Chereads / Ster-Vin / Chapter 8 - Mistake

Chapter 8 - Mistake

Stevina memutuskan pulang saja. Ia mengabaikan Vriska yang dari tadi menyerukan namanya. Rasa bersalah seketika menyerang. Harusnya kekacauan ini tidak terjadi di pesta Clara.

Stevina berlari memasuki mobil. Dari kaca mobil, ia menengok ke atas tempat pesta. Vriska terlihat berdiri di dekat railing. Menatap bingung ke arah mobilnya.

Stevina menarik napas. Ia tidak yakin bisa menyetir dengan kondisi seperti ini. Tapi ia harus segera pergi.

Sementara itu di tempat pesta, Clara menghampiri Revin. Vani dan Vriska ikut menyusul.

"Gimana ceritanya kok lo bisa nyebur? Mabuk lo?" Tanya Nina tak habis pikir. Revin tak menjawab dan malah pergi meninggalkan kerumunan. Clara sampai gigit jari melihatnya.

"Seriusan tu anak pulang basah-basah?" Celetuk Nino.

Revin tak memedulikan semua pertanyaan. Pikirannya hanya tertuju kepada Stevina dan ia berniat menyusul gadis itu.

❄️❄️❄️

Stevina menepikan mobilnya di dekat minimarket untuk membeli air mineral. Jalanan tampak sepi. Tampak beberapa kendaraan saja yang berlalu-lalang.

Di minimarket itu pun hanya ada dirinya dan seorang kasir. Malam itu benar-benar sepi.

Seusai membayar, Stevina berlari menuju mobilnya. Ia sudah tidak tahan untuk segera mengambil suplemen.

Tiba-tiba terdengar deru motor ketika Stevina baru hendak meminum airnya. Seseorang dengan moge merahnya menepi tepat di depan mobilnya.

Stevina memperhatikan dengan saksama. Ya, benar. Orang itu adalah Revin. Ia mendengus pelan. Benar dugaannya, orang itu pasti mengikutinya. Stevina meminum airnya sebelum beraksi membuat Revin kapok.

Revin membuka helmnya. Lelaki itu berbalik badan dan sudah dipastikan ia akan menghampiri Stevina.

Revin tersenyum licik. Stevina penasaran apa yang akan dilakukan lelaki menyebalkan itu.

Revin melepas sepatunya yang basah. Dan dengan pakaiannya yang basah, Revin naik ke kap mobil Stevina.

Refleks membuat Stevina menganga. Selain menyebalkan, lelaki itu sepertinya sudah gila.

Stevina keluar dari mobilnya. "Revin! Turun ga lo! Turun!!"

"Ahh.. Capek." Revin malah tiduran di kap mobil Stevina. Rencananya agar Stevina keluar dari mobil sudah berhasil.

"Revin! Turun gak lo! Jangan malu-maluin deh!"

Revin bangkit. "Malu sama siapa? Cuma kita berdua manusia di sini."

"Dia?" Stevina menunjuk kasir minimarket itu. "Lo kira dia tanaman?"

Revin terkekeh. "Emang dia ngeliat ke sini?"

Stevina melengos. Kehabisan kata-kata.

"Lo ga merasa bersalah? Gue basah kuyup gara-gara lo nih."

Stevina menolehnya.

"Gue kira lo sakit makanya gue nyusulin lo."

"Dih.. Mending lo urus diri lo sendiri. Lo tu kenapa sih selalu muncul dimana-mana. Gue muak liat muka lo!"

Revin menarik lengan kanan Stevina.

"Mau lo ke timur, ke barat, ke selatan, kemanapun itu, gue pasti bisa ngejar lo."

Stevina bergidik ngeri mendengar pernyataan Revin. Ia menarik lengannya yang dipegang Revin. "Ini peringatan terakhir gue. Kalau lo gak mau turun, gue bakal berbuat nekat."

"Nekat gimana?"

"Gue tabrak motor lo."

Revin sedikit terkejut mendengar keberanian Stevina.

"Liat aja lo."

Stevina berjalan menuju pintu mobil sambil menghentakkan kaki. Revin melompat dari kap mobil. Ia menarik tangan Stevina yang baru saja hendak membuka pintu mobil. "Gue selalu dapetin apa yang gue mau. Dan gue harus dapat apapun yang gue mau. Semua tanpa terkecuali."

"Selalu? Revin, ga semua hal di dunia ini bisa didapetin dengan mudah. Kalau kita mau dapetin sesuatu, kita juga harus sadar diri. Jangan lupa mikir, kita pantas atau enggak untuk hal itu. Well.. Tapi yang terpenting sih, usaha."

Kesadaran Revin serasa ditampar mendengar ucapan yang dilontarkan Stevina. Membuatnya terpaku beberapa detik. "Iya. Lo benar. Lo memang benar. Tapi lo cinta pertama gue. Dan gue akan berjuang sampai gue pantas."

Malam sunyi di jalan yang sepi, kedua insan itu hanya bisa terdiam sambil bertatapan. Tanpa tahu, dan tanpa ingin mengucapkan sepatah katapun.

❄❄❄

Pagi-pagi buta, anggota OSIS sudah datang ke sekolah untuk mempersiapkan segala keperluan acara.

Hari itu adalah hari ulang tahun sekolah. Beberapa lomba dan acara hiburan sudah disiapkan untuk memeriahkan Vrekodara Anniversary.

Kegiatan ini cukup menguntungkan Stevina. Ia tidak menerima spam chat dan telepon sebanyak biasanya dari Revin. Walau ia juga tidak pernah menggubrisnya sama sekali, setidaknya ponselnya lebih tenang.

"Gue denger-denger, bakal ada hadiah fantastis untuk kelas yang menang," ujar Vriska.

"Emang sekarang lomba apa sih?" Tanya Vani.

"Archery," jawab Stevina.

"Wow.. Unik juga."

Diam-diam, Trisha teman sekelas mereka ikut menyimak obrolan. "Lomba memanah? Kalo ini sih gue angkat tangan."

"Gue juga lah. Palingan cowok-cowok yang bakal jadi tumbal buat kelas," sahut gengnya.

"Eh.. Pindah yuk. Panas banget duduk di sini," ajak Clara.

"Dimana-mana juga bakal panas kali. Ini jam berapa atuh Ara," ujar Vani gemas. Perlombaan kali ini diadakan di lapangan sekolah. Membuat para murid mau tidak mau harus duduk di lapangan, tanpa kursi.

Nina selaku sie acara datang memberikan pengumuman.

"Iss.. Nina pasti mau ceramah. Gue paling males denger bacotan pembukaan. Untung dia teman. Masih gue maafkan," kelakar Vani disambut derai tawa Clara dan Vriska.

".. Dan untuk perlombaan memanah ini, setiap kelas wajib mengirimkan perwakilan satu orang putri dan satu orang putra sebagai syarat untuk mengikuti perlombaan ini."

"Hah.. Seriusan?"

"Yaelah.. Kenapa ga cowok-cowoknya aja sih?"

Terdengar gemuruh protes murid-murid kaum hawa.

"Dan kita akan mulai dari kelas sepuluh."

Stevina menikmati penampilan anak-anak kelas sepuluh. Walau tidak ada satupun dari mereka yang berhasil mengenai sasaran yang tepat.

"Baik. Terima kasih untuk para peserta kelas sepuluh. Selanjutnya, untuk kelas sebelas IPA 1, 2, dan 3, dipersilakan menuju arena."

"Girls.. Kelas kita siapa yang bersedia nih?" Panik Trisha.

"Gue enggak."

"Gue ga bisa."

"Gue skip."

Stevina santai menyimak dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada.

"Vani, lo bukannya pernah main panah-panahan?" Selidik Trisha.

"Tapi kalah terus. Gue ga bisa," jawab Vani ketus.

"Gapapa Van. Ikut aja," desak Trisha.

"Ayo.. Vani.. Vani.. Maju.. Vani.." dukung gadis-gadis lainnya.

"Iss engga ah. Entar kalah gue malu sama masyarakat Vrekodara."

Stevina tersenyum kecil. Semua menoleh ke arahnya ketika gadis itu tiba-tiba berdiri.

"Gue bersedia."

Suasana hening seketika. Semua melongo sambil mengerjapkan mata.

Krik.. Krik..

"Wuw.. Hidup Stevina.. Yey.. Go girl.." seru Vriska heboh sambil bertepuk tangan memecah keheningan.

"Yey... Maju Stevina." Teman-teman kelas ikut bertepuk tangan.

"Good." Trisha tersenyum palsu. "Yang cowok-cowok gimana? Siapa yang mau? Buruan dong."

"Ni makhkuk bukan ketua kelas aja sok ngatur banget," ucap Vani pelan pada Clara dan Vriska.

"Mentang-mentang anak guru. Sering banget dia bertingkah," sahut Vriska yang memang sudah lama jengkel dengan Trisha.

"Iyuh.. Hahahaha.." tawa mereka.

Stevina berjalan duluan meninggalkan partner-nya menuju arena pertandingan. Revin sampai bangun dari duduknya melihat siapa perwakilan lomba dari kelasnya itu. Gadis pujaannya! Stevina berjalan dengan anggun menuju arena.

"Wow.. Berbakat juga dia," celetuk Rendi.

"Idaman," sahut Nino.

"Diem kalian berdua. Dia punya gue," kesal Revin.

"Eh Rendi. Lo liat kan? Perdana dong Revin kaya gini. Haha.." goda Nino.

"Tapi dia kayanya ditolak. Buktinya sampe sekarang ga jadian. Hahaha.." ejek Rendi.

"Revin ditolak? Hahaha.."

"Brengsek kalian berdua." Revin berlalu pergi menghampiri Nina.

"Nina."

"Vin, cewek idaman lo tuh."

"Ayo buruan mulai lombanya Nin. Gue udah ga sabar."

Stevina mengatur napasnya. Sudah lama ia tidak bermain panah-memanah.

Nina memberi komando agar para pemain laki-laki dari tiap kelas yang pertama kali bermain.

"Wuw.. Semangat guys.." Terdengar gemuruh suara dukungan dari teman-teman kelas.

"Tiga.. Dua.. Satu.." hitung para murid.

Anak panah melesat. Meluncur menuju bantalan target. Berharap mampu mendarat di warna kuning.

"Wuw.. Mantapp.." sorak teman-teman ketika partner Stevina berhasil menancapkan anak panahnya di bantalan berwarna merah bagian dalam. Sehingga mendapat skor 8. Masih unggul dari kelas lain.

"Stevina.. Semangat.. Lo pasti bisa.." sorak Vani diikuti Clara dan Vriska.

"Sekarang untuk perwakilan putri dari masing-masing kelas, dipersilakan."

Stevina mengangkat busurnya dengan tenang.

"Stevina.. Semangat." Nina memberi semangat pada Stevina. Revin yang masih berdiri di samping Nina menatap Stevina sambil tersenyum. Stevina membalas Nina dengan senyuman. Sedangkan Revin, Stevina berpura-pura tidak melihatnya.

"Bersiap.."

Stevina membenarkan posisinya, menatap tajam ke bantalan target, dan mulai membidik anak panahnya.

"Mulai..."

Stevina melepas anak panahnya hingga meluncur bebas. Entah akan mendarat di bantalan warna apa. Ia memalingkan wajah ke bawah. Belum siap melihat hasilnya.

Suasana hening seketika. Sebelum akhirnya terdengar bunyi gemuruh tepuk tangan meriah.

"Wuwww..."

"Mantapppp..."

"Yeeeyyy.."

"Love you Stevina.." sorak Vani heboh.

Stevina menoleh ke arah teman-teman kelasnya. Ketiga temannya mengacungkan jempol. Stevina mengalihkan pandangan ke arah bantalan target untuk melihat apa yang telah ia perbuat.

Ternyata anak panahnya mencapai sasaran empuk. Berhasil mendarat sempurna di bantalan warna kuning bagian luar. Sehingga memperoleh skor 9. Skor total untuk kelasnya mencapai angka 17. Jauh lebih unggul dari kelas lawan.

Vriska berlari ke arena. Memeluk Stevina dengan bangga. Sementara si pemanah hanya berekspresi flat. Baginya hal ini tidak terlalu membanggakan.

Revin mengambil kamera yang sedang dipegang oleh sie dokumentasi.

"Pinjem bentar."

Revin mengarahkan kamera ke arah Stevina yang langsung sadar kamera. Stevina langsung berpose menggigit bagian tengah anak panah dan menekuk tangan memamerkan busur.

Revin hampir pingsan melihat gaya model cantik itu. Kamera hampir terjatuh dari tangan Revin. Pose Stevina membunuhnya. Revin sangat terpukau.

"Ehh Vin. Gua mau pinjem kameranya."

"Bentar. Ini lebih penting." Revin memotret Stevina berkali-kali.

Kelas 11 IPA 2 menyambut para relawan lomba mendadak itu dengan meriah.

"Kalian hebat guys."

"Stevina, lo keren banget sih. Pasti lo belajar dari Arjuna Mahabharata ya?"

"Ajarin gue dong."

"Udah udah jangan ribut guys. Yang penting kelas kita udah tampil." Trisha tampak sewot mendengar pujian untuk Stevina.

"Untung ada lo Stev. Kalo enggak, kelas kita ga bakal tampil," balas Vani geram. Trisha melirik Vani dengan sebal.

Sekarang tinggal menunggu kelas sebelas yang belum tampil dan juga kelas 12. Sejauh ini, kelas 11 IPA 2 masih lebih unggul dari kelas lainnya.

Usai lomba archery, ada pertunjukkan drama dari kelas tetangga.

"Boleh pulang ga sih?" Tanya Stevina. Ia mulai bosan.

"Kurang tau sih gue," jawab Vriska.

"Boleh aja sih. Ga ada pelajaran juga," ucap Vani.

"Yaudah, gue ke kelas dulu."

"Ehh tapi lo nanti harus maju. Kelas kita kan menang archery." Vani memperingati.

"Em.. Biar ketua kelas aja deh yang maju ngewakilin. Bye.. Gue duluan ya."

Revin melihat Stevina yang tampaknya mau pergi dari lapangan. "Gue cabut bentar," ujar Revin meninggalkan pekerjaannya.

"Mau kemana lo?" Tanya Nino.

"Ada urusan penting. Oh ya, kalo ada apa-apa langsung telepon gue." Revin sedikit berlari.

"Woy Vin, ini data pemenang belum selesai. Yailah.." pasrah Nino.

Tiba di kelas, Stevina buru-buru prepare pulang. Ia menyesal membawa banyak novel. Tadinya Stevina pikir, hari ini akan santai-santai saja di kelas sambil membaca novel.

"Lo mau kemana?" Tanya Revin.

Stevina sudah tidak heran lagi. Revin selalu muncul tiba-tiba. Dimanapun dan kapanpun dia mau.

"Bukan urusan lo." Stevina berlalu melewati Revin.

"Apa gue perlu kamera supaya lo bisa senyum semanis tadi?"

"Cuma kamera tertentu."

"Gue tau. Karena tadi itu kamera sekolah. Foto-fotonya bisa diliat sama guru dan OSIS. Dan lo ga mungkin cemberut di foto tadi."

"Nah itu lo tau. Udah ah, gue duluan." Stevina berlalu melewati Revin.

Revin menarik tangan Stevina. Mencegatnya pergi begitu saja. "Ga ada yang boleh pulang. Nanti ada kelas."

"Tipuan basi. Minggir!"

Revin pasrah memperhatikan Stevina yang berlalu pergi.

Di parkiran, Stevina buru-buru merogoh isi tasnya. Tangannya sibuk mencari kunci mobil. Ia buru-buru karena risih kalau Revin menyusulnya.

Hari ini, Stevina membawa kendaraan ke sekolah. Dan ini adalah kali pertamanya.

Namun akhirnya..

"Stevina!" Sebuah suara yang tegas memanggil namanya. Stevina menoleh. Bu Diana selaku guru BK tiba-tiba datang ke parkiran. Beliau menghampirinya.

"Siapa yang kasi izin kamu untuk pulang?"

Stevina mendengus. Ia tahu dan sangat yakin ini ulah siapa. Stevina terpaksa menurut saja dan kembali ke kelas. Ia tidak ingin kembali lagi ke lapangan. Rasanya Stevina ingin menonjok wajah Revin saat ini juga.

❄️❄️❄️

Stevina hanya terbengong di kelas tanpa melakukan apapun.

Tok Tok

Secepat kilat Stevina refleks menoleh ke arah pintu kelas yang diketuk. Ternyata bukan Revin, melainkan Nina yang datang.

"Emm.. Stevina. Gue mau ngasi tau. Kalau semua murid harus kumpul di lapangan sekarang." Suara Nina terdengar gugup. Ia sedikit takut melihat wajah Stevina yang menyorotkan kekesalan.

Stevina bangkit dan menghampiri Nina. "Lo juga disuruh sama Revin kan?" Tanyanya dingin.

"Eh.. Engga kok. Ini beneran mau ada pengumuman."

Stevina berusaha mengontrol emosinya. Ia mengangguk terpaksa dan ikhlas mengikuti Nina menuju lapangan.

Tiba di lapangan, Vriska langsung menyemprotnya dengan berbagai pertanyaan.

"Jadi kita belum boleh pulang? Kenapa kok gitu??"

Belum saja Stevina sempat menjawab, terdengar suara Nina yang menyampaikan pengumunan.

"Sebelum mengumumkan para pemenang lomba, kita akan menyaksikan sebuah penampilan dari.."

Nina memotong kalimatnya. Ia melirik ke arah kanan.

Semua mata ikut tertuju ke arah kanan, pada sosok yang memasuki lapangan. Sosok itu membawa gitar. Tidak diragukan lagi, dialah yang akan tampil. Dan sosok itu adalah Revin.

Gadis-gadis menjerit histeris. Termasuk Trisha. Stevina mendengus kesal. Itu dia orang yang ingin ia tonjok. Stevina melihat sekeliling. Tak terlihat satupun guru di sana. Kemana perginya mereka?

"Selamat siang semuanya." Revin tersenyum menebar pesonanya. "Di kesempatan kali ini, gue mau nyanyi untuk seseorang."

"Aw.. Siapa tuh."

"Semoga gue."

"Pasti Revin nyanyi buat gue."

Khayal para gadis kegirangan.

Revin mulai memetik senar gitarnya. Stevina terpukau sesaat. Ia baru tahu kalau Revin memiliki suara yang lumayan.

Stevina melirik Clara. Sorot mata Clara tidak bisa berbohong. Gadis itu sangat menyukai Revin.

"Wii.. Keren.." Trisha dan gengnya heboh. Sementara siswi lainnya tampak menghayati lagu yang dibawakan Revin. Lagu Impossible oleh James Arthur.

"Buat kelas 11 IPA 2, gue suka sama salah satu murid lo!" Seru Revin.

"Yah... Kenapa ga IPA 3."

"Udah gue duga pasti bukan gue yang anak IPS."

Terdengar keluhan para gadis.

"Wahhh... IPA 2 kelas kita. Jangan-jangan gue.. Ah semoga beneran gue," harap Trisha.

"Pasti lo kok. Kan lo paling cantik di kelas," dukung teman-temannya.

"Yoi dong.."

Semua bertepuk tangan dan bersorak heboh ketika Revin berjalan menuju kerumuman.

"Revin ke sini guys.." heboh Trisha.

"Iss.. Lebay lo. Tiap hari juga liat di kelas," ketus Vani.

Revin menghentikan langkahnya tepat di depan Stevina. Ia berjongkok. Tangannya mendekatkan mikrofon ke bibirnya.

"Dan lagu ini, untuk pacar gue. Stevina Barjoli."

Stevina tersentak bak disambar petir. Ia langsung memasang wajah badmood sembari menopang dagu.

Seketika terdengar sorakan kekecewaan. Tentu saja sorakan dari para penggemar Revin. Walau terdengar juga sorakan dukungan yang Stevina yakini mereka adalah orang-orang yang merasa biasa saja dengan Revin.

"What?? Pacar?!!" Seru Trisha.

Stevina tidak habis pikir. Ada juga jenis lelaki dengan tingkat kepercayaan diri yang hiperhigh seperti ini.

Stevina berdiri. Ia tidak tahan untuk segera meninggalkan lapangan. Revin mencegatnya dengan bernyanyi sambil berputar mengelilingi Stevina. Kini lagu yang ia bawakan telah berganti menjadi lagu berjudul Rude. Lagu yang menggambarkan seorang lelaki yang ingin menikahi anak gadis seseorang.

Can I have Stevina for the rest of my life?

Say yes, say yes, 'cause I need to know..

Revin mengganti lirik 'your daughter' menjadi Stevina. Seharusnya Stevina baper, namun tidak.

Stevina tertahan di tempat. Revin mengeluarkan dua batang cokelat dari dalam gitarnya. Ia menyodorkan cokelat itu untuk Stevina. Gadis itu malah terlonjak kaget sampai memegang dada saat Revin menyodorkan cokelat. Ia tidak fokus sampai kaget karena mengira Revin menyodorkan benda tajam.

Tepuk tengan semakin menjadi-jadi.

"Best couple..." Murid-murid bersorak heboh.

Nina tersenyum dari kejauhan.

"Kamu mau aku cium juga di sini?" Goda Rendi. Dibalas cubitan oleh Nina.

"Mantap. Sejarah baru percintaan Revin nih," celetuk Nino.

"Ga cemburu lo?" Goda Rendi.

"Gue tahan."

"Ahhahahahaha.."

Cemburu menyaksikan hal itu, Clara pergi meninggalkan lapangan. Vani menyusul Clara. Sementara Vriska tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya diam melongo dan tidak percaya akan apa yang baru saja terjadi.

❄❄❄

"Stevina tunggu.." Revin berlari menghampiri Stevina.

"Kali ini lo udah keterlaluan. Tolong, jangan ikutin gue." Nada suara Stevina terdengar seram.

"Stevi.."

"Gue bilang pergi!! Gue gak mau liat muka lo!!" Pekik Stevina. Revin mencoba menyentuhnya.

Stevina mendorong Revin. "Gue sering denger pertanyaan retoris. Tapi hari ini, pertama kalinya gue denger pernyataan retoris. Gue bukan pacar lo! Dan ga akan pernah jadi pacar lo."

"Nanti lo bakal jatuh cinta sama gue."

"Cinta? Hhh.. Di kamus hidup gue udah ga kenal lagi yang namanya cinta."

"Biar gue kenalin lagi ke lo apa itu cinta."

Stevina terdiam sesaat. Ia tak menggubris Revin lagi. Stevina membuka pintu mobil dan bergegas pergi dari hadapan Revin.

Di balik itu, ternyata Vriska dan Vani mengintip. Mereka sudah mendengar semuanya. Vriska menatap Vani sambil memberikan sebuah kode. Vani mengangguk mengerti.