Dalam terangnya sinar rembulan, dari dinding kaca apartemen, dipandanginya hiruk-pikuk kota Jakarta oleh si gadis melankolis yang tengah diselimuti perasaan bersalah itu. Dan untuk mengatasi rasa bersalah itu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Bahkan tidak tahu harus melakukan apa.
Secangkir teh hangat dengan asap yang masih mengepul di atas nakas diambil olehnya. Jari telunjuknya mengetuk-etuk gagang cangkir. Menunggu agar suhu teh layak untuk menyentuh lidahnya.
Malam itu seperti malam biasanya, hanya sendirian di apartemen, Stevina melamun. Namun lamunan kali ini berbeda karena sekaligus dihantui rasa bersalah kepada Clara.
❄❄❄
"Vin," sapa seseorang pagi itu di parkiran.
Stevina yang baru saja keluar dari mobilnya menoleh. "Clara," Stevina tersenyum. Walau sebetulnya ia merasa tidak enak dengan Clara.
"Yuk ke kelas bareng." Clara menggamit lengan Stevina.
Satu hari itu, Clara tampak biasa. Ia tersenyum lebar, dan masih bercanda seperti biasa. Tapi Stevina bisa merasakan aura sedih dalam diri Clara. Ia tahu Clara benar-benar merasa hancur.
Semua berjalan baik-baik saja. Sampai suatu hari beredar kabar kalau Clara akan pindah sekolah.
"Seriusan Clara mau pindah sekolah?" Tanya Trisha heboh kepada gengnya.
"Iya. Katanya sih karena urusan keluarga."
"Terus dia sekarang kenapa ga sekolah?"
"Engga tau deh."
Diam-diam, Stevina ikut mendengarkan. Pikirannya jadi kacau. Ia termenung. Perasaannya benar-benar dihantui rasa bersalah.
Di jam istirahat, Stevina berjalan sendirian dari kantin. Saat melewati ruang OSIS, seseorang menghalangi langkahnya dan menariknya masuk ke ruang OSIS.
"Ehh.. Ehh.." Stevina terkejut.
"Ayo masuk bentar."
Orang yang menariknya itu adalah Revin.
"Revin? Ini ga sopan!" Stevina langsung bergegas keluar ruangan tetapi Revin mencegatnya.
"Mau minta waktu lo sebentar aja boleh ga?"
Stevina mendengus kesal.
"Bentar aja."
"Okey. Dua menit," tegas Stevina.
Revin mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya. Isinya adalah cokelat Ferrero Rocher. Damn, itu adalah cokelat favorit Stevina.
"Kemarin gue dibawain cokelat ini banyak banget. Gue mau bagi sama lo."
Stevina melirik cokelat favoritnya itu. "Ini rasanya enak banget loh. Lo ga akan cukup satu," ucap Revin.
Menolak akibat gengsi tinggi sebenarnya cukup menyiksanya. Tapi tetap saja gengsilah pemenangnya. Stevina menolak. Ia berbalik hendak pergi meninggalkan ruang OSIS. Begitu tangannya memegang handle pintu, Revin mencegatnya.
"Lucu juga ngeliat lo sok nolak." Revin terkekeh. "Gue tau lo suka banget cokelat ini. Kemarin waktu dibawain cokelat ini, gue langsung inget sama lo. So, gue bawain supaya lo seneng."
Stevina terpaku kehabisan kata.
"C'mon, make your day happy," ujar Revin sambil menarik tangan Stevina. Revin mengajak Stevina duduk dan menikmati cokelat itu di ruang OSIS.
"Ayo, kita habisin bareng." Revin mengambil cokelat itu dan menyodorkannya untuk Stevina.
Perlahan tapi pasti, Stevina menerima cokelat yang Revin sodorkan itu. Biarkan saja gengsinya itu, Stevina tidak peduli. Yang terpenting lidahnya merasakan kenikmatan dunia.
"Ini gue menghargai ya," ucap Stevina sambil menggigit cokelatnya.
Revin terkekeh. "Ehh ngomong-ngomong, kenapa lo ga berani natap mata gue lama-lama? Lo takut jatuh cinta sama gue?"
"Kepedean! Lo tuh yang bakal suka kalau natap gue lama-lama."
"Ya gue emang udah suka sama lo."
Gigitan cokelat Stevina mendadak melambat mendengar Revin berucap demikian.
"Kira-kira kapan lo suka sama gue?" Tambah Revin.
Stevina memakan cokelat yang tersisa tanpa menjawab pertanyaan Revin. "Makasi banyak cokelatnya. Gue mau ke kelas." Stevina buru-buru hendak menuju kelas.
"Tuh kan, lo takut natap mata gue," sindir Revin.
Stevina mulai geram. Ia berbalik badan menghampiri Revin. "Berani kok," tegasnya.
"Berani?"
"Berani lah."
"Okey ayok."
"Ayok."
Revin mendekati wajah Stevina sambil tersenyum penuh kemenangan.
Stevina menatap bola mata berwarna cokelat milik Revino Coldy itu. Awalnya ia merasa biasa saja. Tetapi lama-lama perasaan aneh menyergap hatinya. Ia sendiri tidak mengerti perasaan apa itu.
Hingga hampir dua menit mereka bertatapan, ada yang datang memasuki ruang OSIS dan membuyarkan segalanya.
"Lah, ngapain tu berdua? Liat-liatan tapi ga ngomong."
"Telepati kali."
Revin dan Stevina menoleh bersamaan. Ternyata Nina dan Rendi yang datang.
"Kalian kenapa?" Tanya Nina lagi.
Stevina tidak menjawab. Ia buru-buru meninggalkan ruang OSIS.
Revin tersenyum kecil. Nina yang tidak sengaja melihatnya, sedikit paham apa arti dari senyum Revin.
❄️❄️❄️
"Vin? Kok bengong? Yuk pulang." Vani membuyarkan lamunan Stevina.
"Eh.. Iya. Sekarang."
"Gimana kalau kita makan di tempat biasa?" Ajak Vriska. Vani menatap Stevina. Menyerahkan keputusan pada gadis yang ia tatap.
Stevina mengangguk. Akhirnya mereka sepakat untuk makan siang bersama di tempat langganan mereka.
Sambil menunggu pesanan datang, mereka bermain balok UNO. Kali ini giliran Stevina.
"Jatuh dong.. Please harus jatuh.." doa Vani dan Vriska.
Stevina tersenyum sok licik. Perlahan, ia berhasil mengambil balok UNO. "Ya kali doa jahat terkabul," ejeknya.
"Yah.."
"Dikit lagi jatuh padahal."
"Vin, tolonglah ga usah jago-jago amat. Kan keliatan beda jauh skill kita."
Stevina masih lolos. Walau balok UNO sudah menunjukkan ciri-ciri akan roboh.
"Giliran lo Van," ujar Vriska.
"Hm.. Perasaan gue kok ga enak ya.." Vani menggaruk tengkuknya. "Vriska, duluan gih. Gue ngalah deh mau belakangan aja."
"Halah.. Alasan! Bilang aja lo takut jatuh," sindir Vriska.
Stevina menoleh ke sekeliling. Pesanan mereka terlalu lama datang. Padahal perutnya sudah keroncongan minta diisi.
Saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, tanpa sengaja Stevina melihat seseorang yang ia kenal sedang duduk di pojokan bersama seorang wanita. Dia adalah Tuan Antonio Wildam. Ayah tirinya. Keduanya terlihat tertawa bersama membahas sesuatu. Stevina berpikir mungkin wanita itu adalah rekan kerja ayah tirinya itu.
"Ehh.. Clara mau ke sini juga loh," info Vani.
"Lah, tu anak bukannya sibuk buat pindahan hari ini?" Tanya Vriska.
"Ni buktinya mau dateng."
Stevina termenung sesaat. Ia akan memanfaatkan kesempatan ini.
Bersamaan dengan datangnya minuman pesanan mereka, Clara tiba.
"Abis main UNO ya. Ga ngajak ih. Loh.. Makanan kalian juga udah pada abis!"
"Udah dari tadi jelas udah abis lah! Gimana sih," balas Vani.
"Ayok ikut main UNO," ajak Vriska. Mereka menyusun ulang balok UNO.
"Eh btw, lo tetep cari PTN di Jakarta kan Clar?" Tanya Vani.
"Liat nanti deh," sahut Clara. "Lagian mendadak banget lo ngebahas PTN."
"Kita harus memikirkan masa depan dari sekarang," celoteh Vriska sok bijak.
"Iya deh iya. Lanjutkan ceramah lo," ledek Clara.
"Gegaya lo. Emang lo udah mikirin mau kuliah dimana, jurusan apa, dan lain-lain?" Imbuh Vani sambil menyedot jus alpukatnya dengan pipet.
"Jangan raguin gue dong. Gue udah siapin matang-matang nih," pamer Vriska.
"Apanya yang matang?" Tanya Clara.
"Rencananya lah. Iss.. mending lo diem deh Clar!" Vriska memutar bola matanya kesal. "Oh ya, kalau jujur, nanti kalian milih jurusan berdasarkan apa nih? Gue masih agak bingung nih mau kuliah dimana, sama jurusan apa yang bagus. Pokoknya bingung. Rekomendasi dong," pinta Vriska.
"Yang penting nanti kalau kerja gue jadi bosnya," sahut Clara polos.
"Gue sih bebas ya. Yang penting nanti kalau kerja itu santai tapi duit ngalir deras. Hahaha.." jawab Vani.
"Mimpi lo Van! Mana ada kerjaan santai duit ngalir. Butuh usaha kalik! Dasar mau enak doang usaha ga ada," ceramah Vriska.
"Sejujurnya sih gue gamau kerja. Kan gue cantik, jadi gue mau suami kaya, supaya nanti gue bisa santai-santai aja. Masak dan beres-beres rumah ada pembantu, urus anak ada baby sitter. Gue bisa leluasa shopping deh. Haha enaknya.." Khayal Vani.
"Heh.. Bangun.. bangun.. bangun..!!! Vriska menyentil bahu Vani tiga kali. "Sadar lu. Zaman gini yakin cuma mau ngandelin cantik doang? Sepupu cowok gue tinggal bawa ke salon juga bisa cantik. Primitif pemikiran lo," cerca Vriska.
"Dan setau gue sih, cowok kaya mana mau sama cewek yang males ga mau ngapa-ngapain. Mereka tuh cari yang setara, yang smart, yang bisa jadi partner. Jadi kan enak kalau diajak sharing sesuatu atau sekadar asking for opinion," tambah Clara.
"Ih, kok gue diserang sih. Cari duit kan kodratnya cowok," bela Vani sok cemberut.
"Cari duit bukan kodrat cowok. Soalnya cewek cowok sama-sama bisa cari duit," ujar Stevina. "Contoh kodrat itu hamil, kodratnya perempuan. Mau lo paksa gimanapun, laki-laki ga akan bisa hamil kan?"
"Ntar diselingkuhin gimana nasib lo kalau ngandelin duit laki doang. Antisipasi pikirin buruknya juga," tambah Vriska.
"Lo setuju sama mereka Vin?" Tanya Vani.
"Mm.. Menurut gue Vriska sama Clara bener," jawab Stevina.
"Kasi paham Stevi," celetuk Clara.
"Kalau menurut gue ya, cari uang, masak, beresin rumah, itu semua tugas bareng-bareng. Bukan tugas salah satu pihak aja. Dan kalau lo maunya santai-santai aja karena bakal ada pembantu sama baby sitter, itu jahat sih."
"Eh, jahat kenapa?" Tanya Vani.
"Well, pasangan lo udah capek kerja buat nafkahin lo sama anak lo, ditambah lagi, dia harus gaji pembantu sama baby sitter juga. Padahal lo sama pasangan lo bisa saling support ngerjain tugas itu bareng-bareng."
"Iyaa juga ya. Hhmm.. Kalau gitu ga usah sewa pembantu. Suruh dia aja yang kerjain semua. Kan gue udah melahirkan, masa dua kali kerja," elak Vani.
"Ya lu juga ga ngelahirin tiap bulan. Tu cowok juga abis kerja dari kantor masak lu suruh kerja lagi di rumah? Dua kali kerja dong?" Serang Clara.
"Setuju banget sumpah. Denger tuh Van, jangan egois. Mau jadi ratu tapi pasangan lo dibabukan," nasihat Vriska."
"Ini cuma opini gue ya," imbuh Stevina. "Gue takut aja sih kalau terlalu bergantung sama orang. Intinya gue juga harus mandiri. Karena.. orang yang kita andelin ga selamanya ada sama kita."
"Wah wah.. " Vriska bertepuk tangan. "Guys, Stevina kayanya udah siap nikah nih," rayunya.
"Ditunggu undangannya.." tambah Clara.
"Ih.. Belum astaga. Belum kepikiran ituu..." jawab Stevina.
"Jangan guys, jangan buru-buru. Sama kaya masak, harus betul-betul matang biar enak dan sehat."
"Yap, kalau mentah nanti rasanya aneh bisa sakit perut."
"Pokoknya jangan kaya Vani. Mau paket komplit tapi dia.."
"Eh tapi gapapa Van, lanjutkan halu lo. Kali aja lo beruntung ada pria tampan kaya raya yang mau sama lo dan menerima semua kemalasan lo."
"Ya bener juga. Jalan hidup gaada yang tau."
"Em.. Bukan bermaksud apa-apa sih... Tapi gini guys.. Emang sekarang ada yang mau nikah sama kalian? Bukannya kalian semua ga punya pacar alias jomblo ya?"
"Hahahahahah.. Sialan lo." Tawa mereka pecah seketika.
"Ehh kalau kaya gini terus, nanti kita satu kampus sama satu jurusan pasti pecah banget," celetuk Vriska.
"Ga yakin gue," ketus Vani. Ia mulai menunduk memainkan HP. Wajahnya mulai memerah. Vani berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai basah oleh air mata.
"Yaelah nangis lagi. Kemarin kan udah nangis. Masa sekarang nangis lagi? Payah lo," ledek Vriska. Walau sebenarnya wajah Vriska juga ikut memerah. Stevina tentunya ikut sedih melihatnya.
"Loh.. Ini kenapa lagi dah?" Tanya Clara sambil menahan emosi sedihnya. Pura-pura tidak tahu.
"Lo sih Clar, pake acara pindah segala." Vani mulai terisak. Clara diam saja. Tetap berusaha tersenyum seperti biasa. Walau tangisnya juga terasa akan pecah.
"Vriska anter ke toilet," pinta Vani. Sekarang hanya tinggal Clara dan Stevina yang duduk bersebelahan.
Tanpa basa-basi, Stevina langsung to the point. "Maaf Clara. Gue udah ngerusak semuanya."
"Vin." Clara menoleh. Menatap Stevina di sebelah kanannya. Membuat yang ditatap refleks menatap balik.
"Lo masih ga percaya gue pindah karena apa? Vin, dengerin gue. Ini semua pure urusan keluarga. Gue memang harus pindah."
Stevina menunduk.
"Demi nyelamatin hati, gue milih logika. Dan ini engga gampang."
Stevina mendongak. Menatap Clara dengan penuh tanda tanya.
"Iya Vin. Gue bersusah payah milih logika gue, and ngelawan semua perasaan gue ke dia. Lo tau kan dia siapa? Iya.. Dia Revin. Tapi.. Dia sukanya sama lo. And then, logika gue nyuruh gue mundur."
"Clara.."
Clara menyentuh punggung tangan Stevina. "Lo bisa nanya sama semua murid Vrekodara. Ini pertama kalinya Revin suka sama seseorang. Dan orang itu lo Stevina. Lo harus janji sama gue, lo bakal jadian sama dia. Gue bakal bahagia kalau kalian jadian." Clara melempar tatapan penuh harap.
"Karena gue tau lo yang terbaik buat dia. Tapi gue gak akan ikhlas kalau dia harus sama cewek lain."
Clara menitikkan air matanya. "Lo bisa janji kan sama gue? Please janji, kalau lo bakal jadian sama dia. Gue mau liat cowok yang gue suka bahagia walau sama temen gue sendiri."
Stevina tidak tahan. Wajahnya memerah menahan tangis. Walau ragu, tanpa pikir panjang ia mengangguk mengiyakan permintaan Clara. "Iyaa gue janji."
Clara tersenyum lega. Ia memeluk Stevina. "Makasi banyak Vin. Makasii..."
Ternyata diam-diam, Vani dan Vriska mengintip dari dekat toilet dan mendengar semua obrolan Stevina dan Clara.
Keduanya saling bertatapan. Mereka merasa iba, tapi tidak tahu harus melakukan apa.
❄❄❄
Stevina masih termenung. Teman-temannya sudah pulang beberapa menit yang lalu. Sementara ia masih terpaku di area parkir restoran itu. Berusaha mencerna apa yang sudah ia janjikan kepada Clara.
Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Stevina meraih ponselnya yang ia letakkan di jok samping. Telepon dari Angelina.
"Halo ma."
Halo sayang. Ke rumah yuk. Adik kamu ulang tahun loh. Yuk kita makan-makan. Jangan sampai ga dateng loh ya.
"Iyaa aku ke sana sekarang. Mama share location ya."
Okey sayang. Mama tunggu ya.
Stevina mematikan sambungan telepon.
Baru saja hendak pergi, Stevina melihat ayah tirinya dan wanita itu baru keluar dari restoran. Mereka berjalan saling berangkulan. Mereka berhenti di depan mobil yang berada tepat di depan mobil Stevina.
Ia memicingkan mata. Terlihat jelas ayah tirinya sedang memeluk wanita itu. Sebelum akhirnya mereka berpisah dan memasuki mobil yang berbeda.
Stevina menganga. Hilang sudah pikiran positifnya. Kini perasaannya penuh kekesalan pada ayah tirinya dan wanita itu.
Stevina membiarkan Antonio pergi lebih dulu. Ia tidak sudi tiba di rumah Angelina bersamaan dengan lelaki keji itu.
❄❄❄
Ting.. Tong..
Stevina memencet bel rumah. Tak lama, Angelina datang membukakan pintu.
"Welcome sayang." Angelina menggamit lengan Stevina. Mengantarnya menuju ruang makan.
"Sayang. Siapa itu yang datang? Hayo tebak.." ucap Angelina pada Cheryl sambil menunjuk Stevina. Adik tirinya itu tertawa bahagia menatap wajah Stevina.
"Sayang, panggilin papa kamu dong. Papa kamu ada di ruang kerjanya di lantai dua."
"Aku gatau ruangannya dimana ma. Kan aku ga pernah ke sini." Stevina menopang dagunya dengan malas.
"Stevi.." rayu Angelina.
"Iya.. Iya.." Stevina beranjak malas. Stevina menoleh lagi. Menatap Angelina yang kembali sibuk mengurus Cheryl untuk makan. Ia benar-benar tidak sudi walau hanya sekadar melihat wajah Antonio. Tapi Stevina pasrah.
Gadis SMA yang masih mengenakan seragamnya itu melangkah ke lantai dua dengan berat hati. Ternyata cukup mudah menemukan ruang kerja Antonio.
Tiba di sana, suasana cukup ramai. Ada beberapa rekan kerja Antonio. Dan.. Wanita itu? Dia juga ada di sana!!
"Loh.. Ada si cantik." Antonio menoleh ke arah Stevina yang tengah berdiri di ambang pintu. Antonio tampak sibuk mengurus beberapa berkas bersama rekan kerjanya. Ruangannya benar-benar seperti kantor sungguhan.
Stevina menatap Antonio dingin. "Kalau udah selesai, boleh ke bawah. Makanan udah siap."
"Okey sayang."
Stevina melirik wanita itu. Memutar bola matanya kesal. Wanita itu tampak heran. Seolah bertanya-tanya apa masalahnya dengan Stevina.
Beberapa menit kemudian, Antonio dan beberapa rekan kerjanya turun. Tapi tidak terlihat wanita itu ikut turun. Apa wanita itu di atas sendirian?
"Gimana pa?" Tanya Angelina.
"Masih ada beberapa temen di atas. Mereka bantu papa ngurus proposal."
"Kenapa engga diajak makan bareng kita pa?"
"Nanti mereka turun kok ma."
"Oh.. Ya udah."
"Cheryl, nanti abis makan kamu main sama Kak Stevi ya," ujar Antonio sambil mengelus pucuk kepala Cheryl. Disambut anggukan dan tawa manis baduta itu. Stevina tersenyum gemas.
Usai acara makan bersama, Angelina membawakan teh dan kue untuk Stevina di ruang bermain Cheryl.
Terlihat Cheryl asyik sendiri memainkan bonekanya. Sementara Stevina hanya duduk memperhatikan Cheryl dari sofa.
"Stevi, kamu ga mau nginep di sini?" Tanya Angelina. "Udah mau malam loh."
Percakapan mereka terpotong ketika Cheryl menarik-narik rok Stevina. Mengajaknya bermain. Stevina mencubit gemas pipi Cheryl yang chubby.
Angelina tersenyum melihat kedua anaknya mulai akrab. "Yaudah, mama tinggal dulu. Kalau mau nginep, nanti mama siapin kamar kamu."
Stevina mengangguk. Angelina keluar kamar tanpa menutup pintu. Hingga nampak jelas di seberang sana ruang kerja Antonio.
Terlihat wanita itu berjalan menuju pintu. Wanita itu melempar senyum kepada Stevina sebelum menutup pintu ruangan.
Tapi tidak lama, seorang lelaki keluar dari ruang kerja. Lelaki itu tampak terburu-buru. Stevina bisa melihat hanya ada Antonio dan wanita itu di ruangan Antonio. Stevina mencoba mengintip. Tapi lelaki itu sudah keburu menutup pintu.
Akhirnya Stevina nekat. Ia mengendap-endap mendekati ruang kerja Antonio. Dari jendela, Stevina mengintip apa yang mereka lakukan.
Awalnya mereka terlihat sibuk dengan laptop masing-masing. Antonio sibuk di meja pribadinya. Sementara wanita itu duduk sendirian di meja rapat di samping dinding kaca. Tempat para rekannya berkumpul tadi.
Sebelum akhirnya wanita itu mendekati meja Antonio. Keduanya terlihat bermesraan. Semuanya terlihat jelas. Baik di mata kepala Stevina sendiri, maupun di dalam rekaman telepon pintarnya. Ya, Stevina merekam aksi perselingkuhan mereka berdua.
Firasat Stevina memang tidak salah sejak awal. Seharusnya Angelina mendengarkan pendapat putrinya juga.
Stevina lekas kembali menemani Cheryl sebelum ketahuan. Ia menengok ke lantai bawah. Lelaki yang tadi keluar dari ruangan Antonio tengah berjalan menuju ke atas. Stevina sampai sedikit berlari menuju ruang bermain Cheryl dan menutup pintu rapat-rapat.
❄️❄️❄️
"Lisa." Stevina berlari kecil menuju mobil yang baru datang.
Malam itu, mereka janjian bertemu di salah satu tempat wisata malam yang terkenal di Jakarta.
Lisa keluar dari mobilnya dengan wajah kusut. "Gue malam ini mau nginep di apartemen lo lagi."
"Terus sekolah gimana?" Tanya Stevina.
"Gampang tuh. Gue lagi kesel sama nyokap. Udah ayok jalan-jalan."
"Yaudah ayok."
Kedua gadis yang sama-sama pengunjung itu, berdecak kagum melihat suasana malam kota Jakarta. Hiburan, makanan, suasana menyenangkan, semua ada di spot itu.
Stevina pikir malam itu akan menjadi malam yang tenang. Tapi nyatanya, masa lalunya kembali datang mengganggu ketika Stevina sedang asyiknya berjelajah bersama Lisa.
Entah bagaimana David bisa ada di sana. Mengikuti Lisa atau bagaimana, hanya David yang tahu.
"Lo mau apa lagi sih? Jangan cari masalah. Di sini rame loh," ancam Lisa.
"Gue cuma perlu bicara bentar sama Stevina."
Lisa menatap Stevina yang membuang muka. "Lo liat? Ngeliat muka lo aja dia udah ga sudi. Mending lo pergi. Kita mau seneng-seneng di sini, bukan mau ngerusak mood." Lisa menarik tangan Stevina. "Yuk Stevi. Ga usah ladenin orang aneh."
"Stevina.." David mendengus pasrah. Ia tidak mengikuti Lisa dan Stevina lagi.
Lisa menengok setelah mereka sudah berjalan jauh menghindari David. Ternyata mereka sudah tidak diikuti lagi. "Kok bisa ya manusia brengsek itu sampai kemari?" Heran Lisa.
Stevina tak menjawab. Ia benar-benar tidak peduli. "Gue laper," ucapnya kemudian.
"Yuk mampir makan di sana."
Di tempat yang sama, dari kejauhan, Rendi melihat Stevina. Ia menepuk pundak Revin. "Ehh Vin, cewek lo ada di sini."
"Serius lo? Mana?"
Rendi menunjuk ke arah Stevina.
Revin terbelalak senang. "Kayanya gue emang jodoh deh sama dia. Ga janjian, tapi sama-sama ada di sini."
"Gue sih iyain aja."
"Cepet selesaiin makan kita. Gue mau samperin cewek gue," ujar Revin antusias.
❄️❄️❄️
"Harusnya tadi gue jemput lo dulu. Biar ga bawa mobil sendiri-sendiri," keluh Lisa.
"Emang kenapa?"
"Biar hemat bensin lah. Kan gue juga takut sendiri. Eheheheh.."
"Yaudah. Sekarang mau langsung pulang? Atau.."
"Stevi," panggil seseorang.
Stevina dan Lisa menoleh bersamaan.
"Ckck.. Mau apa lagi sih!" Seru Lisa dari dalam mobilnya.
Stevina pasrah. Hidupnya tidak tenang kalau terus diteror seperti ini oleh David.
"Please, aku mau ngomong bentar aja," mohon David.
"Woy David, istri lo apa kabar? Udah dibeliin susu khusus ibu hamil belom?" Sindir Lisa.
Stevina masih memiliki rasa iba. Ia memberikan David kesempatan. "Waktu lo lima menit," tegas Stevina.
David mencoba memeluk paksa Stevina. "Aku kangen kamu."
Stevina memberontak dan mendorong David. "Ga usah pake sentuh-sentuh gue bisa ga sih!!" Pekik Stevina.
Lisa sampai keluar dari mobil hendak menghentikan David. Tapi langkah Lisa terhenti saat seseorang datang dan membelakangi Stevina. Tampaknya seseorang itu ingin melindungi Stevina.
Lisa mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa orang itu.
"Revin?" Desis Stevina.
"Ada perlu apa lo sama dia?" Hadang Revin.
"Emang lo siapanya dia sebenernya?" Tantang David.
"Dia pacar gue," sahut Stevina lantang. Revin terenyuh mendengarnya. Ia refleks berbalik badan menatap mata Stevina.
Lisa bahkan sampai menutup mulut karena bibirnya tersenyum cukup lebar. Ia merasa senang. Entah kenapa Lisa memiliki firasat yang baik tentang Revin. "Sebenarnya bisa lo liat sih dari jaket mereka yang couple-an. Mereka satu selera," celetuk Lisa sengaja agar David tambah panas.
Stevina dan Revin refleks saling memandang jaket satu sama lain. Mereka bahkan tidak menyadari hal itu. Mereka sama-sama mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Bagaimana bisa?
Sejujurnya Stevina merasa gugup saat itu. Ditambah dengan sorot mata Revin yang menatapnya dalam.
Revin merangkul Stevina. Sebenarnya ia gugup. Stevina sendiri sebenarnya gugup karena dirangkul Revin.
"Lo denger? Jadi gue minta sama lo, jangan deketin cewek gue lagi." Revin berucap penuh kemenangan. David menatap Revin seperti penuh dendam.
Lisa melipat tangan sambil tersenyum puas. David berlalu pergi dengan tangan yang mengepal.
Stevina berharap orang itu segera sadar dan berhenti mengikutinya.
"Jadi kalian pacaran?" Celetuk Lisa. Ia mendekati Revin dan Stevina. "Oh iya, gue Lisa. Sepupu Stevina."
"Gue Revin."
"Kalian.. Satu sekolah?'
"Satu kelas juga," jawab Revin.
"Ooowww.. Hhmm.. I see.." Lisa tersenyum sambil menatap Stevina.
"Eh Stevi, jadi gimana? Mau pulang atau gimana nih?" Goda Lisa.
"Gue capek, mau istirahat." Stevina berlalu menuju mobilnya. Ia tidak berani menatap wajah Revin karena malu.
Revin menghadang langkah Stevina. Tubuh gadis itu tertahan di depan kap mobil. Kedua tangan Revin menghimpit tubuh Stevina.
Lisa tersenyum simpul sambil memasuki mobilnya. Ia pura-pura buta agar tidak menggangu momen sepupunya itu.
Stevina tidak berani menatap Revin. Ia menyesal kenapa harus mengucapkan kalimat itu.
Revin tersenyum setengah. "Jadi, sekarang kita pacaran?"
"What? Gak!"