"Nih gue beliin teh. Udah lah.. Ih.. Nangis mulu lo!" Vriska gemas mendengar tangis Vani yang tak kunjung usai.
"Hiks... Ternyata.. gue.. gue terlahir tanpa bakat...," isak Vani. Baru kali ini Stevina melihat Vani benar-benar sedih. Hari ini Vani mengikuti lomba puisi dan tidak menang.
"Yaelah, gue juga gatau bakat gue apaan. Tapi gue sih tetap percaya diri. Walau tanpa bakat pokoknya gue berguna untuk meramaikan dunia," hibur Vriska.
"Ihh, Vriska." Sontak Vani terdiam.
"Udah lah. Nanti pasti ada lomba lagi. Ini kan pertama kalinya lo ikut lomba. Masih banyak kesempatan ih," tambah Vriska yang mulai geram.
"Lo baru gagal sekali udah nangis-nangis. Lo gatau aja, yang menang itu udah berapa kali gagal sebelumnya," celetuk Stevina.
Isakan Vani terhenti seketika. Ia menoleh ke arah seseorang yang melontarkan kata-kata itu. "Maksud lo gimana Vin?"
"Lo liat dia yang menang itu kan? Dia temen gue di SMA Dharma Jaya. Setau gue dia aktif ikut lomba puisi. Tapi waktu itu dia belum pernah menang. Siapa yang tau, ternyata hari ini kesempatan dia buat menang."
"Serius Vin?" Tanya Vriska.
"Beneran ga boong."
"Tuh.. Lo udah denger kan? Nanti bakal ada saatnya lo menang," ujar Vriska.
"Lo beneran Vin? Apa itu cuma buat ngehibur gue?"
"Lo bisa cek Instagramnya. Nanti gue kasi tau username dia."
"Beneran? Kok dia gapapa publish kekalahan?" Tanya Vani sedikit ketus. Rasa kecewa membuat Vani sedikit sensitif.
Stevina menunjukkan sesuatu dari smartphone miliknya. "Di postingan kalau dia kalah, selalu dia tambahin caption kata-kata motivasi buat penyemangat gitu."
"Kalah itu ga memalukan Vani. Lo udah hebat," tambah Vriska.
"Lo tinggal asah kemampuan lo." Stevina mengelus pundak Vani.
"Udah deh. Mending kita makan dulu gimana? Gue laper," usul Vriska.
Vani mengusap air matanya. Ia mengangguk. "Yaudah ayok. Gue juga laper."
Mereka bertiga beranjak bangun. Ketiga pasang kaki itu melangkah bersama mencari tempat untuk singgah.
Mereka akhirnya singgah di salah satu food court dan langsung mendapat tempat duduk.
"Vin, anter gue ke toilet," pinta Vani. "Vris, lo tunggu di sini. Duduk diem lo jangan berkeliaran."
"Iyaa ih.." kesal Vriska yang tengah asyik bermain game di HP.
"Lo sih kebiasaan. Awas ntar diambil orang loh tempat duduk kita."
"Berisik! Hus hus.. Sana pergi ke toilet."
❄❄❄
"Eh.. Belom pulang lo?" Tanya Nina ketika melihat Revin duduk sendirian di ruang OSIS.
"Yaampun. Itu dia tas si Rendi." Nina mengambil tas Rendi yang tertinggal tepat di samping Revin. Nina tak sengaja melirik benda di tangan Revin. "Ohh.. Itu toh. Udah berapa jam lo liatin?"
"Seharian juga gue kuat," sahut Revin yang tengah memperhatikan foto Stevina.
"Ckckck.."
"Ehh Nin. Menurut lo, hadiah apa ya, yang bagus buat Stevina?"
"Dia mau ulang tahun?"
"Engga sih. Pengen aja ngasi dia sesuatu."
"Em.. Apa ya. Boneka?"
"Enggak. Dia ga suka boneka."
"Iyaa emang ada sih cewek yang ga suka boneka. Apa ya? Em.. Baju aja."
Revin tak merespon. Ia tengah asyik senyam-senyum sendiri melihat foto Stevina. "Rambutnya cokelat panjang. Warna kulitnya cakep. Wajahnya, auranya, senyumnya, semuanya cantik. Gue masih ga nyangka makhluk secantik dia jadi pacar gue."
"Hati-hati direbut. Hahaha.."
"Ck.. Ga akan gue biarin lah. Jodoh itu kan cerminan diri. Dia cocoknya cuma sama gue yang bagus ini," ujar Revin penuh percaya diri.
"Hahah. Tapi cermin kan kebalik," sahut Nina.
"Kebalikannya ya itu. Gue cowok dia cewek. Selebihnya ya sama aja kaya bercermin."
"Iya juga ya. Pinter juga lo," kagum Nina.
"Nin, gue dapet ide."
"Apaan?"
❄❄❄
Langit biru berangsur-angsur menghitam. Pertanda malam telah menampakkan dirinya. Matahari telah selesai bertugas. Giliran bulan yang bertugas ditemani taburan bintang-bintang di langit yang cukup berantakan namun begitu indah.
Ketiga gadis itu masih bersama di balkon apartemen Stevina. Ditemani tiga cangkir cokelat panas. Ketiganya sama-sama terdiam. Mereka hanyut dalam lamunan masing-masing.
"Gue ke toilet dulu." Vani tampak tergesa-gesa menuju toilet. Stevina memperhatikan Vani sedari tadi.
Entah kenapa, Stevina merasakan keanehan. Aura Vani, wajahnya, gelagatnya, akhir-akhir ini, semua tampak aneh.
"Jangan melamun Vin." Vriska membuyarkan lamunan Stevina.
"Hah.. Engga kok."
"Dingin ah. Gue masuk dulu." Vriska meninggalkan Stevina sendirian di balkon.
Stevina memeriksa ponselnya. Ia membuka chat WhatsApp dari Revin. Senyum bahagia tercetak di bibir Stevina. Ia lekas pergi.
"Eh, gue turun dulu ya."
"Revin ya?"
"He-em.." Stevina menjawab dengan tersenyum lebar.
"Okey deh. Jangan lama-lama pacaran."
"Engga kok. Tenang."
❄️❄️❄️
Revin menunggu Stevina di minimarket yang terletak tepat di depan apartemen Stevina.
Tok.. Tok..
Terdengar bunyi ketukan kaca mobil. Revin menoleh. Orang yang ia tunggu sudah datang.
"Revin."
"Hai." Revin membukakan pintu mobilnya.
"Aku ga lama kan?"
"Engga kok." Revin menoleh ke arah minimarket. "Kamu mau ngemil sesuatu ga?"
"Aku udah kenyang."
"Oh.. Yaudah kalo gitu aku langsung aja."
"Hmm?"
"Aku mau ngasi sesuatu buat kamu." Revin membuka laci dashboard. Stevina melihat sebuah kotak kecil berwarna cokelat di dalam sana. Revin mengambil kotak kecil itu.
"Ini, untuk perempuan tercantik kedua di dunia setelah ibuku."
Pipi Stevina mendadak bersemu merah. Revin membuka kotak itu. Isinya adalah gelang titanium berwarna rose gold.
"Wow.." Stevina terkesima.
"Kamu suka gelang kan?"
Stevina mengangguk. "Banget."
Revin meraih pergelangan tangan kanan Stevina. "Gelang kamu banyak banget. Kalau gitu gelang ini pakai di tangan kiri kamu aja ya."
Stevina menggeleng. Ia melepas semua gelang kain dan karet beraneka model yang setia melingkar di pergelangan tangan kanannya itu.
"Mulai sekarang, aku mau pakai gelang dari kamu aja."
"Nice." Revin mengacak-acak pucuk kepala Stevina sebelum memakaikan gelang cantik itu.
"Tuh kan. Manis banget di tangan kamu."
Keduanya sama-sama memandangi pergelangan tangan Stevina yang terlihat elegan dengan titanium itu.
"Makasi Revin."
"Sama-sama." Revin membelai lembut pipi Stevina. "Kalau.. Aku cium kamu... boleh ga?"
"Hmm!!?"
Stevina mendadak salah tingkah. Ia mengalihkan pandangan dari Revin. Pipinya kembali memerah seperti udang rebus.
Revin berusaha keras menahan tawa melihat tingkah menggemaskan pacarnya itu.
Drrtt..
Beruntungnya, dering telepon mengakhiri kecanggungan saat itu. Lebih tepatnya, menguntungkan Stevina yang terjebak suasana canggung. "Vriska nelpon aku. Aku balik dulu.. Dah.." Stevina buru-buru keluar mobil sambil berlari.
Dari nada bicaranya, Revin tahu Stevina gugup. Revin benar-benar gemas sekarang. Ingin sekali ia mencubit pipi Stevina dan mencium keningnya.
Tok... Tok...
Stevina datang lagi. Revin membukakan pintu mobil. "Ada yang ketinggalan?"
"Gelangku."
Revin mengambilkan gelang-gelang Stevina yang ia lepas tadi. "Nih."
Stevina memasuki mobil sambil mengambil gelang-gelangnya dari tangan Revin. "Makasi," ucap Stevina sambil mencium pipi Revin tanpa aba-aba. Seketika Revin terpaku. Ia melirik Stevina yang tersenyum lebar.
Stevina bergegas pergi seolah tak terjadi apa-apa. Tapi Revin menariknya dan balas mencium bibir Stevina.
❄❄❄
Stevina memasuki apartemen dengan wajah berseri bahagia.
"Lama banget sih lo. Gue sama Vani mau pulang." Vriska mengetuk pintu kamar mandi. "Buruan Van. Lelet banget sih."
"Loh, dari tadi dia belum selesai?" Tanya Stevina heran.
"Dari tadi dia bolak balik ke kamar mandi. Gatau ngapain tu manusia."
"Gue dengar gibahan kalian." Vani keluar dari kamar mandi dengan wajah lesu nan pucat.
"Sakit lo? Pucet tuh muka lo. Iya gak Vin?"
"Iya. Lo pucet banget Van."
"Gue capek doang sih. Yaudah ayo pulang." Vani menggendong tasnya.
"Bye Vin."
"Okey. Hati-hati kalian."
Vriska berlalu dengan langkah lebar. Terlihat sekali ia sedikit kesal karena lama menunggu. Sedangkan Vani masih nyangkut di depan pintu. Stevina menatap Vani.
"Kenapa Van?"
"Vin.." Vani mendekati Stevina. Sekilas, Vani melihat Vriska yang berjalan sendiri meninggalkannya. Lalu berbalik lagi menatap Stevina. "Gue.. Ada sedikit masalah sama Alex. Pacar gue. Kalau besok gue ga sekolah, bilang kalau gue izin."
Stevina mengangguk pelan. Ada sesuatu yang janggal di hatinya.
"Oh ya, gue tunggu undangan lo sama Revin," goda Vani.
Stevina terkekeh. "Apaan sih... Kelas 12 aja belum."
"Hehehe.. Bye Vin."
"Bye."
Stevina masih nyaman berdiri di ambang pintu sambil menyaksikan kepergian Vani. Ia menunggu sampai Vani benar-benar jauh dari pintu apartemennya.
Stevina bersiap menutup pintu. Tapi terhalangi oleh langkah Vani yang mendadak terhenti. Vani memutar badannya. Menatap ke arah Stevina yang sudah siap menutup pintu. Stevina yang merasa ditatap, menoleh ke arah Vani. Raut wajah Stevina menyiratkan kebingungan. Ada apa dengan Vani?
Vani kembali mendekat. Jaraknya hanya beberapa sentimeter saja dari Stevina. "Semua temen kelas canggung sama lo. Itu karena mereka kira lo itu cuek dan sombong."
Stevina menunduk. Ia memang sudah tahu. Hal ini bahkan juga berlaku di sekolah lamanya.
"Tapi sayangnya mereka ga tau gimana beruntungnya gue, Vriska, sama Clara, karena punya temen kaya lo. Dan Revin, hhh.. gue ga bisa bayangin gimana perasaannya bisa dapetin lo."
Stevina terenyuh. Ia hanya bisa diam seribu bahasa. Apa lagi yang bisa ia katakan? Kenapa juga Vani tiba-tiba melontarkan kalimat seperti itu?
"Yaudah, lu masuk gih. Sekarang gue bener-bener pergi. Jangan kangen lo ya.."
Stevina terkekeh. "Yaudah. Hati-hati Van."
❄❄❄
"Bener-bener curang si Vani. Gimana nanti nasib gue selama remidi Matematika Vin? Gue nyontek ke siapa??" Rengek Vriska. "Lo sih ga remidi Vin.. Ah.. Kesel!"
"Ada kenapa sih?" Heran Stevina. Ia baru saja tiba, belum sempat duduk dan Vriska sudah menyemprotnya saja.
"Nih." Vriska menyodorkan ponselnya. Chat dari Vani terpampang paling atas di aplikasi WhatsApp Vriska. Stevina membuka isi pesan itu. Pesan tiga puluh menit yang lalu.
Vani : Gue izin, lagi sakit. Selamat berpikir keras untuk ujian. Alam semesta memberkatimu nak🤚

Stevina menepuk pundak Vriska. "Gimana kalau pulang sekolah kita langsung jenguk Vani?"
Drrtt..
Vriska mengangkat telepon dari Vani.
"Ehh curang! Ngapain lo nelpon gue segala? Lo mau.."
Makian Vriska terputus. Bibirnya terkunci seketika. Wajahnya menyiratkan ketegangan.
Stevina terdiam melihat Vriska yang seketika berubah.
"Vin, kita harus izin," ucap Vriska pelan.
"Izin kemana?"
"Nanti gue kasi tau. Kita pergi abis gue remidi Matematika."
❄❄❄
"Tolong bilang kalau ini cuma mimpi. Tolonggg.. Ini cuma mimpi kan.. Ini engga boleh terjadi.. Ini ga bolehh...." isak tangis Vriska tak bisa ia tahan lagi. Air matanya mengucur deras.
Salah satu perawat berusaha menenangkan sahabat Vani itu.
"Ini pasti salah. Tolong dicek lagi suster ga mungkin Vani meninggal...." tangis Vriska.
Stevina yang juga tengah berduka, duduk seorang diri di depan ruangan Vani. Terngiang kembali kata-kata dan gelagat aneh Vani kemarin. Hari ini, terjawab sudah semua kejanggalan dan perasaan aneh dalam hati Stevina.
Vani diduga telah mengakhiri hidupnya sendiri. Pembantu rumah tangga Vani lah yang pertama menemukan tubuh tak bernyawa Vani di kamarnya.
Vani mengakhiri hidupnya dengan cara menyayat pergelangan tangannya sendiri.
Stevina menghapus air matanya, beranjak bangun dan bergegas meninggalkan rumah sakit itu. Stevina yakin ada yang tidak beres. Ia yakin pasti ada udang dibalik batu.
Stevina juga yakin, ada penderitaan besar yang Vani alami. Vani pasti sudah tidak tahan lagi sampai ia harus memilih jalan ini.
Kehilangan seorang teman baik, membuat Stevina terpukul. Ia tidak akan tinggal diam.
Vriska tidak menyadari Stevina yang sudah meninggakan rumah sakit. Rasa pilu yang sedang ia hadapi, membuatnya tak memedulikan keadaan sekitar. Ia hanya sibuk menangis.
Di basement rumah sakit, Stevina berlari menuju mobil. Ia memasuki mobil dengan tergesa-gesa. Ia tahu harus kemana sekarang. Stevina menginjak pedal gas, mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
❄️❄️❄️
Di koridor sekolah, Nino berjalan santai sambil bersiul. Ia tahu ia telat lima menit untuk menghadiri rapat OSIS. Tapi ia tetap tenang dan santai.
Tiba tepat di depan pintu ruangan, Nino berhitung. "Satu.. Dua.." Ia mengumpulkan keberanian untuk membuka pintu ruang OSIS. "Tig.." Hitungannya terpotong ketika tangan seseorang mencegat handle pintu.
"Stevina?" Nino mengernyitkan keningnya.
Pintu OSIS terbuka sedikit.
"Lo temen deketnya Alex kan?"
Nino menarik napasnya. Sepertinya ia tahu apa maksud Stevina mendatanginya. Tatapan mata Stevina tampak mengerikan saat ini. "Apa yang bisa gue bantu?"
Stevina menyodorkan USB perekam suara. Tidak perlu dijelaskan, Nino sudah paham betul apa maksud Stevina menyerahkan benda tersebut.
Dari dalam ruang OSIS, Revin dan OSIS lainnya menyaksikan Stevina dan Nino dengan bingung. Yang paling bingung tentunya adalah Revin. Ia penasaran apa yang Stevina dan Nino bahas sampai wajah Stevina seserius itu.
Revin langsung menghampiri mereka berdua.
"Stevina, kamu kenapa?" Tanya Revin.
❄❄❄
Malam berduka itu, Revin berusaha menghibur Stevina. Ia mengajak Stevina pergi ke tempat favorit mereka yang cukup sepi saat ini.
Keadaan Stevina membuatnya ikut sakit hati.
"Jangan tahan tangis kamu. Nangis bisa buat hati kamu lebih lega." Revin mendekap Stevina.
Di dalam pelukan Revin, Stevina merasakan kenyamanan. Revin benar-benar moodbooster.
"Aku ke toilet dulu ya," ujar Revin.
"Iyaa Revin."
Stevina memandangi foto-foto di galeri HP-nya. Melihat fotonya dengan Vani, Stevina menitikkan air mata.
Ia tak menyangka pertemuannya dengan Vani begitu singkat. Padahal masih begitu banyak hal yang ingin ia lakukan bersama Vani. Tapi takdir berkata lain.
Stevina buru-buru mengusap air matanya dan berlagak seolah biasa saja begitu melihat Revin akan datang. Ia tidak pernah mau terlihat lemah atau bersedih di depan Revin.
Stevina tersenyum. "Revin, kamu mau nambah ga? Mau pesen apa lagi?"