Chereads / Ada Cinta di Matamu / Chapter 5 - 5-HIDUP MANDIRI

Chapter 5 - 5-HIDUP MANDIRI

"Mas!" tegur Aida sambil menepuk tangan Habib.

Lamunannya langsung buyar saat itu juga, semua orang memandanginya dengan bingung. Mata Habib mengerjap cepat sambil memasang senyum. Dia kelihatan melamun untuk beberapa menit, sampai semua orang melihatnya dengan heran.

"Kenapa? Apa kamu masih kepikiran yang tadi pagi?" tanya Aida lagi.

"Hah? Apa?"

"Soal celana dal—"

"Ssst ..!" Habib langsung membekap mulut Aida dengan tangannya.

Ruli dan Zainab pun hanya bisa saling pandang satu sama lain, mereka kelihatan bingung dengan sikap sepasang pengantin baru ini yang ada di hadapan mereka sekarang. Meski tidak di lanjutkan, tapi Zainab bisa menebak kalau apa yang akan di katakan Aida adalah 'celana dalam'

"Celana dalam? Ada apa dengan celana dalam?" tanya Zainab.

"Ah, Ibu seperti tidak tahu saja. Pengantin baru, Bu," sahut Ruli pula.

Zainab langsung mengulum senyum dengan berbagai opini di kepalanya. Ya, memangnya masih ada yang tidak tahu apa yang biasanya dilakukan sepasang pengantin baru saat malam pertama? Tentu saja Zainab paham dan Ruli langsung berbisik padanya.

Menyadari kedua orang tua itu mengira yang macam-macam padanya, Habib pun langsung membuka bekapan mulut Aida. Dia ingin memberi penjelasan sedikit pada mereka untuk memberitahu mereka bahwa apa yang terjadi itu jauh dari apa yang mereka pikirkan.

"Ah, sudahlah, Habib. Kami sudah tahu, kami juga bukannya tidak berpengalaman. Tidak apa-apa, santai saja," sela Zainab.

"Maksud Ibu apa?" tanya Aida dengan kepolosannya.

"Aida," panggil Habib.

"Hm?"

"Ambilkan minum susunya," pinta Habib mengalihkan pembicaraan.

"Susu yang mana, Bib? Susu yang di meja, atau ..." Zainab tidak lagi melanjutkan perkataannya, tapi tatapannya jelas memandang ke arah dada Aida.

Yang di tatap pun hanya bisa memasang raut wajah bingung sambil menatap dirinya sendiri. Ruli dan Zainab hanya cekikikan melihat tingkah Aida yang begitu polos. Habib yang tahu kalau Zainab sedang menggodanya pun hanya bisa terdiam dengan pipi yang memerah.

Benar-benar kesal, tapi juga malu yang membuat Habib ingin segera menghilang dari bumi saat itu juga. Tapi itu tak berlangsung lama setelah Habib dan Aida bicara berdua di kamar. Habib berencana ingin membawa Aida pindah dari rumah ini, dia ingin tinggal di rumahnya sendiri.

Aida mengerti maksud Habib, mungkin dia memang ingin hidup mandiri seperti pasangan suami istri pada umumnya. Tapi Aida juga tidak bisa memberi keputusan langsung, karena mereka harus meminta persetujuan kedua orang tua Aida.

"Kenapa?"

"Hm?"

"Kenapa harus meminta persetujuan mereka? Kamu sudah menikah denganku, kamu menjadi tanggung jawabku mulai sekarang. Terserah aku mau membawamu kemana, karena kamu milikku," jelas Habib, membuat Aida tersenyum seketika.

"Aku? Milikmu?" Senyumnya semakin melebar, membuat Habib menyadari kalau dia salah bicara.

"Ya, maksudku kamu istriku. Sudah seharusnya istri menuruti perkataan suami, kamu tahu itu 'kan?"

Aida masih mengulum senyum. Seumur hidup, dia tidak pernah bersikap seperti ini pada lelaki manapun, hingga dia merasa ada banyak kupu-kupu di perutnya saat mendengar kata 'istriku' dari Habib tadi.

Sepertinya dia terlalu banyak membaca novel, mendengar kata seperti itu saja sudah terbang. Di tambah lagi dengan ekspresi wajah Habib yang sepertinya malah salah tingkah, membuat Aida makin gemas.

"Baiklah-baiklah, aku akan ikut denganmu. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah siapkan rumahnya untuk kita tinggali nanti?" tanya Aida pula.

Ya, Habib sudah menyiapkan rumah untuk mereka. Itu adalah sebuah rumah petak, tidak besar dan hanya memiliki dua kamar di dalamnya. Jarak rumahnya tidak terlalu jauh, dan mereka langsung pindah ke sana setelah seminggu tinggal di rumah Ruli.

Ekspresi Aida terlihat tidak senang saat melihat rumah yang berdiri di hadapannya. Dia baru saja turun dari mobil dan hanya bisa terdiam menatap rumah kecil itu. Kelihatan masih baru, tapi belum sepenuhnya selesai di bangun.

Habib mengeluarkan tiga koper milik Aida dan satu koper miliknya dari bagasi, di bantu oleh supir pribadi Ruli yang kebetulan mengantar mereka ke sana. Dia menghampiri istrinya yang berdiri dengan berkacak pinggang itu.

"Kenapa? Kamu tidak suka tinggal di rumah yang kecil?" tanya Habib.

"Hm? Tidak, bukan begitu. Aku hanya ... terkejut." Wajar kalau Aida terkejut, seumur hidup dia tinggal di rumah megah dengan fasilitas yang mencukupi.

Bahkan rumah paman Kasim dan bibi Hana pun tidak sekecil ini, tapi setidaknya inilah yang bisa Habib cicil dari uang hasil keringatnya sendiri. Belum lunas, tapi Habib akan segera melunasinya dalam beberapa bulan kedepan.

Untunglah, di dalamnya sudah terdapat sofa, tempat tidur dan juga peralatan masak di area dapur. Ini sangat jauh dari perbandingan rumah yang dulu Aida tempati, begitu sederhana tapi lumayan bersih.

"Maaf, aku tidak bisa memberikan rumah yang lebih besar dari pada ini, tapi—"

"Tidak masalah, aku juga tidak suka rumah yang terlalu besar. Kamu tahu, Mas? Mbok Ani selalu mengeluh lelah saat membersihkan rumah yang besar. Kalau rumahnya kecil, aku yakin tidak akan selelah itu membersihkannya. Lagi pula rumah besar menyeramkan, banyak ruangan yang tidak terpakai," sela Aida sambil berbalik badan dan tersenyum ke arah Habib yang berdiri tepat di belakangnya.

Habib langsung mematung melihat wajah Aida yang begitu dekat. Bayangan senyum wanita itu masih tertinggal di pengelihatannya, sekalipun Aida sudah berjalan keluar dari kamar. Dia pergi ke dapur, tapi wangi parfumnya masih tertinggal.

Senyum selalu menyertai wajah Aida, dia mereview satu per satu ruangan di rumah itu, kecuali kamar mandinya yang kelihatan masih belum selesai di bangun, atau belum di renovasi.

"Besok aku akan carikan tukang untuk merenovasi kamar mandinya, untuk sementara kamu bisa mandi di kamar mandi musholah," kata Habib yang menyelipkan kepalanya di pundak Aida. Wanita itu sedang berdiri di depan pintu kamar mandi.

"Ya, tidak masalah," sahutnya kembali tersenyum.

Aida sudah merasa cukup dengan semua ini, apa lagi sudah ada banyak prabotan. Tapi ... ada satu hal yang mengganjal, dia menemukan sebuah foto wanita yang tak sengaja jatuh dari saku celana Habib.

Lelaki itu kelihatan sedang menelepon seseorang di depan, sementara Aida menyusun pakaian di kamar. Seorang wanita dengan senyum tipis memakai kerudung tanpa peniti terselip di antara kantong saku celana Habib. Berukuran 2R, muat untuk di masukkan ke dalam dompet.

"Siapa dia?" tanya Aida bingung.

"Aida," panggil Habib tiba-tiba datang dari arah pintu.

Aida buru-buru menduduki foto itu. "Ya?"

"Aku mau ke rumah pak RT sebentar untuk mengurus surat pindah, kamu tetaplah di rumah," pamit Habib.

Aida mengangguk dan membiarkan Habib pergi tanpa mencium punggung tangan suaminya terlebih dahulu. Mereka belum terbiasa dengan hal itu, dan Aida hanya bisa memasang senyum kecut sambil memandang foto yang dia temukan.

"Cantik, apa dia adik perempuan mas Habib, ya?"