Chereads / Ster-Vin / Chapter 19 - Leave Me

Chapter 19 - Leave Me

Stevina berkaca di toilet wanita sambil memandangi dirinya yang tengah mengenakan kaos V neck putih bersaku dan celana pendek berwarna putih lengkap dengan sabuk cokelat. Ia mengambil lipstik dari ransel mini berwarna cream motif serat kayu dan mengolesinya di bibirnya yang saat itu tampak pucat. Setelah itu ia mengeluarkan hair serum dan hair mist untuk perawatan rambutnya. Stevina beberapa kali menyemprotkan hair mist di rambutnya. Terakhir, ia menyemprotkan parfum beraroma manis dan segar favoritnya.

Stevina berkaca sekali lagi, mengenakan kemeja oversize berwarna blue sky yang ia gantung di sebelah kaca, mengenakan ransel, lalu buru-buru keluar dari toilet.

Stevina terpukau sesaat melihat pemandangan sekitar lapangan golf yang ia datangi hari ini untuk bertemu seseorang. Kedua bola matanya berjelajah mengitari sekitar untuk menemukan keberadaan orang itu.

Stevina lupa sesuatu. Sambil berjalan ia merogoh saku celananya, mengambil sebuah jam tangan, dan mengenakannya di pergelangan tangannya.

Beberapa langkah berjalan, akhirnya di tepi danau ia menemukannya. Wanita itu sedang duduk membelakanginya.

Sejenak Stevina memandangi punggung wanita itu.

"Selamat pagi tante," sapa Stevina. Tapi ia merasa janggal. Stevina melirik jam tangannya. "Selamat pagi menjelang siang tante," lanjutnya.

Wanita itu, yang tak lain adalah Sandra, menoleh dan tersenyum. Ia memberi isyarat agar Stevina duduk di sebelahnya. Tempat duduk mereka dipisahkan oleh sebuah meja bundar yang di atasnya sudah disuguhkan teh hangat dan beberapa camilan.

"Nanti, kamu ada kegiatan lain?" Tanya Sandra.

"Pemotretan."

"Makasi ya nak, kamu sudah mau ketemu sama tante."

Stevina mengangguk pelan.

"Tiap hari Revin cerita tentang kamu," ujar Sandra. 

Mendengar nama Revin, seketika Stevina terenyuh.

Sandra menyeruput teh hangatnya. "Alur hidup kadang memang bikin kita ga habis pikir."

Stevina terdiam.

"Andai saat itu, Antonio ketemu tante lebih awal, pasti tante dan Antonia sekarang sudah hidup bersama. Dan pastinya..  Sekarang tante ga jadi perebut suami orang, atau jadi wanita yang menyakiti sesama wanita."

Stevina menghela napas mendengarnya.

"Tapi ternyata, dia bertemu ibu kamu lebih dulu. Angelina."

Stevina melirik Sandra.

"Ini takdir Stevina. Takdir ini membuat ada pihak yang tersakiti. Nak," Sandra menyentuh bahu Stevina. "Tante juga gamau hal ini terjadi."

"Saya tau semua itu takdir tante. Sekarang, saya ketemu tante, itu juga takdir kan?"

Sandra menatap Stevina.

"Kata-kata tante tadi seolah tante nyalahin takdir Tuhan. Padahal tante tahu kan, kalau Tuhan juga kasi kita pikiran dan perasaan yang bisa kita pake sebelum ngelakuin sesuatu."

Sandra terpaku mendengarnya. Stevina beranjak bangun dari kursinya. "Saya permisi tante," pamitnya.

Sandra memperhatikan Stevina yang sudah berjalan menjauh. "Kamu memang perempuan cerdas Stevina," serunya sambil beranjak bangun dari duduknya. "Revin seharusnya beruntung punya pacar seistimewa kamu. Tapi maafin tante. Karena sebentar lagi kalian akan jadi saudara."

Stevina menoleh. Ia menatap Sandra dengan bingung.

"Iyaa nak. Stevina dan Revin yang dulunya pacaran, sekarang akan jadi saudara karena kalian akan satu ayah."

Stevina buru-buru pergi. Ia tidak mau lagi mendengar apapun dari Sandra.

❄️❄️❄️

"Stevina, dimakan dong. Kok kamu bengong?" Angelina membuyarkan lamunan Stevina.

Stevina melirik chicken steak yang sudah Angelina siapkan untuk makan siangnya. Cheryl tiba-tiba datang. Adik tirinya itu naik ke kursi di sebelah Stevina dan mengusap-usap pipi Stevina.

Angelina langsung menggendong Cheryl. "Kakak kamu makan dulu ya. Cheryl main sama mama dulu. Okey?" Angelina langsung membawa Cheryl pergi dari ruang makan.

Tiba-tiba HP Stevina bergetar. Sebuah pesan WhatsApp dari Revin yang mengajak Stevina untuk makan siang.

Makan yuk. Nanti aku jemput kamu. Aku masih anterin mama. Gatau nih mau kemana.

Stevina tersenyum membaca pesan dari Revin. Senyumnya memudar ketika Tuan Antonio menghampirinya.

"Maafin papa ya nak," ujar Tuan Antonio. Ia meletakkan sebuah tas karton di kursi sebelah Stevina. "Semoga kamu suka." Rupanya tas karton itu berisikan hadiah permintaan maaf dari Tuan Antonio yang entah apa isinya.

Belum saja Stevina menjawab, terdengar bunyi ketukan pintu. Sepertinya ada tamu. Angelina datang membukakan pintu. Stevina dan Tuan Antonio sama-sama menoleh untuk melihat siapa yang datang.

Kedua bola mata Stevina terbelalak ketika melihat dua sosok yang datang itu. Tuan Antonio langsung bersikap aneh. Ia tidak tahu, kalau Stevina sudah mengetahui perselingkuhannya dengan Sandra.

Angelina melirik Tuan Antonio. Kemudian melirik Sandra. "Silakan masuk," ujar Angelina dingin.

Sandra dan Revin memasuki rumah. Angelina mempersilakan mereka duduk di sofa. Stevina memantau dari partisi kayu ruang makan.

Tuan Antonio menghampiri mereka. "S.. Sandra? Ada kerjaan kantor yang belum aman?" Tanya Tuan Antonio yang terlihat gugup. "Oh ya, ini anak kamu ya?"

"Siang om," sapa Revin.

"Aku... Aku ke sini cuma mau kasi tau hal penting," ucap Sandra.

Angelina langsung melirik Sandra.

"Aku hamil," ucap Sandra mengagetkan semua yang mendengarnya.

"Ini anak Mas Antonio," sambung Sandra. Revin menatap ibunya itu dengan penuh keheranan.

Stevina langsung keluar dari ruang makan. Revin yang melihat Stevina langsung terkejut bukan main. Stevina menahan tangis sambil menatap Revin.

Angelina langsung pergi meninggalkan ruang tamu.

❄️❄️❄️

Kesibukan di kelas dua belas, membuat Stevina lupa sejenak akan semua masalahnya. Yang ia lakukan hanya fokus belajar demi universitas impian dan juga masa depannya.

"Belajar mulu ih. Jangan lupa makan loh. Mama udah masak."

"Iya ma..."

Angelina tersenyum. "Mama kerja dulu ya."

"Tumben hari Minggu kerja?" Tanya Stevina bingung.

"Ada job dong. Udah ya, jangan kangen." Angelina menepuk pundak Stevina.

Berbekal pengalaman dan setelah mengikuti kursus, Angelina kini berkecimpung di bidang kecantikan.

Setelah perceraian Angelina dengan Antonio, Stevina memaksa Angelina agar tinggal dengannya saja. Sekarang Stevina tinggal berdua dengan Angelina. Hanya berdua saja.

Cheryl tinggal bersama Tuan Antonio. Sebentar lagi adik tirinya itu akan segera memiliki adik. Demikian juga dengan Revin.

Ya. Sebentar lagi Sandra akan melahirkan.

❄❄❄

Stevina terdiam memperhatikan bangku Revin yang kosong. Entah kemana perginya Revin. Sejak hari itu, Revin berubah. Stevina hanya melihat Revin saat jam pelajaran. Setelah jam pelajaran selesai, Revin langsung buru-buru pergi tanpa melihat Stevina.

Sekarang Nina yang selalu menemani Stevina. Pulang sekolah hari itu, Nina mengajak Stevina pergi ke toko buku.

"Stevina, gue cari Rendi dulu ya. Nanti gue nyusul lo di toko buku," ujar Nina.

"Okey."

Rentetan jadwal ujian sudah menanti. Stevina sudah menyiapkan diri untuk belajar dari sekarang.

Hari ini ia dan Nina berencana untuk membeli buku latihan soal dan belajar bersama.

Niat hati segera pergi setelah Nina berlalu, tapi kaki Stevina malah terasa berat melangkah. Stevina merasakan sesuatu yang aneh. Stevina terdiam beberapa saat. Entah kenapa ia ingin menengok ke atas.

Sementara di ruang OSIS, Revin tengah sibuk mengepel. Ia juga merasakan perasaan yang aneh.

Di ambang pintu, seketika tangannya berhenti bekerja. Ia meletakkan pengepalan. Seperti tersihir, Revin berjalan beberapa langkah. Kepalanya menengok ke bawah.

Dengan langkah pelan, Stevina juga menengok ke atas. Tepat ke arah ruang OSIS.

Jadilah, kedua insan itu kini saling bertemu pandang.

Revin menatapnya sendu. Stevina terpaku menatap Revin.

Walaupun tatapan keduanya masih sama seperti dulu, tapi cinta mereka terhalangi. Yang bisa mereka lakukan kini hanya memendam perasaan.

"Stevina.. Lo masih di sini ternyata." Nina berlari menghampirinya. "Rendi sibuk dia ga bisa ikut. Sekarang aja yuk."

"Ehh, i.. iyaa yuk sekarang aja." Stevina berjalan meninggalkan Nina. Stevina merasa cukup sedih.

Nina menengok ke atas. Ia melihat Revin yang masih memperhatikan Stevina. Nina ikut merasa sedih akan nasib kedua temannya itu.

Melihat Stevina pergi, mata Revin memerah. Harusnya ia yang menemani Stevina sekarang. Harusnya ia yang belajar bersama Stevina, dan jalan-jalan seperti biasa.

Malam itu setelah pemotretan, Stevina mampir untuk membeli sate favoritnya di samping markas Revin. Tepatnya, di belakang SMA Vrekodara.

"Pak, satenya bungkus dua ya. Keduanya pedes," pesan Stevina.

Revin yang malam itu sedang berada di markas, terkejut sekaligus senang melihat Stevina. Tapi ia tidak punya keberanian untuk menghampiri gadis itu. Ia hanya memantau Stevina dari dalam markas.

Tiba-tiba terlihat segerombolan laki-laki yang Revin tahu mereka adalah murid SMA Vrekodara. Malam itu sedang ada kegiatan Pramuka di SMA. Mereka tampak berjalan mendekati Stevina sambil tertawa-tawa. Dari gelagat mereka, Revin tahu mereka ingin melakukan apa. Dengan sigap Revin langsung keluar markas dan berdiri di belakang Stevina. Melihat tatapan Revin, akhirnya para murid itu langsung balik badan dan sepertinya hendak kembali ke sekolah.

Stevina yang sedang asyik dengan HP tidak sadar Revin ada di belakangnya. Revin menatap Stevina sebentar, kemudian pergi menuju markasnya.

Aroma khas Revin baru tercium setelah ia berjalan menjauh. Stevina langsung berhenti bermain HP. Ia mendongak melihat kedepannya.

"Pak, bapak abis pake parfum ya?" Tanya Stevina. "Harum banget sih pak."

"Engga neng. Saya ga pake parfum-parfuman."

"Oh.. Soalnya, bau parfum ini ngingetin saya sama seseorang."

"Inget sama pacarnya ya?" Rayu bapak penjual sate.

Stevina menunduk malu. Perlahan, ia menoleh ke belakang. Ia menatap bangunan yang dulu sering ia singgahi bersama Revin dan teman-teman. Stevina mendadak flashback.

"Neng, satenya udah."

Stevina membayar dan lekas menuju mobilnya. Perasaan Stevina mendadak sedih. Tangannya yang semula hendak membuka pintu mobil mendadak batal. Stevina menoleh sekali lagi ke arah markas Revin.

Dan di dalam markas itu, dari balik kaca Revin melihat Stevina. Revin meneteskan air mata. Ia sangat sedih melihat Stevina yang sepertinya sedang mengenang sesuatu.

Stevina tersenyum simpul. Ia tahu semua kenangan manis itu tidak bisa diulang. Stevina berbalik badan dan bergegas pulang.

❄❄❄

"Nongki bentar yuk," ajak Nina setelah mendapat buku incaran mereka. "Lo ga buru-buru kan?"

"Engga sih," jawab Stevina. Mereka mampir di salah satu spot nongkrong di mal itu.

"Kasian Revin," ujar Nina tiba-tiba sambil menunduk. Mendengar nama Revin, niat Stevina untuk menyeruput cokelat panasnya batal.

"Dia menderita karena apa yang bukan kesalahannya," lanjut Nina.

Stevina tertegun. Nina membuatnya mati kutu.

"Lo belum tau. Seberapa sering dia marah sama nyokapnya. Seberapa sering dia ga pulang. Seberapa sering dia.. " Nina menarik napas. "Gue bahkan juga ga percaya kalo cowok kaya dia bisa nangis."

"Dia kemana? Kenapa dia ga pulang?" Tanya Stevina cemas.

"Dia di rumah Rendi. Revin udah terlalu muak di rumah. Rendi sampai ga bisa buat apa-apa lagi kalo Revin kumat."

"Kumat?" Ulang Stevina.

"Mabuk sambil nangis lah, bilang pengen ketemu lo lah, stres kenapa harus nyokapnya yang hancurin semua ini."

Stevina menunduk. Hatinya semakin sakit.

"Lo jangan berpikir negatif kenapa dia menghindar dari lo. Dia ga tau harus gimana lagi."

Stevina mendongak menatap Nina.

"Dia malu dan merasa ga pantes muncul di hadapan lo. Dia benci dirinya sendiri. Karena penyebab derita lo, ga lain ibu kandungnya sendiri."

Stevina menghela napas. "Nin, tolong kasi tau Revin. Gue.. Gue kangen dia."

Nina mengangguk. "Iya, pasti."

❄❄❄

Pagi-pagi sekali Revin menuju papan pengumuman sebelum ramai diserbu murid lainnya. Ia mencari namanya di secarik kertas yang ditempel di papan pengumuman.

Kedua bola mata Revin berbinar senang ketika mendapati namanya dan melihat NEM hasil belajarnya yang memuaskan. "Big thanks for you, Stevina Barjoli," desis Revin. Ia bangga pada dirinya sendiri, juga pada Stevina, pacarnya yang cerdas itu.

Revin langsung bergegas pergi begitu melihat kerumunan murid yang sudah tidak sabar melihat hasil mereka. Murid-murid berdesakan menuju papan pengumuman. Ya, hari itu adalah pengumuman hasil Ujian Nasional.

"Woy Nino, lo udah liat nilai lo?" Tanya Rendi saat mereka berpapasan.

"Kagak. Gue gamau cari penyakit."

Nina tertawa mendengar jawaban Nino. "Heh, lo jangan remehin diri sendiri lah. Liat dulu gih, kali aja nilai lo bagus."

"Kalian duluan aja," jawab Nino.

Nina dan Rendi lanjut berjalan menuju papan pengumuman.

Sementara Stevina, ia duduk memperhatikan dari lapangan basket. Ia akan ke sana saat kondisi sudah sepi.

Beberapa murid menatap datar Stevina yang duduk di bangku lapangan. Banyak juga yang menatapnya sambil tersenyum takjub. Gadis yang ditatap itu hanya cuek saja sambil lanjut memakan camilannya.

Saat sudah sepi, barulah Stevina beranjak bangun menuju papan pengumuman. Melihat apa yang tertera di sana, barulah Stevina mengerti kenapa murid-murid lain menatapnya.

Nama Stevina Barjoli terpampang jelas sebagai top 1 peraih NEM tertinggi di SMA Vrekodara.

"Hhm.. Ga heran lagi sih gue. Secara, lo selalu peringkat satu," celetuk Nina yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya sambil berkacak pinggang.

"Selamat Stevina..." Nina memeluk Stevina bangga.

"Yah.. Lumayanlah NEM gue. Yang penting lebih besar dari Rendi," celetuk Nina.

"Great dong.."

"Tapi ini cuma hasil keberuntungan sih. Gue banyak ngasal, terus pake feeling jawabnya. Sedangkan lo emang karena pintar."

"Berarti lo emang pantes dapat nilai bagus. Keberuntungan sama kepintaran itu sama-sama hadiah dari Tuhan."

"Wah bener juga ya. Eh tapi, kalau gue jadi lo, wuih.. Gue bakal sombong kemana-mana tuh. Lo malah anteng aja. Ga buat story kek, atau apa kek gitu."

"Gue udah buat story loh di Instagram. Personal branding sih bukan untuk sombong," ujar Stevina.

"Padahal gapapa tau sombong kalo emang bener-bener punya value. Daripada sombong tapi ternyata ga ada apa-apanya," tambah Nina.

"Gue takut Tuhan muak sama kesombongan. Kalau Tuhan muak terus kelebihan gue diambil gimana?" Tanya Stevina.

"Caranya?"

"Ya bisa aja kan gue dibuat kecelakaan, and then kepala gue kebentur, terus lupa ingatan kaya di film-film. Hilang deh tuh kepintaran."

"Ahahaha iyaa juga ya. Seketika jadi idiot dong lo?"

"Ahahaha..." Tawa Nina dan Stevina.

"Keren juga pemikiran lo Vin."

Stevina iseng melihat-lihat lagi. Ia mencari dan berusaha menemukan nama seseorang. Senyumnya mengembang saat melihat nama yang ia cari ada di daftar lima belas besar.

Siapa lagi kalau bukan Revin. Ia masuk dalam daftar lima belas besar peraih NEM tertinggi. Stevina bangga akan hal itu.

"You did a good job... Revino Coldy," desis Stevina. "Nina, keren ya si Revin," ucap Stevina.

"Ini sih gue juga ga heran. Maklum, punya pacar pinter. Pasti ketularan," sahut Nina. "Beruntung si Revin."

Stevina mengambil HP. Ia memotret hasil NEM ke Angelina.

"Eh, gue duluan ya," ujar Nina.

"Okey."

Stevina mengecek ponselnya lagi. Angelina sudah membalas pesannya.

Ups, ada nama pacar tuh.

Stevina terenyuh membaca pesan dari ibunya itu. Angelina masih suka membahas Revin.

Ibunya itu memang layak disematkan mahkota dan selempang bertuliskan 'Best Mom in the World'.

HP Stevina kembali bergetar. Ada sebuah pesan lagi dari Angelina.

Gatau mau jual apa lagi buat beli kadonya si peraih NEM tertinggi.

Stevina tertawa membaca pesan dari Angelina.

"Hai."

Stevina menoleh.

"Selamat ya. Kamu hebat."

Stevina salah tingkah melihat siapa yang datang. "H.. Hai.. Selamat juga Revin. Kamu juga hebat."

Stevina tidak bisa menyembunyikan tatapan sendunya. Begitu juga dengan Revin. Sudah lama sekali mereka tidak bertatap muka dan berbicara.

"Aku.. Duluan ya. Ada yang harus aku kerjain."

"Okey," ujar Stevina.

Revin masih terpaku di tempat. Stevina yang malah pergi lebih dulu meninggalkan Revin yang masih berdiri di sana.

Revin menatap kepergian Stevina. Seketika ia merasa sedih.

❄❄❄

"Gilak, lo keren banget!!" Seru Nina begitu melihat banner berukuran besar berisikan foto Stevina dan keterangan 'Top 1 Student of the Year'.

Revin juga tersenyum bangga melihatnya. Hari itu semua murid berkumpul di aula untuk mendengarkan beberapa pengumuman penting.

Sampai tiba momen dimana Stevina dipanggil maju sebagai Top 1 Student of the Year. Setelah penyerahan piala, Stevina berpidato sebentar.

Murid-murid bertepuk tangan. Stevina mencakupkan kedua tangannya sebagai tanda terima kasih.

Tanpa disengaja, Stevina menatap Trisha yang terlihat iri. Sambil memegang piala, Stevina melempar senyuman penuh arti. Melihat senyuman itu, Trisha langsung bergegas pergi dari aula. Ia tahu Stevina sedang menunjukkan betapa hebat dirinya.

Selesai acara, Nina mengajak Stevina jalan-jalan.

"Ehh kita mau kemana dulu nih?" Tanya Rendi yang duduk di samping Nino.

"Makan dulu lah intinya. Kelaperan gue," sahut Nino.

"Ehh.. Cepetan masuk Vin," ujar Nina. "Ayo, ga usah malu-malu." Nina menarik Stevina untuk memasuki mobil Nino.

Baru saja memasuki mobil dan hendak menutup pintu, tangan seseorang menahan pintu mobil Nino.

Stevina refleks menoleh siapa yang menghalanginya.

"Revin?" Ujar Nina.

"Kalian mau kemana?" Tanya Revin dengan tatapan yang tertuju pada Stevina.

"Lo kalo mau ikut masuk aja," celetuk Rendi.

"Gue sih pengen. Tapi kerjaan belom kelar."

"Siapa suruh mau dibabukan sama ketua OSIS baru," sahut Nina.

"Kan gue cuma nolongin."

"Halah.."

"Eh Nino, lo hati-hati bawa mobil. Kalau ada yang kenapa-kenapa awas aja lo."

"Tapi kalau gue sama Rendi yang kenapa-kenapa lo santai kan?" Sindir Nina. Rendi, Nina, dan Nino mengerti apa maksud Revin. Ia ingin Stevina baik-baik saja.

Stevina tidak menatap Revin sama sekali. Ia berpura-pura sibuk dengan HP.

Revin melengos. "Yaudah jalan. Hati-hati."

❄️❄️❄️

Pukul 9 malam, rombongan Stevina tiba di depan markas Revin.

"Rendi, aku mau beli minum dulu. Haus."

"Iyaa Nin."

Stevina ikut memasuki markas. Ia juga haus dan ingin membeli sebotol air mineral.

"Kok gue laper lagi ya," ujar Nina.

"Ya pesen aja makanan kalau laper lagi," sahut Rendi.

"Stevina, makan lagi yuk."

"Hhmm.. Boleh deh."

Nina melirik ke pojokkan. "Loh, lo ngapain masih di sini? Belom pulang?" Tanya Nina pada seseorang.

Stevina menoleh. Ingin melihat dengan siapa Nina berbicara.

Ternyata Revin. Ia duduk di sana seorang diri. Revin menghampiri mereka.

"Gue cuma mau mastiin kalau kalian semua baik-baik aja."

Nina melirik Stevina. Rupanya Stevina dan Revin tengah beradu tatapan.

"Ohh, semua ya? Kirain seseorang," goda Nina. "Eh, yuk Vin kita pesen makan."

Nina menarik Stevina pergi dari hadapan Revin. Sementara Revin langsung bergabung dengan Nino dan Rendi. Ia berniat menunggu sampai Stevina selesai makan.

Hanya sekitar dua puluh menit, semua sudah selesai.

"Yok... Pulang.. Pulang.."

"Bye Stevina."

"Hati-hati Nin."

"Sipp.." Nina memeluk Rendi dari jok belakang motor dengan erat. "Nikmati angin malam dulu. Byee.."

Stevina menoleh ke sekeliling. Ia mencari namun tidak menemukan orang yang ia cari. Stevina menghela napas. Mungkin Revin sudah pulang. Ia melupakan hal itu dan bergegas menghampiri motornya. Stevina merogoh kantong roknya.

"Loh.." Seketika Stevina panik. Kunci motornya tidak ada.

Stevina baru ingat. Tadi motornya itu dipindahkan oleh Rendi. Ia lupa meminta kembali kunci motornya. Rendi juga sepertinya lupa.

Stevina merenung. Ia berniat meminta tolong kepada pemilik warung markas Revin itu.

"Ada yang bisa aku bantu?" Tanya sebuah suara.

Stevina menoleh. "Re.. Revin? Kamu.. Aku pikir kamu udah pulang."

Revin mendekati Stevina. "Motor kamu.. Ada masalah?"

"Em.. Itu.. Kunci motorku.. Kunciku di Rendi."

"Pulang bareng aku aja."

Stevina menunduk. Ia merasa gugup.

"Sebentar."

Revin berjalan mengambil motornya. "Ayo naik," ujar Revin.

"Aku.. Ga ngerepotin kamu kan?"

"Khusus buat kamu ga ada kata ngerepotin."

Stevina menunduk malu. Revin menatap Stevina menunggu jawaban. Setengah menit terdiam, akhirnya ia mau pulang bersama Revin. Stevina menaiki motor dengan hati-hati.

Revin menarik tangan Stevina untuk memeluknya. Jantung Stevina seketika berdebar.

"Kita jalan sekarang."

"Iya Revin."

Sepanjang perjalanan, Stevina tidak melepas pelukannya. Ia benar-benar merindukan saat-saat seperti ini. Rasanya seperti bertahun-tahun lamanya hal ini berlalu. Dalam diamnya, Revin juga cengar-cengir bahagia dari balik helmnya.

❄️❄️❄️

"Mau makan apa?" Tanya Revin.

Stevina melihat sekeliling mall. "Sushi deh," ujarnya.

"Tapi aku kok pengen burger ya," ujar Revin.

"Aku punya ide!" Seru Stevina.

"Apa tuh?"

"Ayo kita suit."

Revin tertawa renyah. "Hmm.. Cerdas juga."

"Kalau aku menang, kita makan sushi. Kalau kamu menang, let's eat burger. Deal?"

"Deal," sahut Revin penuh semangat.

"Let's start. Batu gunting ker..."

Stevina memberikan batu, dan Revin kertas. Stevina melempar senyum penuh kemenangan. Revin melongo pasrah.

"Uhm... Sushi sudah menunggu nih."

"Ehh ulang-ulang. Ini belom apa-apa

Lima kali suit gimana?" Tawar Revin.

"Kalah ya kalah aja Vin.." Stevina mencubit kedua pipi Revin gemas.

"Takut ya?" Ejek Revin.

"Ihh.. Aku berani ya. Yaudah ayok."

"Itu baru Stevina."

Tepat lima kali suit, Stevina unggul tiga poin. Revin hanya menang dua kali.

"See? I win.." ucap Stevina bangga sambil menunjuk jarinya yang membentuk batu. Revin mencubit kedua pipi Stevina.

"Yaudah ayo sushi."

"Hmm.. Gimana kalau aku beli sushi, kamu beli burger. Makannya di apartemen aja."

"Serius?" Tanya Revin antusias.

"Serius dong."

"Okey, ayok." Revin memegang tangan Stevina menuju sushi dan burger.

"Revin, Stevina."

Vin couple menoleh. Stevina terkejut melihat siapa yang ada di belakang mereka.

Sandra dan Cheryl!

Revin mendekat. "Mama?"

"Kalian mau kemana?" Tanya Sandra.

"Kita mau makan sushi ma," jawab Revin.

"Wah, kebetulan mama juga nih. Gimana kalau kita makan bareng?"

Revin melirik Stevina. Ia menyerahkan keputusan pada gadis itu. Stevina menatap Revin sambil berpikir sebelum akhirnya ia mengangguk setuju.

Revin dan Stevina berjalan mengikuti Sandra. Cheryl yang digendong tersenyum lugu sambil memanggil-manggil Stevina. Stevina menatap Cheryl yang kini sudah akrab dengan Sandra. Ternyata Sandra berhasil mendekati Cheryl.

Di tempat makan, Cheryl meminta duduk dipangku Stevina. Gadis kecil itu melirik Revin dan tersenyum menunjukkan rentetan giginya. Stevina baru menyadari adik tirinya itu sangat ramah dan cepat akrab.

Tiba-tiba, datang seorang ibu dan dua orang anak gadisnya. Mereka ternyata kerabat Sandra dan tampak begitu antusias bertemu. Sandra mengajak mereka ikut duduk bersama.

"Ini anak-anak kamu?"

"Iyaa. Mereka bertiga anak-anakku," ucap Sandra sambil melirik Stevina.

Revin melirik ibunya yang terlihat senang setelah mengucapkan kalimat itu. Stevina hanya bisa tersenyum kecut.

"Stevina," ucap Stevina memperkenalkan diri.

"Revin," lanjut Revin.

"Ini, anakku yang paling kecil namanya Cheryl," ujar Sandra sambil mengambil Cheryl dari pangkuan Stevina.

"Wah, Revin boleh nih dijodohin sama anakku."

Anak-anak gadis wanita itu tampak malu-malu karena perkataan ibunya.

"Saya punya calon istri tante," ujar Revin lantang. Ia melakukan ini untuk Stevina.

Sandra dan Stevina melirik Revin bersamaan.

Revin menyentuh tangan Stevina di atas meja. "Ini Stevina, dia calon istri saya. Dia menantu ibu saya. Karena itu ibu saya bilang Stevina ini anaknya."

Stevina menahan tangis mendengar pernyataan Revin. Sementara Sandra terlihat memaksakan diri untuk tersenyum. Revin menatap Stevina seolah berkata 'Tenang, semua baik-baik aja kok.'

❄️❄️❄️

Tok.. Tok..

Angelina membukakan pintu.

"Hei.." Sapa Angelina begitu melihat Revin dan Stevina yang baru pulang dari jalan-jalan.

"Malam tante," sapa Revin yang masih gugup bertemu Angelina.

"Ayo masuk masuk."

Angelina bergegas menuju kulkas untuk menyiapkan hidangan.

Stevina mengajak Revin duduk di balkon.

"Eh bentar. Aku mau taruh tas."

"Okeyy.."

Saat berpapasan, Angelina langsung menggoda Stevina dengan sengaja batuk-batuk kecil sambil melempar senyum simpul.

Sementara yang digoda hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

Stevina memasuki kamarnya dan langsung meletakkan tas selempang berwarna cream itu di atas nakas. Ia buru-buru kembali ke balkon. Tapi ia teringat sesuatu. Sebuah ide terlintas di benaknya.

Stevina berlari kecil menuju meja rias. Ia menyemprotkan sedikit pewangi rambut, parfum, dan tak lupa mengoleskan sedikit lip cream.

Setelah merasa cantik, harum, lengkap dengan percaya diri, Stevina bergegas menuju balkon untuk menemui Revin.

Ia berpapasan lagi dengan Angelina.

"Hum... I like your style. So fragrant."

"Well, glad to hear that mom."

Ibu dan anak itu terkekeh bersama.

"Yaudah ayo ke balkon," ajak Angelina.

"Revin." Stevina menyentuh bahu Revin.

"Hei.."

Angelina meletakkan nampan berisi camilan dan minuman untuk Revin dan Stevina. "Tante masuk dulu ya."

"Iya tante."

Begitu Angelina masuk, Revin melirik Stevina. "Udah lama banget aku ga ke sini."

Stevina melirik Revin. Ia tidak menjawab. Stevina beranjak bangun menuju pagar balkon. Ia menghela napas menikmati udara malam.

Revin menyusulnya. "Kalau aku boleh tau, kamu mau lanjut kemana? Jurusan apa? Kamu udah pikirin itu matang-matang?"

Stevina mengangguk. "Aku pengen kerja di rumah sakit. Mama juga udah setuju."

"Bagus kalau gitu." Revin membelai kepala Stevina. "Ada yang mau aku omongin," ujar Revin.

Stevina melirik Revin. Ia menunggu Revin melanjutkan kata-katanya.

"Aku.. Harus berangkat ke Australia."

Senyum Stevina mendadak pudar. "Australia?"

"Iya. Aku harus ke sana nyelesaiin pendidikan."

Stevina mengalihkan pandangan. "Bagus dong. Aku ikut seneng kamu bisa ngerasain pendidikan di luar negeri."

"Stevina.." lirih Revin.

Stevina membuang muka. Air matanya mengalir. Kali ini Stevina kalah. Ia tidak bisa menyembunyikan tangisnya di depan Revin.

Ditinggal pergi oleh orang yang disayang adalah hal yang sering terjadi dalam hidup Stevina. Tapi kalau Revin yang meninggalkannya, ia tidak yakin dunianya akan baik-baik saja.

Tapi bagaimanapun juga, pendidikan tetap nomor satu. Stevina melawan perasaannya dan berusaha berpikir rasional. Ia tidak boleh egois. Revin juga harus mendapatkan yang terbaik. Dan ini adalah kesempatan emas Revin untuk belajar di luar negeri.

Revin tahu Stevina tengah menangis. Revin tertunduk sedih.

"Stevina.." panggil Revin. Ia menyentuh lembut pipi Stevina. "Liat aku."

Stevina menoleh. Revin mencium kening Stevina.

"Aku bakal selesain pendidikanku secepatnya. Aku pasti balik ke kamu."

Stevina tetap tidak bisa berkata-kata. Ia menatap Revin sebentar, lalu mendekap tubuh Revin begitu erat.

Revin memeluk erat Stevina. "Aku bakal kangen kamu."

Angelina yang sedang asyik membaca majalah, berniat melihat Revin dan Stevina. Dari kaca, Angelina melihat Revin yang sedang bermain ukulele sambil menyanyikan lagu Heat Waves. Stevina, putrinya itu terlihat menatap Revin tanpa berkedip.

❄❄❄

Lisa melirik Stevina yang merenung. Ekspresi Stevina membuatnya tertegun. Lisa tidak tahu bagaimana cara menghibur Stevina. Ia memandangi jalan di depannya yang sedang macet. Mobil dan motor sama-sama berebut ingin jalan lebih dulu. Seketika Lisa punya sebuah ide.

"Stevi, gue punya cerita."

"Hmm??"

Jadi waktu itu di wastafel gue ada tiga piring. Satunya piring gue, satunya bokap, satunya abang gue. Nah, tapi gue cuma cuciin piring gue sama bokap. Lo mau tau ga alasan gue lakuin itu?"

"Gimana tuh?"

"Ya gue maklum sama bokap yang udah capek kerja, terus gue juga dapet duit, bisa sekolah, bisa makan, bisa punya tempat tinggal berkat bokap. Ya kali cuciin piringnya doang berasa beban? Nah kalau abang gue apaan? Sama-sama beban ga bisa kasi gue duit sok-sokan cuci piring sebiji doang ga mau."

Stevina terkekeh mendengarnya. "Bisa juga lo. Tapi masuk akal sih."

"Ya dong. Ehh, ini bandara lurus?"

"Kiri kiri.."

Perjalanan ke bandara memakan waktu yang cukup lama.

Tiba di sana, Stevina langsung berlari. Ia takut telat menemui Revin.

"Stevina, pelan-pelan ihh ga usah pake lari segala!" Seru Lisa.

Stevina tidak menggubris Lisa. Fokusnya hanya untuk mencari Revin.

Syukurnya, ia bisa menarik napas lega. Stevina melihat Revin masih duduk menunggu. Stevina berjalan pelan menghampiri Revin. Lisa mengekori Stevina.

Ada Sandra dan juga Antonio yang menemani Revin di sana. Sebenarnya Stevina sedikit ragu begitu melihat kehadiran dua orang itu.

Melihat Revin yang bangun dan menarik kopernya, Stevina langsung berlari. "Revin..." Panggilnya.

Revin menoleh. Stevina berlari menghampirinya.

"Stevina.." lirih Revin. "Akhirnya kamu dateng juga."

Stevina langsung memeluk Revin. Tak peduli walau ada Antonio dan Sandra di sana.

Revin membalas pelukan Stevina. "Kamu baik-baik di sini ya. Tungguin aku."

"Revin, silakan berangkat," tegas Antonio. Ia benar-benar terlihat tidak suka dengan Stevina.

Mewakili Stevina, Lisa melirik sebal tuan Antonio.

Stevina melepas pelukannya. "Bentar Revin." Stevina mengeluarkan sebuah bungkusan dari tasnya.

"Ini buat kamu." Stevina langsung memasukkannya ke ransel Revin.

"Kamu boleh buka di pesawat."

Revin mengangguk. "Aku berangkat dulu," pamitnya.

Stevina mengangguk menahan tangis.

Revin membelai lembut kepala Stevina. "Jaga kesehatan kamu." Revin menarik kopernya dengan berat hati.

Sandra menatap Stevina iba. Sedangkan Antonio menatapnya tak suka.

"Ayo ma." Antonio menarik Sandra agar lekas pergi.

Stevina menatap punggung Revin yang semakin mengecil. Sesekali Revin berbalik badan menatap Stevina yang berjarak semakin jauh darinya sambil melambaikan tangan. Tak terasa Stevina meneteskan air mata.

"Stevina, yuk pulang." Lisa menarik tangan Stevina.

Dari kejauhan, Revin menghentikan langkahnya. Ia kembali berbalik badan melihat Stevina. Melihat gadis itu yang sudah berjalan menjauh, Revin mengejarnya.

Stevina yang merasakan ada yang akan menghampirinya, ikut berbalik badan. Ia melihat Revin yang berlari menghampirinya. Lisa melepas pegangan tangannya begitu Revin mendekat dan langsung memeluk sepupunya itu.

"Tungguin aku ya, jangan cari pacar baru."

"Ga akan Revin. Aku pasti tunggu kamu di sini."

Lisa sebenarnya ikut sedih. Ia terdiam menyaksikan Stevina dan Revin.

"Revin, nanti kamu ketinggalan pesawat," beritahu Stevina.

Revin mengangguk. Kali ini ia benar-benar pergi.

Di dalam pesawat, Revin membuka bungkusan pemberian Stevina.

Isinya adalah sebuah jaket dan sebuah bingkai foto berisikan foto mereka berdua saat berpose memakan es krim di sekolah. Revin menunduk menahan sedih dan terharu. Meninggalkan Stevina, membuat dirinya sendiri yang menderita.

❄️❄️❄️

Dua minggu awal, Stevina benar-benar terpuruk. Ia seperti orang yang tidak punya energi. Tapi Angelina, Lisa, dan Nina, mereka selalu ada untuk Stevina di masa terpuruknya itu.

Revin juga selalu menghubunginya tiap hari. Tapi hal itu malah membuat rasa rindunya semakin berkecamuk.

Hingga tiba suatu sore yang sepi, ditemani hujan yang membuatnya terjebak nostalgia dan membuat rindunya menjadi semakin parah. Stevina hanya bisa menenangkan diri dengan bermain piano. Ia tertunduk lemas di tuts pianonya.

Sementara jauh di sana, tepatnya di Negeri Kanguru, Australia.

Revin memandangi butiran-butiran salju dari balik jendela kamarnya. Tangan kanannya menggenggam bingkai foto mereka berdua.

Revin melirik foto Stevina sekali lagi, sebelum ia harus kembali beraktivitas.

❄️❄️❄️

Baru setelah beberapa tahun, Stevina akhirnya sanggup menjalani hari dengan sedikit ceria.

Sampai suatu hari di sebuah laboratorium Mikrobiologi, Stevina sudah selesai berkutat dengan cawan petri yang berisikan bakteri. Ia meninggalkan laboratorium Mikrobiologi dan bergegas menuju laboratorium Patologi Klinik. Ada beberapa sample darah yang belum selesai ia kerjakan di sana.

Stevina melepas handscoon yang ia kenakan dan langsung membuangnya untuk mencegah kontaminasi. Belum saja memulai, Stevina dikagetkan dengan ponselnya yang berdering. Ternyata Nina yang menelepon.

"Iyaa Nin?"

Hei Stevina. Gimana nih prakteknya? Udah kelar belum?

"Ini lagi dikit selesai kok. Masih ada sample darah. Gue juga belum buat laporan."

Okey deh. Semangat bu analis. Ntar kalau udah selesai gue jemput.

"Okey, tiga puluh menit lagi selesai."

Okey, berarti lima menit sebelum itu gue otw deh. Biar lo ga kelamaan nunggu.

"Boleh."

Tepat setelah tiga puluh menit, Stevina sudah menyelesaikan semua. Ia lega hari ini prakteknya di sebuah laboratorium rumah sakit berjalan lancar. Ia berpamitan dengan para seniornya sebelum pulang.

Di parkiran, rupanya Nina sudah tiba. Stevina bergegas menghampiri mobil Nina.

Tok.. Tok

Stevina mengetuk kaca mobil Nina.

"Hei.." Nina langsung membukakan pintu mobil.

"Gimana nih tadi kuliah lo?"

"Tadi aman sih. Tapi akhir-akhir ini gue stres parah. Dosen ga mau ngasi tenang sehari aja. Tugas ngalirnya lancar banget kaya aliran sungai sebelah rumah."

"Ahahahhaha. Tumben nih denger lo ngeluh begini. Tapi nilai aman kan?"

"Syukurnya nilai gue aman dan ga ada ngulang kelas."

"Great."

"Eh btw, entar gue ikut ganti baju di kamar lo ya."

"Okey.."

❄️❄️❄️

Di apartemen, Stevina dan Nina pamit pergi kepada Angelina.

"Hati-hati ya."

"Iyaa tante."

"Berangkat ya ma," pamit Stevina.

"Hati-hati. Kalian jangan lupa berdoa."

Stevina dan Nina mengangguk.

"Yuk."

Keduanya bergegas turun menuju basement. Di sana, Rendi dan Nino sudah menunggu.

"Ehh Stevina. Dah lama nih ga ketemu. Kabar lo gimana?" Tanya Nino.

"Hei Nino. Kabar gue baik. Kabar lo gimana?"

"Yaa.. Kabar standar," ujar Nino.

"Apaan kabar standar?" Tanya Nina.

"Ga baik tapi ga buruk," jawab Nino.

"Yaelah ada-ada aja lo."

"Ehh tau ga, nanti kita bakal ketemu sama sepupunya Stevina. Kali aja jodoh sama Nino," kelakar Rendi.

Nino geleng-geleng pasrah.

Nina melirik Stevina. "Emang lo setuju ni orang sama sepupu lo?"

Stevina malah tertawa tanpa menjawab.

"Ngomong-ngomong muka lo kenapa pucet No? Deg-degan mau ketemu sepupu Stevina?" Ejek Nina.

"Fitnah lo," ketus Nino.

"Tadi dia abis sok baik bantuin bokapnya renovasi rumah," jawab Rendi.

"Gue memang anak yang berbakti. Lo aja yang baru sadar."

"Ohh!!"

"Yaudah yuk gas cari bus."

Mereka memutuskan untuk berkeliling menaiki angkutan umum saja.

Di bus, Stevina bergerak kurang cepat sampai ia tidak kebagian tempat duduk. Ia harus berdiri sambil memegang handle grip.

"Eh Nino, kasian tuh Stevina. Lo ngalah kek," pinta Nina.

Nino sudah bersiap-siap hendak berdiri. Tapi..

"Ehh ga gitu Nina. Udah Nino lo duduk aja. Gue tau lo masih capek abis bantu renovasi rumah."

"Seriusan lo Vin?" Tanya Nina.

"Oh c'mon.. Liat gue. Gue ga capek, ga berkebutuhan khusus, masih muda, dan ga hamil. Kenapa gue harus duduk dan Nino berdiri? It's not fair guys."

"Na.. Yang begini gue salut. Empati dan simpati ga cuma ke sesama gender, tapi ke sesama manusia." Rendi mengacungkan jempol untuk Stevina.

Sementara Nino terdiam kagum.

"Ngomong-ngomong, lagi sepuluh menit kan?" Tanya Stevina.

"Iyap. Paling lambat sepuluh menit," jawab Nina.

"Okey."

❄️❄️❄️

"Surga banget ini mah.." Nina kegirangan melihat berbagai kuliner pinggir jalan yang terpampang tepat di depan matanya.

"Kita mau makan apa nih?" Tanya Rendi.

"Gue mau semua yang ada di sini. Ketoprak, dadar gulung, baso aci, semua mau.." jawab Nina antusias.

"Beli tahu gejrot gimana?" Usul Nino.

"Eh bentar. Vin, sepupu lo jadi ke sini?" Tanya Nina.

"Katanya sih batal. Dia ada acara mendadak."

"Sabar ya Nino." Rendi menepuk bahu Nino. "Lo belum ditakdirkan ketemu jodoh lo sekarang."

"Diem ga lo Ren," ketus Nino.

Akhirnya mereka berpisah. Nina bersama Stevina, dan Rendi bersama Nino. Selera mereka memang berbeda.

Hanya saat membeli minuman saja, semua sepakat membeli minum yang sama. Yaitu jus mangga. Mereka sama-sama menuju stand minuman yang menjual jus mangga.

"Seger banget. Udah lama gue ga minum jus-jusan," celetuk Nina.

"Gue juga jarang," sahut Stevina.

Tiba-tiba, seorang anak kecil yang berlari kencang menabrak Stevina. Alhasil jus mangga Stevina terjatuh. Stevina juga hampir terjatuh, tapi Nino dengan sigap menahan tubuh Stevina.

Anak kecil itu hanya menoleh sebentar dan lanjut berlari.

Nina terkekeh. "Bener-bener tuh bocil."

"Kak, pesen jus mangga satu ya." Nino memesankan lagi minuman untuk Stevina.

"Makasi Nino," ujar Stevina.

Nina dan Rendi saling melempar tatapan datar. Mereka sama-sama mempunyai pikiran yang sama tentang Nino yang bersikap tidak seperti biasa kepada Stevina.

Tiba-tiba, seorang fotografer menghampiri mereka.

"Stevina.. Barjoli?" Tanya fotografer perempuan itu. Sepertinya beberapa dari mereka yang bekerja di media mengenal Stevina.

"Iya. Saya Stevina."

"Wah.. Kebetulan banget kak. Saya lagi ada job buat take video sama gambar juga. Kalau ga keberatan, apa kakak dan teman-teman kakak boleh ikut di konten saya?"

"Oh.. Boleh banget," jawab Nina antusias sambil merapikan rambutnya. "Sesekali nih jadi model kaya Stevina."

Walau awalnya sedikit ragu, akhirnya semua sepakat.

"Kalian berdua dapet chemistry banget ya," ujar fotografer itu kepada Nina dan Rendi.

"Mereka memang pacaran," celetuk Nino.

"Oohh... Pantes aja. Boleh ga kak, next take kakak berdua aja?" Pinta fotografer itu kepada Nina dan Rendi. "Bebas aja kak. Ceritanya jalan sambil ngobrol gitu. Sedikit pamer kemesraan juga boleh banget."

"Boleh sih. Tapi biar adil Stevina sama Nino temen saya nanti selanjutnya gitu juga ya," pinta Rendi.

Stevina terbelalak kaget. "Rendi.."

Sementara Nina merasa sedikit ngeri dengan permintaan Rendi.

Si fotografer langsung melirik Stevina dan Nino. Ia sepakat dan mengatakan kalau Stevina dan Nino tampak cocok.

Stevina termenung sesaat. "Emm.. Mungkin bisa berempat aja kali ya. Maaf tapi.. ada someone di sana yang.. Em.."

"Oohh.. Iya paham paham." Fotografer itu tampak mengerti.

Nina melirik Rendi. "Makanya jangan asal ih."

"Ya maaf."

Selesai membantu fotografer itu membuat konten, mereka berempat melanjutkan perjalanan menuju Central Park.

❄️❄️❄️

"Seriusan nih? Wahh, style gue harus eyecathcing nih," ujar Nina antusias.

"Ada kenapa?" Tanya Nino.

"Buka grup alumni SMA deh. Mau ada reuni loh."

"Ohh iyaa.." sahut Nino.

"Pas banget kita lagi di sini. Stevina, ayo shopping buat reuni."

Nina dan Stevina meninggalkan Rendi dan Nino yang tengah duduk-duduk santai sambil menikmati pemandangan malam di antara gedung-gedung pencakar langit.