Chereads / Ster-Vin / Chapter 3 - Adaptation

Chapter 3 - Adaptation

Ibu dan anak itu baru saja selangkah melewati gerbang sekolah. Dan kini mereka menjadi pusat perhatian siswa-siswi SMA Vrekodara. Walau sudah terbiasa, Stevina benci hal ini. Berbeda dengan Angelina yang malah santai sambil menebar senyumnya yang menawan.

"Siapa mereka?"

"Cantik juga."

"Kok mukanya kaya ga asing ya? Gue pernah liat di majalah apa gitu lupa."

Begitulah beberapa bisikan yang telinga Stevina tangkap.

"Sayang, anter mama ke toilet dulu yuk."

"Iyaa."

Toilet di sekolah itu terletak di dekat lapangan basket. Stevina memperhatikan sekeliling lapangan basket yang ia rasa lebih luas dibanding lapangan basket di sekolah lamanya.

Pagi itu cukup dingin. Stevina iseng memakaikan selendang Angelina di kepalanya agar tidak terlalu dingin.

❄️❄️❄️

Seorang murid laki-laki yang baru datang, memarkirkan moge hitamnya dengan terburu-buru. Ia melepas jaket kulit dan helmnya. Kemudian berjalan dengan tergesa-gesa

Ia berjalan menuju lapangan basket. Bisikan para gadis sudah mulai terdengar dan ia sebenarnya mendengar beberapa bisikan yang sengaja dikeraskan oleh beberapa gadis.

"Buru-buru banget deh. Mending di sini ngobrol santuy sama gue."

"Makin ganteng ga sih?"

Begitulah kira-kira yang ia dengar. Tapi ia tidak peduli.

Setibanya di tempat tujuan, ia meletakkan sekarung bola basket di dekat ring. Niatnya hendak ke kelas, namun tertunda. Ia melirik ke arah Stevina dan terpaku sesaat. Dari belakang, gadis itu tampak asing namun cukup menarik perhatiannya.

Stevina yang masih di sana, tidak melihat laki-laki itu. Ia bahkan tidak mengetahui kedatangan murid itu.

Stevina berbalik badan hendak mengetuk pintu kamar mandi karena ia rasa Angelina cukup lama. Namun seketika angin berembus dengan tidak bersahabat. Belum saja bersiap diri, selendang Angelina sudah terbang dari kepala Stevina. Gadis itu tersentak. Ia berusaha menangkap selendang Angelina walau ia yakin pasti gagal.

Begitu melihat wajah gadis yang baru terlihat jelas ketika selendang itu terlucuti dari kepalanya, murid laki-laki itu langsung terpukau melihat wajah Stevina.

Ia hanya diam melihat gadis itu berlari menghampiri selendangnya yang tersangkut di pohon tepat di belakang ring basket.

Stevina menatap pasrah selendangnya yang tersangkut itu. Menyadari ada orang di dekatnya, Stevina menoleh.

Laki-laki itu langsung tersadar setelah ditatap oleh Stevina.

"Sebentar. Biar gue bantu." Laki-laki itu pergi meninggalkan Stevina. Tak sampai semenit, ia kembali membawa tongkat yang sangat panjang. Entah dimana ia menemukan tongkat itu.

Laki-laki itu berhasil mengambil selendang Stevina dengan tongkat panjang yang ia sodor-sodorkan.

"Nih, selendang lo."

"Makasi." Stevina tersenyum kecil, lalu berbalik badan hendak berlalu.

"Bentar," ujar laki-laki itu.

Stevina menoleh.

"Lo murid baru?"

Stevina mengangguk. "Ini hari pertama gue di sekolah ini."

"Okey. Good luck."

Laki-laki itu tersenyum lebar sambil memperhatikan Stevina yang tengah melangkah pergi.

❄️❄️❄️

Sesampainya Angelina dan Stevina di ruang guru, ternyata benar. Angelina masih diingat dengan baik. Bahkan guru-guru barunya itu sampai heboh menyambut Angelina. Terlihat jelas betapa populernya Angelina di kalangan guru kala itu.

"Yaampun. Kamu ga ada berubah nak. Masih aja awet muda."

"Pake skincare apa sih?"

"Eh, si cantik ini siapa?"

"Ini anak aku loh. Mirip kan?"

"Pagi," sapa Stevina.

"Ibu tebak pasti pintar kaya mamanya nih."

Stevina hanya tersenyum mendengarnya. Rasanya ia ingin lekas pergi saja ke kelas barunya. Ia tahu betul. Saat para emak sudah berkumpul dan bercerita, hal itu akan menjadi sebuah urusan panjang.

Hingga pukul 7.45, bel masuk berbunyi. Stevina diminta untuk mengikuti seorang guru yang akan mengantarnya menuju kelas barunya.

"Yuk, ikut ibu."

Stevina mengangguk. Ia mengikuti guru yang bernama Bu Rosa itu menuju ke lantai dua.

Tiba di lantai dua, langkah Stevina terhenti seketika. Pandangannya mengarah ke lapangan basket. Di sana, seorang lelaki menyodorkan bekal makanan kepada seorang gadis yang ia duga mereka berpacaran. Dugaannya semakin kuat ketika lelaki itu mencium kening gadis itu.

Pikirannya melayang kepada David. Seseorang yang pernah ia cintai. Tak bisa dipungkiri bahwa rasa itu masih ada hingga sekarang. Mengingat hal itu, dadanya kembali terasa sesak.

Stevina melanjutkan langkahnya dengan perasaan sedih.

Bruk

Tiba-tiba, seseorang menabraknya. Lebih tepatnya, ia yang menabrak karena tidak fokus.

"Maaf maaf," ucap Stevina. Pandangannya mengarah ke lantai.

"Lo minta maaf sama lantai?" Tanya seseorang yang ia tabrak. Stevina refleks mendongak dan menatap orang yang ia tabrak.

Stevina malah terbengong menatap lelaki asing itu dengan wajah datar. Ternyata ia orang yang tadi menolongnya di lapangan basket.

"Stevina..?" Panggil Bu Rosa.

"Eh.. Iya bu." Stevina mengabaikan lelaki di hadapannya itu dan melanjutkan langkahnya mengikuti Bu Rosa. Saat mereka tiba di kelas 11 IPA 2, di sana kehebohan terjadi ketika Stevina tiba.

"Mantap, bule nih."

"Bukan bule. Korea tuh."

"Akhirnya jodoh gue dateng juga."

"Siapa tuh? Cantik amat."

"Halah.. Masih cantikan gue juga."

"Cowok-cowok lebay deh. Padahal masih cantikan gue."

Murid-murid heboh berbisik-bisik membicarakan Stevina. Usai memperkenalkan diri, Bu Rosa mempersilakan Stevina duduk di bangku deret kanan nomor dua dari belakang. Stevina melangkah santai menuju bangkunya.

"Hai. Gue Vriska."

"Helo, gue Vanila. Bisa dipanggil Vani."

Dua orang yang duduk di bangku depannya memperkenalkan diri. Stevina berusaha bersikap hangat walau ia sangat canggung dalam urusan perkenalan.

Stevina hanya tersenyum. Ia berpikir, kedua orang ini pasti sudah mendengar perkenalannya tadi. Jadi, senyum saja sudah cukup pikirnya.

"Oh iya, temen sebangku lo hari ini izin. Besok udah sekolah kok dia," info Vani.

"Oh.. Iya. Thanks infonya."

Vani tersenyum dan membalikkan badan.

Seseorang mengetuk pintu ketika Bu Rosa hendak memulai pelajaran.

Stevina terkejut melihat siapa yang datang. Lelaki yang ia tabrak tadi? Apa mereka akan satu kelas? Tapi, kenapa dia baru datang? Oh.. Itu tidak penting. Lelaki itu sekarang menatapnya sambil.. Tersenyum? Meresahkan!

Bu Rosa mempersilakannya masuk. Lelaki itu menuju bangkunya yang ternyata bersebelahan dengan bangku Stevina.

God.. Is that a joke? Batin Stevina. Kenapa harus duduk bersebelahan? Dari ekor matanya, Stevina tahu lelaki itu masih memperhatikannya.

❄️❄️❄️

"Jadi tugas ini kalian kerjakan berkelompok. Silakan cari kelompok maksimal empat orang."

"Stevi, kelompok bareng yuk," tawar Vriska.

"Iya boleh."

"Gimana kalau kerjain nanti pas istirahat?" Usul Vriska.

"Is.. Lo tu kenapa sih suka banget buat tugas pas istirahat. Laper lah gue. Pulang sekolah aja," protes Vani.

"Biar cepet kelar aja," balas Vriska.

"Enggak ah. Ngantin dulu pokoknya. Sekalian ngenalin kantin ke Stevina. Ya kan Stev?"

Stevina mengangguk.

"Halah, giliran buat alasan aja lancar jaya lo," sindir Vriska.

"Biarin, yang penting logis," balas Vani.

❄❄❄❄

"Jadi tadi itu nyokap lo? Awet muda banget gilak."

"Tadi tuh gue ngira kalau nyokap lo itu kakak lo."

"Sama gue juga mikir gitu."

Stevina hanya senyam-senyum sebagai respon. Tidak tahu harus merespon bagaimana. Gadis itu fokus memakan mie ayamnya. Membuatnya terlihat seperti orang yang kekurangan kosa kata Bahasa Indonesia.

Hal itulah, yang membuat teman-teman di SMA Dharma Jaya merasa canggung berteman dengannya. Kebanyakan merasa segan kepada gadis yang memiliki tatapan tajam itu. Hanya Lisa yang nyaman berteman dengannya. Itupun karena mereka adalah sepupu.

Untuk kedua teman barunya ini, entahlah berapa lama mereka akan betah berteman.

"Yuk ke kelas," ajak Vriska selesai mereka beristirahat.

"Ahh Matematika sekarang," keluh Vani.

"Halah.. Jugaan lo tidur ga pernah merhatiin," ketus Vriska.

Pelajaran terakhir hari itu pun, murid-murid diminta berkelompok juga. Rasanya sekolah ini benar-benar menerapkan kerja sama dan gotong royong.

"Kali ini ibu yang menentukan dengan siapa kalian berkelompok."

"Yah.. Pilih sendiri aja bu."

"Ahh ga asyik nih guru."

"Yaelah pake dipilihin segala. Kaya anak SD aja dah."

Murid-murid tampak protes. Sementara Stevina diam saja. Ia tidak pernah pilih-pilih teman belajar. Kalau harus sendiri pun tidak masalah baginya.

"Untuk kelompok selanjutnya. Ibu pilih Revin, Rendi, Vani, dan Stevina."

Stevina terkejut mendengar namanya. Untungnya ada Vani yang Stevina kenal.

"Silakan duduk dengan kelompok kalian."

Murid-murid mulai ribut. Padahal tinggal mencari tempat duduk saja ributnya sudah seperti di pasar.

"Boleh ikut duduk?" Tanya seseorang. Stevina menengok. Astaga, lelaki itu lagi. Ternyata mereka sekelompok. Stevina bergeser ke bangku kosong di sebelahnya.

"Rendi, cepetan ke sini. Lelet banget jadi cowok," gerutu Vani. "Oiya Stev. Orang yang duduk di sebelah lo ini namanya Revin.

Stevina melirik Revin sekilas. Jadi, lelaki menyebalkan yang ia tabrak itu bernama Revin.

"Ketua OSIS yang sangat sombong dan sok cool," jelas Vani dengan nada penuh penekanan.

Revin terkekeh mendengarnya. Vani memutar bola matanya kesal seperti orang yang menyimpan dendam kepada Revin.

Selama kerja kelompok, Stevina merasa kesal dan risih karena Revin yang selalu menatapnya. Beruntungnya keceriwisan Vani membuat suasana tidak canggung.

❄️❄️❄️

Dengan sedikit berlari, Stevina mencari tempat favoritnya selama masa sekolah. Ia berlari melewati toilet putra.

Revin yang baru selesai menggunakan toilet, melihat Stevina yang berlari melewatinya.

Akhirnya tiba juga. Rooftop sekolah selalu menjadi andalan Stevina untuk meluapkan isi hatinya.

Dengan napas terengah-engah, Stevina berjalan perlahan menuju pinggiran rooftop.

Untuk sementara, perasaan pilunya sedikit terobati berkat view Jakarta yang ia saksikan dari rooftop. Tapi tak berselang lama, Stevina kembali membuka salah satu platform media sosial penyebab sakit hatinya saat itu. Rasa sakit kembali menjalar menggerogoti hatinya.

Sejam yang lalu, David baru saja memposting foto dirinya berduaan dengan Siska di Instagram. Hatinya semakin panas saat membaca kolom komentar. Teman sekelasnya dan teman kelas David meninggalkan komentar yang memuakkan baginya. Mereka meninggalkan komentar yang mendukung hubungan David dengan Siska.

Stevina tidak tahan lagi. Ia merasa dikhianati. Stevina mengangkat tinggi-tinggi telepon genggamnya. Niatnya ingin melempar HP ala drama-drama di televisi, tapi tidak jadi karena ia sadar kalau tabungannya belum cukup untuk membeli HP baru. Akhirnya ia kembali memasukkan HP yang hendak ia banting itu ke dalam kantong seragamnya.

Stevina berusaha sadar diri. Ia dan David sudah bukan siapa-siapa lagi.

"Jangan pulang ke rumah Tuhan dulu. Lo belum ngerasain nikmat dunia."

Stevina terkejut mendengar suara itu. Ia berbalik badan. Menatap bingung seseorang yang melontarkan kalimat itu.

"Mending lo ke kelas. Sebentar lagi bel masuk," ujar orang itu lagi.

Stevina melihat posisi dirinya sendiri. Ia memang tampak seperti orang yang ingin bunuh dir.. Ah, sudahlah.

Kehadiran orang itu alias Revin, membuatnya malah kesal. Kenapa juga orang itu harus tahu kalau dirinya sedang berada di rooftop.

Stevina mundur perlahan. Posisinya memang mengerikan. Apalagi rooftop tersebut tidak ada railing.

Stevina melangkah pelan melewati Revin. Ia berhenti sesaat dan menatap Revin dengan tatapan aneh. Yang dilempar tatapan aneh malah tersenyum.

"Lo salah paham. Mental gue ga selemah itu," ujar Stevina singkat.

Revin menatap mata Stevina. "Iya. Gue percaya. Eh bentar. Kita belum kenalan."

"Gue udah tau nama lo."

"Kan Vani yang ngenalin. Bukan gue sendiri." Revin mengulurkan tangannya. "Revino Coldy."

Stevina melirik uluran tangan Revin sekilas. Ia balas mengulurkan tangan. "Stevina Barjoli."

"Pantesan lo cantik kaya Angelina Jolie."

Stevina menunduk. Tidak tahu harus mengatakan apa. Ia merasa lelah dan mencoba mendudukkan diri di salah satu kursi yang sudah tampak usang.

"Eh.. Jangan duduk di.." larang Revin.

Brak

Seketika wajah Stevina bersemu merah. Memalukan sekali! Bisa-bisanya kursi itu roboh di hadapan Revin. Tubuh sakit dan rasa malu kini bercampur aduk bak adonan kue.

Dengan berusaha keras menahan tawa, Revin menghampiri Stevina. Niatnya membantu Stevina berdiri. Tapi gadis itu sudah berdiri sendiri. Benar-benar mandiri.

"Lo gapapa?"

Stevina mengangguk.

Revin merogoh sakunya. Ia mengeluarkan HP-nya. "Gue boleh minta nomor lo gak?"

Tanpa menjawab, Stevina langsung berlalu pergi meninggalkan Revin begitu saja. O-ow.. Tidak semudah itu Revin.