"Heh Vin. Gimana? Lo ikut kan?" Tanya Rendi.
"Maunya ikut sih. Cuma.. Ya.. Lo tau lah."
"Wah.. Gue paham nih kayanya."
"Menurut lo gimana Ren?"
Rendi menghela napas. "Ya.. Gini sih. Berdasarkan pengalaman gue sebagai casanova, biasanya cewek bakal ngambek sih. Apalagi sekarang liburan. Mereka pasti mau ditemenin."
Revin menghela napas sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
"Udah.. Jangan kebanyakan mikir lo. Langsung tanya aja sama cewek lo."
Baru saja dibahas, Stevina datang mencari Revin ke markas. Di sana, penghuni markas memandangi Stevina.
"Wih.. Siapa tuh? Cantik bener.."
Kumpulan murid laki-laki di sana tampak berbisik-bisik sambil memandangi Stevina.
"Jangan macem-macem lo. Dia pacarnya Revin."
Rendi yang melihat kedatangan Stevina, langsung menghampiri Stevina.
"Ehh, Stevina," panggil Rendi.
"Hai Rendi. Revin mana?"
Seketika Revin muncul dari sebuah ruangan.
"Revin."
"Stevina? Kamu kok ke sini? Aku kira kamu lagi tidur siang di rumah."
"Ada yang mau aku omongin bentar."
"Yaudah. Ikut aku."
Revin mengajak Stevina ke sebuah ruangan. Revin menatap teman-temannya yang ada di ruangan itu. Teman-teman Revin langsung mengerti. Mereka keluar dari ruangan. Membiarkan Revin dan Stevina berdua di sana.
"Kamu kenapa?" Revin memegang kedua bahu Stevina.
"Kamu sibuk?"
"Ga pernah sibuk kalau kamu butuh aku." Revin menyentuh lembut pipi kanan Stevina dan mengacak-acak rambut gadis itu.
Stevina tersenyum simpul.
❄❄❄
"Kamu kenapa senyum-senyum?" Heran Stevina.
"Engga sabar aja liat kamu pemotretan."
Stevina tersenyum kecut. "Aku beneran engga ganggu kamu kan?"
"Kamu itu pengecualian. Sesibuk apapun aku, kalau kamu perlu aku ga jadi sibuk."
Stevina tersenyum simpul sambil mencubit pipi Revin yang kenyal.
"Kita sekalian jalan-jalan di Bandung gimana?" Tawar Revin.
"Bandung? Iyaa bolehh... " jawab Stevina antusias.
Di lampu merah, Revin menggoda Stevina dengan mengacak-acak pucuk kepala Stevina.
"Revin ih."
"Tadi kamu kan cubit pipiku."
"...."
Sampai di lokasi pemotretan, Stevina langsung terjebak kondisi hectic. Ia sampai tidak melihat Revin pergi kemana.
Entah Revin pergi untuk berkeliling atau kemana, Stevina berusaha fokus pada pekerjaannya.
Di tengah keramaian para crew, Revin ada di sana memperhatikan Stevina. Senyum bangga tak hentinya tercetak di wajahnya. Ia merasa menjadi lelaki paling beruntung.
Hingga akhirnya tiba tenggat waktu, Revin menghampiri Stevina yang kebingungan mencarinya.
"Revin.. Aku bingung dari tadi cari kamu."
"Aku ga kemana-mana. Dari tadi di sini nungguin kamu."
Stevina melempar senyum hangatnya.
"Oh ya, kita jadi jalan kan?"
Stevina mengangguk.
"Ayo jalan-jalan." Revin merangkul Stevina.
"Kita mau kemana?"
"Danau."
"Danau?"
"Mungkin kamu pernah ke sana. Danau ini terkenal banget loh di Bandung."
"Hum.. Okey."
❄️❄️❄️
Ternyata Stevina tidak pernah mengunjungi danau itu meski sudah lama tinggal di Bandung. Saking indahnya lokasi, pikiran mereka terasa seperti disihir. Keduanya berdecak kagum. Pemandangan memukau ditambah udara yang sejuk benar-benar sanggup menenangkan pikiran.
"Wow, jujur aku belum pernah ke sini. Tempat ini cocok banget sih buat orang-orang yang lagi banyak pikiran."
"Mau naik perahu ga?" Tanya Revin begitu melihat beberapa perahu yang mengapung dengan tenang.
"Boleh, yuk."
Mereka berdua sepakat menyewa perahu agar bisa menyusuri indahnya danau lebih dalam lagi. Revin tidak lupa membawa ukulele dan kameranya.
Sekarang giliran Stevina yang sibuk memotret Revin di atas perahu dengan latar danau dan sunset. Tentu saja, siapa yang tidak ingin berfoto dengan latar seperti itu?
"Aku dong aku," pinta Stevina yang juga ingin difoto. Mereka juga membuat story di Instagram ala anak-anak muda pada umumnya.
Revin meminum kopi sambil melihat pemandangan sekeliling danau. Ia melirik Stevina yang tengah berbaring menggunakan kacamata, earphone, dan buku di tangan yang tengah serius ia baca. Revin membuka YouTube di HP dan mulai memutar sebuah lagu kesukaan Stevina. Revin meraih ukulele dan mulai memetik senarnya. Mendengarnya, Stevina terbangun sambil melepas kacamata. Stevina tersenyum menatap kedua bola mata Revin yang bernyanyi penuh penghayatan. Stevina merasakan kedamaian dan perasaan yang sulit didefinisikan. Revin memang anugerah terindah untuknya.
Vin, you got me hooked onto something
Who could say that they saw us coming?
Tell me
Do you feel the love?
Spend a summer or a lifetime with me
Let me take you to the place of your dreams
Tell me
Do you feel the love?
"Sekarang mau nyanyi lagu apa nih?" Tanya Revin usai menyanyikan lagu Double Take, Dhruv.
Stevina mengambil ukulele Revin tanpa menjawab pertanyaan. Revin kebingungan. "Kamu bisa main ukulele?"
"Lagu ini buat kamu, Revin. I Love You Like A Love Song by Selena Gomez," ujar Stevina. Jari-jarinya mulai sibuk berkutat dengan senar ukulele. Diiringi suara unik Stevina yang langsung menyentuh hati Revin.
... No one compares
You stand alone, to every record I own
Music to my heart that's what you are
A song that goes on and on
... I, I love you like a love song, baby
I, I love you like a love song, baby
I, I love you like a love song, baby
And I keep hitting repeat-peat-peat-peat-peat-peat
Revin langsung menghentikan jari Stevina yang masih berkutat dengan ukulele. "Jangan nyanyi lagi. Nanti aku bisa pingsan," ujar Revin sambil memeluk Stevina.
"Revin, ada orang yang liat loh," bisik Stevina sambil tertawa kecil.
"Biar dunia tau aku sayang kamu," ujar Revin.
Sampai akhirnya sunset maha indah yang ditunggu-tunggu pun tiba juga. Revin sekaligus membuat vlog untuk konten YouTube.
Revin berkali-kali memotret Stevina."Mantap nih buat dijadiin wallpaper," ujar Revin girang.
Stevina melihat-lihat hasil foto mereka. Stevina terlihat charming dengan kemeja oversize berwarna putih, kaus dalam putih berkain brokat pada bagian kerah bermodel V-Neck, celana pendek berwarna hijau army, sabuk kepang berwarna cream, dan sepatu sneakers yang juga berwarna putih.
Revin juga mengenakan kemeja berwarna putih, celana selutut berwarna hijau army, dan sepatu sneakers putih.
Stevina mencelupkan tangannya ke air danau yang segar.
"Stevina," panggil Revin.
Stevina menoleh.
"Aku ga mau pisah sama kamu. Aku bakal usaha supaya kita bisa satu universitas. Ya, walau aku ga sepinter kamu."
Stevina menggeleng. "Engga Revin. Kamu kan bisa. Kamu kenapa suka merendah sih?"
"Aku tetap percaya sama keberuntungan. Kalau nanti kamu diterima karena kecerdasan, aku bakal diterima karena keberuntungan," ujar Revin sambil tertawa. "Kalau kaya gitu, posisi kamu lebih hebat."
Stevina terdiam sesaat. Ia melirik air danau yang tenang, mengambil sebotol kopi miliknya, membukanya, dan meminumnya. "Revin, kamu tau gak?"
"Apa tuh?"
"Menurut aku, takdir itu punya banyak cara. Kalau kamu memang harus sekolah, kuliah, atau kerja di suatu tempat, pasti bakal ada jalannya. Ga peduli mau dengan kecerdasan atau keberuntungan. Semuanya sama-sama anugerah dari Tuhan."
Revin menganga mendengarnya. "Vin, kamu.. Kenapa kamu bisa mikir sehebat itu?"
Stevina tersenyum simpul tak menjawab. Revin memeluk Stevina dari belakang. "Smart girl. I love your statement."
"Revin, malu ih ntar ada yang liat," ujar Stevina dengan jantung berdebar tak karuan.
Kali ini di danau itu, entah untuk yang keberapa kalinya, mereka kembali berciuman.
❄️❄️❄️
Stevina mengambil sebotol Matcha Latte stock dan empat buah gelas.
"Wah.. Seger nih," ujar Revin begitu melihat minuman yang Stevina bawa menggunakan food trolley ke balkon.
"Mantap kakak," girang Nina.
"Tau aja lagi butuh yang seger-seger," tambah Rendi.
Sore itu, mereka berempat singgah di apartemen Stevina.
Stevina menuangkan segelas untuk Revin dan segelas untuk dirinya.
"Eh tunggu.." Revin mencegah teman-temannya yang baru saja hendak menenggak minumannya. "Cheers dulu dong."
"Cheers.."
Mereka berempat bersulang layaknya merayakan sesuatu.
"Kenapa gue jadi pengen tinggal di apartemen ya?" Ujar Nina.
"Yuk. Sewa apartemen. Kita satu room," goda Rendi.
"Rendii.."
Revin meninggalkan balkon. Ia kelelahan dan memutuskan untuk berbaring di sofa. Revin melirik Stevina yang masih mengobrol dengan Nina di balkon.
Tak lama, Stevina meninggalkan balkon. Ia melewati Revin yang sudah tertidur di sofa. Stevina menatap wajah Revin yang tertidur.
"Ehh.." Stevina terkejut ketika Revin menarik tangan Stevina. Gadis itu sampai terduduk di sofa.
"Revin.. Kamu pura-pura tidur?"
Revin bergeser. Menyisakan tempat untuk Stevina berbaring di sofa. Tangannya menepuk-nepuk kursi yang sudah seperti tempat tidur itu. Isyarat agar Stevina berbaring di sampingnya.
Stevina menyunggingkan seulas senyum. Ia ikut berbaring di sofa bersama Revin.
"Aku kangen sama kamu," ujar Revin.
"Ya ini kan kita lagi ketemu," balas Stevina.
"Iyaa juga ya."
"Ih, gimana sih."
"Bentar, aku jadi haus lagi."
"Yaudah minum lagi sana."
Revin kembali ke balkon untuk mengambil minum. Rendi dan Nina sedang asyik membucin di sana.
"Aneh banget sih.." heran Stevina.
Revin lekas balik supaya tidak mengganggu pasangan bucin itu.
Stevina memperhatikan mata Revin. "Ada yang aneh deh sama kamu," celetuk Stevina.
Revin menoleh menatap Stevina. "Aneh gimana?"
"Raut wajah kamu tuh ga bisa bohong. Kamu ga mau cerita sama aku?"
Revin terkejut. Perempuan memang makhluk yang peka. Revin meletakkan gelasnya. Kini ia mengumpulkan keberanian untuk bicara.
"Aku mau keluar kota bareng temen-temen. Bareng temen OSIS juga."
Stevina terdiam beberapa saat. "Berapa hari?"
"Lima hari." Revin terdiam sesaat. "Tapi, masalah aku ikut atau engga, itu semua tergantung izin kamu."
Stevina tersenyum lembut. Ia mendekatkan jaraknya dengan Revin. "Aku tau kamu mau ikut."
"Tapi liburan ini.. Aku udah janji bakal temenin kamu. Aku gak bakal ingkar janji."
"Apanya yang ingkar janji Revin? Itu kan baru rencana. Kita belum nentuin tanggalnya kan?"
Revin terenyuh mendengarnya. "Jadi aku boleh ikut?"
"Boleh banget dong. Aku gak mau ya, kamu kehilangan quality time bareng temen-temen kamu cuma gara-gara aku." Stevina meletakkan dagunya di bahu Revin. "Kamu harus ikut. Nikmati waktu kamu bareng temen-temen. Kapan lagi coba?"
"Kalau aku pergi sama temen-temen, kamu gimana?"
"Ya aku bakal me time. Main piano, nonton YouTube, atau.. Jalan bareng Lisa."
Revin mencium tangan kanan Stevina. "Kamu memang spesial."
"Revin, inget ya, kamu juga harus punya waktu bareng temen dan juga keluarga kamu. Waktu kamu, gak harus untuk aku terus."
Revin mendekap Stevina. "Makasi banyak Stevina. Makasi.."
"Apa.. Aku perlu bantu kamu buat prepare?" Usul Stevina.
"Prepare?" Ulang Revin.
Stevina mengangguk.
❄❄❄
"Revin, ini masukin jaketnya."
"Oh iya. Untung kamu ingetin."
Revin memasukkan jaket ke dalam tasnya. "Apa lagi yang kurang ya?"
"Dompet, peralatan mandi, pomade, parfum, earphone, charger HP, Em.. Apa lagi ya Revin? Snack sama minuman?"
Revin terkekeh kecil sambil membelai pipi Stevina. "Makasi udah bantuin."
"Iya Revin."
"Aku ke bawah dulu. Kasian si Dodo belum makan."
Revin meninggalkan Stevina sendirian di kamarnya. Ia sendiri pergi ke halaman belakang hendak memberi makan anjing peliharaannya.
Stevina berbaring di kasur Revin sambil mengotak-atik semua platform media sosial yang ia miliki. Revin cukup lama sampai ia ketiduran.
❄❄❄
Tiba saat sang surya beristirahat, Stevina baru membuka matanya. Ia terkejut mendapati dirinya tidak berada di kamarnya sendiri.
Refleks pertama yang ia lakukan adalah mencari Revin. Ia mencari ke berbagai sudut rumah Revin. Kemana pacarnya itu?
"Bi, Revin kemana ya?" Tanya Stevina.
"Tadi katanya keluar sebentar non."
"Ohh.. Makasi bi."
Stevina menyalakan televisi. Ia menunggu Revin di ruang tengah.
"Kamu udah bangun ternyata."
Stevina menoleh melihat siapa yang datang. Revin baru saja datang. Tangan kanannya menenteng sekresek hitam yang entah apa isinya. "Bangun tidur kamu pasti laper."
Revin bergegas ke dapur menyiapkan makanan. "Makan dulu yuk. Nanti aku anterin kamu pulang."
"Mama kamu pulang jam berapa?" Tanya Stevina.
"Mamaku lagi di luar kota."
"Ohh.."
"Mama bilang udah ga sabar ketemu kamu. Sampe nyesel katanya karena belum pulang," tambah Revin.
Stevina tersipu malu. Ia tidak pernah melihat wajah ibu Revin. Sementara ayah Revin, beliau sudah tiada. Di rumah Revin bahkan tidak ada foto keluarga yang terpajang.
"Aku kekenyangan," ujar Revin usai makan. Ia membuka kulkas dan mengambil air putih dingin.
Stevina mengambil piring Revin dan mencucinya.
"Istri idaman nih," goda Revin.
"Cuci piring doang astaga," sahut Stevina.
Revin yang sedang bermain game, tidak sadar Stevina sedang memasak camilan untuk dirinya. Sesekali Stevina melirik Revin sambil geleng-geleng kepala saat Revin bergumam tidak jelas. Terlihat pacarnya itu sangat fokus.
Revin terkejut ketika Stevina datang membawakan segelas kopi alpukat, pizza telur, dan chocolate truffle.
"Wih, Vin sayang, kamu ngapain?" Revin tampak bingung sekaligus bahagia.
"Masak buat kamu lah. Kebetulan ada bahan-bahannya di dapur. Dicoba dong," Stevina memotong sedikit pizza telur dan menyuapkan untuk Revin. Sambil mengunyah, kedua bola mata Revin tampak berbinar.
"Ini enak banget. Ini makanan spesial," puji Revin.
"Lebih spesial lagi karena aku yang buat."
Revin tertawa renyah mendengar kepedean Stevina. Jantung Revin berdebar tidak karuan. Stevina benar-benar membuatnya tersentuh. Revin tak berhenti menatap Stevina yang juga tengah mencicipi masakannya.
"Pamer dulu ah," ujar Revin. Ia merekam dirinya, Stevina, dan masakan Stevina.
"Dimasakin istri gue," ujar Revin di video yang selanjutnya ia kirim ke grup gengnya.
Pipi Stevina mendadak memerah. Revin mengganggu Stevina dengan berpura-pura akan menggigit pipi Stevina.
"Revin no..."
Revin sampai tidak rela Stevina pulang. Ia memikirkan cara bagaimana supaya Stevina diam di rumahnya lebih lama. "Aku.. Ke kamar mandi dulu."
"Iya." Stevina menunggu sambil menonton televisi.
Dari depan pintu kamar mandi, Revin mengintip Stevina diam-diam. Otaknya bekerja penuh memikirkan cara lain. Ia menghampiri Stevina.
"Udah?" Tanya Stevina.
Revin mengangguk sok lemah. Ia duduk di sebelah Stevina.
"Kenapa Revin?"
Revin berbaring di sofa yang sudah seperti kasur itu. Revin langsung berakting seakan-akan sedang lemah. "Kayanya aku mau sakit deh."
"Hah? Kenapa?"
"Iya nih. Kayanya karena aku kebanyakan makan sambal deh."
Stevina menahan tawa. Ia tahu Revin berbohong. "Revin, kamu gamau anterin aku pulang ya?"
Revin bangkit mendadak. "Bukan.. Bukan gitu. Cuma.."
Stevina menempelkan jari telunjuk tangan kanannya di bibir Revin. "Ssstt... Aku tau."
Revin menghela napas. "Nanti aku kangen kamu."
"Kamu kaya mau pergi setahun aja deh."
"Aku pengen cium kamu."
Stevina tersenyum sinis. Ia menyalip Revin untuk melakukannya. Stevina mencium pipi Revin secepat kilat. "Eh, bibi ga liat kan?" Tanya Stevina yang baru tersadar sambil melihat sekeliling.
Revin tidak menjawab. Jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya menyentuh dagu Stevina. Wajah Revin mendekat. Stevina menutup matanya ketika bibir Revin mendarat mulus di bibirnya.
Stevina sampai terbaring di sofa karena Revin menindihnya. Ia menciumi seluruh bidang wajah Stevina. Kedua jari-jari tangannya memasuki sela-sela jari Stevina.
"Revin, sepuluh menit." Stevina memperingati. Revin berhenti sejenak. Ia mengangguk kemudian. Waktunya tersisa sepuluh menit lagi untuk bermesraan.
Revin melanjutkan aksinya. Wajah lembut dan aroma harum tubuh Stevina membuat Revin terlena.
❄❄❄
Sudah tiga hari, Stevina menikmati liburan seorang diri. Tanpa Revin, dan tanpa teman. Yang ia lakukan hanya membaca novel, memasak makanan yang belum pernah ia coba sebelumnya, dan bermain piano di balkon. Piano putih hadiah ulang tahun dari Angelina. Terkadang, Stevina bermain biola walau belum mahir.
Pukul tiga sore itu, ditemani secangkir lemon tea, Stevina bermain biola instrumen lagu I Like You So Much, You'll Know It.
Lagu yang pas di waktu yang tepat, sambil menikmati keadaan kota yang dikelilingi gedung-gedung pencakar langit di sekitar apartemennya. Stevina sudah jatuh cinta dengan kota Jakarta.
Stevina berhenti menggesek bow biola ketika ponselnya berdering. Seperti biasa, telepon dari Revin. Wajah murungnya sirna seketika.
Stevina mengangkat telepon dari Revin. "Hai.."
Setiap harinya, Revin tidak pernah lupa untuk mengabari Stevina.
Video call yuk. Aku kangen nih.
"Yuk, aku juga kangen kamu."
❄❄❄
"Stevina Barjoli ya?" Tanya seorang crew.
"Iya. Udah telat ya?"
"Silakan langsung masuk dulu."
Siang itu Stevina mendapat job pemotretan untuk sampul majalah.
Selesai berias, seorang lelaki mendekati Stevina. Tampaknya lelaki itu lebih tua. Ia memperkenalkan diri dan mengaku sebagai partner Stevina dalam pemotretan kali ini.
Stevina merespon ala kadarnya saja walau lelaki itu terlihat sangat excited. Dari para crew, Stevina tahu kalau lelaki itu bernama Yudis.
Dituntut profesional, Stevina harus mau berpose mesra dengan Yudis. Pikirannya jadi melayang ke Revin. Bagaimana kalau Revin melihat majalah ini? Stevina yakin, Revin juga bisa profesional.
Saat-saat take terakhir, fokus Stevina terbagi. Matanya membulat ke arah seseorang yang baru saja tiba. Kapan Revin pulang? Bagaimana ia bisa tahu lokasi pemotretan kali ini?
Revin melambai. Ia tersenyum memberi kode untuk menyemangati Stevina.
Yudis melirik Revin. Ia sedih saat tahu kalau ternyata perempuan menarik di sebelahnya ini sudah punya pasangan.
Stevina langsung berlari menghampiri Revin setelah pemotretan berakhir.
Revin langsung memeluk Stevina. "I miss you."
Saking senangnya Stevina tidak menyahut tetapi mengencangkan pelukannya.
"Kita udah berapa tahun ga ketemu?" Kelakar Revin.
Stevina tertawa. "Revin, kamu kok tau aku ada di sini?"
"Tau dong."
"Kamu tadi jam berapa sampai di Jakarta?"
"Baru aja nih. Terus aku langsung ke sini." Revin mengelus kepala Stevina. "Aku beliin minum dulu ya."
"Iyaa."
Revin melirik Yudis yang sedari tadi mengawasi mereka berdua bicara. Ada rasa kesal di hati Revin. "Aku juga bisa jadi partner kamu kaya dia."
"Dia siapa?" Tanya Stevina bingung.
"Aku beli minum dulu." Revin berlalu pergi. Stevina melirik Yudis. Apa orang itu yang dimaksud Revin?
Stevina mengemasi barang-barangnya. Kegiatan hari ini telah usai.
"Stevina," panggil Yudis. Stevina berbalik badan menatap Yudis.
"Senang bisa kerja bareng. Semoga kita bisa satu proyek lagi."
Stevina mengangguk. "Iyaa, semoga nanti kita bisa kerja bareng lagi."
Yudis mengulurkan tangannya. "See you next time."
Stevina balas uluran tangan itu sambil tersenyum ramah.
"Boleh.. Temenan di WhatsApp?" Pinta Yudis.
Dari kejauhan, Revin yang mendengarnya mendadak geram sampai hampir menghancurkan botol minum yang ia pegang. Sedikit berlari ia menghampiri Stevina. "Sayang, yok pulang," ujarnya sambil merangkul pundak Stevina agar Yudis tahu, bahwa dialah pemilik hati Stevina. Niatnya untuk membatalkan permintaan Yudis telah berjalan lancar.
"Iya, ayo Revin." Stevina melirik Yudis. "Duluan ya."
"Oh.. Okey. Kalian hati-hati di jalan," ucap Yudis.
Revin melempar tatapan kesal ke arah Yudis sebelum berlalu.
Stevina menyadari hal itu. Ia berusaha menahan tawa melihat wajah cemburu Revin serta wajah innocent Yudis.
❄❄❄
Pagi-pagi sekali, Stevina meletakkan sekuntum mawar putih di bangku Vani. Sudah yang kesekian kalinya ia melakukan ini sebagai tanda perpisahan dan persahabatannya dengan Vani.
Stevina mencakupkan kedua telapak tangannya. Berdoa untuk ketenangan jiwa Vani di alam sana.
Hari pertama sekolah setelah libur, Stevina merasa sedikit aneh. Ia mendapat tugas satu kelompok dengan geng Trisha. Dan yang memilih adalah ibu Trisha selaku guru pelajaran tersebut.
"Eh, lo mau kemana?" Tanya Trisha. Mereka hendak mengerjakan tugas langsung sepulang sekolah hari itu juga.
"Ke mobil," jawab Stevina singkat.
"Em.. Bareng kita aja gimana? Naik mobil gue."
"Makasi tawarannya. Tapi gue sendiri aja."
Trisha melirik temannya. Ia tampak ragu. "Em.. O-Okelah.."
Stevina bergegas pergi ke mobilnya.
Sementara Trisha kembali ke kelas yang sepi dan menyuruh teman-temannya menuju ke parkiran. Nina yang sedang buru-buru menuju kelas untuk mengambil sesuatu, tidak sengaja melihat Trisha yang sedang berbicara di telepon. Ia tidak jadi masuk kelas karena sedikit kepo.
"Pokoknya siksa dia. Bila perlu lo ambil 'kebanggaan' dia tuh. Supaya si itu ga mau lagi sama dia."
Nina terkejut dengan kata-kata Trisha yang cukup kasar. Tapi ia tidak mengerti dan tidak peduli. Trisha langsung buru-buru keluar kelas. Ia tidak menyadari ada Nina di dekat ambang pintu. Begitu juga Nina, ia tidak peduli dan langsung masuk ke kelas.
Trisha dan gengnya berjalan lebih dulu, disusul Stevina yang mengikuti kemanapun laju arah mobil Trisha. Dengan memakan waktu hingga lima belas menit, mereka sampai di tujuan. Stevina kebingungan.
Tempat macam apa ini? Batin Stevina.
Trisha menghampiri Stevina yang baru turun dari mobil.
"Ini dulunya kedai kopi punya keluarga gue. Tapi sekarang udah kosong."
"Oh.." jawabnya tanpa ingin bertanya kenapa harus di tempat ini.
"Yuk masuk." Trisha dan teman-temannya masuk lebih dulu.
Bangunan berukuran 4x6 meter itu terlihat bersih terawat.
"Duduk dulu." Trisha menarik kursi untuk Stevina duduk. Aneh sekali. Si barbar mendadak berubah menjadi si manis. Stevina sedikit kebingungan. Ia melirik Trisha, duduk, meletakkan tasnya di lantai, dan kembali melirik Trisha.
"Gue sama temen-temen beli camilan dulu ya," ujar Trisha sambil meletakkan laptop selaku sarana utama untuk mengerjakan Power Point.
Stevina mengangguk.
"Lo mau ikut? Atau mau nitip aja?" Tawar Trisha.
Stevina menggeleng. Tak masalah baginya kalau harus sendirian. Ia juga tidak lapar. Begitu Trisha pergi, Stevina mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk memastikan tempat itu tidak seram.
Sambil menunggu, Stevina mendengarkan lagu dan mencari referensi untuk tugas mereka.
Tok.. Tok..
Trisha datang kembali sambil menatap Stevina dengan tatapan mencurigakan. Ia bersandar di ambang pintu. "Stevina Barjoli," ucap Trisha sambil tersenyum sinis. "Gue akui, lo itu cewek cerdas. Tapi kali ini, lo bodoh Stevina."
Stevina melepas earphone di telinganya. Ia mulai serius menyimak ucapan Trisha. "Apa maksud lo?" Tanya Stevina kebingungan.
Trisha melipat kedua tangannya di depan dada. "Kelemahan lo itu, lo kurang curiga. C'mon, curiga itu perlu girl."
Stevina mengernyitkan alisnya.
"Lo pasti pernah denger dongeng anak tentang kisah orang yang pura-pura baik sama musuhnya, supaya gampang menjebak musuh?"
Stevina sudah mengerti apa maksud gadis jahat di hadapannya itu. Trisha langsung berlari dan menutup pintu. Stevina ikut berlari menuju pintu. Stevina mencoba membuka pintu. Cukup keras tapi ia berhasil. Stevina melihat sekeliling. Trisha dan mobilnya sudah tidak ada.
"Ehem."
Stevina terkejut bukan main karena mendengar suara seseorang. Ia menoleh dan tambah terkejut.
"Alex?" Ucap Stevina.
"Hai Stevina. Long time no see."
Stevina menatap Alex penuh curiga.
"Gimana? Udah puas kan gue dikeluarin dari sekolah? Pasti puas dong," sindir Alex.
Stevina tidak menjawab. Ia buru-buru pergi tapi Alex menjambaknya dan menutup mulut Stevina. Alex mendorong Stevina memasuki ruangan dan mengunci pintu.
Alex berjongkok mendekati Stevina yang terkapar di lantai. Stevina berusaha bangun tapi Alex menahannya.
"Lo tuh cantik. Gue udah tertarik sejak lo masuk ke SMA Vrekodara."
Stevina membuang muka mendengarnya.
"Tapi Revin, dia selalu dapatin apa yang dia mau."
Stevina melirik Alex dengan tatapan super tajam. "Alex, biarin gue pergi."
"Have sex with me?"
"Dasar gila!!"
"Jawab dong."
"Gue lebih pilih mati daripada kehilangan kesucian gue buat lo."
Stevina beranjak bangun dan berusaha membuka pintu. Alex berjalan mendekatinya dengan santai. Tangan Alex mulai lancang dengan berani menyentuh gadis yang dijebak oleh geng Trisha dan Alex itu.
Stevina refleks mendorong Alex karena risih. Alex menarik kerah baju Stevina dan mendorongnya.
Stevina sebenarnya sangat takut. Ia tahu energinya tidak seberapa jika harus melawan Alex. Tapi Stevina berusaha memasang wajah yang tenang.
Alex mendekati Stevina. Ia tersenyum bengis. "Jangan harap lo aman-aman aja setelah cari masalah sama gue."
Stevina memasang wajah remeh. Alex dengan lancang melangkahi Stevina menuju jendela. "Ini bisa jadi celah buat lo kabur," ucapnya sambil menutup jendela.
Alex berbalik badan. Dan tiba-tiba..
Bukk
Wajah Alex dihantam dengan kaki bangku. Ia tak menyangka Stevina sekuat itu. Alex terkapar tak berdaya. Giginya serasa rontok semua. Hidung mancungnya sepertinya sudah bengkok akibat pukulan keras itu. Tak ketinggalan darah segar yang juga mengalir dari hidung Alex.
Stevina hendak memukul Alex lagi tapi Alex mendorongnya. Sambil mengerang kesakitan, Alex berusaha mencari sesuatu.
Stevina berlari mencoba mencari kunci pintu. Tetapi Alex berhasil menarik Stevina dan memukul kepala gadis itu menggunakan patahan kaki meja.
Stevina terjatuh berlutut. Alex langsung menyeret Stevina yang hampir kehilangan kesadaran. Dari hidung Stevina mengalir darah akibat pukulan keras itu.
Alex langsung membuka kancing baju Stevina. Ia nekat merenggut kesucian Stevina. Meski sudah sangat lemah, Stevina masih bisa melawan. Ia teringat pesan Revin tentang bagaimana cara melawan pria. Akhirnya Stevina berhasil menendang kemaluan Alex.
Akhirnya Alex ambruk sambil mengerang kesakitan. Stevina buru-buru mengambil kunci di kantong baju Alex yang sedang terkapar tak berdaya. Alex hendak menangkap Stevina tapi Stevina menginjak perut Alex. Ia langsung berlari begitu mendapatkan kunci.
Stevina berhasil membuka pintu dan berlari dengan tubuh kesakitan. Hanya beberapa langkah menuju mobil, tiba-tiba tubuh Stevina terasa ringan. Seseorang menggendongnya.
Samar-samar, Stevina melihat siapa orang itu. "Revin," desis Stevina lemah.
Kedua bola mata Revin menatap Stevina dengan berkaca-kaca. "Maaf aku telat," ujar Revin dengan suara bergetar menahan tangis karena melihat gadis yang ia cintai itu mengalami penyiksaan.
Stevina sudah tidak bisa menjawab. Ia hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya memejamkan mata dalam gendongan Revin. Stevina sudah tidak sadarkan diri.
Revin berjalan membawa tubuh Stevina ke mobilnya dengan tatapan penuh amarah. Hatinya terluka melihat keadaan Stevina. Nina sampai menunduk melihat tatapan Revin.
"Nina, tolong jagain cewek gue," pinta Revin. Nina mengangguk. Ia masuk ke mobil. Nina terkejut sampai menutup mulutnya. Ia ikut sedih melihat wajah Stevina yang babak belur.
Revin memasuki ruangan itu. Ia menatap tajam Alex yang sedang terbaring kesakitan. Revin berjalan perlahan mendekati Alex. Mimik wajah Alex menyiratkan sedikit ketakutan. Revin menapakkan kakinya di perut Alex. "Beraninya lo sakiti cewek gue. Sekarang biar gue tunjukkin sebesar apa kesalahan lo."
Alex menahan sakit ketika kaki Revin mulai menekan perutnya.
"Tapi tenang. Nyawa lo aman. Gue masih menghargai nyokap lo."
"Vin.. Revin jangan Vin..." mohon Alex.
"ARGHHH......"
Nina dan Rendi sampai menoleh ke ruangan itu. Terdengar jeritan Alex yang begitu memilukan. Entah apa yang Revin lakukan di dalam sana. Nina sampai bergidik ngeri. Ia melirik Stevina yang masih belum sadarkan diri. Nina tersadar, Revin akan membalas sesadis itu kepada orang yang menyakiti Stevina.