Chereads / Ster-Vin / Chapter 5 - Revin's Trap

Chapter 5 - Revin's Trap

"Mama pulang dulu ya. Kamu istirahat. Kalau perlu apa-apa telepon mama."

Stevina mengangguk.

"Jangan lupa suplemen kamu."

Sepulangnya Angelina, Stevina memesan banyak makanan dan camilan.

Pukul lima sore, semua pesanannya telah tiba dan ia sudah stand by di depan TV. Ditemani acara kesukaan, makanan dan camilan untuk diri sendiri, dan ditambah hujan, membuatnya merasa nyaman dengan aktivitasnya sampai lupa segalanya.

Buku catatan dan jadwal untuk besok pun tidak dilirik sama sekali. Stevina benar-benar menikmati kesendiriannya saat itu.

Ting Tong

Terdengar bunyi bel. Stevina menoleh ke arah pintu. Kemudian melirik jam yang menunjukkan pukul enam sore. Hm.. Siapa itu yang berkunjung? Stevina beranjak dengan malas. Ia membuka pintu dan terkejut melihat siapa yang datang.

"Hai.."

"Lisa???"

"Hellow.." sapa Lisa heboh.

Stevina menarik Lisa memasuki apartemennya.

Lisa memeluk Stevina erat. "Gue kangen banget sama lo gilak!" Ucapnya heboh. "Eh btw, katanya lo lagi sakit?"

"Udah gapapa sih."

"Ehem.. Gimana di sekolah baru? Punya doi baru ga lo?" Goda Lisa.

"Iss.. Apaan sih lo. Baru juga datang udah bahas doi aja."

Lisa tertawa. "Kamar lo mana? Gue ngantuk. Oh iya, gue nginep ya malam ini."

"Loh, besok ga sekolah Lis?"

"Ah, gampang." Lisa memasuki kamar Stevina sambil menenteng tas ranselnya yang terlihat berat. Stevina melipat kedua tangannya di depan dada sambil menyenderkan bahunya di tembok kamar.

"Wah, bagusan kamar lo yang ini daripada di Bandung. Nyaman nih tidur di sini," celoteh Lisa sambil tiduran di kasur Stevina. "Oh iya, sini deh. Gue mau pamer sesuatu sama lo."

Stevina memasuki kamarnya. "Pamer apaan?" Tanyanya sambil duduk di ujung kasur.

Lisa mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya. "Tara.. Gue dibeliin serum sama doi!! Lo tau kan, ini serum yang lagi viral itu loh. Siap-siap glowing ala aktris Korea nih gua. Haha.." Celoteh Lisa.

Stevina tersenyum lebar. Ia senang ada laki-laki yang membuat sepupunya itu bahagia.

"Ehh tapi, gue lagi kesel sama doi. Gue ngambek. Gamau chat sama dia dulu."

"Kesel kenapa lo?" Tanya Stevina.

"Tadi tuh pulang sekolah gue ngajak dia makan siang bareng. Terus dia bilang ga bisa, abis itu gue malah curiga kenapa dia ga mau. Gue sampe nuduh dia yang enggak-enggak tau ga lo. Akhirnya dia jujur, dia bilang uangnya lagi ditabung dan ga bisa traktir gue. Terus dia nawarin buat bayar sendiri-sendiri dulu alias split bill. Ihh kesel banget. Ga gentle banget biarin ceweknya bayar makan sendiri."

Stevina termenung.

"Kok lo malah bengong sih," heran Lisa.

"Ehh.. Engga sih. Gue cuma masih bingung. Ga ngerti apa tujuan adanya kesetaraan gender, kalau perkara ngeluarin duit masih dititikberatkan ke cowok. Kalau cewek yang keluar duit buat cowoknya, pasti dibilang aneh, dibilang kebalik lah, bahkan dibilang cowoknya ga modal. Hhmm.. Kasian juga gue sama cowok."

Lisa terdiam sejenak. "Tapi cowok gentle itu ga perhitungan. Pokoknya gue kesel sama dia."

"Perhitungan gimana? Lisa, dia itu belum kerja loh. Tapi dia bisa beliin lo skincare. Itu pasti hasil dia nabung buat bikin lo bahagia. Sekarang perkara bayar makanan yang masuk ke perut lo sendiri, harus dia yang bayar? Bukan dia yang perhitungan, tapi lo yang pelit sama diri sendiri."

"Hhm.. Setau gue cari uang emang tugasnya cowok."

"Sekarang gue tanya balik, lo terima ga kalau masak atau beresin rumah dibilang tugas cewek?"

"Enggalah, cewek cowok harus bisa. Itu kan basic life skill."

"Ini nih contoh kaum double standard." Stevina mencubit pipi Lisa. "Cari uang juga skill yang harus dimiliki cewek cowok buat bertahan hidup. Sekarang semua perlu duit."

"Giliran cewek bilang cari uang itu tugas cowok boleh, giliran masak dibilang tugas cewek pada ga terima. Oh girl.. Really? Dimana letak keadilannya? Padahal masak dan cari uang itu cewek cowok sama-sama harus bisa."

"Menurut gue, ga adil kalau masih ada yang bilang cowok yang wajib keluar duit kemana-mana, dan cewek yang wajib beresin pekerjaan rumah. Just stop this stupid culture."

"Hhmmm... Tapi.. Ga gitu kesetaraan gender. Memang kelihatan aneh kalau cewek yang keluar duit."

"Jadi maksud lo kesetaraan gender hanya berlaku untuk hal yang menguntungkan perempuan? Pikir aja sendiri, kalau lo jadi cowok, menurut lo hal kuno ini adil apa engga? Jangan jadi cowok dulu deh. Anggap dunia ini tukar peran. Semua yang lo bilang tugas cowok itu, sekarang jadi tugas lo. Gimana?"

"..." Lisa terpatung tak menjawab. Ia merasa tertampar dengan opini Stevina.

"Udahlah, lo jangan kaya gitu." Stevina beranjak bangun mendekati jendela kamar. "Hujan nih. Mending kita makan. Lo mau gue buatin mie ayam?" Tanya Stevina mengalihkan situasi.

"Hehe.. Tau aja lo gue sukanya apa hujan-hujan gini."

"Hm.. mie-nya mau isi bakso?"

"Mauu bangettt..."

"Okey tunggu."

Setelah Stevina keluar kamar, Lisa langsung berlari mengambil handphone di tasnya. Terlihat raut penyesalan di wajah Lisa. Ia langsung menelepon pacarnya.

"Ihh.. Angkat dong.." rengek Lisa.

❄❄❄

"Stevina, gue beli ini ya."

"Iya ambil aja."

Malam harinya mereka mampir ke supermarket untuk berbelanja makanan.

"Ehh, anter gue nyalon yuk," pinta Lisa.

"Coba cari di Google Maps. Soalnya gue gatau salon di sini."

"Okey."

"Gue mau beli stok susu dulu," ujar Stevina sambil berlalu meninggalkan Lisa.

"Okey." Lisa kembali berkutat dengan Google Maps. "Astaga kok jauh-jauh semua sih jaraknya. Mana sejam lagi," keluh Lisa. "Ehh.. Nah ini. Akhirnya ada yang cuma lima belas men.."

"Hehh.. Ngapain lo!!" Pekik sebuah suara.

Brakkkk

Berlanjut suara sesuatu terjatuh. Ternyata seorang laki-laki terdorong sampai tubuhnya menabrak keranjang belanja.

Lisa menoleh. Ternyata Stevina yang mendorong laki-laki asing itu. Lisa berlari menghampiri Stevina.

"Stevi, lo apain tu cowok??" Tanya Lisa bingung.

Stevina tidak menjawab. "Pak, di sini pak.." Stevina memanggil seorang penjaga supermarket.

❄️❄️❄️

Penjaga itu memeriksa telepon genggam laki-laki yang Stevina dorong tadi. Laki-laki itu hanya menunduk tak bisa berkata-kata selama diproses. Beberapa karyawan juga ikut memproses laki-laki itu. Terlihat beberapa pembeli ikut menyaksikan dengan bertanya-tanya.

Akar permasalahannya adalah saat Lisa sedang sibuk dengan Google Maps, laki-laki asing itu diam-diam berdiri di belakang Lisa sambil berusaha merekam bagian bawah rok Lisa. Beruntung Stevina cepat-cepat menggagalkan aksi bejat itu.

Tiba-tiba, laki-laki itu mendongak dan menatap Lisa tajam. "Makanya pakai baju yang sopan, jangan mancing lo."

"Ih, lo kali yang cabul!" Balas Lisa geram.

"Lo yang mancing. Pakai baju tuh yang sopan!!"

Petugas supermarket dengan sigap berdiri di tengah mereka berusaha melerai.

"Ih.. Emang dasar otak lo aja yang bermasalah! Lo punya agama ga sih? Rajin berdoa? Kalo iya kenapa iman lo masih lemah? Lagian mau ada cewek telanjang sekalipun lo sama sekali ga punya hak buat ngelecehin dia. Itu tugas pihak berwenang buat negur perbuatan asusila. Bukan tugas lo!" Balas Stevina.

Ucapan Stevina sontak membuat penjaga dan karyawan mengacungkan jempolnya. Laki-laki itu bahkan diam tak berkutik.

"You go girl," bisik Lisa bangga.

Akhirnya mereka menyelesaikan masalah hari itu juga tanpa menunda-nunda.

❄️❄️❄️

Pagi itu di kelas, pandangan mata Revin dan Stevina berpapasan. Revin tersenyum kecil. Sementara Stevina berusaha memasang wajah biasa seolah tak terjadi apa-apa. Padahal dalam hati ia sangat malu mengingat kemarin Revin melihat dengan jelas dan nyata bahwa dirinya pingsan.

"Lo udah baikan?" Tanya Revin begitu melihat Stevina sudah duduk di bangkunya. Yang ditanya hanya diam sambil melirik Revin tajam tanpa menjawab.

Wajahnya yang semula datar, berubah drastis ketika melihat Clara datang. Senyum Stevina mengembang.

"Hey girl.. Lo udah belajar Matematika belum?" Tanya Clara.

Stevina terpaku seketika. Ulangan? Ia tidak ada belajar apapun. Tidak ada persiapan sama sekali. Kemarin ia terlalu terbuai oleh hujan, banyaknya camilan, acara TV favorit, dan jalan bareng Lisa.

"Vani sama Vriska pasti udah tenang sekarang. Mereka kan kemarin udah les."

Baru saja dibahas, Vani dan Vriska datang dengan wajah cerah. "Hai teman.." sapa Vriska sok ramah.

"Eh kalian, bagi jawaban ya entar. Awas pura-pura bongol," ancam Clara.

Perasaan Stevina semakin tidak tenang ketika guru Matematika datang dan meminta murid-murid untuk menyiapkan kertas.

Stevina sudah memikirkan hal ini matang-matang. Ia sudah punya rencana. Hasil ulangan pertama di sekolah baru tidak boleh memalukan.

"Absen ganjil silakan tunggu di luar dulu."

"Yes.. Bisa belajar lagi biar otak semakin siap," canda Vani.

"Banyak gaya lo," sindir Clara.

"Ga usah sedih. Nanti gue sama Vani bakal berdoa supaya otak lo berfungsi kali ini saja," canda Vriska.

"Berdoa untuk otak Clara," tambah Vani.

Clara memasang mimik wajah geram. "Kurangajar!"

"Oh iya pulpen." Vriska mengambil pulpen dari kotak pensilnya.

Vani melirik isi kotak pensil Vriska. "Wih, udah modal aja ni anak sekolah. Ada pulpen, pensil, penghapus pula. Curi dimana lo?"

"Beli anjing!"

"Heh udah-udah yuk keluar. Emang kalian mau ulangan duluan?" Lerai Clara. "Semangat Stevina. Bye.." Clara melambaikan tangan.

Stevina tersenyum kecut. Ketiga temannya itu ternyata absen ganjil. Hanya ia yang bernasib sial.

Stevina melihat sekeliling. Ternyata Revin juga ada di ruangan ini. Orang itu juga absen genap. Revin melempar senyum sok ramah yang tidak dihiraukan oleh Stevina.

"Anak -anak, jaraknya tolong diatur. Revin, kamu pindah ke bangku Rendi."

Setelah dibagikan soal, Stevina menarik napas sambil mengelus dada. Ia sangat terharu. Dari sepuluh soal esai, ia hanya ingat rumus untuk tiga soal saja. Tapi Stevina sudah menyiapkan senjata ampuh anti remidi. Catatan Matematika sudah siap di kolong bangku.

Setiap ada kesempatan, Stevina berhati-hati membuka catatan.

Bertolak belakang dengan Revin yang sangat santai dan tidak peduli nilai. Ia tidak terlalu memaksakan harus mendapat nilai bagus. Ulangan Matematika hari itu sudah ia selesaikan semampunya.

Revin melirik Stevina yang masih sibuk. Ia cengar-cengir sendiri memperhatikan Stevina yang memasang raut wajah serius. Ternyata lebih manis daripada saat gadis itu marah di gudang.

Revin mengambil HP dari sakunya dan merekam Stevina diam-diam. Video langka untuk ia tonton nanti saat rindu Stevina.

❄❄❄

"Stevi, yuk pulang."

"Vani sama Clara?" Tanya Stevina yang masih sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tas.

"Mereka udah duluan kayanya. Yuk pulang."

Di lapangan basket, Stevina melihat Vani dan Clara yang sedang bermain bersama kucing. Entah kucing milik siapa.

"Loh, tu dua makhluk masih di sini rupanya. Yuk Stev, kita samperin mereka," ajak Vriska.

"Rupanya oh rupanya belum pulang kalian ya."

"Ini baru mau pulang. Gue nebeng sama ni anak. Terpaksa gue nyangkut bentar nemenin ni orang," gerutu Vani.

"Lo suka sama kucing Clar?" Tanya Stevina.

"Iya hehe. Gemes gue."

"Lo belum pernah ke rumah dia sih. Lo liat nanti kucingnya seberapa banyak," celetuk Vriska.

"Kalau kalian suka banget sama hewan, itu menandakan sesuatu loh." Nada bicara Stevina terdengar berirama misterius. Ampuh membuat ketiga orang yang mendengarnya itu merasa merinding seketika.

"Tanda apa Stevi?" Tanya Clara penasaran.

"Lo suka banget sama kucing kan? Itu artinya, di kehidupan lo yang sebelumnya, lo bukan manusia. Tapi kucing."

"What...?!" Seru Vriska keheranan. Lain halnya dengan Vani yang malah tertawa.

"Ahh.. Seriusan lo Stev?" Tanya Clara.

Stevina mengangguk. "Sama kaya yang satu ini. Kalau lo pernah ga suka aja gitu sama seseorang walau dia ga ada ngapa-ngapain, even lo ga kenal sama orang itu, artinya lo sama orang itu punya masa lalu yang kelam di kehidupan kalian yang sebelumnya. Yah.. Itu semua kembali ke kepercayaan diri kalian masing-masing sih. Gue duluan ya. Bye." Stevina berlalu.

Tersisa ketiga temannya yang melongo menatap kepergian Stevina.

"Teman baru kita memang penuh misteri." Vriska terheran-heran.

"Lo kok ketawa sih Van?" Heran Clara.

"Ihh.. Ya karena lucu lah."

"Lucu gimana? Serem tau!"

"Lucu aja. Karena nenek gue juga pernah cerita hal serupa ke gue."

"Hah??"

"Oh.. My.. God. Clara, ternyata lo adalah titisan kucing!!" Seru Vriska.

❄❄❄

Stevina mampir sebentar ke minimarket di samping sekolah. Cuaca panas siang itu membuat kerongkongannya kering kerontang.

HP Stevina berdering. Ada pesan masuk dari Angelina yang menyampaikan kalau dia tidak bisa mengantar Stevina ke Bandung untuk pemotretan. Stevina mendengus kesal membaca pesan itu.

"Lo belum pulang?"

Stevina menoleh ke sumber suara. Rupanya lelaki menyebalkan itu lagi. Stevina tidak menghiraukannya.

Revin berjalan mendekatinya. "Mau pulang bareng?"

Stevina memutar bola matanya kesal sambil berlalu. Malas berurusan dengan orang di hadapannya itu.

"Lo tadi nyontek kan?"

Stevina tersentak. Langkahnya terhenti. Ia memutar balik badannya. Menatap Revin dengan tatapan tajam dan bingung.

"Jangan serem-serem gitu dong," rayu Revin. Ia mengeluarkan HP dari sakunya. "Nih." Revin memperlihatkan video saat Stevina menyontek catatan Matematika. Stevina melongo.

Seketika kepala Stevina penuh tanda tanya. Kenapa dia bisa merekam Stevina diwaktu yang tepat? Apa dia tahu Stevina akan menyontek karena itu dia merekamnya? Apa dia bisa membaca pikiran orang? Atau meramal masa depan?

"Kalau lo mau video ini aman, lo harus mau jalan-jalan sama gue. Keputusan ada di tangan lo." Revin memasukkan HP-nya ke dalam kantong jaket sambil tersenyum puas.

Stevina menganga. "Kurangajar ya lo."

Revin terkekeh. Tentu saja Revin tidak akan melaporkan gadis yang ia suka. Kebetulan, aksi Stevina saat menyontek tadi ikut terekam. Ini hanya ancaman saja agar Stevina mau jalan-jalan dengannya. "Gimana? Mau gak?"

Stevina tersenyum sinis. Ia punya akal untuk menolak ajakan Revin. "Okey, tapi lo harus anter gue ke Bandung. Sekarang juga." Dia yakin Revin akan angkat tangan. Stevina tersenyum puas sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Bandung?"

"Yap."

"Gampang. Kalau lo mau ke Bali juga gue anter sekarang."

Stevina tercengang. "Hah??"

Stevina sampai kehabisan kata. Ia terpaku di tempat dengan durasi yang cukup lama.

"Lo serius? Ini dari Jakarta ke Bandung loh," ujar Stevina mencoba membuat Revin ragu.

Revin mengeluarkan kunci mobilnya. "Jadi ke Bandung gak?"

Stevina melongo. Entah sadar atau tidak, Stevina memutuskan untuk ikut saja dengan Revin. Ia memang harus segera ke Bandung untuk pemotretan.

Stevina tidak habis pikir. Sepanjang perjalanan, ia hanya terdiam. Padahal Revin bisa saja menolak dan mengancam akan melaporkan video itu.

Berbeda dengan Revin yang malah santai menyetir dan sesekali bersenandung. Senyumnya tidak pernah pudar sedari tadi.

"Revin." Stevina membuka suara.

"Iya?" Tanya Revin kesenangan.

"Lo.. Yakin? Nanti kalau orang tua lo.."

"Itu urusan gampang." Revin memandang Stevina sambil tersenyum memperlihatkan rentetan giginya yang rapi itu. Stevina jadi salah tingkah. Ia kembali mengalihkan pandangannya.

Revin menyalakan lagu karena suasana mendadak canggung.

❄❄❄

"Di sini?" Tanya Revin. Mereka sudah tiba di lokasi pemotretan. Stevina mengangguk.

"Lo di sini mau ngapain sebenernya?" Tanya Revin.

"Lo boleh ikut kalau mau tau."

Mata Revin berbinar bahagia mendengar ajakan itu.

"Kalau lo bosen lo juga boleh pergi," tambah Stevina.

Pemotretan hari itu dilakukan di rooftop gedung. Revin tak henti-hentinya mengagumi kecantikan Stevina.

"Stevina, sekarang kamu pakai jaket ini ya. Ini untuk take terakhir," ucap seorang crew sambil menyerahkan jaket kulit berwarna hitam yang sangat elegan.

"Ngomong-ngomong, itu pacar kamu ya?" Tanya crew itu sambil melihat ke arah Revin.

Stevina melirik Revin yang sedang tersenyum menatapnya. "Eh.. Bukan.. Dia itu..."

"Yaudah dipake dulu jaketnya."

"Iya."

Tak lama berselang, Stevina keluar dari ruang ganti dengan tampilan memukau. Jaket kulit elegan serta model rambut shaggy acak membuat Stevina tampil bak Selena Gomez. Revin sampai menganga melihatnya.

"Okey, last shot."

Stevina berpose seprofesional mungkin. Waktu sudah berjalan selama lebih dari 30 menit.

Cekrek.. cekrek

Tidak dengan Stevina, tetapi malah Revin yang merasa risih melihat banyaknya flash kamera yang menimpa Stevina. Sementara Stevina terlihat tenang dan sangat cantik dengan posenya.

"Done. Good job Stevina."

"Thank you."

"Thank you all."

Sesi pemotretan berakhir. Stevina bergegas berganti baju dan berpamitan dengan para crew.

Stevina langsung menghampiri Revin begitu semua selesai. "Lo ga bosen dari tadi nungguin?"

Revin terkekeh. "Gimana gue bisa bosen. Lo bener-bener kaya es batu yang baru keluar dari freezer. Kecantikan lo nyegerin mata."

Stevina malah tertawa mendengarnya. Baru kali ini ia mendengar gombalan yang konyol seperti itu.

"Kok lo ketawa?"

"Enggak enggak. Em.. Gue mau pulang sekarang."

"Yuk."

"Ya enggak sama lo lah. Sama nyokap gue."

"Kan gue yang anter lo ke sini. Gue juga yang harus anter lo pulang dong."

Stevina menarik napas panjang.

"Nyokap lo udah jalan ke sini?"

"Belum."

"Itu artinya lo pulang sama gue. Yuk," Revin berlalu meninggalkan Stevina. Sementara Stevina masih terpaku di tempat.

Revin menoleh. Ternyata Stevina masih di sana sambil berbincang dengan seseorang.

❄❄❄

Stevina menikmati perjalanan sambil mendengarkan lagu menggunakan earphone.

"Stevina."

"Hm?"

"Lo laper gak?"

"Enggak."

"Okey, kita makan sekarang."

Stevina mendengus pasrah. Manusia di sampingnya ini memang aneh.

Revin mengajak Stevina makan di sebuah restoran yang cukup terkenal dengan pemandangannya yang menakjubkan.

"Kalau gue boleh tau, tadi lo bahas apa?" Tanya Revin.

"Kapan?"

"Tadi waktu mau pulang. Sama crew di sana."

"Lo kenapa mau tau?"

"Siapa tau lo ada pemotretan lagi. Gue ketagihan buat liat langsung."

"Bukan pemotretan."

"Terus?"

"Syuting film horor."

"Seriusan?"

Stevina tersenyum tak menjawab.

"Dipikir-pikir, rekaman tadi berguna banget ya. Gue jadi beruntung bisa jalan sama lo," ujar Revin antusias.

Ekspresi Stevina seketika berubah. Ia juga baru menyadarinya. Stevina melirik wajah Revin yang terlihat sangat bahagia.

❄❄❄

Stevina menunggu Revin yang masih ke kamar kecil. Ia berdiri seorang diri di parkiran. Stevina melihat sekeliling rumah makan. Ternyata ia cukup rindu dengan suasana di Bandung. Dan sebentar lagi, ia harus kembali ke Jakarta. Sejujurnya rasa rindunya hanya terobati sedikit.

Tiba-tiba, sebuah mobil yang sepertinya tak asing terlihat baru datang. Melihat siapa orang yang baru turun dari mobil itu, Stevina tersentak kaget.

Ia benar-benar harus pergi.