Kecurigaan Stevina akhirnya terjawab. Semua sudah jelas hari ini. Dan sepertinya, beberapa murid yang mendengar akan segera menyebarkan berita ini.
Sebagai teman dekat Nino, Alex terang-terangan menceritakan semua masalahnya dengan Vani. Ia tidak sadar kalau Nino merekam semua percakapan mereka dengan USB yang Stevina berikan. Nino juga menyuruh beberapa temannya mengambil gambar dirinya dengan Alex saat Alex menceritakan semuanya.
Kecurigaan Stevina benar. Ia sudah curiga saat memergoki Vani muntah-muntah di apartemennya.
Dan benar saja, ternyata Vani mengakhiri hidupnya karena ia hamil. Dalam rekaman suara itu, Alex mengaku ia tidak ingin terlibat dan menyuruh Vani untuk mengurus sendiri masalahnya itu. Dan yang lebih menyedihkan, Alex menyuruh Vani untuk menggugurkan saja kandungannya.
Hari itu, keluarga Vani datang ke sekolah. Mereka yang tengah berduka dan tidak terima dengan nasib putrinya, menuntut keadilan pada pihak sekolah.
Bunuh diri memang pilihan yang terkutuk. Tapi tidak ada yang tahu. Sebesar apa beban yang dipikulnya, tertutupnya semua jalan keluar, pikiran kacau, perasaan tersiksa, dan rasa sendirian, sehingga seseorang memutuskan untuk memilih mengakhiri hidupnya.
Berkat bukti-bukti yang telah dikumpulkan, hari ini juga pihak sekolah telah resmi mengeluarkan Alex.
"Kamu hebat banget. Sekarang semuanya udah jelas berkat kepekaan kamu." Revin membelai rambut Stevina.
Alex melewati koridor sekolah bersama beberapa orang yang sepertinya mereka adalah kerabat Alex.
Tatapan penuh dendam itu ia tujukan pada Nino. "Pengkhianat lo!" Seru Alex. Beberapa kata kasar lainnya juga Alex lontarkan. Nino hanya diam saja mendengar itu. Rendi dengan setia berdiri di samping Nino.
"Gue yang suruh Nino," ucap Stevina lantang.
Alex mengalihkan tatapannya ke arah Stevina. Refleks, Revin memegang tangan Stevina.
"Santai aja bro. Pacar terkasih lo ini, ga akan gue apa-apain."
Alex tersenyum bengis ke arah Stevina. "Lo temennya Vani? Hhhh... Dasar perempuan! Gak mau rugi, tapi ngapain ngasi?"
"Maksud lo apa hahhh?!" Pekik Vriska yang baru saja datang.
"Asal kalian tau. Dia juga mau sendiri dengan sukarela tanpa gue paksa. Sekarang siapa yang pelacur?"
Vriska menarik kerah baju Alex. "Sekali lagi lo bilang gitu gue robek mulut lo!"
"Vriska udah udah..." Stevina mencegat Vriska. "Jangan percaya sama omong kosong."
"Kalian tanya aja sekalian sama arwahnya dia sana!" Balas Alex. Ia melangkah perlahan dengan senyuman licik dan tatapan penuh dendam yang ditujukan kepada Stevina.
Stevina tidak takut dengan tatapan Alex. Ia malah balas melawan tatapan Alex.
❄❄❄
Air hujan yang menggenang di aspal terciprat membasahi seragam Stevina. Sebuah mobil yang sudah dipastikan memang sengaja melakukan hal ini, berhenti tepat di sebelah Stevina.
Salah seorang dari mereka membuka kaca mobil. Rupanya mobil itu ditumpangi oleh Trisha dan teman-temannya.
"Guys.. Ini dia nih. Temennya murid yang hamil terus bunuh diri."
"Hahahaha.."
"Aduh.. Gue jadi kasian sama Revin. Cowok idola gue dapet cewek beginian. Pasti dia juga udah gak bener nih. Ketularan temennya yang udah meninggal itu."
"Ehh dia model loh."
"Iyaa tau gue. Cocok kok. Apalagi jadi model bikini."
"Hahaha.."
"Udah ah. Yuk cabut.."
Mobil itu meluncur pergi bersama dengan tawa Trisha dan teman-temannya. Stevina mencoba bersabar walau sejujurnya perkataan mereka tadi membuatnya sangat sakit hati. Ia bergegas pulang ketimbang harus masuk angin karena seragamnya yang basah.
"Kenapa selalu perempuan yang disalahin? Apa salah Vani?"
Stevina menoleh ke sumber suara. Vriska yang entah sejak kapan berdiri di sana, menatapnya iba.
Sejak berita itu tersebar, Stevina dan Vriska menjadi korban sindiran para siswi. Baik seangkatan maupun kakak kelas.
Stevina tahu. Sebenarnya sindiran itu hanya ditujukan untuknya. Ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk memaki Stevina. Karena ia dan Vriska selalu bersama, Vriska merasa terhakimi juga.
Stevina juga tahu, sejak awal sekolah, apalagi setelah menjadi pacar Revin, si idola para siswi SMA Vrekodara, kebencian untuknya menjadi tak terbendung. Karenanya, ini saat yang tepat bagi mereka untuk balas dendam.
"Kenapa Vin? Kenapa? Ini semua salah Alex. Si bajingan itu yang hancurin hidup Vani. Tapi kenapa Vani yang.."
"Karena kita perempuan Vriska," pungkas Stevina.
"Udah nasibnya perempuan. Apapun yang kita lakuin, dampaknya ga bisa disembunyiin. Contohnya ya itu, kehamilan."
Vriska menunduk mendengar ucapan Stevina.
"Ngelakuin hal itu, perempuan bisa hamil. Tapi mereka kaum adam? Mereka ga bisa hamil."
"Tapi mereka udah menghina Vani," lirih Vriska.
Stevina menghela napas panjang. "Sebenarnya bukan itu maksud mereka Vriska. Percaya gue. Mereka sebenernya cuma mau gangguin gue."
"Apa maksud lo Vin?"
"Ehh.. Eh.. awas hati-hati guys."
Vriska dan Stevina menoleh. Trisha dan teman-temannya sengaja berjalan pelan melewati mereka berdua. Entah kenapa mereka balik lagi.
"Guys, kita tuh harus jadi temen yang baik ya. Harus saling ngingetin untuk jaga diri. Jangan jadi temen yang gak bener," ucap Trisha dengan nada penuh penekanan.
Kepalan tangan Stevina mengeras. Kesabarannya hampir habis. Tatapan matanya begitu tajam. Trisha sampai membuang muka. Tak sanggup beradu tatapan dengan Stevina.
"Maksud lo apa hah?!!" Vriska mendorong tubuh Trisha. "Lo gatau apa-apa jangan asal ngomong!"
"Apa sih! Jangan kepedean lo! Gue bukan nyindir lo!" Pekik Trisha balik.
Stevina melirik Vriska. "Lo ngerti kan sekarang? Semua hinaan itu buat gue."
Vriska kebingungan. "Vin.."
Stevina memutuskan untuk pergi saja. Kesabarannya juga bisa habis. Ia perlu tempat untuk menenangkan diri.
"Jaga mulut lo Trisha!" Umpat Vriska. Ia berlari hendak menyusul Stevina.
❄❄❄
"Kamu kenapa sih?" Pertama kalinya, Stevina melihat wajah kusut dari Revin.
"Kalau aku perempuan, aku pasti buat mereka yang ganggu kamu itu menyesal."
"Maksud kamu?"
"Aku lihat semua. Aku tahu semua."
Stevina mengulum senyum. Ternyata Revin tahu tentang dirinya yang dihina siswi lain. Entah ada yang memberi tahu, atau memang Revin yang menyaksikan sendiri. "Aku gapapa Revin. Abaikan aja mereka."
"Kalau mereka laki-laki, kubuat mereka babak belur karena berani nyakitin kamu."
"Tapi aku ga merasa disakiti."
Revin menatap Stevina nanar.
"Itu hal kecil dan ga penting Revin. Perlakuan mereka ga akan bikin aku down."
Revin mendekap Stevina. Ia tahu, Stevina adalah perempuan yang tegar. "Emm.. Kamu harum banget Stevina."
"Revin.. Di sini rame temen-temen kamu loh," ujar Stevina malu.
"Anggap mereka ga ada," rayu Revin. Stevina melepas pelukan Revin.
"Aku haus." Stevina beranjak bangun.
Revin mencegat tangan Stevina. "Di sana rame. Biar aku aja yang ambilin."
Stevina menoleh. Revin benar. Para lelaki yang juga teman Revin itu berkumpul entah sedang berkutat dengan apa di dekat showcase cooler. Ia kembali duduk dan membiarkan Revin saja yang mengambilkan minum untuknya.
"Hai Stevina," sapa Nina yang baru datang bersama Rendi ke markas. Mereka datang bersama Nino juga. Tapi Nino langsung bergabung bersama kerumunan temannya di sudut lain.
"Revin mana?" Tanya Rendi.
Revin menepuk pundak Rendi. "Cari gue?"
"Wuih.. Main muncul aja ni orang." Rendi dan Nina ikut bergabung bersama Vin couple.
"Ini minuman kamu." Revin meletakkan sebotol minuman pesanan Stevina.
"Oh ya, besok remidi apa aja ya?" Tanya Rendi.
"Sok-sok nanya kaya bakal belajar aja lo," cibir Revin.
"Serius gue. Capek nih remidi terus. Emang lo ga remidi Vin?"
"Remidi? Hhh.. Berkat pacar gue yang pinter ini, gue gak remidi," pamer Revin.
"Emang gimana cara lo nyontek sama dia?"
"Ehh gue ga nyontek ya. Kita belajar bareng sebelum ulangan. Nuduh aja lo."
"Iya iya. Percaya aja deh gue Vin kalau lo belajar."
"Terserah lo aja Ren."
"Stevina, lo tau gak? Revin tuh dulu males banget. Mana pernah dia belajar. Apalagi buat PR. Cuma mitos kalo dia buat PR di rumah," tukas Nina.
"Ehh gue juga pernah rajin dulu ya," sergah Revin tak terima.
"Pasti lo setengah mati kan ngajarin dia Stev? Pasti dia susah memahami. Ckckck.."
"Revin pinter kok," tandas Stevina.
"Tuh, dah denger kan kalian?" Ujar Revin bangga. Ia membelai pucuk kepala Stevina.
"Uhuk.. Cin.. Bucin.." sindir Rendi.
Menjelang terbenamnya matahari, markas mulai sepi. Dua pasang sejoli itu masih setia menjadi penghuni markas.
"Woy Nino. Mau balik lo?" Tanya Rendi melihat Nino telah bersiap mengenakan jaketnya.
"Terus lo nyuruh gue ngapain di sini? Nungguin kalian pacaran? Yang bener aja lo."
"Kan bisa sekalian belajar ilmu berpacaran. Ada gue sebagai ahli."
"Sialan lo," gerutu Nino.
Rendi terkekeh. "Masih kesel lo karena kemarin?"
"Emang kenapa kemarin?" Tanya Nina.
"Pacar lo tuh sama si Revin. Tega ninggalin gue yang tanpa dompet," adu Nino.
"Seriusan? Hahaha.." gelak Nina. Terus gimana?"
Rendi dan Revin tertawa terpingkal-pingkal tanpa rasa bersalah. Sementara Stevina hanya menyimak dengan baik dan benar.
"Ya untung gue dipungut sama anak-anak yang lain. Dibayarin makan lagi gue."
"Yah.. Siapa suruh ga bawa dompet," celetuk Nina.
"Dompet gue ga sengaja kebawa sama si Revin tuh. Stevina, kasi tau pacar lo biar jangan tegaan jadi manusia. Dah lah, gue cabut."
"Kaya betina aja lo pake ngambek," goda Rendi.
Nino mendekati meja mereka berempat. "Sebelum pulang, gue sebagai teman yang baik mau bilangin nih ke kalian. Penting nih."
"Apaan?"
"Kalau ga tahan, jangan di sini. Ke hotel, cari kamar."
"Dasar jomblo aliran sesat!" Seru Rendi.
"Ckckkc.. Calon penghuni neraka ya begini," tambah Revin.
"Hus.. Nino! Sana pulang pulang!" Usir Nina.
"Hahaha.. Gue cabut ya." Nino tertawa puas meninggalkan mereka yang mengumpat tak jelas.
❄❄❄
"Vriska." Stevina menghampiri Vriska yang sedang duduk sendirian membaca buku.
"Tumben lo dateng pagi amat," heran Vriska. Kelas masih sepi. Hanya ada mereka berdua.
"Kemarin lo bilang pengen brownies kan?" Stevina mengeluarkan sekotak brownies dari tasnya.
"Hah? Kapan gue bilang gitu?"
"Mm.. Story lo kemarin."
"Hehe. Lo peka juga."
"Lo mau kemana?" Stevina kebingungan melihat Vriska yang tiba-tiba berkemas.
Vriska sibuk mengemasi buku-bukunya. "Gue cuma mau ngerasain tempat duduk gue buat terakhir kalinya."
"Maksud lo?"
"Gue pindah kelas."
Stevina tersentak kaget. "Pindah kelas?"
"Iya Vin. Gue perlu nenangin diri. Gue masih shock. Sekarang gue udah sadar. Lebih baik gue ga deket-deket sama lo. Sebelum hal buruk juga terjadi sama gue."
Lidah Stevina mendadak kelu. Ia hanya bisa tertegun. Apa ini mimpi? Kenapa Vriska melontarkan kata-kata itu?
"Clara, Vani, kenapa mereka harus ninggalin gue? Kenapa semua hal buruk terjadi sejak lo dateng Stevina? Gue kenal Clara. Dia pergi, bukan cuma karena urusan keluarga. Tapi dia berusaha menghindar dari rasa cemburu gara-gara lo Vin."
Stevina terperanjat. Ia tidak percaya bahwa orang yang berbicara di hadapannya ini adalah Vriska. Hatinya serasa tercabik-cabik mendengarnya.
"Gue yakin milih jalan ini Stevina. Makasi pernah baik sama gue. Sekarang gue ga bisa deket sama lo lagi. Gue pergi dulu," Vriska berlalu pergi.
Kotak brownies yang Stevina pegang hampir jatuh. Tubuhnya terasa lemas seketika. Gadis itu sampai berjongkok memegang dadanya. Berusaha menahan tangis dan rasa pilu di hatinya.
Rasa sakit akibat putus cinta, sudah pernah ia rasakan. Tapi putus pertemanan? Percayalah. Rasanya jauh berlipat-lipat lebih sakit dari pada putus cinta.
Sambil menahan tangis, Stevina membuka resleting tasnya. Seperti hari-hari sebelumnya, ia meletakkan setangkai bunga berwarna putih di bangku Vani. Stevina mencakupkan tangan. Ia selalu berdoa agar Vani tenang di sana.
Sekarang tinggal ia sendiri di kelas. Stevina duduk di bangkunya dengan tatapan kosong. Air mata Stevina seketika menetes dengan sendirinya.