Sesekali Stevina menatap layar ponselnya sambil berharap. Kemudian memejamkan mata dengan pasrah.
Nina yang melihat gelagat Stevina sedari tadi, akhirnya menyadari keresahan Stevina. "Lo kenapa Vin?"
Stevina tampak ragu untuk mengatakannya. Walau akhirnya ia tetap jujur.
"Revin.. Udah seminggu dia ga ngabarin gue."
Nina termenung. "Emm.. Coba lo telepon dia deh."
"Nomornya ga aktif. WhatsApp juga centang satu. Kalau Instagram.. Gue rasa, gue diblokir. Hhh... Aneh ya?" Stevina malah tersenyum palsu.
Nina termenung mendengarnya.
"Ehh iya, gue ganti baju dulu. Bentar lagi mulai kan?" Tanya Stevina.
"Iyaa. Jam 7," jawab Nina.
"Okey." Stevina meninggalkan balkon menuju kamarnya.
Tak lama, Stevina keluar kamar dengan mengenakan halter neck top berwarna hitam. Ia juga mengenakan jaket kulit hitam. Jaket yang selalu mengingatkannya akan Revin.
"Yuk berangkat."
"Yuk."
❄️❄️❄️
Tempat makan bernuansa green roof itu menjadi tempat pilihan untuk reuni. Stevina memaksakan dirinya agar bisa terlihat ceria nan bahagia.
"Stevina, bentar ya, gue ada perlu bentar sama Rendi."
Stevina mengangguk.
Nina berlari menghampiri Rendi yang tengah berbincang dengan teman-teman.
"Ren.. Sini bentar," panggil Nina.
"Eh, bentar ya. Cewek gue manggil."
"Yoi.. Lanjut lanjut."
"Kenapa Nin?"
Nina menoleh ke arah Stevina yang sedang duduk seorang diri dengan segelas Mojito di tangan kanannya.
Nina membisikkan sesuatu kepada Rendi. Mendengar itu, Rendi melirik Stevina sambil garuk-garuk kepala. Ia kebingungan harus bagaimana.
"Gimana dong?" Tanya Nina.
Rendi tak menjawab.
"Yaudah, kita pikirin nanti." Nina kembali menyusul Stevina.
"Stevina.. I'm coming.."
"Heh.. Revin mau dateng tuh," celetuk seseorang entah siapa.
Stevina menoleh mendengarnya.
"Hah? Serius? Kapan Revin datang ke Jakarta? No no. Maksud gue.. Dia udah di Jakarta tapi ga bilang sama gue?" Tanya Stevina bertubi-tubi. "Dan temen-temen tau lebih dulu daripada gue?"
Nina menunduk tidak bisa menjawab.
Perasaan Stevina campur aduk. Ia bahagia karena Revin datang, juga kesal dan bingung dengan Revin yang tiba-tiba berubah.
Stevina menoleh ke arah pintu masuk restoran. Jantungnya berdebar-debar menunggu Revin. Pandangannya tak henti menoleh ke arah sana. Stevina beranjak bangun dari kursinya. Ia berjalan dua langkah saking tidak sabarnya menunggu.
"Nah.. Dateng juga akhirnya," ujar Rendi heboh.
Sosok itu tiba!
Kedua bola mata Stevina menyiratkan sorot mata bahagia. Perlahan, senyum terukir di wajahnya. Bola mata Stevina sedikit berkaca-kaca saking bahagianya.
"Revin.." lirih Stevina. Rasa kesalnya sirna begitu melihat orang yang ia cintai, setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya datang kembali kepadanya.
Tapi kebahagiaan itu sirna seketika. Senyum Stevina luntur ketika melihat seseorang yang ada di belakang Revin. Seorang perempuan yang terlihat begitu gugup, berjalan pelan di belakang Revin.
Apa lagi ini sekarang? Bahkan hubungan Revin dan Stevina masih belum ada kejelasan akan bagaimana. Dan sekarang Revin sudah memiliki sosok pengganti dirinya?
Revin langsung menghampiri Rendi dan teman-teman.
"Re-vi-no Col-dy," eja Rendi. "Gimana nih di Australia?"
"Enak tinggal di sana atau di sini Vin?"
"Di sana ada seblak ga sih?"
Teman-teman mulai heboh menghujani Revin dengan berbagai pertanyaan.
"Ehh, siapa tuh?"
"Oh iya. Kenalin. Ini Lona. Tunangan gue."
"Buset, temen gue udah mau nikah aja."
Revin dan teman-teman tampak tertawa bahagia.
Sementara Revin dan teman-teman tertawa bahagia, Stevina meneteskan air mata di ujung sana. Hatinya seperti tercabik-cabik. Sekarang semua kebingungannya tentang Revin sudah terjawab. Syukur saja hanya Nina yang melihatnya menangis. Tempat duduknya dan tempat Revin duduk cukup jauh.
Nina menyentuh bahu Stevina pelan. "Hei.. Can I help you?" Nina bisa merasakan kesakitan Stevina.
Stevina mengusap air matanya. "No.. It's fine."
Niat hati ingin datang reuni untuk menghibur diri, tetapi malah sakit hati yang Stevina terima.
Kehebohan terdengar di meja Revin dan teman-teman. Entah apa yang mereka bahas. Stevina tidak sengaja menoleh.
"Calon gue memang cantik dong," ujar Revin sambil merangkul pundak gadis itu.
Melihat hal itu, Nina ikut sedih dan cemas.
Air mata Stevina menetes tanpa aba-aba melihat hal itu. Stevina buru-buru mengusap air matanya.
"Permisi kak.Waffle cokelatnya." Seorang pelayan tiba-tiba datang.
Refleks, Stevina menoleh. "Ah iyaa."
Revin melirik ke arah Stevina. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Stevina. Tetapi yang ia lihat hanya saat Stevina tersenyum berterima kasih kepada pelayan itu. Revin tidak melihat ketika Stevina meneteskan air mata.
Seketika Stevina teringat janji Revin yang mengatakan kalau ia menyakiti Stevina, sengaja atau tidak, ia akan mati. Tapi Stevina segera menepis ingatan itu.
Rendi melirik ke arah Nina dan Stevina. Ia juga merasa tidak tega dengan Stevina.
"Stevina," panggil Nina.
Stevina menoleh.
"Nanti abis acara anterin gue beli sesuatu yuk. Habisin makanan kita dulu."
"Okey boleh."
Akhirnya empat jam sudah berlalu. Beberapa tampaknya sudah bersiap-siap untuk pulang. Stevina dan Nina juga sudah berencana untuk meninggalkan acara.
Stevina dan Nina berpamitan dengan teman-teman.
Sementara Revin dan teman-temannya masih tampak asyik.
"Lanjut Lona. Terus di Australia itu dosennya gimana? Kalian satu kelas kan?"
"Dosennya asyik sih. Mereka tuh.."
Lona dan teman-teman Revin melanjutkan obrolan seru mereka.
Revin menoleh melihat Stevina yang berjalan pulang bersama Nina.
❄️❄️❄️
"Makasi udah nganterin gue pulang," ujar Nina.
"Iyaa," jawab Stevina singkat.
Nina membuka pintu mobil. "Bye."
Stevina iseng menoleh ke bangku belakang. Ada barang belanjaan Nina yang tertinggal. Stevina mengambilnya dan langsung keluar mobil menghampiri Nina.
"Nin, barang lo ketinggalan."
Nina yang tengah membuka gerbang langsung menoleh. "Ehh.. Astaga lupa."
"Yaudah. Gue balik dulu." Stevina berjalan cepat menuju mobilnya.
"Stevina tunggu," panggil Nina.
Stevina menoleh.
"Sebenernya... Lona itu sepupu gue." Suara Nina terdengar gemetaran.
"Lona? Siapa dia?"
"Cewek asing di acara tadi." Nina menghela napas. "Sebenarnya Revin.. Dia udah dijodohin. Dia.. Dijodohin sama Lona, sepupu gue. Cewek yang dibawa sama Revin tadi."
Stevina speechless. Lagi-lagi hal menyakitkan yang harus ia dengar.
"Dan itu buat dia kesusahan buat ngehubungi lo. Sebenarnya sebelum dia ga ngehubungin lo lagi, dia berusaha supaya tetep bisa komunikasi sama lo. Sampai akhirnya dia udah bener-bener ga bisa hubungi lo lagi. Gue juga ga tau kenapa, apa yang terjadi, tapi yang jelas Om Antonio itu dalangnya."
Nina mendekati Stevina. "Sebenarnya waktu kita jalan berempat bareng Nino, dia pernah nelpon Rendi pakai nomor asing. Dia bilang, dia kangen dan mau ngomong sama lo buat jelasin semuanya. Tapi, waktu itu gue ngelarang."
Stevina menatap wajah Nina. Seolah bertanya mengapa.
"Lona cerita sama gue, kalau dia tuh bener-bener sayang sama Revin. Dan.. Mereka juga udah tunangan. Kalau gue biarin lo tetep berhubungan sama Revin, itu sama aja dengan gue mengkhianati Lona."
Nina memegang pergelangan tangan Stevina. "Stevina maafin gue. Di sini gue juga bingung. Gue gatau harus gimana."
Stevina berusaha menahan kesedihan yang bertubi-tubi menyerangnya hari ini. Ia berusaha ikhlas.
Stevina menghela napas. "Gue ngerti kok. Lo ga usah khawatir. Tentang Revin, gue bakal berusaha ikhlas. Mungkin jalannya gue memang bukan sama dia."
"Stevina.." Lirih Nina. "Kenapa lo bisa sekuat ini?" Tanya Nina sedih.
"Biasanya kalau ikhlas, pasrah, atau sabar, itu bisa buat hal yang kita hadapi jadi lebih ringan. Coba deh."
"Tapi.. Gue cuma menyayangkan satu hal. Lo tau apa yang terjadi, tapi lo diem aja," lanjut Stevina.
Nina menunduk. "Maafin gue."
"Gapapa Nina. Gue pulang dulu ya."
"O.. Okey. Hati-hati."
Stevina memasuki mobilnya. Ia melambai sebentar ke arah Nina yang tengah menatapnya dengan sendu.
Seperti paham kesedihan Stevina, malam itu langit menurunkan hujannya. Sepanjang perjalanan, Stevina menangis seorang diri di dalam mobilnya. Ia berhenti di pinggir jalan, memegangi dadanya sambil menangis.
❄️❄️❄️
Stevina tiba di basement dengan wajah lelah karena terlalu banyak menangis. Ia keluar mobil dengan kondisi letih.
"Pergi tanpa pamitan itu ga sopan."
Stevina terkejut mendengar suara yang tidak asing itu. Ia menoleh. "Revin?"
Stevina berlalu melewati Revin begitu saja tanpa mengatakan apa-apa.
"Abis darimana?" Tanya Revin. Stevina tetap berjalan tanpa menjawab.
Revin menarik tangan Stevina dan memeluknya. "Aku kangen."
Stevina berusaha melepas pelukan tapi Revin menahan tubuh Stevina.
"Kenapa kamu harus sama temenku sendiri?!" Seru Revin.
"Maksud kamu apa?"
"Kemarin aku baru sampai di Jakarta. Aku langsung cari kamu. Aku telepon kamu tapi ga diangkat. Aku tanya Nina, ga dijawab. Tanya Rendi, berjam-jam dia baru bales. Dia ngasi tau aku kalian dimana. Tapi di sana aku malah ngeliat kamu sama Nino, sampai fotografer itu datang. Kalian berdua have fun kan?"
Stevina sekarang paham. Kenapa Revin tidak berusaha menghubunginya dan sengaja membuatnya cemburu di acara reuni tadi.
"Apa yang kamu liat, itu belum tentu sesuai sama apa yang kamu pikir. Aku ga ada apa-apa sama Nino. Aku serius."
"Oh ya?"
Stevina menghela napas. "Ridicolous. Sebenarnya ini ga perlu dijelasin. Hubungan ini juga udah berakhir." Stevina berlalu.
"Kamu ga bisa mutusin hubungan sepihak."
Langkah Stevina terhenti. Ia menoleh. "Mutusin sepihak gimana? Kamu aja mau nikah sama orang lain."
"Tapi aku ga setuju. Pernikahan harus ada persetujuan dua belah pihak," ujar Revin.
"Juga restu orang tua," imbuh Stevina. "Udah deh. Aku mau istirahat."
Revin menghalangi Stevina pergi. Ia menarik Stevina. "Ga peduli kamu mau suka sama siapa, jangan pikir kamu bisa lepas dari aku."
"Revin sadar! Hubungan ini ga ada restu dari orang tua kamu. Mereka bahkan udah jodohin kamu sama perempuan lain."
"Aku ga peduli itu semua."
"Kamu lupa satu hal Revin. Ayah kamu, dia dulu suami ibuku. Dia selingkuh sama ibu kamu, dan akhirnya mereka nikah. Coba kamu pikir deh, hubungan kita ini konyol."
Kali ini Revin tak berkutik. Stevina berlalu meninggalkan Revin.
❄️❄️❄️
"Lo pesen dessert apa?" Tanya Lisa.
"Red velvet."
"Yaudah bentar. Biar gue yang mesen. Lo cari tempat duduk."
Stevina mengangguk. Matanya mengitari sekeliling mencari tempat duduk yang kosong.
Di sudut ruangan, Stevina terkejut melihat Rendi dan Nino ada di sana. Stevina menghampiri mereka berdua.
"Hai.."
"Eh.. Stevina.." Nino tampak kikuk.
"Eh... Stevina. Duduk sini aja bareng kita," ajak Rendi.
"Iyaa boleh."
"Lo dateng sama siapa?" Tanya Rendi.
"Sama sepupu gue."
"Waduh, udah saatnya nih," sindir Rendi sambil melirik Nino.
"Ehh lo kenapa dah?" Heran Nino.
Stevina melambai agar Lisa melihatnya. Lisa menghampiri Stevina.
"Hai. Gue Lisa."
"Gue Rendi."
"Nino."
"Kita berdua temen SMA Stevina."
"Oohh.. Gue sepupunya Stevina."
"Oh ya, Nina mana Ren?" Tanya Stevina.
"Eemm.. Dia.. Lagi itu. Bantuin Lona buat... prepare itu.." Rendi terlihat tidak enak memberitahu Stevina.
"Oh.. iya gue tau kok."
"Ehh iya, dulu kalian satu kelas sama Stevina?" Tanya Lisa berusaha mengalihkan situasi.
"Gue sih sekelas. Nino enggak."
"Gue kenal Stevina karena gue temennya Revin di OSIS."
"Ohh gitu."
Keempatnya larut dalam obrolan siang itu. Sudah cukup lama mereka mengobrol.
"Eh udah jam nih. Sekarang ga Ren?"
Rendi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Oh iya, sekarang aja keburu tutup."
"Lisa, Stevina, gue sama Rendi harus cabut. Ada urusan penting."
"Ohh okey okey."
Rendi dan Nino bergegas pergi.
Lisa melirik Stevina. "Gue mau tambah lagi deh. Lo mau ga?"
"Gue tambah dessert aja lagi dua box mini."
"Red velvet juga?"
"Yap."
"Okey."
Baru saja beberapa detik Stevina sendirian, seorang lelaki mendekatinya dan mengajak berkenalan. Saat itu kafe memang sedang sepi.
Stevina sangat malas menggubris hal tidak penting seperti itu. Ia beranjak bangun hendak menghampiri Lisa dan mengajaknya pulang saja. Tetapi lelaki itu sedikit memaksa sampai menyentuh Stevina.
"Ga usah pegang-pegang bisa ga sih?"
"Sombong ni cewek."
"Dasar goblok!" Kesal Stevina.
"Yeehh.. Bilang apa lo tadi?"
Buggg
Seseorang mendorong lelaki itu sampai terjatuh menabrak meja yang tadi Stevina dan teman-teman duduki.
Mendengar keributan, Lisa yang masih sibuk di kasir, langsung berlari menghampiri Stevina.
"Stevina.. Kenapa?" Tanya Lisa.
"Jangan ganggu cewek gue!"
Stevina melirik orang itu. Ternyata Nino. Ia kembali dan menolong Stevina dari lelaki aneh itu.
Stevina melirik tempat duduk tadi. Ada sebuah dompet yang tertinggal. Sepertinya itu milik Nino.
"Sejak kapan cewek gue jadi cewek lo?!" Hardik sebuah suara.
Nino menoleh. Begitu juga dengan Stevina dan Lisa. Nino tersentak begitu melihat Revin yang ternyata menghardiknya.
"Vin.. Maksud gue.."
Revin menarik kerah baju Nino. "Gue tegasin ke lo. Stevina cewek gue. Cewek gue!!"
Sementara lelaki yang tadi mengganggu Stevina tampak kebingungan. "Jadinya siapa pacar ni cewek?" Tanyanya.
Refleks Stevina, Revin, dan Nino melirik lelaki itu. Ia langsung bangun dan bergegas pergi.
"Revin, udah Revin," pinta Stevina.
Revin melepas kasar kerah baju Nino. Ia menuruti permintaan Stevina.
Nino langsung mengambil dompetnya yang tertinggal dan buru-buru pergi.
"Lisa, kita harus pergi."
"Yaudah ayok."
Stevina meninggalkan Revin seorang diri di sana.
❄️❄️❄️
Lisa menemani Stevina yang masih terpaku dan tidak mau turun dari mobil.
"Stevi, kita udah nyampe loh. Kita udah parkir nih. Yuk yuk.. Nanti kita harus prepare buat ke Bandung."
"Bandung." Stevina terkekeh. "Yaa.. Gue bakal ke Bandung lagi."
"Of course. Lo pasti kangen parah sama Bandung. Gue bakal nganter lo keliling Bandung. Kita jalan-jalan."
Stevina memeluk Lisa. "Thank you."
"You're welcome. Let's get out from here."
"Alright."
Baru saja mengobrol yang cukup menenangkan hatinya, mood Stevina berantakan kembali ketika melihat seseorang yang tengah berdiri di depan sebuah mobil yang berhadapan dengan mobilnya.
"Stevina Barjoli. Sudah lama tidak melihat kamu."
Stevina melirik Lisa. Ia melayangkan tatapan yang menandakan kalau ia sedang merasa terganggu.
"Siapa ya?" Tanya Lisa pada lelaki yang mengenakan jas kantor itu.
"Kamu bisa panggil saya, Om Anton. Saya ayahnya Revin."
Lisa melirik Stevina.
Tuan Antonio mendekati Stevina. "Kabar baik?"
Stevina mengangguk pelan.
"Saya ke sini cuma mau bilang, kalau Revin sebentar lagi akan menikah. Ya.. Saya harap kamu mengerti dan jangan muncul lagi di hadapan Revin."
"Om Anton, saya tipe orang yang sangat sadar diri. Ga perlu dijelasin saya pasti menghindar dengan sendirinya. Semoga anda puas dengan penjelasan saya."
Stevina berlalu disusul Lisa.
"Oh ya, tunggu sebentar Stevina."
Stevina berhenti di tempat tanpa menoleh.
"Titip salam sama ibu kamu. Bilang sama dia. Cheryl sudah di tangan yang tepat. Dia jauh lebih bahagia sama saya dan istri saya."
Stevina tersenyum kecut. Ia melirik Tuan Antonio dengan mimik wajah seakan meremehkan. Ia juga mengacungkan jempol ke bawah serta jari telunjuk dan jempol membentuk huruf L yang berarti loser.
"Sopan sekali kamu."
"Whatever, you stupid!"
❄️❄️❄️
"Kamu masih belum move on dari mantan kamu?" Ketus Lona.
Revin yang terkejut langsung meletakkan HP. "Lona, udah selesai?" Tanya Revin.
"Jawab dulu pertanyaanku."
"Ayo pulang," ajak Revin. Saat itu mereka sedang berada di markas Revin.
"Sini HP kamu. Aku mau liat mantan kamu. Aku juga mau hapus foto dia."
"Lona udah."
Lona malah menampar Revin. "Kamu tu udah mau nikah sama aku Revin. Aku tuh cinta sama kamu. Kalian pasti masih sering chat kan? Mana sih mantan kamu itu? Aku mau ngomong sama dia."
"Gue di sini."
Revin dan Lona menoleh ke sumber suara. Lona melirik perempuan yang datang mengenakan kemeja satin berwarna putih oversize dan celana pendek hitam itu.
"Stevina.." Lirih Revin.
Stevina mendekati mereka. Stevina mengambil pergelangan tangan Lona. "Kalau lo cinta sama Revin, tangan ini ga akan pernah nampar dia."
Lona melepas pegangan Stevina. Revin menatap Stevina dengan sedih.
"Lo ga usah khawatir. Kita udah ga pernah komunikasi. Gue juga bakal pindah ke luar kota."
Revin terkejut mendengar Stevina akan pergi. Tapi ia tidak bisa bertanya sekarang.
"Terus kenapa lo bisa di sini? Ga mungkin kebetulan kalian ada di tempat yang sama," ketus Lona. Ia mendorong tubuh Revin. "Kenapa lo ga bisa hargain gue?"
Stevina menatap Revin. Ia tidak terima Revin diperlakukan seperti itu. Ia melirik Lona tajam. Lona meminta penjelasan Revin sambil menepuk-nepuk dada Revin. Stevina menarik Lona.
"Tenang dikit dong. Jangan sumbu pendek," ketus Stevina. "Gue langganan di sini sejak SMA. Gue juga ga dateng sendiri."
"Ehh Stevina datang lagi. Kemarin pesen seblak. Hari ini pesen apa?" Tanya bibi.
Stevina langsung melirik Lona yang terdiam. Ucapan bibi penjual sudah menjadi bukti.
Lisa tiba-tiba masuk dan mengajak Stevina pulang. "Stevina, yuk. Satenya udah nih."
Lona lega karena Stevina tidak datang sendiri.
Stevina melirik Lona dan mendekati gadis itu. "Perusak hubungan orang bukan karakter gue. I'm a girl support girl. Lo boleh pantau Instagram gue biar lo tau gue bener-bener pergi dari sini. Lo juga bisa tanya sama Nina."
Lona terdiam. Ucapan Stevina entah kenapa membuatnya sedikit tenang. Aura Stevina juga membuatnya yakin.
Stevina menatap Revin sesaat, lalu bergegas pergi bersama Lisa.
"Dia emang cantik dan pinter. Tapi aku calon istrimu Revin," ujar Lona.
❄️❄️❄️
Nina mendekati Revin yang sudah siap dengan setelan groom.
"Revin," panggil Nina.
Yang dipanggil hanya melirik sekilas.
Nina menghela napas. "Drama kemarin-kemarin lancar kan? Lo udah pura-pura semangat mau nikah? Kalau akting lo benci sama Stevina karena dia selingkuh sama Nino, udah belum?"
"Done."
"Ya kalau gitu misi ini bakal berhasil. Orang tua lo udah ga khawatir. Terus kenapa lo sedih lagi?" Tanya Nina bingung.
"Stevina ga balas chat gue."
"Yaelah. Nanti juga ketemu. Mereka udah jalan kan?"
"Dua puluh lima menit lagi mereka sampai hotel."
"Great!"
Revin mulai bisa tersenyum.
"Yaudah, gue ke Lona dulu."
"Nina bentar."
"What?"
"Kenapa lo mau bantu gue? Bukannya Lona sepupu lo?"
"Hmm.. Simple sih. Di sini gue bukan melihat antara sepupu, atau temen gue. Di sini gua ngeliat pemaksaan pernikahan. Ini tuh menyangkut perasaan seumur hidup. Ya gue tau Lona sayang sama lo. Tapi kalau lo ga sayang sama dia, otomatis dia juga ga bakal bahagia sama pernikahan ini."
Revin menunduk.
"Jadi lebih baik dia ga nikah sama lo. Dia bisa dapetin cowok yang tulus sayang sama dia."
❄️❄️❄️
"Udah ga ada yang ketinggalan lagi?"
"Udah tante." Lisa membantu Stevina dan Angelina menyusun barang-barang di mobil. Mereka akan kembali ke Bandung.
Dengan berat hati dan wajah lesu, Stevina menatap setiap sudut apartemennya. Ada begitu banyak kenangan di dalamnya.
"Stevi, ayo." Angelina menutup pintu apartemen dan menguncinya. Stevina masih terpaku. Ia melihat sekeliling lorong apartemen.
"Ayo Stev," Lisa menarik tangan Stevina.
"Iya bentar." Stevina menarik kopernya dengan tidak ikhlas. Ia harus meninggalkan kota yang penuh kenangan akan Revin.
Di basement, selesai menata barang di bagasi, ketiganya bersiap berangkat ke Bandung.
"Dah siap semua kan?" Tanya Lisa yang akan menyetir mobil.
"Udah. Ayok berangkat," jawab Angelina.
Sementara di hotel.
"Halo, Nin, gimana? Aman?"
Aman. Lo lewat shortcut yang kemarin gue tunjukkin ya. Gue tunggu lo di depan. Rendi sama Nino udah di sini.
"Okey. Thanks."
Sandra memasuki kamar Revin. "Hei, kamu mau kemana nak?"
Revin terkejut. Ia mulai panik memikirkan alasan. "Ehh.. Hai ma. Aku mau ke depan. Jemput Nino sama Rendi. Katanya mereka nyasar."
"Loh, kok bisa nyasar sih?"
"Biasa lah mereka. Maklum pada jarang ke hotel."
"Ahahahhaa.. Yaudah sana."
"Oh ya, mama mau ikut?"
"No. Mama mau ketemu papa kamu."
"Okey ma."
Revin menengok sekali lagi ke arah ibunya. Ia tersenyum kecil. Sekaranglah saatnya.
Revin sudah berjalan jauh meninggalkan ruangannya. Dalam hati ia begitu bangga karena rencananya sukses. Sebentar lagi ia akan pergi meninggalkan neraka.
Stevina, tunggu aku, batin Revin.
Sampai di tempat tujuan, Revin kebingungan.
"Revin... Here.." Nina melambai.
Revin berlari menuju teman-temannya.
"Let's go."
"Cepet masuk mobil," perintah Nina.
"Wuhuu.. I'm free guys!!!. Let's go..." Revin bernapas lega.
"Hati-hati kalian."
"Nina, makasi banyak."
"Just leave," ujar Nina.
Mobil meluncur meninggalkan neraka Revin. Ketiganya bersorak kegirangan seolah baru saja menang lotre.
"Cepet bawa mobil ini ke Stevina."
"Sabar bos."
Sementara di basement apartemen Stevina.
"Lisa bentar," seru Stevina.
"Gimana? Kita udah harus berangkat."
"Bentar dulu."
"Kamu mikirin apa lagi nak?" Tanya Angelina lembut.
"Engga kok ma. Yaudah, ayo jalan."
"Okey."
Ketiganya menoleh ketika mendengar bunyi mobil yang melaju kencang memasuki basement.
Mobil itu berhenti beberapa meter dari mobil Stevina.
"Siapa itu?" Tanya Angelina.
Pintu mobil itu perlahan terbuka. Terlihat sebuah kaki baru saja menapakkan outsole sepatunya dengan lantai basement.
Seorang lelaki dengan setelan jas terlihat keluar dari mobil itu. Lelaki itu menoleh ke arah mobil Stevina.
Stevina tersentak."Revin..?" Lirihnya. Stevina buru-buru keluar dari mobil untuk menghampiri Revin. Ia melirik mobil yang Revin tumpangi. Sekilas, ia melihat Nino dan Rendi di dalam mobil itu. Seketika mobil mereka meluncur meninggalkan Revin.
"Revin kamu.."
Revin mendekati Stevina.
"Apa yang udah kamu lakuin Revin? Kamu..??"
"Iya. Aku pergi dari acara itu."
"Revin.." Lidah Stevina terasa kelu seketika. Ia tidak tahu harus berkomentar apa terkait Revin yang melarikan diri dari pernikahannya.
"Revin aku.. Aku harus balik ke Bandung."
Senyum Revin yang semula merekah, mendadak layu.
"Pergi ke Bandung?"
Stevina mengangguk pelan.
"Aku ninggalin semua untuk balik ke kamu. Tapi.." Ucapan Revin terpotong.
"Iyaa.. Ini salahku. Aku yang terlambat datang," lanjut Revin sambil menunduk.
"Aku.. Aku emang harus kembali ke tempat asalku. Bandung itu tempat asalku sama ibuku."
Revin memalingkan wajahnya yang sudah memerah.
"Kamu harus balik ke Lona. Dia masa depan kamu. Aku pergi dulu," pamit Stevina. Ia bergegas pergi sambil menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah.
"Tunggu Stevina."
Langkah kaki Stevina terhenti.
"Apa kita masih bisa ketemu lagi?" Tanya Revin.
Bertemu kembali? Pertanyaan sederhana yang menusuk relung hati Stevina. Ia terpaku membelakangi Revin. Stevina tidak sanggup berbalik badan untuk menatap orang yang ia cintai itu.
"Stevina, ayo berangkat," panggil Lisa.
Stevina mengangguk. "Iyaa Lis." Ia tidak menjawab pertanyaan Revin. Ia juga tidak tahu harus menjawab apa. Dengan langkah berat dan air mata yang menetes tanpa aba-aba, Stevina melanjutkan langkahnya.
Mobil Stevina meluncur pergi. Revin masih berdiri di sana. Menyaksikan orang yang paling penting di hidupnya itu, harus pergi darinya.
Dari balik kaca mobil, Stevina menatap Revin yang juga tengah menatapnya. Tatapan sendu Revin, membuat pilu hati Stevina.
Stevina mengalihkan pandangan sambil mengusap air mata. Tapi sekeras apapun mencoba, ia tidak sanggup. Kembali, ia menatap Revin yang masih setia berdiri di sana.
Maafin aku Revin, batin Stevina.
Mobil Stevina baru beberapa meter meninggalkan apartemen. Revin sedikit berlari mengikuti mobil Stevina. Sampai di depan area masuk basement, Revin berhenti. Ia menatap kepergian mobil yang membawa pergi Stevina.
Revin masih berdiri di sana. Ia melihat mobil Stevina terjebak lampu merah.
"Waduh, lampu merah di sini paling lelet nih," keluh Lisa.
"Tante juga capek kalau kena lampu merah di sini."
Stevina yang memejamkan mata, tengah terjebak nostalgia yang menghantui pikirannya. Kembali teringat masa-masa indahnya saat SMA bersama Revin. Saat pertama kali bertemu, dihukum di gudang karena terlambat, di acara ulang tahun Clara, pertama kali Revin mengantarnya untuk pemotretan, di danau, di rooftop sekolah.. Revin yang selalu ada untuknya.. Dan..
Seketika Stevina membuka mata. "Revin," lirihnya. "Lisa cepet buka pintu!"
"Kenapa?"
"Buka Lisa!"
Lisa malah menurut saja. Stevina langsung membuka pintu mobil dan berlari menuju apartemen.
Stevina kalah. Ia menyerah. Kenyataannya, meninggalkan Revin adalah ketidakmampuannya.
"Stevina... Kamu mau kemana??" Angelina ikut keluar dari mobil. Tapi ia tidak sanggup berlari mengejar Stevina.
Revin yang sudah pasrah, berniat pergi saja. Ia menoleh ke arah seseorang yang berlari. Revin memicingkan mata. "Stevina??" Iya yakin itu Stevina.
"Stevina!!" Seru Revin sambil ikut berlari menuju Stevina.
Jarak Revin dan Stevina semakin dekat. Revin menangkap tubuh Stevina dan memeluknya.
"Revinnn..." Stevina memeluk Revin sambil terisak.
"Kamu ga akan pergi kan?"
"Aku ga bisa pergi Revin... Ga bisa.."
"Aku tau kamu ga bisa pergi. Kamu itu cinta sama aku."
"Iyaa Revin. Aku selalu cinta sama kamu."
Revin semakin mengeratkan pelukannya.
"I love you."
Tidak peduli orang-orang yang memperhatikan mereka di jalan, mereka tetap tidak melepas pelukan masing-masing.
❄️❄️❄️
Di Kota Tua, di sebuah bangku yang cukup nyaman, menjadi tempat pilihan mereka malam itu.
"Revin, aku takut mikirin apa yang bakal mereka lakuin ke kamu."
"Ga usah dipikirin supaya kamu ga khawatir."
"Revin aku serius. Gimana aku ga khawatir. Yang kamu lakuin itu fatal. Kamu yakin mereka bakal diem aja?"
"Aku ga akan berhubungan sama orang yang udah merusak kebahagiaan perempuan yang aku cintai," tegas Revin. "Aku udah mutusin hubunganku sama keluarga itu."
"Dia tetap ibu kamu Revin."
"Tapi kamu duniaku."
Stevina terenyuh mendengarnya.
"Dia juga bukan ibu kandungku," ujar Revin. Dia ga bakal sedih kehilangan aku."
Sandra memang bukan ibu kandung Revin. Ayah kandung Revin menikah dengan Sandra saat Revin masih kecil. Tapi malangnya, ayah kandung Revin sudah meninggal dunia sebelum memiliki anak kandung dari pernikahannya dengan Sandra.
"Kamu yakin semudah itu lepas dari mereka?"
"Aku tau konsekuensinya. Mereka bisa aja buat aku ga bakal diterima kerja di perusahaan. Fasilitas, sertifikatku, semua pasti bakal mereka tahan. Tapi aku punya channel YouTube. Aku punya subscribers yang mendukung. Aku bisa punya modal dari sana buat bangun bisnis," ujar Revin dengan nada penuh keyakinan.
"Great. Aku suka kamu percaya diri."
"Kamu harus percaya. Semua rencanaku ini untuk kamu. Supaya.. Kamu bisa jadi istriku," ujar Revin tulus.
"Revin.." Stevina sedikit canggung.
"Secepatnya aku bakal mulai semua. Tapi kamu ga usah khawatir. Kalau aku belum mapan, aku ga akan maksa kamu supaya tetap sama aku. Kamu bisa lapor polisi kalau aku tetep ganggu kamu."
"No Revin. Aku mau ikut sama kamu. Kita bisa berjuang bareng, saling support."
Revin tercengang. "Kamu.. Beneran mau nemenin aku?"
"Of course. Kita mulai semuanya bareng-bareng. Kalau gagal, kita coba terus sampai berhasil."
Revin membelai lembut kepala Stevina. "Ketakutanku cuma satu. Aku ga bisa bahagiain kamu."
"Revin, aku ga cuma nemenin kamu di saat senang aja. Aku mau berjuang sama kamu biar tau gimana susahnya hidup. Kamu percaya kan roda kehidupan itu berputar? Jadi kalau misalnya nanti kita ngalamin masa sulit, aku ga akan kaget."
Revin terpaku mendengarnya.
"Kamu juga tau kan, aku suka tantangan. Jadi nanti kalau kita ngalamin masa sulit, aku jadi bisa ngukur kemampuanku. Bisa atau engga aku muter otak buat keluar dari situasi sulit itu. Nanti itu bakal jadi kebanggaan tersendiri buat aku."
Revin benar-benar sulit percaya akan apa yang baru ia dengar tadi. "Kamu beneran?"
"Buat apa aku bohong? Oh ya, satu hal ini juga penting. Kalau misalnya nanti kamu selingkuh, aku ga perlu khawatir. Karena aku juga punya uang sendiri, dan ga selalu bergantung sama kamu."
Revin terkekeh. "Aku ga akan selingkuh."
"No, just antisipasi. Tapi aku percaya sama kamu."
"Kamu itu terbuat dari apa sih?"
Stevina terkekeh.
"Tuhan baik sama aku. Bisa-bisanya aku dapet bidadari cantik, baik, dan cerdas kaya kamu."
Stevina terkekeh. Ia menarik napas. "Dingin banget malem ini,"ujar Stevina manja sambil bersandar di dada Revin. Tangan Revin merangkul Stevina.
"Yuk buat vlog. Aku harus ngumpulin uang dari sekarang."
"Revin gelap ih malam-malam."
"Kalau besok, kamu mau ga temenin aku ngonten?"
"Mau dong."
"Okey."
Stevina baru sadar akan sesuatu. Revin masih mengenakan setelan jas.
"Ga adil. Kamu pakai baju formal, aku cuma pakai dress."
"Gapapa. Kamu anggun banget pakai dress itu. Udah cocok nih kita nikah sekarang."
"Revin..." Stevina mencubit pipi Revin gemas.
Revin melihat sekeliling yang cukup sepi. Ia melirik Stevina. "Boleh cium gak?" Tanyanya polos.
Stevina refleks menoleh. "Ini tempat umum Revin. Jangan gitu ah."
"Cuma ada kita berdua."
Stevina melihat sekeliling. Ternyata benar. Bahkan alam pun mendukung Revin.
Pipi Stevina langsung bersemu merah. Revin menyentuh lembut pipi Stevina. Seketika hening. Lekukan senyum tercipta di bibir keduanya.
Malam itu, adegan itu terjadi lagi setelah sekian lama mereka berpisah.
❄️❄️❄️
"Jadi, sekarang Lisa sama nyokap lo gimana?" Tanya Nina.
"Mereka tetap pergi ke Bandung."
"Lo bakal sendiri di sini?"
"Iya. Ga masalah sih. Dulu kan juga gue tinggal sendiri."
"Ooo gitu." Nina menoleh ke arah mobil. "Cepet Revin. Lama ih,"celoteh Nina sambil mengetuk kaca mobil.
"Iyaa sabar."
Akhirnya Revin selesai juga berganti pakaian di mobil. Ia tidak tahan memakai pakaian formal seperti itu. Akhirnya Nina, Rendi, dan Nino datang membawakan baju untuk Revin. Dan baju itu baru mereka belikan untuk Revin. Tentu saja mereka tidak akan mungkin mengambil baju Revin di rumahnya.
"Yuk, kita makan."
Stevina menatap wajah Revin yang sedikit berbeda. Aura kebahagiaan benar-benar terpancar di wajah Revin.
Nina tampak memperhatikan sesuatu. Mendadak wajahnya berubah pucat. "Revin, Stevina, gue rasa kalian dalam bahaya."
"Kenapa?" Tanya Revin. Ia ikut menoleh. Rendi, Nino, dan Stevina juga ikut menoleh.
Dari jarak 80 meter, Sandra dan Antonio melihat geram ke arah mereka.
"Gimana mereka bisa ada di sana?" Tanya Nino heran.
Revin melirik Stevina yang tampak cemas. "Kamu tenang aja." Revin menggenggam tangan Stevina, berusaha menenangkannya.
Antonio mendekati mereka berdua.
"Reputasi hancur, dipermalukan, hubungan perusahaan juga hancur. Ini semua cuma gara-gara perempuan yang kamu suka ini." Antonio menunjuk wajah Stevina. "Apa sih yang kamu lihat dari dia?!" Bentak Antonio.
"Di mata saya dia sempurna," jawab Revin.
Sandra mendekati mereka.
"Revin, ayo pulang," perintah Sandra.
"Pulang?" Ulang Antonio. "Jangan harap dia bisa kembali ke rumah," ujar Antonio lantang.
Revin tersenyum bahagia mendengar dirinya diusir.
"Akhirnya aku ga harus pulang," ujar Revin kepada Stevina yang terdiam.
"Mas..." Sandra terlihat tidak tega.
"Untuk apa? Anak ini ga ada gunanya." Antonio menatap Revin. "Silakan kamu pergi yang jauh. Jangan pernah berani pulang. Jangan berani anggap saya sebagai ayah kamu lagi."
Revin malah terkekeh. Stevina dan yang lainnya ikut tegang.
"Mas, enggak. Dia tetap anak kita. Revin, ayo pulang."
"Aku udah diusir. Untuk apa aku pulang?" Tanya Revin.
"Revin.." lirih Sandra.
"Kamu pikir kamu bisa hidup sendiri? Kamu pikir gampang cari kerja? Jangan sok kamu. Ayo kita lihat, seberapa hebat kamu," sindir Antonio meremehkan Revin. "Nanti kalau kamu sudah merasakan susahnya hidup, jangan menyesal."
Revin tetap memasang mimik wajah santai.
Sandra melirik Antonio yang sudah pergi dari hadapan mereka. Sandra tidak bisa berbuat banyak. Ia juga pergi meninggalkan Revin.
"Yes... Akhirnya gue hidup bebas." Revin, Rendi, dan Nino bersorak merayakannya. Sementara Nina dan Stevina terlihat cemas.
Revin memeluk Stevina. "Aku bebas sekarang."
Stevina tersenyum. "Iyaa Revin."
Melihat mereka yang malah heboh bersuka cita, membuat Antonio benar-benar kehabisan kesabaran. Ia berjalan cepat menuju ke arah Stevina. Tangannya mengeluarkan sebilah pisau.
Segerombolan anak muda yang sedang bersuka cita itu tidak menyadari bahaya yang mengancam. Mereka masih asyik tertawa bahagia.
Begitu jarak Antonio sudah dekat dengan Stevina, ia mengangkat tinggi-tinggi pisau itu.
Revin yang melihatnya, refleks memeluk tubuh Stevina untuk melindungi gadis itu.
Nina berteriak histeris. Cipratan darah mengenai baju Nina. Juga mengenai wajah Nino dan Rendi yang langsung berubah pucat.
Stevina terpatung tidak percaya. Ia sangat syok sampai tidak bisa berbuat apa-apa.
Sandra berlari sambil berteriak agar Antonio berhenti.
Antonio tersadar. Ia langsung berlari memasuki mobil. Ia meninggalkan Sandra yang menangis sambil berteriak minta tolong. Sekilas, ia melihat Stevina sedang memeluk tubuh Revin yang sudah ambruk.
Air mata Stevina menetes mengenai wajah Revin yang masih sadar. Semua terjadi begitu cepat.
❄️❄️❄️
Stevina terduduk lemas dengan tatapan kosong sambil memandangi tubuh Revin yang masih belum sadarkan diri di rumah sakit. Stevina bersyukur ternyata Revin masih tertolong.
Stevina beranjak bangun menuju jendela. Ia mencakupkan kedua tangannya dan berdoa untuk kesembuhan Revin.
"Tante masih ada urusan. Nanti tante ke sini lagi."
Stevina tidak menjawab. Sandra langsung pergi meninggalkan ruangan.
Stevina tengah melamun membayangkan Revin bangun dan memanggil namanya. Ia sampai tidak sadar ketika sebuah tangan menyentuh pipinya dengan lembut.
"Stevina."
Samar-samar Stevina mendengar seseorang memanggil namanya. Ia melirik Revin.
Stevina terperanjat sampai menutup mulut. "Re.. Revin."
"Hei.." Suara Revin terdengar begitu lemah.
"Revin.." Stevina menyentuh tangan Revin. "Aku khawatir tau."
Revin membelai kepala Stevina. "Ini aku udah sembuh."
Stevina mencium punggung tangan Revin. "Aku ambilin kamu minum."
Stevina mengambilkan minuman yang diletakkan di meja depan hospital bed. Stevina melirik sebuah notifikasi di ponselnya. Notifikasi yang mengingatkannya kalau hari ini adalah ulang tahun Revin. Ia sampai lupa karena kejadian kelam di Kota Tua malam itu.
"Revin, minum dulu."
"Bantuin," pinta Revin dengan nada manja.
"Iyaa Revin."
Stevina membantu Revin untuk minum karena Revin masih kesulitan untuk bangun.
"Kamu liat kan? Apapun aku lakuin demi kamu. Ditusuk pun aku rela," ujar Revin sok angkuh.
Stevina tersenyum sedih.
Revin menggenggam tangan Stevina. "Itu karena aku cinta sama kamu. Aku pengen kamu selalu bahagia," ujar Revin sambil mencium kening Stevina.
"Pokoknya kamu harus cepet sembuh," ujar Stevina pura-pura cemberut.
"Pasti cantikku. Kamu jangan khawatir."
"Oh ya, Revin, ini hari ulang tahun kamu loh."
"Oh ya? Aku sendiri lupa."
"Kamu mau kue ga? Atau apapun, aku bakal beliin buat kamu."
"Serius?"
"Serius dong."
"Kue aja. Kita makan bareng-bareng."
"Red velvet cake?" Tawar Stevina.
"Ide bagus."
"Okey. Aku pergi dulu." Stevina melirik Nina yang tengah terlelap di sofa. "Kasian tu anak kecapekan."
Revin melirik Nina yang masih tertidur. Stevina mencium pipi Revin tanpa izin.
"Baru bangun langsung dicium bidadari," ujar Revin antusias.
Stevina terkekeh. "Yaudah kamu tunggu ya."
"Kamu hati-hati ya."
"Iya." Stevina pergi berjalan kaki saja. Jarak toko kue tujuannya cukup dekat dengan rumah sakit.
❄️❄️❄️
"Ada tambahan lagi kak?"
"Engga ini aja."
"Totalnya jadi.."
Stevina menyodorkan beberapa lembar uang.
"Terima kasih kak. Jangan lupa mampir kembali."
Stevina membawa kue itu dengan berhati-hati.
Di koridor rumah sakit, Stevina berpapasan dengan Nino dan Rendi.
"Hei.."
"Ehh Stevina. Abis dari mana?" Tanya Rendi.
Stevina menunjukkan apa yang ia beli. "Hari ini Revin ulang tahun."
"Ohh iyaa ya.."
"Ren Ren, ayo kita beli sesuatu buat hadiah Revin," ajak Nino.
"Ayok ayok. Jangan sampai kita dicoret dari daftar pertemanan."
Stevina tertawa mendengarnya. "Yaudah gue duluan ya."
"Iyaa. Kita juga pergi dulu."
"Okey."
Sampai di ruangan, Stevina melihat Nina yang masih belum bangun juga. Ia melirik Revin yang malah ketiduran. Padahal Stevina yang sudah tidak sabar untuk memakan kue itu.
Stevina meletakkan kotak kue di atas nakas di sebelah hospital bed. Stevina menyentuh pipi Revin agar bangun.
"Hummm..." Nina sepertinya mengingau.
Stevina melihat Nina yang mulai membuka matanya. "Udah bangun lo."
"Gilak enak banget tidur gue. Nyenyak banget," jawab Nina sambil melakukan peregangan. "Ehh.. Apaan tuh?"
"Red velvet cake. Revin kan ulang tahun sekarang."
"Hah? Serius?" Nina langsung beranjak bangun. Ia berlari menghampiri kotak kue.
"Wow.. Red velvet. Ehh gue ke toilet dulu deh."
Stevina lanjut membangunkan Revin. "Revin.. ayo bangun. Revin.. Hei.." Stevina melirik kue yang sangat menggiurkan itu.
"Kuenya udah siap loh. Revin bangun."
"Revin.." Stevina termenung. Tidak ada pergerakan dari tubuh Revin. Stevina mencoba menyentuh tanda-tanda vital di tubuh Revin.
Stevina tersentak kaget.
"Nina..." Panggil Stevina dengan suara bergetar. Tidak ada jawaban dari Nina.
Stevina memandang keluar jendela. Gerimis mulai turun.
"Revin.. Bangun... REVIN..!!!" Stevina mengguncang tubuh Revin. "Revin bangun ga, kalau engga aku marahhh.." ancam Stevina dengan nada serak karena menahan tangis.
"Revin please..." Stevina menunduk pasrah. Ia terduduk lemas di kursi di sebelah Revin. Pandangannya mulai kabur. Air mata mulai menetes membasahi pipinya. Dalam tangisnya, ia menggenggam tangan Revin.
Nina yang baru keluar dari toilet, memasang wajah tegang. Ia mencoba menyentuh Revin dan tersentak. Nina langsung berlari hendak memanggil dokter dan perawat.
"Revin.." isak Stevina. "Aku cinta sama kamu Revin. Jangan tinggalin aku please..." Kepala Stevina terjatuh lemah di samping tubuh Revin yang sudah tidak bisa meresponnya lagi. Stevina memejamkan mata dengan air mata yang terus mengalir.
Tak lama kemudian Nina datang bersama dokter dan perawat.
Stevina membelai lembut wajah Revin. Air matanya menetes di pipi Revin. Stevina akhirnya menghindar. Membiarkan dokter dan perawat untuk memeriksa Revin.
Nina menenangkan Stevina yang menangis dalam pelukannya. Padahal ia sendiri juga tengah menahan tangisnya.
"Revin.." Isak Stevina.
Dokter dan perawat memberi kode kalau nyawa Revin sudah tidak tertolong.
"Engga.. Nina ini ga nyata kan?" Tangis Stevina. "Satu-satunya penyemangat hidup gue juga diambil sama Tuhan?!!" Seru Stevina.
Nina memeluk Stevina. "Vin, udah. Kita harus ikhlas."
Tiba-tiba, Sandra dan Lona datang. Mereka juga terpukul dengan kepergian Revin.
Stevina keluar dari ruangan menyedihkan itu. Di lorong, Stevina berlari sambil meneteskan air mata. Stevina berlari menuju rooftop sampai terjatuh di sana.
Cuaca yang semula gerimis, menyusul menjadi hujan. Stevina berteriak dan menangis di bawah hujan.
❄️❄️❄️
Stevina Barjoli PoV
Revino Coldy. Sosok itu adalah sosok yang paling berharga. Dia adalah anugerah terindah yang dikirim oleh Tuhan untukku. Kehilangan Revin, membuatku merasakan neraka. Wajahku tidak pernah kering. Selalu basah oleh air mata yang menyiratkan kerinduan darurat. Aku merasa seperti sudah mati. Gairah hidupku sudah redup. Rasa sakit ini menjalar ke seluruh tubuhku. Bahkan turut berdampak kepada fisikku yang ikut tersiksa. Aku bahkan sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit karena masih tidak terima dengan takdirku.
Dan saat sakit, aku berdoa kepada Tuhan untuk menghilangkan ingatanku tentang Revin agar aku bisa melanjutkan hidupku. Tapi itu semua mustahil.
Aku menulis banyak surat untuk Revin. Surat yang memintanya untuk kembali, walau aku tahu itu mustahil.
Saat itu, aku menulis surat untuk Revin di balkon. Ditemani air mata yang tidak pernah absen mengalir membasahi pipiku. Tapi sedihnya, kertas-kertas itu terbang terseret angin. Aku berusaha meraihnya tapi gagal. Akhirnya aku ikhlas. Mungkin angin telah berbaik hati membawa surat itu untuk dikirim ke surga agar Revin bisa membacanya. Dan mungkin saja, mengabulkan permintaanku.
Suatu pagi, aku duduk merenung sambil bersandar di pintu balkon dengan tatapan kosong. Kemudian aku bangkit menuju ruang tengah. Aku berdiri dan terdiam memandangi fotoku dan Revin berukuran 20R yang kupajang di dinding. Perlahan, tanganku bergerak mengelus foto wajah Revin. Di atas nakas tepat di bawah foto itu, aku menemukan sebuah kotak mini berwarna cokelat. Aku ingat. Kotak itu tak sengaja aku ambil dari kantong celana Revin saat berada di dalam ambulans setelah kejadian kelam di Kota Tua. Tapi aku belum sempat membukanya.
Diliputi rasa sedih, aku membuka kotak mini itu.
Tubuhku mematung. Isinya adalah sebuah cincin emas putih yang sangat cantik dan selembar kertas berwarna biru. Aku membuka lembaran kertas itu. Mataku membaca perlahan setiap kata yang tertulis di sana. Beginilah isinya,
Waktu jalan-jalan di Australia, aku melihat cincin cantik ini. Aku langsung berpikir kalau cincin ini cocok untuk kamu Stevina. Dan di hari saat nanti aku memberikan cincin ini, saat itu aku meminta kamu untuk menjadi istriku. -Revino Coldy.
Aku memegang dadaku. Berusaha menenangkan diri sendiri yang mulai menangis. Dengan tangan bergetar, aku mengenakan cincin pemberian Revin. Air mata kembali menetes dan tepat mengenai cincin itu.
Sore itu gerimis. Aku tertidur di lantai balkon dengan foto aku dan Revin di sampingku. Tidak peduli tubuh dan bajuku yang basah akibat gerimis.
Aku terbangun ketika mendengar bunyi bel. Aku membuka pintu dan tersenyum ketika melihat Revin yang datang. Tapi senyumanku luntur ketika menyadari itu hanya halusinasi.
❄️❄️❄️
Dengan mata sembab, kupandangi kota Jakarta dari rooftop tempat berlangsungnya pemotretan.
Aku bertemu lagi dengan Yudis. Ia masih ramah seperti dulu. Dan katanya, ia masih sendiri.
Ia mendekatiku yang tengah sibuk sendirian sambil menatap pemandangan dari rooftop.
Dia bertanya, "Hai Stevina. Nanti malam, ada waktu?"
Aku menatapnya cukup lama. "Maaf," ucapku. Aku memperlihatkan jari manisku yang sudah mengenakan cincin pemberian Revin. Menegaskan padanya, kalau aku telah menikah.
"M-Maaf," ujarnya sambil berlalu.
❄️❄️❄️
Sebenarnya aku cukup beruntung. Tuhan memberikanku kecerdasan dan fisik yang menarik. Tapi hidupku penuh kesepian. Semua orang yang kucintai, mereka meninggalkanku. Mungkin jika aku memiliki semuanya, Tuhan khawatir aku akan menjadi sosok yang sombong. Inilah kenapa setiap manusia diberikan kekurangan.
Karirku sebagai model semakin gemilang. Aku juga diterima bekerja di sebuah rumah sakit impian. Aku tersenyum ketika membaca komentar netizen yang mengatakan hidupku sempurna.
"Sempurna?" Bacaku. Aku tertawa. "Sempurna," ulangku sambil meneteskan air mata. Mereka tidak tahu saja, betapa sedih aku sebenarnya.
Dari balkon apartemen, aku sibuk menatap restoran rooftop yang masih sanggup dipandang oleh mata kecilku.
Restoran tempat aku dan Revin resmi berpacaran. Jaraknya yang dekat, membuatku bisa menyaksikannya dari balkon tempatku berdiri.
Setelah itu, aku langsung bergegas pergi. Hari itu aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Jakarta. Aku memutuskan untuk pindah ke Pulau Dewata, Bali. Rumah sakit impianku untuk bekerja telah menungguku di pulau itu.
Aku tidak takut sendirian. Karena di sini aku pun sendirian. Nina, Lisa, dan ibuku Angelina, mereka telah menikah dan sudah menempuh kehidupan masing-masing.
❄️❄️❄️
Di Bali, aku cukup terobati berkat aura, suasana, dan keindahan luar biasa yang dimiliki Pulau Seribu Pura itu. Dan di sana, aku memutuskan untuk menjadi pengajar di sebuah bimbingan belajar.
Suatu hari di waktu luang, aku memutuskan untuk 'mengobati' kembali diriku sampai benar-benar pulih dengan berjelajah. Aku mengunjungi tempat wisata yang terkenal akan pesona hijaunya. Orang-orang menyebutnya, Jatiluwih.
Aku juga mengunjungi bukit tepi pantai yang menenangkan. Di sana, aku kembali menulis surat untuk Revin.
Dear Revino Coldy, aku kangen banget :') Kamu dimana? Kamu masih di surga, atau sudah lahir kembali ke dunia ini? Kalau kamu masih di surga, tolong beri tahu Tuhan untuk mempertemukan kita di kehidupan selanjutnya. Itu aja pesan hari ini. Bye Revin. Sampai jumpa di lain kesempatan. I will always love you. -Stevina Barjoli-
Aku memasukkan surat itu ke dalam botol kaca dan melemparnya ke laut. Entah surat itu akan dibawa kemana.
Aku berbalik badan. Kulihat sepasang lansia sedang duduk mesra menikmati sunset. Aku tersenyum sekaligus meneteskan air mata. Melihat mereka, mengingatkanku akan Revin. Aku mendongak menatap langit sambil memejamkan mata dan menghela napas.
Walau Revin sudah tidak di sini, aku Stevina Barjoli, tetap hanya mencintai Revino Coldy. Selamanya, sampai akhir hayatku.