"Stevina, lo dipanggil ke ruang guru," beritahu Nina.
"Ke ruang guru? Ada apa?"
"Gue juga gatau. Coba aja lo ke sana."
"Mmm.. Okey."
"Mau gue anterin ga?"
"Ga usah gapapa." Walau sedikit gugup, Stevina tetap memberanikan diri untuk pergi sendirian ke ruang guru. Stevina juga mencoba mengingat-ingat, apa ia telah melakukan kesalahan?
Ia beranjak bangun meninggalkan kelas.
Di koridor, Stevina berpapasan dengan Revin. Stevina mengabaikan Revin yang menatapnya.
Revin tersenyum setengah melihat kecuekan Stevina. Ia berniat menyusul, tapi teringat akan kerjaannya yang menumpuk di ruang OSIS. Andai Revin sedang tidak ada kerjaan, ia pasti akan menyusul Stevina.
Tepat ketika melewati depan pintu kelas 11 IPS, seorang lelaki menyenggol Stevina.
"Ehh maaf ga sengaja."
Stevina tahu lelaki itu sengaja tapi Stevina tidak peduli.
Lelaki itu malah mengikutinya. "Lo Stevina ya?" Tanyanya.
Stevina tidak menjawab dan fokus berjalan.
"Mau kemana nih? Biar gue temenin."
"Ga usah. Gue bisa sendiri," Stevina mulai merasa risih.
"Ya gapapa gue anterin ya," lelaki tidak sopan itu tetap mengikuti Stevina.
"Ga usah gue ga butuh!" Seru Stevina.
"Jangan galak dong. Oh ya, kenalin, nama gue.." Lelaki itu merangkul pundak Stevina tiba-tiba. Stevina sontak terkejut dan langsung mendorong lelaki kurangajar itu.
"What's wrong with you!" Pekik Stevina sambil berlari.
"Yaelah sombong amat tu cewek," gerutu lelaki itu. Ia berbalik hendak menuju kelas. Tiba-tiba seseorang menarik kerah baju belakang lelaki itu dan melemparnya sampai menabrak mading kelas 11 IPS.
"Bro bro santai, gue ga maksud ganggu cewek lo."
Revin mendekati lelaki itu dan menarik kerah bajunya. "Sekali lagi lo ganggu Stevina, habis lo," tegas Revin.
❄️❄️❄️
Tiba di ruang guru, Stevina mengetuk pintu perlahan. "Selamat siang."
Bu Rosa, guru yang mengantar Stevina saat pertama kali datang ke sekolah itu, datang menghampiri. "Stevina, ayo masuk."
Bu Rosa mengajak Stevina menuju mejanya.
"Gimana kabar kamu nak? Betah sekolah di sini?"
"Kabar baik bu. Syukurnya saya betah bu."
"Okey. Tadi kelas kamu ulangan Kimia ya? Gimana, lancar?"
"Iya betul bu. Syukurnya ulangan tadi lancar juga bu."
"Okey pertahankan ya nak."
"Siap bu, terima kasih."
"Okey, jadi ibu tadi minta tolong sama Nina untuk manggilin kamu ke sini. Ibu mau minta tolong sama kamu."
"Minta tolong apa ya bu?"
"Ibu sudah melihat semua nilai-nilai kamu. Ibu tau kamu ini pintar seperti mama kamu nih. Persis banget. Kamu juga pasti merasa begitu kan?"
"Em.. Hehehe.." Stevina bingung harus merespon bagaimana.
"Jadi, kalau kamu bersedia, ibu mau kamu buat nemenin anak ibu belajar. Juga bantu-bantuin PR dia."
Stevina sedikit terkejut. "Emm.. Anak ibu kelas berapa ya bu?"
"Dia masih SD kelas 6. Sebentar lagi mau ujian."
Stevina mengangguk. Ia senang karena diberikan kepercayaan seperti ini oleh seorang guru. "Boleh bu. Kira-kira mulainya kapan ya bu?"
"Kalau kamu ada waktu nak. Ibu tau tugas kamu juga banyak."
"Siang ini saya ada waktu kok bu."
"Ohh siang ini? Kalau gitu, boleh langsung siang ini sepulang sekolah nanti?"
"Iya boleh bu. Em.. Sistemnya gimana bu? Saya ke rumah ibu? Atau.."
"Rumah ibu jauh lo. Kasian kamu. Jadi belajarnya di sini aja ya. Kebetulan nanti ibu lembur. Kamu ajari anak ibu di ruang ini. Nanti banyak meja guru yang kosong kok."
"Ohh.. Iya bu."
"Terima kasih ya nak. Kalau ada kepentingan lain, kamu boleh kembali."
"Saya permisi dulu ya bu."
"Iya nak."
Stevina keluar dari ruang guru dengan tersenyum bangga.
❄️❄️❄️
"Eh, tapi iya loh. Cantikan selingkuhannya," ujar Vani.
"Kok lo dukung selingkuhan?" Tanya Vriska.
"Bukan dukung anjir gue cuma bilang dia cantikan," sergah Vani.
"Lo pasti pernah jadi pelakor ya?" Selidik Vriska.
"Heh! Yang ada gue yang pernah diselingkuhin. Tapi gue ikhlas karena emang tu cewek lebih cakep dari gue hikss.. Gue maklumi aja sih, cowok kan suka liat yang cantik. Cewek juga sama kalau dideketin sama yang lebih tajir pasti milih yang lebih tajir kan? Ya tapi ga semua sih ya. Tergantung orangnya aja," jelas Vani panjang lebar.
Vani terdiam sesaat. "What? Seriously?Wow.. Gimana bisa lo SEIKHLAS dan SEBIJAK itu?" Vriska masih tidak habis pikir.
"Yaa masak gue paksa dia biar tetep sama gue? Dia memang bukan buat gue. Udahlah, dunia ini siklusnya emang seputaran datang dan pergi."
"Wow, apa gue harus tepuk tangan?" Canda Vriska.
Tawa keduanya pecah seketika. Keduanya lanjut memakan camilan dan kembali menatap layar HP.
"What?" Vriska tersentak sampai tak sengaja menggebrak meja. Ia menoleh ke arah Stevina yang sedang menulis sesuatu.
"Stevina, ini serius?" Tanyanya.
"Serius apa?" Tanya Stevina.
Vriska menyodorkan ponselnya. "Ini beneran lo?"
Stevina menatap layar HP Vriska yang menunjukkan sebuah foto di aplikasi Instagram. Ada fotonya yang tengah mengajari anak Bu Rosa. Foto itu diunggah oleh Bu Rosa sendiri di akun Instagram pribadinya.
"Emm.. Iya. Itu beneran gue."
"Gilak lo keren banget. Kok bisa sih? Gimana caranya?" Tanya Vani antusias.
"Caranya ya harus pintar lah. Dasar pertanyaan bodoh," ketus Vriska. "Stevina, gue sih kalau jadi lo, gue bakal bangga banget sampai di koridor sekolah, di kelas, di kantin, di parkiran, gue bakal pakai kaca mata hitam tanpa dilepas. Seriusan deh," kelakar Vriska. "Plus.. Buat story sama Bu Rosa beserta anak beliau."
Stevina menahan tawa mendengar ceramah Vriska.
Sementara Vani masih menganga tak percaya.
"Van, gimana nih. Temen kita pinter banget tapi kitanya.. Ya.. Hm.." Vriska mengambil kipas dan mulai mengipasi dirinya. "Gilak sampai keringetan gue."
"Kayanya satu sekolah udah tau deh. Gue liat yang nge-like dan komen itu anak-anak kelas 10 sampai kelas 12 ada loh," ujar Vani antusias.
"Gue udah tak bisa berkata-kata lagi," keluh Vriska.
Di jam pelajaran pun, guru yang mengajar saat itu sedikit bertanya kepada Stevina tentang pengalamannya mengajar anak Bu Rosa.
Revin melirik Stevina. Ia benar-benar bangga dengan gadis itu.
Nina melirik Stevina sambil mengacungkan jempol. "Keren banget," ujarnya.
"Calon ibu dari anak-anak saya memang cerdas bu," ujar Revin dengan penuh percaya diri. Dibalas sorakan teman-teman kelas. Stevina tertunduk malu.
❄️❄️❄️
"Ehh lo ikut nonton ga?" Tawar Vani.
"Gue sih pengen. Tapi siang ini gue harus ngajar lagi."
"Wihhh... Si calon guru. Semangat Stevina Barjoli," celetuk Vriska.
"Semangatt!! Kita nonton dulu ya. Bye.."
"Bye.. Have fun ya." Stevina bergegas menuju ruang guru. Ia takut Bu Rosa dan anaknya ternyata sudah menunggu lama.
Stevina mengetuk pintu ruang guru setibanya di sana. "Selamat siang."
"Siang nak, ayo masuk," ujar Bu Rosa.
Stevina memasuki ruangan. "Rasya belum datang bu?"
Rasya adalah nama putra Bu Rosa yang Stevina bimbing untuk belajar.
"Dia masih ke toilet. Kamu tunggu sebentar ya."
Stevina mengangguk. Selang dua menit kemudian, Rasya datang.
"Hai kak," sapa Rasya.
"Halo. Gimana tadi di sekolah?"
"Aku lebih ngerti penjelasan kakak daripada penjelasan ibu guru," jawab Rasya polos.
Stevina dan Bu Rosa saling melempar pandangan.
"Yaudah. Yuk, sekarang kita mulai belajarnya."
"Ayok."
Hari ini Stevina akan membimbing pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
"Kak, kenapa tidur itu disebut kata kerja? Kan tidur itu diem aja ga bekerja."
Stevina tersenyum. "Ini ya kakak kasi tau kamu. Tidur itu termasuk aktivitas. Bener ga menurut kamu?"
"Emm.. Iya kak bener. Tidur itu aktivitas."
"Nah, karena tidur itu termasuk kata aktivitas, karena itu dia digolongkan sebagai kata kerja. Ga mungkin dong termasuk kata benda. Apalagi kata sifat."
"Ohh iyaa ya. Rasya ngerti sekarang. Makasi kakak."
"Iyaa sama-sama Rasya."
Selesai Bahasa Indonesia, sekarang giliran pelajaran Matematika.
"Kalau model soalnya kaya gini, kamu kerjain yang ada dalam kurung dulu. Berapa hasilnya?"
"(50 + 50) x 2 , jadinya 100 dikali dua, hasilnya 200 kak."
"Good."
Bu Rosa sedari tadi ikut memperhatikan sambil tersenyum bangga.
Tok.. Tok..
"Selamat sore," sapa si pengetuk pintu.
Stevina menoleh ke arah pintu yang diketuk itu.
"Revin? Masuk nak."
Revin menghampiri meja Bu Rosa dan menyalami tangan gurunya itu.
"Ada apa nak?" Tanya Bu Rosa.
"Saya mau konfirmasi nilai Kimia bu. Harusnya saya ga remidi nih bu. Ini bu, masak nilai saya cuma segini."
"Ohh gitu. Yaudah sana. Beliau masih ada kok. Kamu datangi aja."
"Siap bu, terima kasih."
Revin melewati Stevina dengan langkah pelan yang disengaja. Tatapan mereka saling berpapasan.
Stevina memperhatikan Revin yang sedang melaporkan nilainya.
"Ohh iya ya, jadinya nilai kamu ini berapa ya? Sebentar."
"90 aja pak ga usah banyak-banyak," kelakar Revin.
Stevina tertawa kecil mendengarnya.
❄️❄️❄️
Stevina bersiap-siap hendak pulang.
"Ini nak." Bu Rosa menyodorkan beberapa lembar uang.
"Ehh engga usah bu."
"Ada jasa, ada imbalan. Lumayan loh, buat bekel tambahan. Udah ayo ambil."
"Terima kasih banyak bu."
"Iyaa nak. Titip salam sama mama kamu ya."
"Iyaa bu."
Stevina bersiap pulang meninggalkan ruang guru.
"Masih SMA udah keliatan bibit gurunya nih."
Stevina menoleh ke sumber suara.
Ternyata Revin. Ia ikut berjalan di sebelah Stevina.
"Lo mau ke parkiran kan? Atau pulang naik angkutan umum?"
"Enggak. Gue mau ke kelas 12 IPS 1."
"Ngapain?"
Stevina tidak menjawab.
"Yaudah gue ikut. Biar gue bisa liat sendiri."
Stevina melirik Revin.
"Boleh kan?" Tanya Revin.
"Ga usah."
"Yaudah deh."
Revin berhenti di tempat. Membiarkan Stevina berlalu meninggalkannya.
Melewati koridor kelas 12, ada begitu banyak kakak kelas laki-laki yang tengah berdiri di depan kelas. Ada yang duduk-duduk santai, dan ada juga yang memainkan gitar. Stevina mengira semua sudah pulang. Ternyata kelas 12 masih cukup ramai.
Bukan hanya ramai. Tapi sangat ramai. Dan hanya ada laki-laki di sana. Stevina merasa sedikit takut dan gugup. Stevina berpikir sejenak. Ia berniat untuk melewati jalan lain. Walau akan memakan waktu dan tenaga.
"Lo mau lewat sana?"
Stevina menoleh.
"Revin? Em.. Engga, ga jadi lewat sini." Stevina hendak berlalu.
"Bukannya jalannya emang lewat sini?"
"Em.."
Revin mengerti apa yang ada di pikiran Stevina. "Ayo lewat sana bareng gue."
Stevina berpikir lebih baik lewat jalan ini bersama Revin daripada harus susah payah melewati jalan lain.
"Jalan di samping gue." Revin meraih tangan Stevina.
"Ehh.. Revin?!" Stevina mencoba melepas tangannya yang dipegang Revin.
"Mau lewat sana kan?" Tanya Revin. Ia tak membiarkan Stevina melepas genggamannya.
"Uhm.. Okey."
"Yaudah ayo."
Revin benar-benar memanfaatkan kesempatan itu. Ia memegangi tangan Stevina sepanjang melewati koridor itu.
Situasi aman terkendali. Stevina sedikit bersyukur karena ada Revin yang menolongnya walau ia cukup menyebalkan.
Stevina langsung melepas tangannya begitu hampir tiba di tujuan. Revin langsung terkekeh karena tingkah Stevina.
Hampir saja tiba di depan pintu kelas 12 IPS 1, seseorang tiba-tiba keluar dari kelas itu dan langsung menyapa Stevina dengan heboh.
"Ehh, halo Stevina. Cepet banget datangnya."
"Hai Kak Elena. Oh ya? Aku pikir aku udah telat."
"Belum kok. Eh, halo juga Revin."
"Halo kak," sapa Revin.
"Lo mau nemenin Stevina make up?"
Revin kebingungan. Make up? Untuk apa ini? Tapi ia mengiyakan saja.
"Ah.. Iya betul kak. Gue mau nemenin dia di sini."
Stevina melirik Revin keheranan.
"Yaudah, ayo kalian masuk."
Kelas itu sudah sepi. Hanya ada satu orang teman Elena yang senantiasa menunggu Elena selama kegiatan.
"Duduk di sini Stevina," beritahu Elena.
"Heii Stevina," sapa teman Elena.
"Halo kak."
"Kenalin, gue Rose." Katanya sambil mengulurkan tangan.
Stevina bersalaman dengan kakak kelas itu.
"Oh iya, kok lo mau sih dimintai tolong buat endorse sama ni orang?" Tanya Rose.
"Udah lo ga usah iri," balas Elena yang sedang sibuk menyiapkan make up dan catokan rambut.
Sekarang Revin mengerti. Ternyata Stevina hendak membantu kakak kelas itu untuk mempromosikan produknya.
"Oh iya kak, aku boleh liat produknya?"
"Boleh. Sebentar."
Elena menghampiri bangkunya dan mengambil sebuah bungkusan dari kolong bangku.
"Ini produknya."
Stevina memperhatikannya dengan teliti. Elena menjual produk-produk souvenir yang sangat cantik dan klasik.
"Oh iya, lo udah hapal script buat nanti endorse gak?"
"Udah dong kak."
"Okey mantap."
❄️❄️❄️
"Wow, cantik parah Stevina," puji Rose.
Stevina melempar senyum kepada Rose. Ia memeriksa make up di wajahnya itu lewat kamera HP. Hasilnya cukup bagus.
"Iya dong. Udah cantik, model lagi. Ga salah kan gue pilih Stevina jadi Brand Ambassador?"
"Ahahahha.."
"Yuk, sekarang tinggal curly rambut. Oh iya, gue lupa bawa jepit lagi. Uhm.. Gimana ya. Lo bawa ga Rose?"
"Engga bawalah."
"Hm.. Eh iya, kan ada Revin."
Revin yang tengah sibuk dengan ponselnya refleks menoleh.
"Pegangin rambut Stevina dong. Boleh ga? Gaada jepit soalnya."
"Boleh..." jawab Revin dengan semangat membara.
Stevina tampak gugup. Tapi apa boleh buat?
Revin berhati-hati memegang rambut lembut Stevina yang akan dicatok itu.
Selang delapan menit, rambut Stevina sudah selesai diatur.
"Okey done."
Kali ini Revin yang gugup. Jantungnya berdebar melihat penampilan Stevina yang benar-benar cantik.
"Revin jangan lupa ngedip," sindir Rose.
Revin menunduk menyembunyikan senyumnya.
"Yuk, kita take foto dulu ya."
"Kita take dimana ya? Yang latarnya bagus?"
"Latar yang estetik di sekolah ini letaknya dimana yah?" Tanya Elena.
"Di lapangan basket," jawab Rose polos.
"Yeee... Aneh lo! Ga nyambung lah sama konsepnya."
"Di rooftop gimana?" Usul Revin.
"Ohh iyaa ya kenapa ga kepikiran? Ayo deh gas. Yuk yuk buruan," antusias Elena.
❄️❄️❄️
Angin sepoi-sepoi begitu terasa di rooftop.
Stevina mulai berpose.
"Ehh Revin. Lo ikut aja gih. Ceritanya lo ngasi Stevina gitu," pinta Elena.
"Buset dah," Rose malah tertawa. "Sana gih Revin. Kali aja tambah banyak yang follow Instagram produknya si Elena nih kalau modelnya kalian berdua."
"Gih, buruan Revin. Tapi lo ga usah gue bayar ya."
"Ahahahha.." tawa Rose.
"Iyaa iyaa.." jawab Revin.
Revin akhirnya menurut saja meski awalnya gugup.
"Ayo buruan mumpung rambut Stevina lagi terbang..!! Revin buru..!!" Seru Elena penuh antusias.
Cekrek
"Wuih.... Gilakk bagus banget hasilnya. Berbakat nih gue jadi fotografer."
"Eww.." sindir Rose.
"Lagi lagi yuk."
Tanpa perlu diberitahu harus bergaya seperti apa, Stevina bisa mengaturnya dan ia juga yang mengatur bagaimana gaya Revin selama pengambilan gambar.
"Yuk pose terakhir."
Stevina mempunyai sebuah ide. Ia menarik sebuah bangku, kemudian meletakkannya membelakangi kamera. Stevina duduk menyamping di bangku itu agar terlihat separuh dirinya di kamera. Ia meminta Revin agar tetap berdiri menyampingi kamera.
"Lo ceritanya ngasi kotak ini ke gue," beritahu Stevina. "Posisi tangan lo gini." Stevina membantu memberikan contoh.
"Sssttt.. Model profesional lagi kasi tips," celetuk Rose.
"Okey," jawab Revin.
"Tiga... Dua... Satu.. Smile.." komando Elena.
Cekrek
"Great Stevina. Gaya lo keren. Ga sia-sia gue milih lo. Revin, makasi juga udah mau bantu gue dengan cuma-cuma."
Revin mengangguk senang. Padahal justru ia yang seharusnya berterima kasih kepada Elena karena telah mengajaknya untuk menikmati sebuah kesempatan emas. Revin merasa bak model sungguhan yang tengah melakukan pemotretan profesional bersama Stevina.
"Sekarang tinggal take video ya."
"Okey."
Stevina hanya perlu dua kali take video untuk mendapat hasil yang sempurna.
"Okeyy great. Thank you Stevina." Elena memeluk Stevina.
"Yuk yuk kita pulang. Dah beres nih semuanya."
"Yuk lah."
Revin bersiul sambil merogoh kantung celananya. Ia berusaha mencari kunci motor.
"Revin," panggil Stevina.
"Ehh.. Hai.." sapa Revin. "Ada apa?"
"Em... Jadi.. Em.. Makasih."
"Makasih?" Ulang Revin.
"Iyaa. Lo tadi udah bantuin gue ngelewatin kakak kelas dua belas. Lo juga udah bantu waktu gue catokan, and.. Foto di rooftop."
Revin mengangguk. "Harusnya gue yang bersyukur. Tadi itu bener-bener tiket emas buat gue."
Stevina tercengang. "Em.. Yaudah. Kalau gitu gue balik dulu. Makasi."
"Mau pulang bareng ga?" Tawar Revin.
"Engga perlu. Gue bawa kendaraan sendiri."
"Oh.. Okey okey."
❄️❄️❄️
Siang itu Stevina berjalan sendirian menuju kantin yang sepi. Teman-teman kelasnya masih heboh di kelas entah mengurus apa. Begitu diumumkan free class karena guru berhalangan hadir, Stevina langsung bergegas ke kantin tanpa babibu. Sementara Vani dan Vriska memutuskan untuk tidur di kelas.
Stevina menghampiri stand bakso dan siomay. Ia memesan kedua makanan itu sekaligus.
Tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki yang tengah berlari. Stevina menoleh. Ternyata Nina yang berlari hendak menghampirinya.
"Hey girl.." sapa Nina.
Stevina melempar senyum.
"Gue juga mau pesen siomay nih. Duduk bareng yuk."
"Boleh," sahut Stevina.
Sambil membawa nampan berisi makanan, Stevina mengikuti Nina yang tengah mencari tempat duduk yang strategis.
"Nah, di sini aja yuk," ajak Nina.
Stevina meletakkan nampan makanannya. "Nampan lo mau sekalian gue kembaliin?" Tawar Stevina. "Sekalian gue mau beli minuman."
"Boleh. Thank you.." ujar Nina.
Stevina mengembalikan nampan itu ke stand makanan, kemudian menghampiri salah satu stand minuman. "Tante, pesen satu ya."
"Pakai topping ini?"
"Boleh."
Sedang asyik menunggu pesanan, Stevina merasa ada yang sedang memperhatikannya. Refleks ia menoleh.
Seseorang yang tak lain lagi adalah Revin, tengah berdiri di depan stand cuanki dan pangsit. Ia melempar senyum yang familiar bagi Stevina.
Nina berseru memanggil Stevina. "Stevi.. nitip pesenin gue minuman juga dong. Samain aja kaya lo biar ga ribet."
Stevina mengacungkan ibu jarinya.
"Thank you..." seru Nina.
Stevina kembali fokus menunggu pesanan. Revin mendekati Stevina.
"Woy Revin modus lo!" Seru Nina. Tapi diabaikan oleh Revin.
"Tante.. Saya mau pesen *** Pakai topping *** satu ya," ujar Revin sambil menatap Stevina. Ia ikut-ikutan memesan minuman di tempat yang sama dengan Stevina. Membuat Stevina risih dan kembali duduk.
Revin malah ikut menyusul.
"Yaelah, ngapain nyusul juga ni anak," cetus Nina.
"Eh, nanti rapat OSIS lo jangan lupa hadir," balas Revin.
"Nyenyenye!"
Revin melirik Stevina sambil tersenyum. "Kapan-kapan kalau ke kantin jangan sendiri. Ajak gue," rayunya.
Stevina bingung kenapa Revin bisa tahu. Tapi ia tidak berminat untuk bertanya.
Tiba-tiba terdengar suara yang cukup ramai. Rupanya para pejantan kelas sudah datang.
"Oyy Revin, sini duduk bareng," ajak salah satu di antara mereka. Rendi terlihat menyempil di antara mereka. Melihat Nina, ia langsung datang menghampiri pacarnya itu.
"Mau aku beliin minum?" Tawar Rendi.
"Udah mesen kok," jawab Nina.
Seketika kantin menjadi ramai. Vriska dan Vani ikut gabung bareng Stevina dan Nina. Mereka mulai heboh membahas sesuatu.
"Ahahaha.. Iya gitu pokoknya."
"Kocak banget sumpah."
"Terus abis gitu gimana?"
"Abis itu Rendi dateng ke rumah gue."
"Ke rumah lo bawa diri doang?"
"Engga.. Dia bawain seblak, cokelat sama boba."
"Cie..."
Diam-diam, Revin memperhatikan wajah manis Stevina yang tersenyum sedari tadi.
"Beruntung banget mereka," celetuk Revin.
"Mereka siapa?" Tanya Rendi sambil mengunyah siomay.
"Nina, Vani, sama Vriska. Bisa duduk bareng sama cewek gue," ujar Revin dengan matanya yang tak henti menatap Stevina.
"Siapa cewek lo?" Tanya Rendi bingung.
"Liat di sana. Dia yang paling cantik. Ciri khasnya pake kalung emas dan gelang yang banyak."
"Wahh... Iya emang cantik banget pacar kita." Celetuk salah satu temannya. Dibalas tatapan tajam Revin.
"Ampun ampun Vin."
Sementara di ujung sana, percakapan para gadis makin asyik.
"Makanya gue bingung sekarang gue harus ngasi apa nih. Dia udah beliin gue tas soalnya. Cowok sukanya apa sih?"
"Ngapain beliin cowok. Yang bener tu cowok yang beli-beliin. Kebalik banget."
Stevina, Nina, Vriska, dan Vani refleks menoleh ke sumber suara. Benar dugaan mereka. Ternyata si pembuat onar alias Trisha.
"Udah udah Nin lanjut. Ga usah dengerin tu cewek gila," ujar Vani.
"Biasalah, dia mah tipe cewek yang maunya dispesialin, diratukan, maunya tangan di bawah mulu alias menerima. Tapi dianya perhitungan," sambung Vriska." You know gender equality? Cewek cowok sama aja. Ga ada istilah kalau cewek yang begitu namanya kebalik atau apalah. Lo kira otak lo kebalik-kebalik."
"Ahahahahha... Ga punya duit mungkin. Atau pelit sama cowok sendiri," sahut Nina.
"Yup, tipe tipe pengen diratukan tapi cowoknya dibabukan. Padahal mah dia ga sespesial itu," imbuh Vani.
"Udah cukup guys. Sakit perut gue dengernyaa.." tawa Nina. Sementara Stevina hanya diam saja.
"Udah Nin lanjut cerita."
Trisha tersenyum licik mendengarnya. Ia lanjut memakan makanannya dengan sendok dan garpu yang sengaja dihentak-hentakkan ke piring.
"Terus udah gitu waktu gue ngecek pulsa, ternyata udah diisi dong sama dia. Langsung deh gue beli paket internet."
"Duh... Mantep bener deh orang pacaran. Iri gue hm.."
"Bisa gitu ya ternyata si Rendi."
"Pacar gue dong."
"Duh.. kapan ya gue gitu.."
"Ahahaha... Ngehalu dulu boleh kali ya."
"Dih, alay." Terdengar lagi sindiran Trisha. Keempat gadis yang sedang asyik itu refleks menoleh bersamaan.
"Dih, nguping mulu lo. Ga punya topik seru lo sama circle lo?" Balas Vani.
"Lo jangan bangga dulu. Guys, dulu mantan gua juga sebaik itu kan? Apapun juga gue dibeliin," sindir Trisha.
"Diratukan dong," timpal temannya.
"Tapi ujung-ujungnya tetep selingkuh. Hmm.." rengek Trisha sok sedih.
"Yah.. Sedih.." sarkas teman-temannya.
"Namanya juga cowok. Baik karena ada maunya. Mana ada cowok tulus. Bodoh sih kalo percaya sama cowok."
"Maksud lo apa sih?!" Seru Nina.
Revin, Rendi, dan teman-temannya di meja yang jauh dari mereka sampai menoleh mendengar seruan Nina.
"Gue peringatin lo. Tunggu tanggal mainnya. Cowok bakal nunjukkin sifat asli mereka."
"Nina, ga usah dengerin dia. Lo yang lebih kenal Rendi." Stevina berusaha menenangkan Nina.
"Inget sekali lagi, semua cowok sama aja suka nyakitin. Kalau ga selingkuh, ya nyakitinnya dengan cara lain." Trisha tersenyum puas.
Stevina melirik Trisha tajam. "Maksud lo ngomong kaya gitu biar apa sih? Logika aja, sifat orang beda-beda. Lo aja yang sial karena belum ketemu cowok yang tepat. Ga usah persuasi cewek lain deh. Sakit hati sama cowok kok ngajak-ngajak." Stevina menumpahkan semua kekesalannya.
"Lo iri kan sama cewek lain yang dibahagiain cowoknya? Sedangkan lo dapetnya yang nyakitin terus. Makanya lo ngomporin cewek lain dengan bilang semua cowok sama aja. Hahah basi!" Semprot Vani.
"Lo bagusnya tutup mulut deh Trish," sambung Vriska.
Trisha terdiam seribu bahasa. Ia merasa tertusuk mendengar ucapan Stevina dan teman-temannya. Teman-teman Trisha juga diam tidak berkomentar.
"Bukannya girl support girl malah bikin overthinking," celetuk Nina yang sedari tadi hanya terdiam. "Lagian lo ngomong gitu kaya udah kenal semua cowok di dunia aja."
"Satu lagi. Selingkuh ga ditentukan gender. Mau cewek atau cowok kalau ga bisa setia alias kegatelan, ya bisa selingkuh," tambah Stevina.
"Lagian gimana ga selingkuh kalau ceweknya kaya lo. Ups," sindir Vani.
Trisha membanting sendoknya. Ia berdiri dan menjambak Vani. "Cantik lo ngomong gini.."
"Trisha lepasin Vani.." lerai Vriska.
Kegaduhan terjadi. Revin dan Rendi datang menghampiri hendak melerai.
"Ahhh.... Lepasin gue...!!" Vani mencakar wajah Trisha.
"Aw...." Ringis Trisha.
Revin berusaha memisahkan. Namun..
Plak
Revin malah terkena tamparan Trisha.
"Re.. Revin.. Maaf gue ga sengaja.." seru Trisha panik.
Tiba-tiba dari belakang, Stevina menarik kerah belakang seragam Trisha dan melemparnya ke teman-temannya.
Teman-teman Trisha menangkapnya yang hampir terjatuh. Trisha meringis kesakitan sambil melirik Stevina kesal.
"Selalu rusuh kalau ada lo tau gak!" Ketus Stevina sambil berlalu meninggalkan kantin. Disusul Nina, Vani, dan Vriska.
❄️❄️❄️
"Kita duluan ya. Bye.." pamit Vani dan Vriska.
"Bye. Kalian hati-hati di jalan," pesan Stevina.
Mereka berpisah di parkiran. Vani dan Vriska pulang bareng. Sorenya mereka berniat pergi ke bioskop. Stevina ditawari untuk ikut tapi ia menolak karena ada sesuatu yang harus ia kerjakan.
Baru saja sampai di dekat mobil, Stevina berhenti sejenak. Ia merasa ada yang ketinggalan. Stevina memeriksa tasnya. Ternyata benar, novelnya tertinggal di kolong bangku.
Sial, batin Stevina sambil berbalik hendak menuju kelas.
Di lorong kelas setelah sedikit berlari menaiki tangga, Stevina mulai merasa pusing dan sakit kepala. Sepertinya anemianya kambuh. Tapi ia memaksakan diri agar tidak roboh dulu.
Sampai di kelas, Stevina mengecek kolong bangku dan langsung menemukan novelnya. Syukur novel barunya yang bergenre thriller itu tidak hilang.
Tiba-tiba, langkah Stevina terhadang oleh seseorang. Yah, siapa lagi kalau bukan Revin.
Lelaki itu menyodorkan sebatang cokelat.
"Makanan manis buat perempuan baik hati, bijaksana, juga cerdas," ujar Revin dengan mata berbinar dan wajah berseri bahagia.
"Hah?" Bingung Stevina.
"Gue salut sama pemikiran lo."
Stevina langsung paham. Ternyata Revin mendengar semua yang ia lontarkan tadi di kantin.
Revin melirik cokelatnya. Menunggu Stevina menerima pemberiannya.
Karena pusingnya sudah tidak tertahan, dan rasa ingin menghargai pemberian tulus orang lain, akhirnya Stevina menerima sebatang cokelat itu.
"Makasi," ucap Stevina. Revin hanya mengangguk sambil melempar senyum. Stevina langsung buru-buru pergi.
❄️❄️❄️
Di lorong menuju parkiran, Stevina berhenti sejenak. Ia mendudukkan diri di bangku depan kelas lain. Kepalanya terasa berat. Ia hampir tidak tahan.
"Lo gapapa?" Tanya sebuah suara.
Stevina menoleh. Penglihatannya mulai kabur. Samar-samar, ia melihat siapa sosok yang bertanya itu. Dia adalah Revin.
"Gapapa," jawab Stevina.
Revin mendekat. "Gue anter lo pulang." Revin mengulurkan tangannya.
Stevina menerima uluran tangan Revin. Tapi beberapa detik kemudian, Stevina ambruk juga. Untungnya Revin berhasil menahan tubuh Stevina.
"Stevina.." Revin menyentuh lembut pipi Stevina. Revin sedih dan bertanya-tanya apa yang membuat Stevina sering pingsan.
"Revin.." panggil Nina sambil berlari dari ujung lorong hendak menghampiri Revin dan Stevina.
"Revin.. Stevina kenapa?"
Revin menggendong tubuh Stevina. "Bantu gue Nin."
❄️❄️❄️
Nina mencoba menenangkan Angelina yang tampak cemas.
"Minum dulu tante." Nina menyodorkan segelas air putih.
"Makasi ya nak," ucap Angelina.
Samar-samar, Stevina mendengar suara orang berbicara di kamarnya. Stevina mulai siuman. Ia melirik Angelina dan Nina yang tengah mengobrol di tepi kasurnya.
"Ma.." panggil Stevina lemah.
"Stevi.." Angelina membelai kepala Stevina. "Kamu makan dulu ya." Angelina bergegas ke dapur mengambil makanan.
"Stevi.." Nina mendekati Stevina.
"Nina, makasi udah anterin gue pulang."
"Em.. Sebenarnya bukan cuma gue. Tadi Revin yang gendong lo waktu lo pingsan."
Stevina terpaku sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat.
"Stevi.." Angelina datang sambil membawa nampan berisi makanan. "Ayo makan dulu."
Stevina beranjak bangun. Di atas nampan ada teh hangat dan bubur ayam.
"Stevina, mama harus pulang. Tadi bibi telepon mama. Dia ada urusan mendadak. Jadi mama harus pulang jagain Cheryl."
Stevina mengangguk. "Iya gapapa kok ma."
"Atau.. Kamu mau ikut ke rumah?" Tawar Angelina.
"Engga ma. Aku udah gapapa kok."
Angelina memeluk Stevina. "Kalau gitu mama pulang dulu. Kalau perlu apa-apa telepon mama."
"Iya ma hati-hati."
Setelah Angelina pergi, Stevina beranjak bangun dari kasur.
"Mau ngapain Stevi? Ga makan dulu?" Tanya Nina.
Stevina membuka nakas dan mengambil beberapa camilan di dalamnya.
"Yuk ke ruang tamu. Lo ngemil, gue makan sambil nonton TV."
"Ohh.. Okey," sahut Nina.
"Yuk."
❄️❄️❄️
"Sumpah gue dari SD suka banget nonton ni film King-Kong. Ending-nya bikin gue nangis sesenggukan," ujar Nina antusias.
"Gue juga. Sampai sekarang gue masih suka nontonnya," timpal Stevina. "Oh ya, gue cuci piring dulu ya."
"Okey.." Nina lanjut menonton.
"Stevina, cepetan. Film horornya udah mulai.." panggil Nina.
"Iyaa bentar.."
Tok Tok
Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu.
"Stevi, ada tamu," beritahu Nina.
"Iya bentar." Stevina mengeringkan tangan dan bergegas membuka pintu.
Kriet
Stevina membuka pintu dan sedikit terkejut melihat siapa yang datang.
Seorang lelaki, dengan masih mengenakan seragam sekolah, jaket jeans, serta headband biru di kepalanya sedang berdiri tepat di hadapan Stevina.
"Revin?" Desis Stevina.
"Kenapa lo ga bales chat gue?" Revin menyentuh kening Stevina. "Lo sakit beneran? Kok ga panes badan lo?"
"Lo mau ngapain ke sini?" Tanya Stevina. Dari ruang tamu, Nina tersenyum kecut melihat kedatangan Revin. Tampaknya temannya itu memang benar-benar menyukai Stevina.
"Bentar." Revin mengeluarkan ponselnya. Sesaat ia tampak sibuk mengetik.
"Okey, done." Revin meletakkan ponselnya di saku. Ia bersandar di tembok depan pintu kamar Stevina. Kedua tangannya dilipat di depan dada, sembari menatap Stevina.
Stevina juga menatapnya datar. Menunggu aksi apa lagi yang akan Revin persembahkan.
"Nah.. Udah dateng mereka."
Stevina menoleh ke sumber yang Revin maksud. Ternyata Rendi dan Nino yang datang. Masing-masing membawa parsel makanan. Stevina sampai termangu melihatnya.
"What?" Desis Stevina.
Mereka seolah menjenguk pasien yang tengah dirawat di rumah sakit.
"Taruh dimana ni?" Tanya Rendi polos.
"Lo ga mau bukain pintu? Kasian nih bodyguard gue," ujar Revin.
Seolah kucing yang menuruti perintah majikannya, Stevina segera membuka lebar-lebar pintu masuk. Mempersilakan antek-antek Revin untuk masuk dan meletakkan parsel di meja tamu.
"Buset, siapa yang opname?" Celetuk Nina keheranan.
"Nin, mau pulang bareng ga?" Tawar Rendi.
"Kamu duluan aja. Aku masih mau di sini."
"Yaudah kamu nanti hati-hati ya," pesan Rendi.
"Iya.. Kamu juga."
"Eh Rendi, Nino, kalau udah selesai langsung pulang." Revin sedikit sinis.
Stevina menatap Revin. Ia hanya diam. Semua kata seolah tertahan. Bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah katapun. Revin memang selalu membuatnya tercengang dengan segala aksinya.
"Tahan dulu ya Vin. Jangan sekarang," goda Rendi.
"Sembarangan lo kalo ngomong. Balik sana," balas Revin.
"Ehh Stevina." Nino mendekati Stevina. "Lo.. Tinggal sendirian nih?" Tanya Nino sambil curi-curi pandang ke dalam ruangan Stevina.
"Eh.. Maksud lo apa nanya-nanya gitu hah? Balik lo!!" Seru Revin tak terima.
"Yaelah cuma nanya doang. Sensi amat lo. Yok Rendi, cabut." Nino dan Rendi berlalu pergi meninggalkan Stevina dan Revin.
"Berhenti dulu," tahan Stevina.
Rendi dan Nino menoleh. Revin menatap Stevina bingung.
"Kalian jangan langsung pulang. Masuk dulu," ujar Stevina.
Rendi dan Nino mendadak kikuk. Termasuk Revin.
❄️❄️❄️
"Haha berarti nilai lo termasuk paling kecil dong," cemooh Nino.
"Iss diem deh!" Nina tak terima. "Gue tu aslinya pinter. Cuma waktu itu gue.."
"Tenang Nina," potong Revin. "Lo ingat kata-kata gue yang satu ini."
"Apaan?"
"Di atas langit masih ada langit. Lawan dari peribahasa itu yang cocok buat lo, adalah.. Di bawah tanah, masih ada tanah."
"Hah? Artinya?" Bingung Nina.
"Ya artinya masih ada yang lebih payah dari lo. Temen-temen yang nilainya kecilan juga banyak. Santai aja," ujar Revin polos.
"Ahaha.." tawa Rendi. "Ini ejekan atau hiburan ya?"
"Is.. Sialan lo Revin!" Umpat Nina.
"Lo, emangnya kenapa? Tiap nilai gue jelek, gue selalu ingat itu. Ya seenggaknya ada temen lah. Engga jelek sendiri."
"Setuju sih sama Revin," celetuk Nino.
Stevina menunduk menyembunyikan senyumnya. Pikiran Revin ada benarnya juga. Revin melihat bagaimana Stevina berusaha menyembunyikan tawanya.
Tak terasa, waktu telah berjalan hingga menunjukkan pukul lima sore.
Revin memandangi pemandangan kota Jakarta dari dinding kaca. Nino, Nina dan Rendi sedang menikmati pemandangan dari balkon. Nina asyik dengan Rendi, sementara Nino asyik memainkan gitarnya.
"Selfie mulu lo Nin. Lebay," ejek Nino.
"Dih, kenapa lo? Kecantikan gue harus diabadikan lewat selfie," balas Nina.
Stevina datang dan meletakkan nampan berisi camilan dan minuman.
Revin berbalik badan ketika mendengar bunyi nampan yang ditaruh di meja.
"Lo beneran tinggal sendiri?" Tanya Revin. Dibalas anggukan Stevina.
"Wah. Berarti, kalau gue main ke sini boleh dong? Hehe.." canda Revin.
Mendengar pertanyaan sejenis itu, Stevina menatap tajam Revin.
"Ampun ampun. Gue nanya doang." Revin mengambil minuman yang sudah disediakan untuknya. "Ahh.. Seger."
"Oh iya. Makasi ya," ucap Stevina pelan.
"Hah? Lo bilang apa? Gue ga denger." Goda Revin.
"Gue bilang makasi."
"Makasi untuk?"
"Itu." Stevina menunjuk kedua parsel dengan dagunya.
Revin terkekeh. "Ternyata lo bisa bilang makasi."
"Bisa lah." Stevina memutar bola matanya seolah kesal. Padahal dalam hatinya ia merasa lucu karena Revin memperlakukannya seperti orang yang sedang opname. Padahal hanya sakit kecil.
"Okey deh." Revin beranjak bangun menghampiri teman-temannya di balkon. Stevina melirik parsel yang Revin bawakan untuknya. Entah dari mana Revin bisa tahu segala jenis camilan dan minuman favoritnya. Ataukah dari Instagram lagi? Entahlah.
"Stevina, sini," panggil Nina.
Stevina mengangguk. Ia menyusul teman-temannya.
"Nino, mainin musik yang tadi aja. Adem, cocok sama suasana sekarang."
"Oke oke.. Huft.." Nino menarik napas dan mulai memetik senar gitarnya.
Stevina cukup terkesima dengan bakat Nino. Ternyata Nino jago main gitar.
"Ehh Stevina katanya pengen belajar main gitar. Sama Nino aja," usul Nina.
Mendengar itu, Revin yang sedang asyik menikmati view seketika menoleh.
"Boleh banget dong. Yuk." Nino menyodorkan gitarnya. Stevina mengambil gitar Nino dengan hati-hati.
"Kalau buat lagu tipe tadi itu, pertama lo harus.."
Revin merasa cemburu. Ia datang memisahkan Nino yang duduk mendekati Stevina. "Stevina, gue juga bisa ngajarin lo main gitar."
Stevina terdiam tidak tahu harus merespon bagaimana.
"Ehh lupa kalo ada yang cemburu," goda Nina. Disambut tawa ejekan Rendi dan Nino.
❄❄❄
"Gue bilang enggak. Gue bisa berangkat sendiri." Stevina berlalu. Meninggalkan Revin yang tiba-tiba datang dan mengajak Stevina berangkat ke sekolah bersamanya pagi itu.
"Stevina.." Revin mengejar Stevina. Ia menarik tangan Stevina.
"Apaan sih lo. Gue bisa berangkat sendiri." Stevina menghempas tangan Revin.
Ingatan pada kejadian pagi itu membuat Revin galau. Stevina memang berbeda dari perempuan lainnya. Berbeda dengan siswi SMA Vrekodara lainnya yang menyukainya dan selalu memenuhi notifikasi media sosialnya.
Revin meratapi nasibnya. Disaat ia menyukai seseorang, orang itu malah tidak menyukainya. Apakah ini karma?
Tiba-tiba, Nino datang membuyarkan lamunan Revin sambil menepuk pundaknya. "Woy.. Kenapa lo? Yok main."
Revin menoleh. Menatap teman-temannya yang sedang bermain billiard. Siang itu, Revin dan gengnya berkumpul di markas belakang sekolah. Warung yang terletak di belakang sekolah itu sudah menjadi markas bagi Revin dan teman-temannya sejak kelas sepuluh.
"Nina sayang, kamu mau makan apa?" Tanya Rendi begitu melihat Nina datang ke markas mereka.
Mendengar Rendi menyebut nama Nina, Revin refleks bangun dari duduknya. Ia melangkah mendekati Nina. "Kok lo baru pulang Nin?" Tanya Revin.
"Gue kan abis ekskul Bahasa Inggris."
Revin jadi teringat Stevina yang juga mengikuti ekskul itu.
❄️❄️❄️
Di koridor sekolah, Stevina berjalan sendirian. Vani dan Vriska sudah pulang lebih awal. Mereka tidak memiliki jadwal ekskul hari ini.
Saat melewati lapangan basket, ia melihat Revin yang tengah sibuk memantul-mantulkan basket sendirian. Nino ada di sana sambil memperhatikan Revin yang bermain membelakanginya. Stevina berjalan pelan sambil menyaksikan mereka dari koridor.
"Mending lo mundur Revin! Lo denger gak?!" Seru Nino. Ia menarik kerah baju Revin. "Gue selalu ngalah sama lo. Tapi kali ini, gue ga akan ngalah lagi. Gue muak ngalah terus sama lo!"
Revin terkekeh. "Dia punya gue. Jangan mimpi lo bisa dapetin dia."
Naik pitam, Nino langsung menghantam wajah Revin. Stevina terkejut sampai menutup mulut melihatnya. Revin seketika ambruk.
Nino masih belum puas. Ia menindih Revin dan menghantam wajahnya berkali-kali.
Stevina berlari ke lapangan basket.
"Nino.. Berhenti!!" Stevina melerainya. Nino mencegah tangannya yang hendak memukul Revin lagi. Ia bangkit dan sedikit menjauh. Stevina bersimpuh sambil memegang tubuh Revin.
"Revin.." Stevina tak tega melihat darah dan memar di wajah Revin. Otak Stevina buntu seketika. Tidak tahu harus melakukan apa.
Dari arah markas, Rendi dan Nina berlari menghampiri. Mereka menatap Nino keheranan. Tak habis pikir dengan apa yang baru ia perbuat.
"Parah lo Nino!!" Seru Rendi.
"Tega banget lo Nino!" Ketus Nina. "Ren, ayo bawa Revin ke UKS Ren," usul Nina.
Stevina berdiri. Membiarkan Rendi dan Nina yang akan memapah Revin.
"Siapa suruh lo jadi pengkhianat!" Nino mendekat. Bersiap menghajar Revin lagi.
Stevina mencegatnya. Ia menarik kerah baju Nino. "Berhenti lo Nino!" Seru Stevina dengan sorot mata tajam. "Atau lo bisa nyesel nanti."
"Ahahaha.." Rendi tak bisa menahan tawanya. "Aduh sumpah perut gue sakit."
"Rendi?" Nina kebingungan.
"Ga kuat gue," lanjut Rendi.
"Ini apa-apaan sih? Rendi.. Kamu kenapa ketawa?" Tanya Nina bingung.
Stevina melirik Revin yang juga menahan tawanya.
"Udah.. Cukup. Gue ga bisa akting lagi," ujar Rendi.
"Udah udah.. Cukup. Argh.. Sakit beneran muka gue," ringis Revin.
"Misi berhasil." Nino dan Rendi bertos ria.
Revin mendekati Stevina. "Ternyata lo peduli kan sama gue?"
Stevina menganga. Ia menoleh ke arah Rendi dan Nino yang masih cengar-cengir seolah tak berdosa. Ternyata perkelahian ini hanya drama.
"Kurangajar lo ya." Stevina mendorong Revin. Kesal karena ditipu bercampur malu, Stevina berlari kecil meninggalkan lapangan.
"Stevina... Tunggu.." panggil Revin sambil mengejar Stevina.
"Ini ada apa sih sebenarnya?" Nina kebingungan sendiri. Nino dan Rendi tertawa melihat Revin yang berlari mengejar Stevina.
"Kejar Vin kejar.."
Sementara Nina masih planga-plongo kebingungan.
Di parkiran, Stevina buru-buru mencari kunci mobilnya. Dari arah sana terlihat Revin semakin mendekat.
"Aduh dia mendekat lagi.." Stevina merogoh isi tas sekolah dengan panik. Sampai akhirnya sebuah tangan mencegatnya. Stevina terkejut sampai tas sekolahnya terjatuh.
"Gue mau pulang! Minggir deh!" Pekik Stevina.
Revin malah tersenyum lebar. "Gue seneng. Ternyata lo peduli sama gue."
Stevina terdiam. Ia menatap luka-luka di wajah Revin. "Tadi Nino.. Dia mukul lo beneran?"
"Hhmm.. Bisa dibilang begitu."
Stevina menghela napas. Sejujurnya ia tidak tega. Syukur saja wajah Revin tidak sampai bonyok. Stevina menarik Revin menuju UKS.
Stevina mengobati luka di wajah Revin. Hanya ada mereka berdua di UKS. "Kenapa lo harus ngelakuin hal bodoh kaya gini sih?" Protes Stevina.
"Kadang dengan pura-pura bodoh, kita jadi sedikit tau gimana aslinya seseorang. "
"Hmm.." Stevina sedikit setuju dengan ucapan Revin.
"Ngomong-ngomong, kita cocok ya. Nama kita, sama-sama Vin."
"Berhenti deh."
"Oh ya, gimana kalau lo manggil gue Vin, dan gue manggil lo.. Vin juga."
"Ga masalah," jawab Stevina datar.
"Bagus deh." Revin cengar-cengir kegirangan.
"Gue kayanya perlu berterima kasih juga sama si David itu."
"Apa?" Tanya Stevina kaget.
"Iya kan? Berkat kebodohan dia, akhirnya gue bisa ketemu sama lo."
Stevina terpatung sesaat sebelum akhirnya ia tersadar. "Udah nih. Udah selesai. Gue mau pulang." Stevina beranjak bangun setelah selesai mengobati luka Revin.
"Stevina." Revin ikut berdiri.
"Em?"
"Makasi banyak."
"Revin, jangan nyiksa diri karena rasa penasaran lo."
"Gapapa. Demi lo gue rela. Karena lo moodbooster gue."
Revin menggamit kedua tangan Stevina.
"Revin?" Stevina melirik tangan Revin yang memegang tangannya.
"Gue belum pernah rasain hal ini sebelumnya. Tiap kali gue liat lo, gatau kenapa gue bahagia."
Stevina menunduk. Rasanya ia tidak kuat lama-lama menatap mata Revin. Kata-kata Revin entah kenapa sanggup membuat hatinya bergetar.
"Stevina, makasi udah dateng di hidup gue."