaminya, dia bahkan memberikan selainya juga, membuat Habib sedikit kagok menerima perlakuan perempuan itu.

Selama mereka kenal, Habib tidak pernah melihat Aida se-perhatian ini. Atau mungkin semua perhatian yang dia berikan hanya karena mereka sudah menikah saja, kalau tidak menikah pun mungkin saja Aida tidak akan pernah memperlakukan Habib seperti ini.

"Terima kasih," kata Habib menerima roti dari Aida.

"Sama-sama," jawab Aida lalu tersenyum.

Habib kembali terdiam melihat istrinya. Untuk pertama kali setelah sekian lama kenal, akhirnya Habib bisa melihat senyum Aida. Dia tampak semakin manis, apa lagi pipinya yang semakin mengembang seperti bakpau.

Suara peraduan antara sendok dan piring menyadarkan Habib seketika. Apa yang sebenarnya dia pikirkan, kenapa sampai bengong begitu? Ah, ayolah, Bib. Kamu harus fokus, Aida itu belum ada apa-apanya di banding Nadia.

Nadia bahkan jauh lebih perhatian dari pada ini. Teringat kembali olehnya di masa sekolah dulu, Nadia selalu datang ke kelasnya untuk memberikan sarapan sepotong roti secara diam-diam. Habib selalu menemukan sekotak roti di atas mejanya, dan dia tersenyum melihat itu.

Bahkan Ahmad dan Haifdz pun tidak tahu, siapa yang selalu memerikan roti pada Habib kala itu. Habib sengaja menyembunyikan hubungannya dari Hafidz, karena dia melarang keras Nadia untuk pacaran.

"Sepertinya teman kita ini punya penggemar rahasia?" komentar Hafidz.

"Ya, sepertinya begitu. Apa kamu tidak ingin tahu siapa dia?" tanya Ahmad pula pada Habib.

Habib hanya menggeleng sambil tersenyum. Mulutnya sibuk mengunyah roti dan menikmatinya sampai habis. Ahmad dan Hafidz sama sekali tidak curiga pada sikap Habib, mereka benar-benar tidak tahu hubungan sahabatnya dan itu dengan adik Hafidz sendiri sampai lima tahun kemudian.

"Mau sampai kapan kita sembunyi dari bang Hafidz? Bagaimana jika kita minta ijin padanya?" tanya Nadia saat dia duduk menyandar di punggung Habib yang juga menyandar di punggung Nadia. Mereka berdua duduk sambil saling bersandar satu sama lain.

"Aku pernah bertanya soal itu, dan Hafidz bersikeras tidak mengijinkanmu pacaran. Aku takut persahabatanku dan Hafidz malah hancur," balas Habib, membuat Nadia memasang raut wajah cemberut.