Ternyata, salah satu teman Trisha yang memberi tahu Revin tentang persekongkolan Trisha dan Alex untuk menjebak Stevina.
Stevina menyimak cerita Nina dengan serius.
"Sebenernya temen-temen Trisha itu udah merasa kalau Trisha kelewatan. Makanya, salah satu dari mereka ngaku sama Revin."
Stevina menunduk sambil menghela napas panjang. "Kenapa ini harus terjadi sama gue coba? Ini menjijikkan."
Nina turut prihatin. "Stevina, lo perempuan hebat. Padahal kondisi lo udah separah itu. Tapi lo masih bisa lawan Alex."
"Tuhan yang nolongin gue," ucap Stevina.
"Tadi, keadaan Alex udah parah banget. Terus Revin.. Dia udah kasi hukuman 'kecil'," tambah Nina dengan nada penuh penekanan pada kata kecil.
Stevina terkekeh pelan. Ia dan Nina saling bertatapan sambil melempar senyuman bermakna. Mereka tahu apa itu hukuman 'kecil' dari Revin.
"Sekarang dia lagi beliin lo makanan."
Stevina mengangguk sambil mengambil segelas teh hangat di atas nakas.
"Gue boleh ke balkon lo gak? Kayanya seru."
"Ke sana aja kalau lo mau."
"Yey.."
Rasa takut sebenarnya terselip di hati Stevina. Ia takut Alex akan balas dendam lagi. Stevina sendiri belum punya rencana untuk memberi tahu Angelina mengenai hal ini.
❄❄❄
Pagi itu masih sangat sepi. Entah kerasukan apa, Stevina datang pagi-pagi sekali. Ia tampak buru-buru menuju kelas dengan ekspresi penuh amarah. Sampai-sampai, aura kemarahan Stevina begitu terasa sehingga murid-murid yang berpapasan dengannya refleks menghindar sambil menatap Stevina dengan bingung.
Stevina berjalan dengan cepat menuju rooftop. Tiba di sana, seseorang sudah menunggunya. Trisha, dialah yang mengundang Stevina ke rooftop untuk berbicara.
Trisha berbalik badan, melihat Stevina yang sudah datang. Trisha berjalan pelan mendekati Stevina.
"Lo jangan seneng dulu. Gue bukan mau minta maaf sama lo. Tapi gue minta permakluman."
Stevina mengernyitkan dahinya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan attitude Trisha.
"Gue ga akan sudi minta maaf sama lo," tambah Trisha.
Plak...
Sebuah tamparan keras dari tangan Stevina mendarat di pipi Trisha.
"Dulu kalau gue benci sama seseorang, gue selalu doain supaya orang itu cepet mati," ucap Stevina dengan nada horor.
Trisha yang tengah kesakitan sambil memegang pipinya langsung melirik Stevina.
"Tapi semakin gue dewasa, pikiran gue berubah. Kalau ada yang jahat, gue doain supaya orang itu nyesel seumur hidup. Karena gue tau, rasa nyesel itu bener-bener menyiksa." Stevina tersenyum arogan dan berlalu pergi. Tapi Trisha menarik tangan Stevina. "Tunggu."
"Nyokap gue, dia gatau apa-apa soal ini," ucap Trisha tanpa menatap Stevina. Ia cukup gugup dengan tatapan buas Stevina.
Stevina langsung paham apa maksud Trisha mengatakan itu.
"Jangan biarin Revin nyebarin kejadian ini. Gue gamau nyokap gue kenapa-kenapa."
Stevina melengos.
"Lagian Alex, dia udah luka parah banget gara-gara Revin. Dan gue.. gue juga udah inisiatif sendiri buat keluar dari sekolah ini. Jadi jangan sampe nyokap gue kenapa-kenapa."
"Perbuatan biadab lo itu, masih bagus ga gue laporin ke polisi. Karena gue yakin, temen lo yang mengkhianati lo itu udah cukup buat ngerusak mental lo," ketus Stevina.
Refleks Trisha menatap Stevina dengan sinis.
Stevina menunjukkan video dirinya yang disiksa Alex. Rekaman itu berasal dari HP teman Trisha yang diam-diam diletakkan sebagai bukti. Ada juga video saat Trisha dan Alex sedang berbicara menyusun rencana. Teman Trisha sendirilah yang diam-diam merekamnya. Trisha menganga melihat video itu.
"Ini semua berkat bantuan temen lo. Dia lebih dukung gue daripada lo. Dia udah ngekhianatin lo," ejek Stevina. "Cukup dengan satu kali tombol send, lo bakal habis Trisha."
Trisha mundur perlahan. Ia membelakangi Stevina, berjongkok, menjambak-jambak rambutnya, dan berteriak. Terlihat jelas gadis itu emosi berat.
Stevina langsung meninggalkan Trisha yang tampak depresi.
❄️❄️❄️
"Lo beruntung lo cewek. Kalau lo cowok, jangan harap lo baik-baik aja setelah nyakitin pacar gue."
Trisha mengusap air matanya. "Maaf Revin. Gue bener-bener nyesel."
"Cukup dengan nyesel doang?"
"Gue juga lakuin ini karena gue suka sama lo Revin!!" Seru Trisha. "Gue udah tahan perasaan ini bertahun-tahun. Lo sadar ga sih kalau gue suka sama lo? Gue bisa bahagiain lo lebih dari Stevina!"
Revin tertegun sejenak. "Balik ke kelas. OSIS lain bakal datang ke sini."
"Maafin gue.." Trisha memeluk Revin.
"Jangan permaluin diri lo sendiri Trisha. Hargai juga cewek gue." Revin melepas pelukan Trisha. Tapi Trisha kembali memeluk Revin.
Klek
Pintu ruang OSIS terbuka. Revin terperanjat melihat siapa yang datang. Stevina datang dengan menenteng sekotak bekal makan siang. Bekal yang sebenarnya ia bawa untuk Revin.
Trisha refleks melepas pelukannya.
Stevina tak percaya akan apa yang ia lihat. Ia tetap masuk ke ruang OSIS untuk meletakkan bekal makan siang Revin di meja. "Buat makan siang kamu Revin," ujar Stevina dengan malas. Ia langsung berlalu pergi. Disusul Revin yang mengejarnya.
Trisha yang ditinggal sendirian, hanya bisa berjongkok kebingungan.
Seharian itu Stevina bungkam. Tidak mau berbicara sepatah kata ataupun menjawab Revin. Ia hanya diam seolah Revin tidak ada.
Revin menyentuh bahu Stevina.
"Ihhh..." Seru Stevina sambil menghindar.
Gadis itu langsung mengeluarkan hand sanitizer sambil bergidik seolah jijik. "Bekas pelukan sama Trisha!" Ketus Stevina sambil menyemprotkan hand sanitizer di area yang Revin sentuh.
Revin menunduk pasrah.
❄️❄️❄️
"Stevina.. " Revin berlari mengejar Stevina. Ternyata ia kalah cepat. Stevina sudah tidak terlihat lagi.
"Ren.. Lo liat Stevina?" Tanyanya saat berpapasan dengan Rendi di koridor kelas.
"Lah.. Lo pacarnya kenapa nanya gue?"
"Ahh minggir lo." Revin berlalu.
Dari jendela kelas sepuluh yang sudah kosong, Stevina mengintip Revin yang sudah berlalu. "Dasar!" Gerutunya. Ia buru-buru keluar dari ruangan itu. Stevina terdiam di depan pintu kelas. Seketika ia menyesal kenapa tadi pagi harus berangkat bersama Revin. Sekarang ia berpikir bagaimana cara pulang.
Ternyata Revin balik lagi ke koridor itu. Ia akhirnya melihat Stevina yang berdiri di depan pintu kelas. Stevina terbelalak kaget. Dari jarak lima puluh meter, mereka saling bertatapan.
"Stevina tunggu!" Seru Revin.
Stevina berbalik, berjalan pelan, agak cepat, semakin cepat, dan akhirnya berlari karena Revin mengejarnya.
Mereka malah saling berkejaran layaknya bocah TK di halaman sekolah.
Stevina malah berlari sambil tertawa. Raut wajah cemas Revin membuatnya tak kuasa menahan tawa.
"Sebenarnya, mereka itu kesurupan apa sih?" Tanya Nina.
"Tidak bisa kita pahami," jawab Rendi. Nina dan Rendi memperhatikan mereka dari ruang OSIS. Keduanya sama-sama tidak mengerti dengan Revin dan Stevina.
Revin akhirnya berhasil menangkap Stevina dan langsung menggendongnya.
"Ihh Revin... Malu.."
"Udah diem. Jangan harap kamu bisa kabur dari aku."
Revin menggendong Stevina sampai ke depan ruang OSIS. "Aku rapat sepuluh menit aja. Kamu tunggu bentar."
Stevina mendengus kesal sambil membuang muka.
"Tunggu ya.." Revin mengelus kepala Stevina.
Mau tidak mau, Stevina harus menunggu Revin.
❄❄❄
Hujan deras setelah mengantar Stevina sampai di apartemen, membuat Revin memiliki ide supaya Stevina tidak marah lagi.
Ia pura-pura pusing dan tidak membawa mantel. Akhirnya Stevina membiarkan Revin singgah sebentar.
Stevina membuatkan teh hangat. "Nih, minum dulu."
"Makasi cantik," rayu Revin.
Stevina berlalu menuju ruang makan. Ia memakan wafer cokelat sendirian. Revin menatap Stevina sambil menahan tawa. Ekspresi kesal Stevina sambil memakan wafer malah membuat Revin gemas.
Revin berbaring di sofa karena Stevina tidak memedulikannya. Kedua telinga Revin terpasang earphone.
Stevina diam-diam mengintip. Ia melihat Revin sudah tertidur pulas. Hujan membuatnya berinisiatif untuk mengambilkan Revin selimut.
Dahi Stevina berkerut kesal melihat Revin tertidur sambil mendengarkan lagu. Ia menyelimuti Revin dan mencabut earphone yang terpasang di kedua telinga Revin.
"Gatau bahaya ni orang," gerutunya kesal.
Revin yang pura-pura tidur langsung terbangun dan menahan tangan Stevina. "Udah ga ngambek ternyata. Hehe.. Berhasil."
Revin membelai pipi Stevina. "Berhenti marahnya ya. Aku cuma sayang kamu."
Stevina melengos. Revin membelai rambut Stevina. "Yaudah kamu istirahat. Aku pulang dulu ya."
Terdengar bunyi tutupan pintu. Revin sudah benar-benar pergi.
Stevina langsung berlari menuju pintu. Niatnya ingin memanggil Revin yang pastinya masih berjalan di lorong apartemen. Ia mencoba membuka pintu. Tapi gengsi mengurungkan niatnya. Gadis itu berdiri membelakangi pintu sambil melipat kedua tangan dan berpikir antara keluar melihat Revin atau tidak.
Akhirnya rasa peduli mengalahkan gengsinya. Stevina membuka pintu dengan antusias. Tapi ternyata, Revin sudah tak terlihat lagi di lorong apartemen.
"Argh.." Stevina menyesal karena terlambat.
"Ada yang nyariin aku ternyata."
Stevina kenal suara itu. Ia berbalik menoleh ke sumber suara. "Revin?"
Ternyata Revin juga belum pulang. Ia menunggu Stevina yang ia pikir akan keluar mencarinya. Dan ternyata benar.
Revin memeluk Stevina. "Jangan ngambek-ngambek lagi. Masa kamu ga percaya sama aku?"
Stevina mengeratkan pelukan mereka. "Aku percaya sama kamu."
"Itu baru Stevinaku."
Stevina mengajak Revin masuk kembali karena ia ingin membuatkan kue spesial. Revin bersantai di balkon sambil menunggu Stevina.
Sambil meminum teh hangat, Revin memperhatikan cuaca. "Stevina," panggil Revin. Stevina yang sudah selesai membuatkan kue langsung menghampiri Revin ke balkon. Stevina meletakkan kue di atas meja dan ikut duduk di samping Revin.
"Liat, alam semesta bener-bener dukung aku," Revin menunjuk langit. "Aku mau ngajak kamu jalan-jalan, ehh hujannya langsung hilang."
Stevina mengangguk pasrah.
"Jalan yuk," ajak Revin.
"Boleh."
Keduanya bersiap hendak bangun namun tertunda ketika,
DUR!!!
Seketika terdengar bunyi gemuruh petir disusul gerimis yang sepertinya akan mengundang hujan lebat. Refleks membuat Stevina dan Revin saling bertatapan dengan raut wajah seperti sedang berpikir keras. Revin langsung membuang muka karena malu.
❄️❄️❄️
Mereka berpapasan di koridor sekolah. Stevina melempar senyum. Yang disenyumi malah buang muka. Vriska berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Melewati Stevina yang masih terpaku di tempatnya begitu saja. Seolah Stevina tidak ada.
Stevina menengok. Sosok yang dulu sedekat nadi, kini kembali menjadi orang asing. Setakut itukah Vriska?
Ia menghela napas. Mencoba melupakan babak pahit tadi. Stevina melanjutkan perjalanan menuju kelas.
Suasana kelas cukup ramai. Bukan ramai karena hal positif, ternyata teman-temannya sedang mem-bully seorang murid perempuan. Jujur saja, ia bahkan tidak pernah bicara dengan murid itu.
Saat murid itu hendak menuju bangkunya, sebuah kaki menghadangnya sampai ia jatuh tersungkur tepat di hadapan Stevina yang hendak keluar kelas.
Seisi kelas tertawa.
"Rasain.."
"Mampus lo!"
"Dasar anak koruptor!"
Murid itu mendongak. Ia mendapati Stevina yang tengah memperhatikannya. Spontan murid itu langsung berdiri.
"Gue mau ke kantin. Lo mau ikut?" Tanya Stevina datar.
Murid itu tercengang. Seisi kelas ikut terdiam. Mereka tidak berani melontarkan kata-kata kasar lagi. Mereka cukup segan dengan Stevina.
Stevina melirik teman-temannya. "Kalau kalian emang berani, sana pergi ke penjara. Langsung hujat yang korupsi, bukan malah hujat anaknya." Stevina melirik murid itu. "Dia ga tau apa-apa. Dia juga ga minta lahir jadi anak koruptor."
Seisi kelas terdiam. Mereka saling melempar tatapan. Stevina berlalu pergi, disusul murid itu.
"Stevina.. Tunggu.." panggil murid itu di koridor.
Mendengarnya, Stevina memperlambat lajunya.
"Stevina. Makasi banyak, lo udah belain gue."
"Bukan apa-apa."
"Yang gue tau cuma satu. Orang tua gue kerja buat gue. Tapi.. Gue bener-bener ga nyangka orang tua gue milih jalan ini."
"Well, realistis aja. Hidup tanpa uang serasa mau mati. Bayangin aja, kebutuhan banyak, dan uang bertumpuk-tumpuk ada di depan mata. Siapa yang ga tergiur? Tapi mereka para koruptor itu, menurut gue harus dapet hukuman yang lebih berat supaya mereka jera. Supaya yang lain juga jadi takut buat korupsi."
Murid itu menunduk.
"Mereka yang ngehujat itu juga belum tentu bersih. Mereka mana tau, kalau mereka di posisi itu, bisa aja ngelakuin hal yang sama. Jadi ya.. Bagusnya hati-hati aja biar ga makan omongan sendiri," lanjut Stevina.
❄️❄️❄️
Di markas Revin, ramai beberapa gadis kelas dua belas. Mereka memandangi Stevina dengan sinis.
Stevina cuek saja. Tujuannya ke sana hanya untuk membeli minuman dingin untuknya dan Revin.
"Ohh itu ya Stevina.. Pacarnya si ketua OSIS."
"Si model majalah dateng guys.."
"Model majalah bekas maksud lo?"
"Nah itu pas.."
"Hahahaha.."
Stevina tetap cuek mendengar cercaan para kakak kelas yang memang punya dendam kesumat dari dulu. Apalagi salah satu di antara mereka adalah OSIS yang selalu menanganinya saat telat.
"Si tukang bawa sial. Cuma karena dia, Revin sama Nino sampai berantem."
"Padahal mereka tuh bertemen baik dulu. Dasar perusak pertemanan."
"Ga usah jauh-jauh. Liat aja ketiga temen deketnya sekarang. Gue denger-denger, sejak dia dateng, nasib mereka bertiga jadi buruk."
"Sekarang kan dia ga punya temen. Vriska udah sadar biar ga deket-deket sama dia lagi. Nempel mulu deh dia sekarang sama pacar."
Deg!
Hati Stevina mendadak perih bak luka yang ditaburi garam mendengarnya. Setega itu ucapan kakak kelasnya. Selesai membayar, Stevina langsung buru-buru meninggalkan kantin. Ia tidak tahan lagi mendengar hinaan kakak kelasnya.
"Ya.. Namanya juga anak kurang didikan orang tua."
Kedua kaki Stevina mendadak terpaku di tempat. Kesabarannya habis. Ia menoleh ke arah si pembicara.
"Jadi ya.. Orang di sekitarnya ikut kena pengaruh sesat. Ups.. Mulut gue gini amat."
"Hahaha.. Fakta tuh."
Stevina yang masih terpaku di ambang pintu, seketika berbalik menghampiri mereka. Ia menarik kerah baju kakak kelas yang menyebutnya kurang didikan. "Jaga batasan lo ya!"
Rendi dan Nina yang kebetulan ada di sana berusaha menghentikan Stevina.
"Wah.. Wah.. Berani bener ni adik kelas," ujar salah satu dari mereka sampai berdiri dari duduknya.
"Sejak kapan ada aturan kalau adik kelas dilarang ngelawan kakak kelas? Senioritas bener-bener kuno!"
Keributan membuat mereka menjadi pusat perhatian.
"Silakan hina gue. Tapi kalau kalian hina orang tua gue, gue bakal kirim kalian ke neraka!" Tegas Stevina.
Mereka merasakan aura yang berbeda saat melihat tatapan mata Stevina. Mereka diam saja dan kembali duduk. Berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ngakunya kakak kelas? Tapi bahasa kalian udah kaya orang ga di sekolahin," cerca Stevina.
Nina mengajak Stevina pergi. "Stevina udah."
"Kalian lebih pantes sekolah di SLB!"
"Stevina udah-udah." Nina berusaha menenangkan Stevina.
Stevina tidak memedulikan Nina. Ia bergegas pergi. Nina dan Rendi saling berpandangan. Entah apa yang harus mereka lakukan.
❄❄❄
Stevina berjalan kaki menuju rumah Angelina. Ia tidak memberi tahu Revin yang tadi masih sibuk di sekolah. Revin bahkan tidak tahu Stevina sudah pulang.
Ia tidak pernah sama sekali menggubris cacian orang. Tapi kali ini, rasanya cukup membuatnya memikirkan hal itu.
Ucapan yang pernah Vriska lontarkan, dan cacian kakak kelasnya tadi, seperti berhubungan.
Lebih baik gue ga deket-deket sama lo. Sebelum hal buruk juga terjadi sama gue.
Sejak dia dateng, nasib mereka bertiga jadi buruk.
Dasar perusak pertemanan.
Si pembawa sial.
Ucapan-ucapan itu terngiang bersahut-sahutan di kepalanya.
Sampai tiba di depan sebuah minimarket, langkah Stevina melambat. Niatnya membeli camilan, tapi ia malah melihat dua orang itu. Stevina memicingkan matanya.
Benar saja. Ayah tirinya dan wanita itu sedang bersama. Kenapa ia harus bertemu mereka di saat suasana hatinya sedang buruk?
Sepertinya mereka baru selesai makan siang bersama.
Stevina mengambil HP dan menangkap gambar mereka berdua. Ia menoleh ke bawah. Banyak bebatuan di sekitar kakinya. Sebuah ide yang tidak baik mendadak terlintas di kepalanya.
Saking kesalnya, Stevina melempar batu yang cukup besar ke arah mereka. Lemparan batu itu tepat mengenai punggung si wanita.
Stevina buru-buru pergi sebelum Antonio menengok ke arahnya. Samar-samar Stevina mendengar umpatan kesal wanita itu. Ia melewati belakang mobil-mobil yang terparkir agar tidak ketahuan.
Mood-nya benar-benar rusak saat ini.
❄❄❄
Angelina terbaring lemah di kamarnya. "Stevi, sini masuk."
"Mama masih sakit?"
"Mama kecapekan aja kok. Pesenin mama makanan dong. Papa kamu dari tadi pagi ga angkat telepon mama."
Emosi Stevina semakin membara mendengarnya. Bagaimana mau angkat telepon kalau sedang sibuk dengan wanita lain.
"Sambil nonton drama Korea yuk ma," ajak Stevina sambil mengeluarkan laptop.
"Mama ga terlalu suka Korea," jawab Angelina.
"Dasar mama pick me girl," canda Stevina sambil tertawa.
"Nonton Bollywood aja gimana?" Tawar Angelina.
"Aku ga ngerti India ma. Kurang suka," jawab Stevina.
"Dasar anak pick me girl," balas Angelina sambil tertawa puas.
"Ih, mama pake balas dendam segala."
"Biar kamu ngerti."
"Oh ya, mama mau makan apa? Aku pesenin."
"Skip dulu deh. Mama mau bahas sesuatu."
"Bahas apa?" Tanya Stevina yang seketika tegang.
"Kemarin.. Mama liat story kamu di Instagram. Itu pacar kamu ya..??" Goda Angelina.
Stevina menunduk malu. Angelina merampas HP Stevina. "Kepoin foto kalian ah.." ujar Angelina polos.
"Mama ih.." Stevina berusaha mengambil ponselnya.
"Bentar ah. Ga boleh pelit."
Stevina pasrah. Ia malah ikut nimbrung melihat fotonya dengan Revin.
Sampai tibalah di slide selanjutnya, Stevina terperanjat. Foto Antonio dengan wanita itu di minimarket tadi. Stevina benar-benar lupa dengan foto itu karena keasyikan melihat fotonya dengan Revin.
"Mm.. Sebenarnya aku mau ngasi tau mama hari ini juga. Tapi sekarang mama lagi sakit. Gimana cara aku ngasi tau?"
Angelina tersenyum. "Temen mama juga bicarain masalah ini sama mama kok."
Stevina menoleh. Ternyata Angelina sudah mengetahuinya. "Mama udah tau??"
Angelina membelai lembut kepala Stevina. "Mama tau."
"Terus mama diem aja?"
"Mama belum bisa lakuin sesuatu. Jangan gegabah dulu hanya karena satu kesalahan."
"Satu kesalahan?" Ulang Stevina. Ia beranjak bangun dari kasur. "Bukan masalah berapa kali kesalahannya. Tapi masalah seberapa fatal kesalahan yang udah dia perbuat."
"Stevi.."
"Pengkhianatan sulit dimaafin ma. Bahkan ga bisa." Stevina menghela napas. "Tapi.. Mama diam karena Cheryl kan? Aku ngerti itu."
Stevina memeluk Angelina. "Ayo ke apartemenku aja ma. Mama lagi sakit. Ngapain mama di sini?"
"Kasian Cheryl sayang."
"Aku juga bisa jagain Cheryl. Hari ini aku yang jagain mama sama Cheryl."
Angelina menitikkan air mata. Ia membelai kepala Stevina.
"Ayo ma. Apa lagi yang mama tunggu." Stevina menarik tangan Angelina.
"Lina.."
Ibu dan anak itu sama-sama menoleh ke arah pintu kamar yang baru dibuka. Tuan Antonio datang.
Antonio melihat air mata menetes di wajah Angelina dan Stevina yang menarik tangannya.
"Kenapa ini?"
"Bukan urusan anda," ketus Stevina. Antonio tersentak mendengarnya.
"Stevi, papa paham. Anak seumuran kamu punya emosi yang belum stabil." Antonio menyentuh bahu Stevina. "Tapi kalau sampai buat mama kamu nangis, itu ga baik."
"Sekali lagi, ini bukan urusan anda. Ga usah ikut campur."
"Stevina cukup," tegur Angelina.
"Stevina, minta maaf sama ibu kamu," pinta Antonio.
"Ga usah sok ngajarin," ketus Stevina.
"Stevina.." tegur Antonio yang mulai geram.
"Kenapa saya harus minta maaf? Justru anda yang harus minta maaf. Ini semua anda penyebabnya," lawan Stevina.
"Stevina.." tegur Angelina.
"Saya?"
"Iya.. Karena anda bukan suami yang baik!! Anda ga pantes jadi suami ibu saya."
Plak!!
"Stevina.." Angelina menutup mulutnya. Air matanya menetes. Hatinya serasa tercabik-cabik melihat perlakuan yang dialami putrinya.
Stevina terdiam sambil memegangi pipinya yang memerah karena ditampar Antonio.
Orang yang menamparnya juga ikut terdiam. Antonio melirik tangannya sendiri.
Stevina melirik Angelina. Ibunya itu hanya bisa terisak. Ia juga melirik Antonio yang menatapnya seakan menyesal.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Stevina bergegas meninggalkan ruangan itu.
"Stevina.." lirih Angelina.
Antonio terdiam seribu bahasa.
"Tega kamu sama anakku. Aku.. Ibu kandungnya sendiri bahkan ga pernah nampar dia," isak Angelina.
❄❄❄
Air matanya menetes tepat di foto wajah Stefan Barjoli. Stevina mengelus foto ayahnya. Ia sangat merindukan masa-masa saat ayahnya masih ada di dunia.
Hari ini benar-benar buruk. Vriska, kantin sekolah, bahkan di rumah ibunya sekalipun. Stevina semakin yakin, kalau ia memang ditakdirkan untuk hidup menderita.
Stevina teringat sesuatu. Ia berlari menuju laci di dekat TV di kamarnya. Di sana ada album foto Angelina dan Antonio. Diambilnya selembar foto itu dan sebuah korek gas.
Di balkon, Stevina yang emosi langsung melempar dan membakar foto itu di bak sampah. Panas api yang sama seperti panas hatinya, membakar habis benda mati itu. Stevina menyaksikan album foto itu yang perlahan mulai habis.
Tok.. Tok..
Stevina menoleh begitu mendengar bunyi pintu yang diketuk.
Ia lupa, ternyata pintu apartemen tidak ia kunci. Syukurnya yang datang ternyata Revin, bukan orang asing.
"Revin.." Stevina berlari menghampiri Revin. Perasaannya yang semula sedih dan marah, berubah drastis begitu Revin datang. Sekarang Revinlah satu-satunya penyemangat Stevina.
"Stevina." Revin memeluk erat Stevina. "Aku minta maaf, harusnya aku nemenin kamu tadi di kantin," lirih Revin.
Stevina terkejut. Ternyata Revin mengetahui kejadian tadi. Pasti Nina dan Rendi yang memberi tahu Revin.
"Itu bukan salah kamu Revin," ucap Stevina. Kedatangan Revin membuatnya kembali sadar. Masih ada yang menyayanginya di dunia ini.
"Makan siang bareng yuk," ajak Revin.
"Kalau Lisa ikut gapapa kan? Dia udah di perjalanan ke Jakarta."
"Gapapa asal kamu seneng."
❄️❄️❄️
"Sekarang gua nginep selama dua hari di tempat lo ya. Besok sama lusa gue libur," ujar Lisa sambil mengunyah nasi.
"Beneran?" Tanya Stevina.
"Serius. Gue ga peduli mau lo repot atau engga. Yang penting gue nginep."
"Ckckckck..." Stevina melanjutkan makannya.
"Oh ya, mamaku mau nyamperin kita ke sini," celetuk Revin.
"Wow.. Calon ibu mertua mau datang nih," goda Lisa.
Stevina terbelalak. "Revin, ini serius?"
"Serius Vin," jawab Revin sambil mencubit pipi Stevina.
Stevina menunduk malu.
Lisa menepuk paha Stevina.
"Aw... Sakit Lisa!"
"Heh, duduk lo yang anggun!" Perintah Lisa.
Revin terkekeh mendengarnya.
"Duduk lo yang tegak jangan bungkuk!"
Lisa sibuk menata cara duduk Stevina. "Bukan gitu. Gini loh, liat gue." Lisa memberi contoh cara duduk yang anggun.
"Lisa... Stop. Okey??" Stevina sudah frustrasi duluan mendengarnya.
Lima menit kemudian, terdengar sebuah suara menyapa mereka.
"Halo," sapa suara itu. Lisa dan Stevina sama-sama menoleh ke sumber suara.
Kedua bola mata mereka sama-sama membulat. HP Stevina hampir saja terjatuh dari genggamannya. Wanita itu?
Jantung Stevina berdebar. Bukan karena gugup bertemu dengan ibu Revin, tetapi karena hal lain. Ia harap ia tidak salah lihat.
Bagaimana mungkin wanita itu adalah ibu kandung Revin! Kenapa harus wanita itu? Otak Stevina berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Nyata atau tidaknya, ia tidak yakin.
Lisa yang sudah mengetahui hal ini, diam-diam menyentuh tubuh Stevina. Memintanya agar mampu mengontrol perasaan dan ekspresinya.
Stevina tak bisa menerima kenyataan ini. Hatinya menjerit. Stevina memegang keningnya. Ia benar-benar tak percaya ini semua.
Wanita itu duduk di sebelah Revin. Stevina berusaha keras agar terlihat santai. Walau ia enggan menatap wanita itu.
"Stevina cantik banget. Mama bangga deh sama pilihan kamu Revin."
Revin menunduk menyembunyikan senyumnya. "Ya dong ma. Udah cantik, pintar, jago masak lagi," puji Revin.
Malah Lisa yang tersenyum baper. Sementara Stevina masih berperang dengan pikirannya sendiri.
"Stevina, Revin itu selalu cerita tentang kamu loh. Tante belum pernah lihat foto kamu. Ehh.. Ternyata Stevina yang tante kenal."
Stevina tersenyum terpaksa. Ia yakin kalau wanita ini juga merasa shock karena ternyata ia berselingkuh dengan ayah dari pacar anaknya.
Sekarang Stevina tahu kalau wanita itu ternyata bernama Sandra.
Wanita itu melanjutkan ceritanya. "Satu hal lucu yang berubah dari Revin sejak dia pacaran sama kamu. Tante ga perlu susah-susah lagi suruh dia ambilin make up di meja rias. Hmm.. Kenapa sekarang dia hapal nama-nama make up ya?" Rayu Sandra.
Stevina menunduk tersenyum. Entah ia harus merasa sedih atau bahagia.
"Emm.. Aku izin ke toilet dulu ya," pamit Stevina. Ia beranjak bangun, berjalan beberapa langkah, dan terhenti. Stevina kembali menoleh. Memastikan apakah ia salah lihat atau tidak. Ternyata memang wanita itu. Stevina langsung bergegas pergi ke toilet.
Lisa tampak khawatir. Ia tahu bagaimana perasaan Stevina sekarang.
Di toilet, Stevina menatap dirinya sendiri di cermin wastafel.
"No. Enggak. Bukan dia. Pokoknya gue cuma salah liat."
"No. Enggak. Bukan." Stevina berbicara dengan dirinya sendiri di depan cermin. Stevina membungkuk sambil memegangi lututnya. Ia tidak peduli apakah lantai toilet itu bersih atau tidak, ia tetap duduk di lantai toilet. Pikirannya sedang bertempur antara 'iya' dan 'tidak'.
"Stevina..." Lisa datang menyusulnya. "Lo ngapain duduk di sana. Cepet berdiri."
Stevina tidak menggubris Lisa.
"Stevina bangun!"
Stevina tetap diam. Akhirnya Lisa menarik paksa Stevina agar bangun.
❄️❄️❄️
Di mobil, Stevina hanya terdiam. Ia menatap Revin berkali-kali. Memastikan apa ini nyata atau tidak. Hari ini benar-benar hari terburuk di hidupnya.
"Revin, aku mau pulang aja."
"Beneran nih? Ga jadi beli camilan?"
"Aku kayanya perlu istirahat."
"Okey deh kalau kamu berubah pikiran."
Stevina malah menitikkan air mata mendengarnya. Ia cepat-cepat menghapus air matanya agar Revin tidak tahu.
Stevina terlalu menyayangi Revin. Kenapa harus Revin yang menjadi anak dari wanita itu? Wanita yang menyakiti ibunya. Hidup memang tidak adil.
Sampai di apartemen, Stevina meminta Revin untuk langsung pulang saja. Ia berbohong mengatakan ada urusan penting dengan Lisa.
Sementara yang sebenarnya Stevina lakukan adalah menangis di lantai balkon. Entah dosa apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya. Hingga ia harus mengalami hal yang benar-benar menguji mentalnya di kehidupan saat ini.
Stevina berbaring di lantai balkon. Menatap langit sambil memegangi dadanya. Wajah Stevina sangat pucat. Ia berusaha keras mengontrol rasa sakit yang ia rasakan.
Lisa datang membawakan segelas teh hangat. "Jangan ditahan. Apapun yang lo rasain, keluarin aja," saran Lisa.
Stevina bangkit dengan wajah penuh derita. "Ketika ibu dari orang yang lo cintai, ternyata parasit di hubungan orang tua lo, apa yang bakal lo lakuin?"
Lisa menutup mata mendengar pertanyaan menyakitkan itu. Lisa diam tak menjawab. Melihat kondisi Stevina saja sudah memilukan. Apalagi merasakannya sendiri.
Lisa hanya bisa memeluk Stevina yang mulai menitikkan air mata.
Stevina mencoba tegar. Apa yang akan terjadi selanjutnya, biarlah terjadi saja. Ia berpikir, hidupnya memang sudah digariskan akan selalu menyedihkan.
Di tempat lain, Sandra sendiri merenung. Mengingat gadis yang putranya cintai, gadis yang membuatnya tidak sabar ingin segera bertemu, ternyata adalah anak dari wanita yang ia khianati. Dia adalah putri dari pria yang berselingkuh dengannya.
Mengingat senyum Revin ketika membahas Stevina, membuatnya tidak tega. Naluri keibuannya meronta. Sandra memegangi perutnya. Ia tengah mengandung anak dari ayah tiri Stevina. Kini ia bingung harus melakukan apa.